Tampilkan postingan dengan label Seni. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Januari 2016

Calung: Seni Tradisional Sunda

CALUNG: Memori 1967-1977

Calung adalah kesenian tradisional Sunda yang paling banyak mewarnai kehidupan saya. Bapak Adung Priatna Noer (almarhum), guru dan wali kelas saya, adalah orang pertama yang mengajar calung pada tahun 1967, saat saya menjadi murid kelas 4 di SDN-I Pangalengan.

Saya menjadi dalang diiringi Agung (kakak saya), Undang dan Ade. Adapun pemegang gendang adalah Pak Adung sendiri, sedangkan pemegang gong Odang. Setelah belajar sekali seminggu selama 2bulan, manggung pertama adalah di Cipinang dalam rangka imtihan di sebuah pesantren.

Sejak itu, setiap ada acara kesenian di desa/kecamatan Pangalengan, kami senantiasa diundang untuk tampil. Selain itu, pernah juga tampil di Radio Cilember Cimahi yang kala itu banyak menampilkan acara siaran langsung kesenian Sunda. Demikian pula sempat tampil di Buahbatu Bandung dalam acara khitanan keluarga. Ade Ratna, Dedeh dan Iis adalah tiga orang "biduan" yang menyertai kami.

Tahun 1972, ketika saya menjadi siswa SMPN Pangalengan, bersama grup Lawang Gintung bahkan kami menjuarai pasanggiri calung tingkat Kabupaten Bandung kemudian tingkat Provinsi Jabar. Kali ini saya bermain calung bersama Agung, Nana dan Aep. Pernah juga membentuk Tim Calung Pramuka Penggalang (lupa lagi nama gugus depannya) bersama Agung, Aan Hasanudin, Gugun dan Franklin Delani Sariwaring. Kadang-kadang saya juga bergabung dengan Tim Senior yang didalangi oleh Aa Nandang Ruhimat. Tukang gendang Engkos, sedangkan pemukul gong tak pernah tetap.



Berkat jasa calung, pada tahun 1973 saya bisa sekolah di SMA Negeri 2 Bogor. Piagam kejuaraan calung membebaskan saya dan kakak saya dari kewajiban membayar uang pangkal yang cukup besar waktu itu (terima kasih disampaikan untuk alm Pak Gozali dan almh Ibu Nani Gozali). Pada masa ini saya mulai mendapat honor "profesional" untuk membantu bayar SPP dan tambahan uang jajan, karena bersama Kandaga Group kami sering tampil di luar kota, terutama beberapa hotel di Puncak. Selain dengan Agung, kami main bersama Agus D Gozali dan Pepep Ferry Atmakusuma. Saya juga dapat honor tambahan kalau melatih murid SMPN 4 Bogor, antara lain Yudi Gozali dan Yana, -- yang kemudian tenar sebagai penyanyi Yana Julio.

Bercalung ria terus berlanjut ketika menjadi Mahasiswa IPB pada tahun 1976 bersama Agus D Gozali, Eko dan Mursyid. Salahsatu tampilan yang berkesan adalah mengisi acara Parade Seni Fatemeta-IPB sebelum penampilan Konser Rakyat Leo Kristi.



Di luar kampus, saya juga melanjutkan bergabung dengan Kandaga Group kemudian grup Patri Asih, baik untuk bermain calung, kaulinan urang lembur maupun gondang. Banyak tampil di berbagai tempat, dan yang tak terlupakan ketika menjadi figuran film "Anggrek Merah" (1977 kalau tak salah), yang dibintangi Clipp Sangra dan Dewi Arimbi. Wallahu'alam, hingga sekarang saya belum pernah menyaksikan film tersebut.


Catatan:
Calung adalah salahsatu seni tradisional Sunda, yang terbuat dari bambu. Dimainkan dengan cara dipukul, minimal oleh empat orang pemain, dengan nada yang berbeda. Pemain yang bertindak sebagai Dalang menggunakan calung dari bambu yang kecil sehingga suaranya nyaring, dan dapat memainkan lagu-lagu dengan lengkap. Adapun calung yang lain bernada lebih besar sebagai pengiring. Kadang-kadang ada tetabuhan lain untuk menyemarakkan suasana semacam kecrek, atau apa saja. Biasanya pembawa alat tersebut dieksploitasi kemampuan dagelan atau humornya. Kesenian ini diiringi dengan kendang dan gong.

Pada awalnya irama calung mengikuti notasi Sunda yang pentatonis (Da Mi Na Ti La Da), tetapi belakangan ada juga calung diatonis (Do Re Mi Fa Sol La Si Do), sehingga dapat memainkan lagu-lagu pop dan dangdut, seperti layaknya arumba.

Selasa, 15 Desember 2015

BANDUNG: Saung Angklung Mang Udjo



SAUNG ANGKLUNG UDJO:

Untuk ketiga kalinya saya menyaksikan pagelaran seni di Saung Angklung Udjo di Jalan Padasuka No. 118, Bandung. Terakhir, bersama-sama dengan teman-teman alumni SMAN2-Bogor angkatan 1975. Setiap kali berkunjung tetap menarik. Tak ada kata bosan. Dan sekarang pun tetap berharap, suatu saat akan kembali lagi ke sana.

Dua kali kunjungan sebelumnya adalah sewaktu mengantar Duta Besar Swiss, dan kedua mengantar teman dari Jerman. Saya meyakini bahwa mereka tertarik dengan pagelaran tersebut, karena beberapa tahun kemudian, topik tentang Saung Angklung Mang Ujo menjadi bahan pembicaraan.

Pada kunjungan saya yang terakhir, dari delapan atraksi, saya sangat mengapresiasi sajian lagu "Bohamian Rapsodhy" karya band legendaris The Queen, -- yang disajikan dengan cara yang berbeda oleh para empu angklung yang sangat piawai. Peralihan nada sekaligus menjadi peralihan lokasi bunyi angklung. Telinga kita benar-benar terbuai dan termanjakan oleh alunan nada dan peralihan bunyi yang saling bersahutan. Kehalusan nadanya begitu mempesona.

"Bermain Angklung Bersama" adalah sajian yang sungguh  mengherankan, bagaimana dalam waktu singkat kita secara individual bisa memainkan sejumlah lagu bersama hampir 500 orang penonton lain yang antusias, termasuk sejumlah bule. Setiap selesai membawakan sebuah lagu, tak henti kami bertepuk tangan, dan merasa menjadi bagian dari atraksi.

Akhirnya, acara "Menari Bersama" adalah ujung dari pertunjukan. Anisa, anak perempuan berusia tujuh tahun, mengajak saya menari dengan penuh sukacita dan riang gembira.