Sabtu, 24 Juni 2017

ULAMA dan GULMA


Tadi siang, Kang Kasep (nama samaran) japri ke WA saya. Postingannya berjudul "Imam Bukhary, The Untold Story", di mana dikisahkan bahwa baginda Imam Bukhary difitnah oleh penguasa, lalu dipenjarakan sebelum datang pertolongan Tuhan.

Gaya berceritanya berupa perbincangan antara ayah dan anak. Di akhir kisah, sang ayah berpesan begini: "Oleh karena itu kalau ada seorang ulama sedang dilanda fitnah, Kakak jangan sampai ikut-ikutan menyebarkannya. Karena Allah pasti marah".
______
Entah apa maksud Kang Kasep mengirimi saya nasihat seperti kepada anak kecil itu. Tapi saya tak peduli soal itu.

Hal yang menjadi perhatian saya adalah sikapnya yang menyamakan ulama besar sekelas Imam Bukhary dengan ulama liar yang dimaksudkannya dalam kisah itu.

Cara berpikir seperti itu jelas memutarbalikkan fakta. Bagaimana bisa fakta-fakta yang bejibun dan kasat mata dimanipulasi sebagai fitnah. Karena itu, saya membalas WA tersebut. Begini:
_______
Hatur nuhun Kang Kasep. Renungan yang sungguh menarik bagi kita sebagai Muslim penghuni negeri mayoritas di negeri ini.

Memang sejarah Islam punya banyak masa kegemilangan, termasuk memiliki ulama sang pencerah almukarom Imam Bukhary.

Di Indonesia pun kita mengenal sejumlah nama besar yang menampilkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin seperti yang dicontohkan sang junjunan, Nabi Besar Muhammad SAW. 

Contohnya adalah para wali, yang menyuburkan Islam di Nusantara. Belakangan kita juga mengenal K. H. Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama dan K. H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Keduanya betul-betul mewakili kaum mayoritas Islam Indonesia, dan telah menggerakkan ummatnya di akar rumput sebagai warga negara yang Islami. Para pemimpin dan para ulama pelanjutnya juga menjaga amanah para pendahulunya dengan sebaik-baiknya. Tak sedikit di antaranya yang berhasil jadi umara.

Meskipun ada perbedaan pandangan dalam berbagai hal di antara NU dan Muhammadiyah, seperti yang dapat kita amati hingga sekarang, tapi keduanya tetap saling menghormati dan senantiasa menjaga keutuhan negara kita tercinta. Belum pernah ada perbedaan pandangan yang meruncing dan mengancam keutuhan bangsa. Bahkan, dalam takaran tertentu, di komunitas tertentu, perbedaan tersebut menjadi lahan yang subur untuk menjadi bahan candaan, ... bukan menjadi sarana perpecahan. Termasuk kategori ini misalnya telunjukyang diutek-utek, pakai usholi atau tidak, pakai qunut atau tidak, taraweh dalam berbagai versi banyaknya rakaat, dan lain-lain. Bahkan, cara menentukan hilal dalam penetapan ramadhan, idul fitri, idul adha, ... semuanya berakhir hepi ending, jauh dari pemicu perpecahan.

Kita juga sempat mengalami perbedaan pendapat dalam perjalanan sejarah bangsa karena perbedaan ideologi. Namun semuanya diproses sesuai hukum yang berlaku, ... dan terbukti aturan dan hukum positif yang ada di negeri ini, selama ini, sudah dapat menjaga keutuhan negara hingga 72 tahun sekarang ini.

Karena itu, yang harus disikapi dengan cermat dan teliti sekarang ini adalah kelompok minoritas pendatang baru yang mengatasnamakan mayoritas Islam. 

Seperti gulma yang mengganggu tanaman utama, kelompok minoritas ini dipimpin oleh ulama liar, dengan perilaku non-Islami yang memecah belah persatuan bangsa, menghina Pancasila, menghina lambang negara, menghina agama lain, menyebarkan hoax yang insinuatif provokatif, dan lain-lain. Dan sebagai orang Sunda tentu saja kita juga merasa terhina ketika sapaan silaturahmi "sampurasun" dilecehkannya menjadi "campur racun".



Lebih celaka lagi, setelah beberapa kelakuannya itu memanen tuntutan di pengadilan (termasuk 2 tindak pidana yang sudah berstatus Tersangka), ... ehhh dia malahan kabur. 

Sungguh nyata perbedaan sikap antara ulama liar itu dengan Almukarom Imam Bukhary. Bagaimana manusia macam begituan mau disetarakan dengan almukarom Imam Bukhary? Mungkin ada baiknya kalau hasil renungan Kang Kasep itu dikirimkan juga ke ulama liar itu. Kasihan para pengikutnya yang ternyata dipimpin oleh ulama liar yang tidak Islami.

Karena itu, semoga kita "teu kabawa ku sakaba-kaba", oleh ulama liar dan aliran Islam baru yang sangat minoritas itu, tetapi dalam gerakannya senantiasa mengatasnamakan mayoritas Islam.

Mari kita menghormati para ulama Islam kita sebagai pewaris para nabi, dengan menyianginya dari ulama liar, ulama abal-abal, yang menggunakan simbol-simbol keislaman untuk mengadu-domba; yang dalam  terminologi Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, disebut sebagai ulama palsu.

Mari kita bergandengan tangan dalam wadah organisasi Islam yang sudah terbukti selama puluhan tahun dapat menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar