Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Agustus 2021

RUANG KULIAH DI BARANANGSIANG

Kenangan Masa Kuliah di IPB (2)

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)

Sewaktu Tingkat Persiapan Bersama (TPB), sebagian besar kegiatan perkuliahan dan praktikum diselenggarakan di Kampus Baranangsiang. Ada tiga ruang kuliah (RK) legendaris, yaitu RK Kimia, RK Botani, dan RK Fisika. Kesemuanya dapat menampung sekitar 450an mahasiswa, yang dipilah menjadi empat kelompok. 

Sebagai anggota Kelompok III yang berjumlah sekitar 90an orang, kami menempati Ruang Kuliah Botani. Hanya dalam hal khusus kami pindah ruangan.



 Ruang Kuliah Kimia (kiri atas); Ruang Kuliah Botani (kanan atas); Ruang Kuliah Fisika (bawah).

_____ 
Di ruangan itu bor atau papan tulis hitam memanjang di depan kelas, cukup luas untuk menjadi pusat perhatian dan mencatat kuliah para dosen, dengan segala gayanya. Ketika mengajar, para dosen itu masih menggunakan kapur tulis, tentu saja.  

Ada dosen yang lembut hingga suaranya nyaris tak terdengar; ada pula dosen yang menghentak-hentak walaupun bukan orang Batak. Pak Andi Hakim Nasoetion, tentu saja orang Batak kekecualian, karena suaranya yang pelan dan menggeram, cadel pula. 

Oh ya, di meja depan itu ada juga keran untuk cuci tangan, meskipun seringkali airnya mampet. _____ 
RK Botani berada di bagian tengah, strategis, di antara RK Kimia dan RK Fisika. Di seberangnya ada Menhetten (Mahatani), yang di bagian belakangnya ada "kantor" Senat Mahasiswa Faperta. 

Posisi ini menguntungkan karena sebelum kuliah/praktikum kita bisa nongkrong di Mahatani dulu sambil memandang teman-teman yang lalu-lalang, siapa tahu ada yang bisa diajak kerjasama sebagai "pembanding" dalam penyusunan laporan praktikum atau laporan responsi. Kalau pas lagi ada uang, kita juga bisa pesan teh manis, kopi atau mi rebus made-in Dayat (kalau tak salah), penjaga kios Mahatani, yang logat Sundanya kentel banget. 

Di sini kita bisa juga mengincar barang baru berupa kaos, jaket, topi, tas, stiker, gantungan kunci, dll. Pemasok barang-barang tersebut antara lain Rachman Effendi, sesama Astagian, sekaligus teman akrab saya sejak di Alamanda’75 SMAN 2 Bogor, yang punya sense of business yang terbawa hingga sekarang. Kadang-kadang saya juga ikut-ikutan bisnis dengannya, kalau ada yang pesen vandel, plakat, atau kaos dari institusi/perguruan tinggi lain. Di sela-sela kebersamaan dengan Rachman, sejak masih di SMA 2, kami sering berkunjung ke rumah Lily Siti Nuramaliati di Jl. Bangka 25, yang bunganya cantik-cantik dan banyak disambangi kumbang-kumbang. Waktu itu, saya menangkap “ada pelangi” yang bersinar di mata Rachman kalau sedang menatap Lily. Alhamdulillah, akhirnya mereka berjodoh beberapa puluh tahun kemudian. 
______ 
Hal yang mengherankan, ruang kuliah kami sering didatangi mahasiswa/i dari kelompok lain, entah apa sebabnya. Sedemikian seringnya mereka bergabung, sampai lupa bahwa mereka adalah pengungsi, yang tak terdaftar di Kelompok III. Itulah sebabnya, banyak rekan Kelompok III yang booking tempat duduk sebelum kuliah dengan menyimpan tas/buku lebih dulu, sebelum para pengungsi itu datang. 

Saya sendiri lebih memilih duduk di barisan tiga atau yang lebih belakang, kuatir ditanya dosen, he he he. 
_____ 
Ruang Kuliah Botani memang mengesankan dengan bangku-bangku kokoh memanjang, yang menanjak ala theater bioskop atau tontonan gladiator di negeri Yunani. Bangunan ini memang nyaman tanpa AC sekalipun. Sistem pencahayaannya juga cukup memadai. 

Ruangan ini terbagi tiga, satu di tengah, satu di sayap kiri dan satu lagi di sayap kanan. Pembagian "sayap" dipisahkan oleh dua tangga yang bergradasi menaik ke belakang. Nah, di lantai barisan belakang itulah seringkali saya melihat teman-teman yang tiduran sambil menunggu praktikum atau responsi di sore hari. 

Ventilasi udara yang berada di sebelah kiri selain meniupkan angin semilir, juga cukup nyaman untuk melihat lapangan hijau di bagian depan kampus. Kadang rerumputan hijau itu diselimuti bunga randu yang berguguran dan beterbangan menutup halaman. Indah nian, ... seakan tebaran salju. 
______ 
Di bagian luar sebelah kanan, ada papan pengumuman, yang seringkali membuat saya degdegan, menanti pengumuman hasil quiz atau ujian. 

Belakangan saya bisa menebak, sehabis melihat papan pengumuman itu siapa yang mukanya berseri-seri, namun banyak pula yang mengelus dada. Mereka yang berseri-seri itu umumnya mahasiswa yang biasa duduk di baris satu atau baris dua, ... Willy, Nora, Komarsa (alm), misalnya. 

Adapun yang merana atau mengelus dada kebanyakan yang duduk di bagian belakang, ... untuk itu saya tak perlu menyebutkan contohnya. He he he. 
______ 
Oh ya, di Kelompok III juga banyak kaum residivis, RCD ... Para senior yang galak-galak sewaktu OSMA, ternyata terdampar di “kapal yang sama” di kelompok kami, hi hi hi. 

Meskipun sekelas, kami tetap menyebut mereka kakak, mas, akang, teteh, embak, abang, dll. Di antara mereka, ada seorang mahasiswi cantik yang berangkat dan pulang kuliah dengan mengendarai sedan Corona oranye tua, suatu kemewahan kala itu, di antara sebagian besar mahasiswa/i IPB yang naik bemo atau bahkan jalan kaki, sambil berpayung fantasi menyusuri trotoar dengan harap-harap cemas karena wesel dari orang tua tak kunjung tiba. 
_____ 
Saya termasuk mahasiswa yang sering pakai payung sambil berfantasi ...

Wisma Raya Doeloe, Hotel Royal Kini

 

Wisma Raya, adalah masa lalu Hotel Royal sekarang, yang terletak di Jl. Ir. H. Juanda nomor 16, Bogor. Dengan berada di pusat kota, dan dilalui kendaraan umum, maka asrama ini amat strategis, dekat dengan pasar dan pusat keramaian, juga tak terlalu jauh dari kampus IPB. Selain bemo yang lalu-lalang dua arah, sampai dengan tahun 1978, Jl. Juanda juga masih dilewati bus menuju ke Stanplat di Jl. Kapten Muslihat, depan Toko Dezon.





Berbeda dengan perannya sebagai hotel sekarang yang menyediakan 98 kamar, penghuni asrama Wisma Raya cuma dapat menampung sekitar 35 orang. Dengan jumlah penghuni yang sedikit, maka suasana kekeluargaan sangat erat. Banyak mahasiswa IPB yang ingin tinggal di sini karena dekat dengan kantor pos tempat mengambil wesel bulanan dari orang tua. Karena itu, untuk dapat menjadi penghuni asrama ini, mahasiswa harus sabar menunggu hingga ada alumni yang keluar dari asrama ini.

Selain memiliki kelebihannya yang strategis, Wisma Raya juga memiliki kekurangan, antara lain tidak mempunyai aula atau tempat yang cukup luas untuk menyelenggarakan suatu acara. Ruang tamu dan ruang rekreasi sewaktu-waktu bisa menjadi ruang rapat pengurus dan atau rapat penghuni, dan bisa juga disulap menjadi tempat menyelenggarakan pesta, dilengkapi dengan pesta dansa. Peristiwa apa pun bisa dijadikan dalih untuk mengadakan pesta.

Ada hal yang  patut diacungi jempol. Penghuni asrama ini setiap tahun memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Begitu matahari muncul di ufuk Timur, para penghuni telah berpakaian rapi, siap mengikuti acara pengibaran bendera sang saka merah putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Acara dilanjutkan dengan pembacaan teks Proklamasi, sambutan ketua Asrama, pembacaan do’a dan lain-lainnya. Setelah upacara selesai sebagian penghuni duduk-duduk santai di halaman, dinaungi oleh tiga pohon cemara, menyanyikan lagu-lagu perjuangan diiringi petikan gitar salah seorang penghuni.

Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion

 

Sejak tiga tahun yang lalu, di Bogor ada jalan baru, namanya Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion. Doeloe, jalan ini dikenal sebagai Jl. Rumah Sakit II (RS II), yang letaknya pas di sebelah kampus Baranangsiang IPB, yang memanjang hingga ke Jl. Malabar bagian belakang. Itulah route jalan yang dilewati oleh bemo dari Pasar Bogor ke Jl. Gunung Gede atau Jl. Pajajaran.




Proses pemberian nama jalan tersebut melalui perjalanan panjang. Di antara tiga orang pengusul, salah satunya adalah Asep Saefuddin, mahasiswa IPB Angkatan 13 ASTAGA, yang kini Guru Besar IPB dan Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia.

Jalan ini diresmikan 3 Juni 2017, bertepatan dengan ulang tahun kota Bogor yang ke-535. Acara dimeriahkan dengan drum band Sekolah Tinggi Teknik Pertanian (d/h Sekolah Pertanian Menengah Atas), di mana Pak Andi pernah sekolah. Ada juga paduan suara Sekolah Kesatuan, di mana Pak AHN pernah menjadi ketua yayasannya. Ada paduan suara Agriaswara IPB yang telah mendunia, dan ada pula penyanyi seriosa dan keroncong IPB yang menggetarkan hati penonton dengan lagu-lagu yang dibawakannya. Puisi juga dipersembahkan kepada Pak AHN oleh anak-anak Sekolah Kesatuan.

Meskipun kegiatan administratif dan perkuliahan IPB sebagian besar dipusatkan di Kampus Darmaga, namun Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim masih tetap ramai, karena masih ada sejumlah lembaga yang berkantor di Kampus Baranangsiang. Ada juga Cafe Taman Koleksi, yang seringkali menjadi ajang nostalgia dan pertemuan para alumni. Bahkan, masyarakat pun biasa memanfaatkan Cafe Taman Koleksi untuk berbagai keperluan.

Di bagian kanan jalan, yang dulu merupakan perumahan dosen dan tempat kost para mahasiswa, kini telah beralih fungsi menjadi tempat kuliner. Misalnya, persis di sebrang gerbang masuk, ada The Third Wave Coffee Company. Selain nyaman, cafe ini juga menyediakan mushola.

Dengan keberadaan jalan ini, semoga menjadi pengingat kenangan atas jasa dan pelajaran dari Pak Andi. Aamiin.

Jumat, 29 Desember 2017

Roda Pedati


Kembali terbukti, bahwa hidup bagaikan roda pedati, yang bergerak memutar, kadang ke depan, ada kalanya ke belakang. Suatu ketika berada di atas, kali lain terdampar di bawah.
Para haters kiri yang jadi pecundang pada tahun 2012 dan 2014 hingga kini tetap menjadi pembenci, pendengki dan penebar fitnah yang tak pernah lelah. Nggak move on. Deritanya tampaknya terus menggumpal bagai bola salju yang terus menggelinding entah sampai kapan.
Hari berganti, dan roda pun berputar. Mereka, para haters kiri itu, kini merasakan nikmatnya kemenangan dalam kontestasi di Pilkada DKI, berkat keberhasilan menjual ayat dan menolak mayat melalui demo berjilid-jilid JUTAAN ORANG (katanya) hanya untuk menjebloskan SATU ORANG SAJA yang dipaksakan didakwa sebagai penista agama. Karena baru merasakan kemenangan dan memendam bara yang tertahan hampir tiga tahunan maka kecenderungan euforianya jadi over dosis.
Dan perilaku pun berulang. Seperti pada kasus 2012 dan 2014, euforia kemenangan para haters kiri tersebut segera dibalas pihak haters kanan yang kini sedang jadi pecundang dan merasa dapat giliran untuk marah dan meradang.
Pidato Anies yang kesleo lidah seperti halnya "sang penista agama", segera diserang dengan berbagai cara, termasuk melaporkannya ke polisi. Selain soal (1) "pribumi" dan (2) "ahistoris kolonialisme hanya terjadi di Jakarta" yang konyol itu, kini bahkan hal remeh-temeh pun jadi sasaran olok-olok dan cercaan haters kanan, tak beda dengan kelakuan para haters kiri yang morang-maring paska Pilkada DKI tahun 2012 dan Pilpres tahun 2014.
Ditambah dengan banyolan Sandi yang gagap dalam berucap dan belepotan dalam berbahasa, maka genaplah sudah ketika ada hater yang tega-teganya mengganti sebutan untuk Gubernur jadi Gabener dan Wakil Gubernur jadi Wagabener. Ada-ada saja.
Musim hujan mulai tiba, dan perlahan namun pasti musim banjir pun akan melanda. Mengikuti contoh mada lalu, dapat dipastikan akan banyak canda dan cercaan tentang banjir tersebut, seperti yang dialami penguasa terdahulu.
______
Tanpa kesadaran untuk rekonsiliasi, boleh jadi ke depan negeri ini akan terus berisik. Haters kiri maupun haters kanan saling berbalas dan menghinakan. Keduanya nggak move-on move- on.
Karena itu, saya berharap, semoga fenomena balas-berbalas dendam ini dapat diredam agar tidak terus bergelora dan memaksakan kehendak menjadi demo balasan berjilid-jilid oleh para haters kanan. Selanjutnya biarlah ditangani aparat dan berakhir di pengadilan, tanpa pihak yang berusaha memaksakan kehendak. Kisah kelam akhir 2016 janganlah diulang karena hanya akan menguras energi bangsa, yang pada akhirnya hanya akan melanggengkan ketertinggalan dari negara tetangga yang sudah lebih dulu maju, melaju.
Semoga kutukan keris Empu Gandring dengan balas dendam yang berkepanjangan dapat diakhiri. Derita negeri cukupkan sampai di sini.
Harapan ini kiranya bukan utopia, karena beberapa pentolan ahli fitnah waljamaah sudah ada yang dikandangkan dan buron polisi.
Sebaliknya, untuk haters kanan tak perlu membalas dendam dengan serampangan, apalagi kalau sampai harus berhadapan dengan kepolisian dan pengadilan, karena hanya buang waktu dan menyusahkan keluarga seperti yang sudah dialami beberapa orang haters kiri. Marilah berdamai dengan diri sendiri.
Biduk lalu, kiambang bertaut. Pilkada berlalu, pendukung bersatu.
Semoga.

Kamis, 28 Desember 2017

Bambu yang Merunduk

BAMBU YANG MERUNDUK, NAMUN BANYAK MANFAAT
Bambu itu merunduk manakala angin bertiup. Semakin kencang angin bertiup, semakin rendah dia merunduk. Namun ia tidak patah, tak juga dia melawan. Ia meredam kebuasan sang angin menjadi ketenangan yang nyaman.


Batangnya tegak menjangkau langit, namun akar serabutnya menjulur kemana saja, untuk merekat dan memperkuat keberadaannya.
Bambu adalah contoh ajaran kebaikan dan kebajikan. Ia akur dalam kelompok, serta merekat persahabatan dan kekerabatan. Ia teguh, tabah dan sabar dalam situasi apa pun. Ia sangat berguna bagi siapa saja.
Beberapa waktu yang lalu saya melihat pameran karya Akademi Bambu Nusantara (ABN) di Jakarta. Saat itu, saya langsung teringat hutan bambu di Kebun Raya Bogor, sambil membayangkan bahwa rumpun bambu semacam di Kebun Raya itu banyak juga terdapat di kampung saya, dan juga bertebaran di seantero Nusantara, yang pernah saya kunjungi.


Ya, banyak sekali jenis bambu yang tumbuh di negeri ini, konon mencapai 159 spesies di antara 1.250 jenis bambu yang terdapat di dunia. Memang Indonesia adalah salah satu wilayah yang menjadi surga bagi jenis tanaman ini, yang di beberapa daerah mempunyai sebutan berbeda seperti buluh, aur, awi, dan eru.
Manfaat Bambu
Menurut Muqodas Syuhada, pendiri ABN, kegunaan pohon bambu lebih banyak dibanding dengan kelapa, misalnya. Bambu bisa dimanfaatkan untuk menjaga kedaulatan sandang, pangan dan papan, serta kedaulatan lingkungan," katanya.
Bambu bermanfaat dalam hal makanan. Misalnya, Lumpia Semarang tak nyaman jika tak dicampur bambu muda alias rebung. Bungkus bacang terbuat dari daun bambu. Lemang juga dibakar dengan menggunakan bambu berlubang. Terkait dengan makanan ini, jangan lupa menyebut sumpit, tusuk sate, dan tusuk gigi. Peralatan dapur pun banyak yang menggunakan bambu, seperti bakul, hihid, boboko.
Bambu juga digunakan untuk membuat jembatan, pagar, saluran air, bahan bangunan tempat tinggal.
Untuk alat musik juga bisa, seperti suling dan karinding. Bambu juga membantu Pak Daeng Sutigna dan Pak Udjo Ngalagena menjadi terkenal ke seantero negara dengan memperkenalkan angklung, arumba dan calung, yang semuanya terbuat dari bambu.
Bambu juga bisa digunakan untuk senjata dan permainan, seperti meriam bambu, galah, rakit/perahu, tongkat. Bambu runcing terkenal zaman kemerdekaan sebagai senjata. Ada juga meriam bambu, yang kalau di kampung saya disebut "lodong". Memang ada juga lodong terbuat dari batang pakis, tetapi susah nyarinya, sedangkan lodong bambu banyak tersedia di sekitar kampung. Lodong-lodong itu sangat digemari waktu bulan ramadhan, dengan gelegarnya yang membuat kami suka cita: anak-anak maupun orang dewasa.
Dari segi lingkungan, kalau tumbuh di tebing, bambu bisa menguatkan untuk menahan longsor, karena akar serabutnya yang bisa menjalar jauh.
Ternyata, yang harus ditiru bukan hanya "ilmu padi", dan “ilmu kelapa”, tapi juga "ilmu bambu".

Pemecah Belah Bangsa

PEMECAH BELAH BANGSA
Oleh Tika Noorjaya

Kelakuan para pemecah belah bangsa itu memang payah. Mereka menggembor-gemborkan bahwa Islam sekarang dipinggirkan, ... pokoknya seburuk-buruknya perlakuan. Padahal, Islam Mayoritas di Indonesia baik-baik saja, bahkan terjadi kemajuan dibanding puluhan tahun yang lalu secara kualitas maupun kuantitas, seperti pernah saya tulis dengan judul “Islam Mayoritas, Islam Minoritas”.

Dalam usia yang menjelang senja ini, kita menyaksikan bahwa dibanding masa lalu, Islam sekarang sudah amat jauh berkembang, termasuk perubahan model pendidikan pesantren yang sudah jauh meninggalkan ciri-ciri tradisionalitas.

Demikian pula fasilitas fisik keagamaan Islam seperti mushala, masjid, pesantren, dll, yang semakin banyak, besar, dan megah. Kemajuan dalam bidang fisik ini saya saksikan sendiri di hampir seluruh pelosok negeri, seluruh Nusantara, termasuk di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Non-Muslim.

Pengajian marak di mana-mana, acara radio, acara TV, WA dibanjiri tausiyah, bahkan demo-demo diakomodasi yang hingga berjilid-jilid itu. Apakah dulu seperti itu? Sebagai pembanding, coba tanya bagaimana derita simpatisan PPP sebagai satu-satunya Partai Islam pada Pemilu 1977, karena diberangus dari 4 partai Islam pada Pemilu 1971. Saya punya saudara dan teman di kampung, yang menjadi saksi hidup atas sikap represif Rezim Orde Baru terhadap Islam waktu itu, karena di kampung saya PPP memperoleh dukungan lumayan besar. Kalau kita buka buku-buku sejarah, maka sikap represif Pemerintah di tahun 1977 itu hanyalah contoh kecil saja.

Dulu, "Assalamualaikum" hanya merupakan pembuka pidato, dan amat sangat terbatas yang berani mengucapkannya dalam perbincangan sehari-hari.

Dulu, kaum wanita hanya kenal kerudung atau pasmina, sedangkan jilbab merupakan barang langka. (Karena itu, tak usaha heran kalau kebanyakan kaum wanita kita di masa lalu tidak memaki jilbab, seperti halnya Ibu Kartini atau Cut Nya Din; -- suatu isu yang pernah muncul seakan Pemerintah tidak pro-Islam dalam penerbitan uang rupiah emisi baru. Tanpa pemahaman sejarah sama sekali, isyu itu mereka umbar begitu hingar-bingar ... sungguh memalukan).

Kemudahan transportasi juga telah memungkinkan jumlah haji dan umrah yang terus meningkat setiap tahun. Dulu ? Haji bisa dihitung dengan jari, bahkan Umroh rasanya kurang dikenal. Hal ini tentu saja merupakan petunjuk juga bahwa banyak umat Islam yang penghidupannya lebih baik, sehingga mereka dapat pergi ke tanah suci, baik untuk berhaji maupun umrah.

Nikmat mana lagi yang tengah diingkari di negara dan era ini? Dari sudut mana Islam dipinggirkan? Yang sebenarnya terjadi, yang merasa dipinggirkan adalah kaum Islam Minoritas yang baru muncul beberapa tahun belakangan, termasuk Ormas semacam HTI yang secara resmi telah dibubarkan karena tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Mereka ini dipimpin oleh segelintir ulama yang memecah belah, bahasanya kasar dan mengghasut, mengkofar-kafirkan orang, memprovokasi, dan secara umum tidak menunjukkan sikap Islami yang rahmatan lil’alamin. Kalau menurut Jenderal Gatot Nurmantyo, mereka adalah “Ulama Palsu.” (Lihat tulisan saya berjudul “Menyiangi Rumput Liar, Menyiangi Ulama Liar”).

Berdasarkan pengalaman di kampung dulu dan dalam pemahaman saya selama ini, ... ulama, ustadz, atau kyai yang kami (saya) teladani senantiasa memberikan kenyamanan dan keteduhan dalam berucap dan berperilaku, suaranya lembut (nyaris tak terdengar seperti iklan Isuzu dulu), tidak menghina dan tidak menghujat ke sana-sini. Kata guru saya (alm) akhlak seseorang itu dapat dilihat dari cara berucap dan bertingkah laku, ... yang sama sekali tak nampak dari perilaku para ulama dimaksud.
___
Mengenai Abdul Somad, jujur saya menyukai ceramahnya dari beberapa video yang pernah saya lihat dan simak. Tampilannya sederhana, tapi isinya bernas, meyakinkan. (Sejauh ini saya tidak merasa punya kapasitas untuk memeriksa apakah hadis-hadis yang disampaikannya sahih atau tidak, karena konon setiap mazhab akan memilih dan memilah hadis-hadis yang cocok dengan pendiriannya). Ditambah dengan humornya yang pas, ceramahnya terasa enak, gayeng.

Meskipun demikian, sebagai anak muda, Somad masih harus banyak belajar rendah hati. Penghinaan fisik terhadap Rina Nose (yang katanya pesek dan buruk rupa) tak layak dibela dengan cara apa pun; demikian pula tentang pengkafiran terhadap Ucapan “Hari Ibu” dan “Hari Natal” yang ngawur itu.

Kenapa? Membandingkan ucapan “Selamat Hari Natal” dengan “Kalimat Syahadat”, sehingga dicap merusak aqidah, adalah logika yang belepotan karena tidak “apple to apple”, suatu standar etika dalam dunia akademis.

Pantasnya, ucapan “Selamat Hari Natal” itu dibandingkan dengan “Selamat Idul Fitri”, “Selamat Idul Adha” atau “Selamat Maulid”. Saya tak keberatan kalau dia bersama Felix Siauw berpendapat bahwa haram mengucapkan “Hari Natal”, tapi tak perlu didramatisir sebagai de-Islamisasi, apalagi dengan mengatasnamakan Islam.

“Natal” secara harfiah berarti “lahir” atau kelahiran. Tentang kelahiran Nabi Isa cukup banyak  ayat AlQuran yang memberitakannya, misalnya ada di Surat Maryam ayat 16-40. Bukan hanya itu, Nabi Isa tak sekadar nabi, beliau juga Rosul seperti halnya Kangjeng Nabi Muhammad SAW. Jadi, mengakui hari kelahirannya adalah sesuai dengan Rukun Iman kita.

Tentang kelahiran yang dibilang bukan 25 Desember, jangankan kelahiran Nabi Isa yang sudah melewati masa ribuan tahun, sedangkan hari kelahiran saya pada akhir 1950an saja amat tak jelas. Orang tua saya yang terbiasa dengan kalender Qomariah menyebutkan bahwa saya lahir 5 Syafar ...  Belakangan, setelah saya konversi ke kalender Syamsiah (Masehi) ternyata harinya nggak cocok, apalagi tanggalnya, ha ha ha. Saya yakin, di masa lalu sebagian besar umat Islam menggunakan kalender Qomariah dalam kehiduan sehari-harinya, bukan kalender Masehi seperti sekarang. Saya juga yakin, di masa lalu hanya sebagian kecil saja masyarakat yang sadar perlunya Akte Kelahiran. Meskipun begitu, ketika di rapor dan ijazah tertulis 19 November, maka saya fine-fine saja ketika teman-teman memberikan ucapan selamat ulang tahun pada tanggal 19 November itu.

OK, meskipun tak logis, anggaplah apa yang di-igaukan Somad dan Siauw itu betul, tapi ... kita ‘pan membaca kalimat syahadat dalam setiap solat kita, berarti pada saat itu kita memperbaiki lagi aqidah kita. So what gitu lho. Ha ha ha.
___
Mengenai Felix Siauw, saya tak ingin komentar banyak, karena sudah jelas dia pendukung HTI, ormas yang sudah jelas-jelas dilarang sebagaimana halnya PKI. Dia berkhayal bahwa penguasa takut akan kebangkitan Islam. Ini konspirasi basi, seperti Aming Bos CAI dalam Sinetron “Dunia Terbalik”, he he he. Kalau pemerintah takut Islam, kenapa Kementerian Agama mendapat porsi besar dalam APBN? Kenapa NU dan Muhammadiyah semakin membesar dari hari ke hari? Kenapa sampai di pelosok desa selalu ada masjid, musholla dan pesantren dibangun?

Jadi, yang sesungguhnya diberantas oleh negara adalah radikalisme dan anti Pancasila, para  "pemberontak" ideologi bangsa dan negara. Mereka para kaum Islam Minoritas, tetapi senantiasa mengatasnamakan Islam Mayoritas.

Sabtu, 24 Juni 2017

ULAMA dan GULMA


Tadi siang, Kang Kasep (nama samaran) japri ke WA saya. Postingannya berjudul "Imam Bukhary, The Untold Story", di mana dikisahkan bahwa baginda Imam Bukhary difitnah oleh penguasa, lalu dipenjarakan sebelum datang pertolongan Tuhan.

Gaya berceritanya berupa perbincangan antara ayah dan anak. Di akhir kisah, sang ayah berpesan begini: "Oleh karena itu kalau ada seorang ulama sedang dilanda fitnah, Kakak jangan sampai ikut-ikutan menyebarkannya. Karena Allah pasti marah".
______
Entah apa maksud Kang Kasep mengirimi saya nasihat seperti kepada anak kecil itu. Tapi saya tak peduli soal itu.

Hal yang menjadi perhatian saya adalah sikapnya yang menyamakan ulama besar sekelas Imam Bukhary dengan ulama liar yang dimaksudkannya dalam kisah itu.

Cara berpikir seperti itu jelas memutarbalikkan fakta. Bagaimana bisa fakta-fakta yang bejibun dan kasat mata dimanipulasi sebagai fitnah. Karena itu, saya membalas WA tersebut. Begini:
_______
Hatur nuhun Kang Kasep. Renungan yang sungguh menarik bagi kita sebagai Muslim penghuni negeri mayoritas di negeri ini.

Memang sejarah Islam punya banyak masa kegemilangan, termasuk memiliki ulama sang pencerah almukarom Imam Bukhary.

Di Indonesia pun kita mengenal sejumlah nama besar yang menampilkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin seperti yang dicontohkan sang junjunan, Nabi Besar Muhammad SAW. 

Contohnya adalah para wali, yang menyuburkan Islam di Nusantara. Belakangan kita juga mengenal K. H. Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama dan K. H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Keduanya betul-betul mewakili kaum mayoritas Islam Indonesia, dan telah menggerakkan ummatnya di akar rumput sebagai warga negara yang Islami. Para pemimpin dan para ulama pelanjutnya juga menjaga amanah para pendahulunya dengan sebaik-baiknya. Tak sedikit di antaranya yang berhasil jadi umara.

Meskipun ada perbedaan pandangan dalam berbagai hal di antara NU dan Muhammadiyah, seperti yang dapat kita amati hingga sekarang, tapi keduanya tetap saling menghormati dan senantiasa menjaga keutuhan negara kita tercinta. Belum pernah ada perbedaan pandangan yang meruncing dan mengancam keutuhan bangsa. Bahkan, dalam takaran tertentu, di komunitas tertentu, perbedaan tersebut menjadi lahan yang subur untuk menjadi bahan candaan, ... bukan menjadi sarana perpecahan. Termasuk kategori ini misalnya telunjukyang diutek-utek, pakai usholi atau tidak, pakai qunut atau tidak, taraweh dalam berbagai versi banyaknya rakaat, dan lain-lain. Bahkan, cara menentukan hilal dalam penetapan ramadhan, idul fitri, idul adha, ... semuanya berakhir hepi ending, jauh dari pemicu perpecahan.

Kita juga sempat mengalami perbedaan pendapat dalam perjalanan sejarah bangsa karena perbedaan ideologi. Namun semuanya diproses sesuai hukum yang berlaku, ... dan terbukti aturan dan hukum positif yang ada di negeri ini, selama ini, sudah dapat menjaga keutuhan negara hingga 72 tahun sekarang ini.

Karena itu, yang harus disikapi dengan cermat dan teliti sekarang ini adalah kelompok minoritas pendatang baru yang mengatasnamakan mayoritas Islam. 

Seperti gulma yang mengganggu tanaman utama, kelompok minoritas ini dipimpin oleh ulama liar, dengan perilaku non-Islami yang memecah belah persatuan bangsa, menghina Pancasila, menghina lambang negara, menghina agama lain, menyebarkan hoax yang insinuatif provokatif, dan lain-lain. Dan sebagai orang Sunda tentu saja kita juga merasa terhina ketika sapaan silaturahmi "sampurasun" dilecehkannya menjadi "campur racun".



Lebih celaka lagi, setelah beberapa kelakuannya itu memanen tuntutan di pengadilan (termasuk 2 tindak pidana yang sudah berstatus Tersangka), ... ehhh dia malahan kabur. 

Sungguh nyata perbedaan sikap antara ulama liar itu dengan Almukarom Imam Bukhary. Bagaimana manusia macam begituan mau disetarakan dengan almukarom Imam Bukhary? Mungkin ada baiknya kalau hasil renungan Kang Kasep itu dikirimkan juga ke ulama liar itu. Kasihan para pengikutnya yang ternyata dipimpin oleh ulama liar yang tidak Islami.

Karena itu, semoga kita "teu kabawa ku sakaba-kaba", oleh ulama liar dan aliran Islam baru yang sangat minoritas itu, tetapi dalam gerakannya senantiasa mengatasnamakan mayoritas Islam.

Mari kita menghormati para ulama Islam kita sebagai pewaris para nabi, dengan menyianginya dari ulama liar, ulama abal-abal, yang menggunakan simbol-simbol keislaman untuk mengadu-domba; yang dalam  terminologi Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, disebut sebagai ulama palsu.

Mari kita bergandengan tangan dalam wadah organisasi Islam yang sudah terbukti selama puluhan tahun dapat menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Aamiin.

Selasa, 09 Agustus 2016

Masalah Perkebunan: Harga Turun, Muncul PHK

Masalah Perkebunan:
Harga Turun, Muncul PHK

Oleh Tika Noorjaya

MENURUNNYA harga mata dagangan hasil perkebunan tertentu kiranya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelesuan perekonomian dunia sekarang ini, apalagi karena pembudidayaan tanaman perkebunan lebih banyak diorientasikan untuk ekspor. Bahkan mata dagangan perkebunan diharapkan menghasilkan devisa sebagai pengganti pendapatan devisa dari minyak bumi yang harganya semakin tidak menentu.
Sebagai mata dagangan ekspor, gejolak perdagangan dunia secara langsung terkait dengannya. Gejolak yang baik cenderung membawa pengaruh yang baik, tetapi gejolak yang buruk tak pelak lagi membawa pengaruh yang cenderung memburuk pula.
Terakhir, yang banyak dirasakan subsektor perkebunan adalah menurunnya harga mata dagangan tertentu, seperti minyak sawit, teh, karet, dan yang lainnya. Akibatnya terjadi penurunan pendapatan, yang pada gilirannya banyak mengganggu likuiditas perusahaan termasuk tersiarnya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di lingkungan perkebunan negara, serta adanya perkebunan terlantar.

Cadangan Penyangga
Masalahnya, bagaimana para pekebun (termasuk pengelola perkebunan milik negara) pada saat harga-harga mata dagangan kurang menggembirakan, mampu tetap bertahan, bahkan mampu terus melanjutkan investasinya sesuai dengan harapan.
Satu hal lagi, dari pengalaman selama ini, maka pada masa mendatang bukan hal yang mustahil terjadi gejolak harga yang kurang menguntungkan, meskipun mungkin secara rata-rata (dalam jangka panjang) cukup menguntungkan. Hal ini menjadi lebih penting mengingat keberhasilan pembangunan perkebunan rakyat selama kurang lebih dua periode Pelita, yang melibatkan ratusan ribu atau mungkin jutaan petani pesertanya. Tentu, kita tidak mengharapkan para pekebun meninggalkan atau menelantarkan kebunnya lantaran pendapatan mereka dari kebunnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kita juga tidak mengharapkan apabila misalnya para pekebun karet “memperkosa” kulit karet dengan melakukan sadapan berat.
Semua itu tidak kita harapkan, karena kita sadar bahwa hal itu akan berpengaruh dalam jangka panjang, sementara investasinya kita biayai dengan susah payah karena kondisi keuangan yang sulit. Bahkan sebaliknya, investasi itu kita harapkan memberikan hasil yang semaksimal mungkin dalam waktu selama mungkin.
Berdasarkan keyakinan bahwa budidaya tertentu dalam jangka panjang akan cukup menguntungkan, mungkin sudah saatnya dipikirkan adanya sistem sejenis cadangan penyangga, di mana terjadinya gejolak harga tidak terlalu “memukul” pekebun.
Dalam sistem ini, pendapatan minimum para pekebun setiap bulannya diupayakan tidak di bawah kebutuhan hidup keluarganya. Misalnya, pada saat harga turun seperti sekarang, mungkin perlu dilakukan”subsidi” (yang diperhitungkan sebagai tambahan kredit). Sebaliknya, pada saat harga baik, ditempuh upaya yang memungkinkan para pekebun “menabung” di samping mencicil kredit.

PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sekarang seakan-akan menjadi momok yang setiap saat mengincar karyawan, tidak terkecuali karyawan perkebunan.
Meskipun seringkali diungkapkan bahwa perusahaan perkebunan tidak akan melakukan PHK mengingat kegiatannya yang padat karya, berita yang mengaitkan perkebunan dengan PHK sempat muncul juga, bahkan dengan “bumbu” penyedap. Hari ini dikabarkan ada PHK di kebun “anu”, besoknya dibantah pejabat. Hari lain dikabarkan ada PHK di kebun “itu”, besoknya dibantah pejabat yang menyatakan bahwa yang terjadi bukan PHK melainkan “peremajaan” karyawan. Kemudian disusul tanggapan pejabat lain yang meragukan “peremajaan” karyawan tersebut. Semakin ramai, sekaligus membingungkan! Meskipun demikian, terkesan “adanya” PHK, walaupun jumlahnya mungkin sulit diketahui. Seperti dipaparkan di muka, dari penjelasan yang muncul ke permukaan, tak salah lagi hal tersebut antara lain disebabkan menurunnya pendapatan. Atau, kalau memang PHK di lingkungan perusahaan perkebunan baru merupakan gejala, uraian di bawah ini kiranya akan membatalkan atau setidak-tidaknya menangguhkannya.
Penurunan pendapatan telah mengubah keseimbangan perusahaan, di mana untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan pertimbangan yang tidak hanya teknis dan ekonomis, tapi juga sosial dan bahkan politis.
Kedudukan perusahaan perkebunan sebagai penerima harga di pasaran internasional menyebabkan upaya yang ditempuh untuk mencapai keseimbangan baru lebih bersifat ke dalam, yakni dengan melakukan upaya menurunkan harga pokok dengan berbagai peningkatan efisiensi, meskipun barangkali masih ada celah-celah untuk menembus pasar.
Dalam hal ini, kita mengenal tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi teknis, efisiensi ekonomis, dan efisiensi sosial. Sayang, dalam rangka efisiensi, kita seringkali terjebak pada pengertian teknis dan ekonomi saja, sehingga penyelesaiannya pun bersifat teknis dan ekonomis. Tenaga kerja yang biasanya mendapat proritas dikorbankan, melalui PHK atau cara lain. Padahal beberapa pustaka menilai tenaga kerja sebagai aset utama perusahaan, kalau dapat memanfaatkannya secara optimal. Dari sisi ini, mengembangkan sumberdaya manusia kiranya merupakan keharusan.
Kalau memang karena kondisinya sudah sedemikian sulit sehingga rasionalisasi tenaga kerja terpaksa perlu dilakukan, masih dapat diajukan pertanyaan, apakah tidak lebih baik apabila PHK diberi arti lain selain pemutusan hubungan kerja? PHK dapat merupakan kependekan dari pengurangan hari kerja, artinya jumlah tenaga tetap, hanya diadakan pengaturan hari kerja, dengan konsekuensi penurunan pendapatan bagi karyawan harian. Atau barangkali ada benarnya juga saran sumber Kompas di Departemen Pertanian yang mengatakan kalau perlu gaji direksi, staf dan karyawan bulanan dikurangi untuk dikompensasikan kepada karyawan harian (tetap). Dapat juga PHK diartikan sebagai peningkatan hasil kerja, yaitu dengan meningkatkan produktivitas seluruh faktor produksi, termasuk tenaga kerja, dengan implikasi lanjutan perlunya peningkatan pemasaran untuk memperoleh pasar baru, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Mungkin dapat digali dan dilaksanakan akronim lain di luar pemutusan hubungan kerja, dengan memperhatikan aspek teknis, ekonomis, sosial dan politis secara menyeluruh. Dalam hal ini, untuk melakukan perubahan tersebut seyogyanya dilakukan pendekatan yang luwes, sehingga karyawan tidak resah karena dibayangi PHK yang sewaktu-waktu menghempaskannya. Hal ini sekaligus menumbuhkan semangat efisiensi dan kebersamaan yang menciptakan ruang kerja yang nyaman dengan membukanya jendela alasan kemanusiaan.

Perkappen
Dalam perusahaan perkebunan negara, sesungguhnya pembuka jendela alasan kemanusiaan semacam itu telah ada dengan terbentuknya Persatuan Karyawan Perusahaan Perkebunan Negara (Perkappen) yang antara lain bertujuan memperjuangkan perbaikan nasib dan mempertinggi taraf hidup karyawan dan purnakaryawan, dengan peningkatan dan pengembangan perusahaan.
Dalam menanggapi isyu PHK di lingkungan perusahaan perkebunan negara, seyogyanya Perkappen tampil sebagai penyelamat dengan memperjuangkan kepentingan anggotanya. Dalam jangka panjang, Perkappen seyogyanya menyadari pentingnya mengadakan perjanjian kerja bersama dengan berbagai upaya, di mana persyaratan kerja tidak ditentukan secara sepihak (oleh perusahaan saja), melainkan ditentukan bersama. Hal ini akan lebih menjamin terciptanya hubungan kerja yang serasi, selaras, dan seimbang dalam kewajiban, tanggung jawab, dan hak masing-masing pihak.

·          Tika Noorjaya, lulusan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi IPB, Bogor, dan pernah bekerja di sebuah perusahaan perkebunan milik negara.


Artikel ini dimuat HU Kompas, 18 Agustus 1986.


Sabtu, 02 April 2016

Reorientasi PKBL-BUMN






Reorientasi PKBL-BUMN
Oleh Tika Noorjaya

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 3 Juli 2015 menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor PER-09/MBU/07/2015, tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN (PKBL-BUMN). Permen ini merupakan revisi dari peraturan-peraturan sebelumnya. Permen yang terakhir intinya menegaskan kembali bahwa program PKBL dikelola oleh BUMN yang bersangkutan, melalui Unit Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Tanpa upaya khusus untuk melakukan pengelolaannya, kita kuatir kebijakan tersebut akan mengulang masa lalu yang diwarnai dengan tingginya kredit bermasalah atau Non-Performing Loans (NPL).

Menyadari tingginya NPL yang terus berlanjut, pada era Menteri BUMN Dahlan Iskan, telah ada upaya untuk secara bertahap mengalihkan semua pengelolaan dana PKBL-BUMN kepada PT Permodalan Nasional Madani (PT PNM). Namun demikian, rencana pengalihan ini mangkrak sejak pergantian pemerintahan, hingga muncul Permen BUMN yang arah kebijakannya bertolakbelakang.

Adagium “ganti menteri, ganti kebijakan” tampaknya memperoleh pembenaran.

Tulisan ini mencoba menganalisis suatu kebutuhan untuk melakukan reorientasi dalam pengalokasian dana PKBL-BUMN.

Kredit Bermasalah
Tingginya NPL dalam penyaluran dana PKBL-BUMN selama ini bukan rahasia. Seperti dikatakan Dahlan Iskan saat menjadi Menteri BUMN, terdapat kelemahan dalam penyaluran PKBL BUMN, yang tercermin dari tingkat kegagalan pengembalian dana hingga 30% dari total alokasi. Pernyataan itu kiranya perlu mendapat stabilo merah, bahwa untuk sejumlah BUMN angka 30% itu boleh jadi jauh terlampaui. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa penyaluran PKBL-BUMN pada 2007-2013 telah mengurangi hak negara atas kekayaan BUMN minimal Rp9,13 triliun. BPK juga menyimpulan bahwa dana PKBL pada kurun tersebut memiliki risiko penyalahgunaan yang cukup tinggi karena pengelolaan dan pelaporan yang terpisah dari Laporan Keuangan  BUMN.

Penyebab NPL tinggi sesungguhnya sudah dapat diduga sejak semula. Pertama, keterbatasan kapasitas unit pengelola Program Kemitraan, yang umumnya tidak memiliki kemampuan untuk mengelola kredit. Kedua, adanya moral hazzard di pihak pemberi maupun penerima, karena berangkat dari persepsi sebagai program sosial. Ketiga, keragaman jenis usaha para mitra binaan, yang masing-masing memerlukan keahlian khusus. Keempat, kesulitan menjangkau lokasi karena usaha mikro dan usaha kecil yang ingin dibantu terpencar di tempat terpencil.

Gagasan Dahlan Iskan untuk mengalihkan pengelolaan dana PKBL-BUMN ke PT PNM sesungguhnya sejalan dengan keinginan sejumlah pihak di masa lalu untuk menjadikan PT PNM sebagai second-tier bank dalam pengembangan UMKM, seperti yang pernah dilaksanakan oleh Bank Indonesia di masa lalu. Lembaga ini menghimpun dana untuk disalurkan kepada perbankan dan lembaga keuangan bukan bank yang memberikan pembiayaan kepada UMKM, tetapi tidak langsung menyalurkannya kepada UMKM. Seandainya BUMN dikelompokkan menjadi BUMN Perbankan dan BUMN Non-Perbankan, maka dana PKBL-BUMN Non-Perbankan diprioritaskan sebagai sumber modal untuk pendirian second-tier bank dimaksud.

Pilihan ini akan bermanfaat tidak hanya dalam aspek akuntabilitas dana pembinaan yang disalurkan kepada UMKM, tetapi jauh lebih penting bahwa penyaluran dana kepada UMKM dilakukan melalui lembaga yang mempunyai pengalaman, jaringan kantor, sumberdaya manusia, yang lebih baik daripada BUMN.

Reorientasi Baru
Reorientasi pemanfaatan dana PKBL-BUMN mengacu pada optimalisasi pemanfaatan dana dengan melakukan rasionalisasi dalam pengelolaannya.

Program Bina Lingkungan, tetap dilanjutkan oleh BUMN yang bersangkutan. Sebagai bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR), layaklah kalau mereka menentukan pihak mana yang mendapat bantuan alokasi dana Bina Lingkungan, sesuai Pasal 9 butir (3) Permen BUMN. Sebagai hibah, dana ini dipertanggungjawabkan dalam bentuk ketepatan sasaran dan efektivitas penggunaannya.

Untuk Program Kemitraan, sebaiknya mengacu pada makna kemitraan yang ada keterkaitan bisnis dengan usaha BUMN, sehingga antara BUMN dengan mitra binaan memperoleh kemaslahatan bersama yang saling mendukung. BUMN Perkebunan, misalnya, bermitra dengan Koperasi Perkebunan, yang disiapkan untuk terlibat dalam proses produksi sejak hulu hingga hilir. Dengan pola kemitraan semacam itu, maka akan tercapai efisiensi, kontinuitas, penanganan risiko, manfaat sosial, dan ketahanan ekonomi.

Unsur kemitraan diawali dengan sosialisasi gagasan kepada pihak terkait, program pendampingan yang profesional dan kontinu, pembentukan kelompok usaha yang solid, administrasi yang transparan, pengaturan penggunaan dan penyaluran kredit yang baik, pola pengembalian kredit disesuaikan dengan arus kas, serta merintis simpan-pinjam dan mobilisasi tabungan. Pola kerjasamanya dituangkan ke dalam Nota Kesepakatan yang jelas, transparan, dan dalam bentuk tertulis.

Dengan melihat berbagai manfaat program kemitraan, BUMN sebaiknya bermitra dengan lembaga khusus, yang menyiapkan program kemitraan untuk dipromosikan ke BUMN-nya, melakukan pembinaan secara intens untuk meningkatkan kapasitas manajemen dan usaha UMKM (termasuk koperasi), hingga monitoring kreditnya. Selain aspek teknis dan pengembangan masyarakat, peranan lembaga dimaksud adalah melakukan koordinasi dengan para pihak untuk melaksanakan kegiatan dengan target dan batas waktu yang tegas.

Untuk semua peranannya, lembaga tersebut berhak memperoleh imbalan. Biaya-biaya pada tahap awal seyogianya disediakan oleh BUMN, melalui Beban Operasional seperti dimaksud Pasal 13, yang tidak bertentangan dengan Pasal 14 Permen BUMN di atas. Biaya lainnya, dapat dibebankan kepada mitra binaan sebandiing dengan manfaat yang diperolehnya.

Penutup
Melalui upaya ini diharapkan akan memperbaiki kinerja Direksi dan Komisaris BUMN, karena kinerja Program Kemitraan merupakan salah satu Indikator Kinerja Kunci (Pasal 25). 

Kinerja pertama adalah tingkat efektivitas, yakni persentase total penyaluran dana Program Kemitraan dibandingkan dengan dana yang tersedia dalam periode setahun. Untuk mencapai nilai baik, setiap tahun BUMN minimal harus mencapai nilai 90%. Ukuran kinerja kedua adalah kolektabilitas, yaitu persentase rata-rata tertimbang untuk masing-masing kategori piutang dibandingkan dengan total piutang. Suatu BUMN harus mendapatkan persentase minimal 80% untuk mendapatkan nilai baik.

Kedua kinerja tersebut kiranya dapat mengakomodasi harapan untuk bisa melakukan penyaluran dana PKBL-BUMN semaksimal mungkin dengan tingkat pengembalian yang tinggi.

Tika Noorjaya, adalah Sekretaris Jenderal Pusat Pengembangan Usaha Kecil (PPUK) Bakti Persada, tinggal di Bogor.

Artikel ini dimuat oleh Majalah KARSA Vol. 05.03.2016