Senin, 23 Agustus 2021
RUANG KULIAH DI BARANANGSIANG
Wisma Raya Doeloe, Hotel Royal Kini
Wisma Raya, adalah masa lalu Hotel Royal sekarang, yang
terletak di Jl. Ir. H. Juanda nomor 16, Bogor. Dengan berada di pusat kota, dan
dilalui kendaraan umum, maka asrama ini amat strategis, dekat dengan pasar dan pusat
keramaian, juga tak terlalu jauh dari kampus IPB. Selain bemo yang lalu-lalang
dua arah, sampai dengan tahun 1978, Jl. Juanda juga masih dilewati bus menuju
ke Stanplat di Jl. Kapten Muslihat, depan Toko Dezon.
Berbeda dengan perannya sebagai hotel sekarang yang menyediakan 98 kamar, penghuni asrama Wisma Raya cuma dapat menampung sekitar 35 orang. Dengan jumlah penghuni yang sedikit, maka suasana kekeluargaan sangat erat. Banyak mahasiswa IPB yang ingin tinggal di sini karena dekat dengan kantor pos tempat mengambil wesel bulanan dari orang tua. Karena itu, untuk dapat menjadi penghuni asrama ini, mahasiswa harus sabar menunggu hingga ada alumni yang keluar dari asrama ini.
Selain memiliki kelebihannya yang strategis, Wisma Raya
juga memiliki kekurangan, antara lain tidak mempunyai aula atau tempat yang cukup
luas untuk menyelenggarakan suatu acara. Ruang tamu dan ruang rekreasi
sewaktu-waktu bisa menjadi ruang rapat pengurus dan atau rapat penghuni, dan
bisa juga disulap menjadi tempat menyelenggarakan pesta, dilengkapi dengan
pesta dansa. Peristiwa apa pun bisa dijadikan dalih untuk mengadakan pesta.
Ada hal yang patut
diacungi jempol. Penghuni asrama ini setiap tahun memperingati hari Kemerdekaan
Republik Indonesia. Begitu matahari muncul di ufuk Timur, para penghuni telah
berpakaian rapi, siap mengikuti acara pengibaran bendera sang saka merah putih
diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Acara dilanjutkan dengan pembacaan
teks Proklamasi, sambutan ketua Asrama, pembacaan do’a dan lain-lainnya. Setelah
upacara selesai sebagian penghuni duduk-duduk santai di halaman, dinaungi oleh
tiga pohon cemara, menyanyikan lagu-lagu perjuangan diiringi petikan gitar
salah seorang penghuni.
Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion
Sejak tiga tahun yang lalu, di Bogor ada jalan baru, namanya Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion. Doeloe, jalan ini dikenal sebagai Jl. Rumah Sakit II (RS II), yang letaknya pas di sebelah kampus Baranangsiang IPB, yang memanjang hingga ke Jl. Malabar bagian belakang. Itulah route jalan yang dilewati oleh bemo dari Pasar Bogor ke Jl. Gunung Gede atau Jl. Pajajaran.
Proses pemberian nama jalan tersebut melalui perjalanan
panjang. Di antara tiga orang pengusul, salah satunya adalah Asep Saefuddin, mahasiswa
IPB Angkatan 13 ASTAGA, yang kini Guru Besar IPB dan Rektor Universitas Al-Azhar
Indonesia.
Jalan ini diresmikan 3 Juni 2017, bertepatan dengan ulang
tahun kota Bogor yang ke-535. Acara dimeriahkan dengan drum band Sekolah Tinggi Teknik Pertanian (d/h Sekolah Pertanian
Menengah Atas), di mana Pak Andi pernah sekolah. Ada juga paduan suara Sekolah
Kesatuan, di mana Pak AHN pernah menjadi ketua yayasannya. Ada paduan suara
Agriaswara IPB yang telah mendunia, dan ada pula penyanyi seriosa dan keroncong
IPB yang menggetarkan hati penonton dengan lagu-lagu yang dibawakannya. Puisi
juga dipersembahkan kepada Pak AHN oleh anak-anak Sekolah Kesatuan.
Meskipun kegiatan administratif dan perkuliahan IPB
sebagian besar dipusatkan di Kampus Darmaga, namun Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim masih
tetap ramai, karena masih ada sejumlah lembaga yang berkantor di Kampus
Baranangsiang. Ada juga Cafe Taman Koleksi, yang seringkali menjadi ajang nostalgia
dan pertemuan para alumni. Bahkan, masyarakat pun biasa memanfaatkan Cafe Taman
Koleksi untuk berbagai keperluan.
Di bagian kanan jalan, yang dulu merupakan perumahan
dosen dan tempat kost para mahasiswa,
kini telah beralih fungsi menjadi tempat kuliner. Misalnya, persis di sebrang
gerbang masuk, ada The Third Wave Coffee Company. Selain nyaman, cafe ini juga
menyediakan mushola.
Dengan keberadaan jalan ini, semoga menjadi pengingat kenangan
atas jasa dan pelajaran dari Pak Andi. Aamiin.
Jumat, 29 Desember 2017
Roda Pedati
______
Tanpa kesadaran untuk rekonsiliasi, boleh jadi ke depan negeri ini akan terus berisik. Haters kiri maupun haters kanan saling berbalas dan menghinakan. Keduanya nggak move-on move- on.
Kamis, 28 Desember 2017
Bambu yang Merunduk
Pemecah Belah Bangsa
Oleh Tika Noorjaya
Kelakuan para pemecah belah bangsa itu memang payah. Mereka menggembor-gemborkan bahwa Islam sekarang dipinggirkan, ... pokoknya seburuk-buruknya perlakuan. Padahal, Islam Mayoritas di Indonesia baik-baik saja, bahkan terjadi kemajuan dibanding puluhan tahun yang lalu secara kualitas maupun kuantitas, seperti pernah saya tulis dengan judul “Islam Mayoritas, Islam Minoritas”.
Dalam usia yang menjelang senja ini, kita menyaksikan bahwa dibanding masa lalu, Islam sekarang sudah amat jauh berkembang, termasuk perubahan model pendidikan pesantren yang sudah jauh meninggalkan ciri-ciri tradisionalitas.
Demikian pula fasilitas fisik keagamaan Islam seperti mushala, masjid, pesantren, dll, yang semakin banyak, besar, dan megah. Kemajuan dalam bidang fisik ini saya saksikan sendiri di hampir seluruh pelosok negeri, seluruh Nusantara, termasuk di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Non-Muslim.
Pengajian marak di mana-mana, acara radio, acara TV, WA dibanjiri tausiyah, bahkan demo-demo diakomodasi yang hingga berjilid-jilid itu. Apakah dulu seperti itu? Sebagai pembanding, coba tanya bagaimana derita simpatisan PPP sebagai satu-satunya Partai Islam pada Pemilu 1977, karena diberangus dari 4 partai Islam pada Pemilu 1971. Saya punya saudara dan teman di kampung, yang menjadi saksi hidup atas sikap represif Rezim Orde Baru terhadap Islam waktu itu, karena di kampung saya PPP memperoleh dukungan lumayan besar. Kalau kita buka buku-buku sejarah, maka sikap represif Pemerintah di tahun 1977 itu hanyalah contoh kecil saja.
Dulu, "Assalamualaikum" hanya merupakan pembuka pidato, dan amat sangat terbatas yang berani mengucapkannya dalam perbincangan sehari-hari.
Dulu, kaum wanita hanya kenal kerudung atau pasmina, sedangkan jilbab merupakan barang langka. (Karena itu, tak usaha heran kalau kebanyakan kaum wanita kita di masa lalu tidak memaki jilbab, seperti halnya Ibu Kartini atau Cut Nya Din; -- suatu isu yang pernah muncul seakan Pemerintah tidak pro-Islam dalam penerbitan uang rupiah emisi baru. Tanpa pemahaman sejarah sama sekali, isyu itu mereka umbar begitu hingar-bingar ... sungguh memalukan).
Kemudahan transportasi juga telah memungkinkan jumlah haji dan umrah yang terus meningkat setiap tahun. Dulu ? Haji bisa dihitung dengan jari, bahkan Umroh rasanya kurang dikenal. Hal ini tentu saja merupakan petunjuk juga bahwa banyak umat Islam yang penghidupannya lebih baik, sehingga mereka dapat pergi ke tanah suci, baik untuk berhaji maupun umrah.
Nikmat mana lagi yang tengah diingkari di negara dan era ini? Dari sudut mana Islam dipinggirkan? Yang sebenarnya terjadi, yang merasa dipinggirkan adalah kaum Islam Minoritas yang baru muncul beberapa tahun belakangan, termasuk Ormas semacam HTI yang secara resmi telah dibubarkan karena tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Mereka ini dipimpin oleh segelintir ulama yang memecah belah, bahasanya kasar dan mengghasut, mengkofar-kafirkan orang, memprovokasi, dan secara umum tidak menunjukkan sikap Islami yang rahmatan lil’alamin. Kalau menurut Jenderal Gatot Nurmantyo, mereka adalah “Ulama Palsu.” (Lihat tulisan saya berjudul “Menyiangi Rumput Liar, Menyiangi Ulama Liar”).
Berdasarkan pengalaman di kampung dulu dan dalam pemahaman saya selama ini, ... ulama, ustadz, atau kyai yang kami (saya) teladani senantiasa memberikan kenyamanan dan keteduhan dalam berucap dan berperilaku, suaranya lembut (nyaris tak terdengar seperti iklan Isuzu dulu), tidak menghina dan tidak menghujat ke sana-sini. Kata guru saya (alm) akhlak seseorang itu dapat dilihat dari cara berucap dan bertingkah laku, ... yang sama sekali tak nampak dari perilaku para ulama dimaksud.
___
Mengenai Abdul Somad, jujur saya menyukai ceramahnya dari beberapa video yang pernah saya lihat dan simak. Tampilannya sederhana, tapi isinya bernas, meyakinkan. (Sejauh ini saya tidak merasa punya kapasitas untuk memeriksa apakah hadis-hadis yang disampaikannya sahih atau tidak, karena konon setiap mazhab akan memilih dan memilah hadis-hadis yang cocok dengan pendiriannya). Ditambah dengan humornya yang pas, ceramahnya terasa enak, gayeng.
Meskipun demikian, sebagai anak muda, Somad masih harus banyak belajar rendah hati. Penghinaan fisik terhadap Rina Nose (yang katanya pesek dan buruk rupa) tak layak dibela dengan cara apa pun; demikian pula tentang pengkafiran terhadap Ucapan “Hari Ibu” dan “Hari Natal” yang ngawur itu.
Kenapa? Membandingkan ucapan “Selamat Hari Natal” dengan “Kalimat Syahadat”, sehingga dicap merusak aqidah, adalah logika yang belepotan karena tidak “apple to apple”, suatu standar etika dalam dunia akademis.
Pantasnya, ucapan “Selamat Hari Natal” itu dibandingkan dengan “Selamat Idul Fitri”, “Selamat Idul Adha” atau “Selamat Maulid”. Saya tak keberatan kalau dia bersama Felix Siauw berpendapat bahwa haram mengucapkan “Hari Natal”, tapi tak perlu didramatisir sebagai de-Islamisasi, apalagi dengan mengatasnamakan Islam.
“Natal” secara harfiah berarti “lahir” atau kelahiran. Tentang kelahiran Nabi Isa cukup banyak ayat AlQuran yang memberitakannya, misalnya ada di Surat Maryam ayat 16-40. Bukan hanya itu, Nabi Isa tak sekadar nabi, beliau juga Rosul seperti halnya Kangjeng Nabi Muhammad SAW. Jadi, mengakui hari kelahirannya adalah sesuai dengan Rukun Iman kita.
Tentang kelahiran yang dibilang bukan 25 Desember, jangankan kelahiran Nabi Isa yang sudah melewati masa ribuan tahun, sedangkan hari kelahiran saya pada akhir 1950an saja amat tak jelas. Orang tua saya yang terbiasa dengan kalender Qomariah menyebutkan bahwa saya lahir 5 Syafar ... Belakangan, setelah saya konversi ke kalender Syamsiah (Masehi) ternyata harinya nggak cocok, apalagi tanggalnya, ha ha ha. Saya yakin, di masa lalu sebagian besar umat Islam menggunakan kalender Qomariah dalam kehiduan sehari-harinya, bukan kalender Masehi seperti sekarang. Saya juga yakin, di masa lalu hanya sebagian kecil saja masyarakat yang sadar perlunya Akte Kelahiran. Meskipun begitu, ketika di rapor dan ijazah tertulis 19 November, maka saya fine-fine saja ketika teman-teman memberikan ucapan selamat ulang tahun pada tanggal 19 November itu.
OK, meskipun tak logis, anggaplah apa yang di-igaukan Somad dan Siauw itu betul, tapi ... kita ‘pan membaca kalimat syahadat dalam setiap solat kita, berarti pada saat itu kita memperbaiki lagi aqidah kita. So what gitu lho. Ha ha ha.
___
Mengenai Felix Siauw, saya tak ingin komentar banyak, karena sudah jelas dia pendukung HTI, ormas yang sudah jelas-jelas dilarang sebagaimana halnya PKI. Dia berkhayal bahwa penguasa takut akan kebangkitan Islam. Ini konspirasi basi, seperti Aming Bos CAI dalam Sinetron “Dunia Terbalik”, he he he. Kalau pemerintah takut Islam, kenapa Kementerian Agama mendapat porsi besar dalam APBN? Kenapa NU dan Muhammadiyah semakin membesar dari hari ke hari? Kenapa sampai di pelosok desa selalu ada masjid, musholla dan pesantren dibangun?
Jadi, yang sesungguhnya diberantas oleh negara adalah radikalisme dan anti Pancasila, para "pemberontak" ideologi bangsa dan negara. Mereka para kaum Islam Minoritas, tetapi senantiasa mengatasnamakan Islam Mayoritas.
Sabtu, 24 Juni 2017
ULAMA dan GULMA
Gaya berceritanya berupa perbincangan antara ayah dan anak. Di akhir kisah, sang ayah berpesan begini: "Oleh karena itu kalau ada seorang ulama sedang dilanda fitnah, Kakak jangan sampai ikut-ikutan menyebarkannya. Karena Allah pasti marah".
Entah apa maksud Kang Kasep mengirimi saya nasihat seperti kepada anak kecil itu. Tapi saya tak peduli soal itu.
Hal yang menjadi perhatian saya adalah sikapnya yang menyamakan ulama besar sekelas Imam Bukhary dengan ulama liar yang dimaksudkannya dalam kisah itu.
Cara berpikir seperti itu jelas memutarbalikkan fakta. Bagaimana bisa fakta-fakta yang bejibun dan kasat mata dimanipulasi sebagai fitnah. Karena itu, saya membalas WA tersebut. Begini:
Hatur nuhun Kang Kasep. Renungan yang sungguh menarik bagi kita sebagai Muslim penghuni negeri mayoritas di negeri ini.
Memang sejarah Islam punya banyak masa kegemilangan, termasuk memiliki ulama sang pencerah almukarom Imam Bukhary.
Di Indonesia pun kita mengenal sejumlah nama besar yang menampilkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin seperti yang dicontohkan sang junjunan, Nabi Besar Muhammad SAW.
Contohnya adalah para wali, yang menyuburkan Islam di Nusantara. Belakangan kita juga mengenal K. H. Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama dan K. H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Keduanya betul-betul mewakili kaum mayoritas Islam Indonesia, dan telah menggerakkan ummatnya di akar rumput sebagai warga negara yang Islami. Para pemimpin dan para ulama pelanjutnya juga menjaga amanah para pendahulunya dengan sebaik-baiknya. Tak sedikit di antaranya yang berhasil jadi umara.
Meskipun ada perbedaan pandangan dalam berbagai hal di antara NU dan Muhammadiyah, seperti yang dapat kita amati hingga sekarang, tapi keduanya tetap saling menghormati dan senantiasa menjaga keutuhan negara kita tercinta. Belum pernah ada perbedaan pandangan yang meruncing dan mengancam keutuhan bangsa. Bahkan, dalam takaran tertentu, di komunitas tertentu, perbedaan tersebut menjadi lahan yang subur untuk menjadi bahan candaan, ... bukan menjadi sarana perpecahan. Termasuk kategori ini misalnya telunjukyang diutek-utek, pakai usholi atau tidak, pakai qunut atau tidak, taraweh dalam berbagai versi banyaknya rakaat, dan lain-lain. Bahkan, cara menentukan hilal dalam penetapan ramadhan, idul fitri, idul adha, ... semuanya berakhir hepi ending, jauh dari pemicu perpecahan.
Kita juga sempat mengalami perbedaan pendapat dalam perjalanan sejarah bangsa karena perbedaan ideologi. Namun semuanya diproses sesuai hukum yang berlaku, ... dan terbukti aturan dan hukum positif yang ada di negeri ini, selama ini, sudah dapat menjaga keutuhan negara hingga 72 tahun sekarang ini.
Karena itu, yang harus disikapi dengan cermat dan teliti sekarang ini adalah kelompok minoritas pendatang baru yang mengatasnamakan mayoritas Islam.
Lebih celaka lagi, setelah beberapa kelakuannya itu memanen tuntutan di pengadilan (termasuk 2 tindak pidana yang sudah berstatus Tersangka), ... ehhh dia malahan kabur.
Sungguh nyata perbedaan sikap antara ulama liar itu dengan Almukarom Imam Bukhary. Bagaimana manusia macam begituan mau disetarakan dengan almukarom Imam Bukhary? Mungkin ada baiknya kalau hasil renungan Kang Kasep itu dikirimkan juga ke ulama liar itu. Kasihan para pengikutnya yang ternyata dipimpin oleh ulama liar yang tidak Islami.
Karena itu, semoga kita "teu kabawa ku sakaba-kaba", oleh ulama liar dan aliran Islam baru yang sangat minoritas itu, tetapi dalam gerakannya senantiasa mengatasnamakan mayoritas Islam.
Mari kita menghormati para ulama Islam kita sebagai pewaris para nabi, dengan menyianginya dari ulama liar, ulama abal-abal, yang menggunakan simbol-simbol keislaman untuk mengadu-domba; yang dalam terminologi Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, disebut sebagai ulama palsu.
Mari kita bergandengan tangan dalam wadah organisasi Islam yang sudah terbukti selama puluhan tahun dapat menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Aamiin.