Tampilkan postingan dengan label Pengantar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengantar. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 September 2011

Menanti Kemakmuran Negeri



Menanti Kemakmuran Negeri:
kumpulan esai tentang pembangunan sosial ekonomi Indonesia
Penulis: Burhanuddin Abdullah
Penyunting: Tika Noorjaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2006
ISBN: 9792222790, 9789792222791
Tebal: 372 halaman



MOZAIK PUITIS DALAM LARIK BIROKRATIS
Pengantar oleh Tika Noorjaya
Hasrat untuk membukukan tulisan Burhanudddin Abdullah (BA) sebenarnya telah tumbuh dan mekar sejak sepuluh tahun lalu. Namun, upaya ini kadang redup dan menguncup, karena keterbatasan ruang dan waktu. ”Kendala” juga muncul dari BA, yang merasa bahwa tulisan-tulisan lamanya – kalau mau dibukukan – perlu diberi interpretasi lain berdasarkan kondisi kekinian. Bukan sekadar membundel dan membukukan, katanya. Tentu saja, BA ingin seperti kebanyakan ilmuwan idolanya, yang membuat buku dengan tema yang fokus, sistematis, kaya rujukan, dan sebagainya. Anehnya, yang kini menjadi obsesinya justru menulis sebuah novel!
Medio tahun lalu, hasrat yang kuncup merekah lagi. BA menyetujui argumen saya, bahwa dengan tampilan yang apa adanya – kumpulan tulisan itu – justru akan menunjukkan orisinalitas pemikiran pada masanya. Pemikiran yang berkembang kemudian, justru terbangun dari dasar-dasar pemikiran lama, yang mendapat pengayaan (enriching) dan pengayakan (filtering) dalam perjalanan waktu dan kearifan penafsiran.
...
Lalu kami berupaya: Dokumentasi pribadi ditelusuri. Perpustakaan BI dikunjungi. Teman-teman dihubungi. Tak lain, untuk memperoleh kelengkapan tulisan, sekalipun hingga batas waktu yang ditetapkan, masih ada sejumlah artikel yang tak ketahuan rimbanya. Apa boleh buat. Pada gilirannya, terkumpul 84 tulisan. Sambil menunggu proses penyuntingan, terdapat tambahan 6 artikel, sehingga genap 90 tulisan, dan dikelompokkan menjadi 8 Bagian.
Tulisan yang terkumpul merentang hampir dalam kurun 20 tahun, yakni medio 1985 (awal-mula BA menulis di media-massa) hingga medio 2005. Sumber tulisan tak lain dipetik dari media tempat BA menyemai, menanam, dan menebarkan gagasannya di Kompas, Sinar Harapan, Neraca dan Suara Karya, serta majalah interen Bank Indonesia, terutama Gema Korps. Sebagian lainnya, merupakan karya BA setelah pensiun sebagai Menko Perekonomian hingga beberapa waktu setelah menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Namun, pemilihan dan pemilahan tulisan menjadi bab-per-bab, ternyata sangat menyita waktu, dan setiap kali diskusi, selalu menawarkan komposisi alternatif – sampai akhirnya, menjelang penerbitan, disepakati untuk hanya memilih 42 tulisan yang secara substantif dapat dikelompokkan menjadi 3 Bagian, seperti yang dapat anda nikmati saat ini. Teknis penerbitan, pada gilirannya, juga menjadi pertimbangan. Sisanya, 48 tulisan, yang merupakan catatan BA tentang perjalanan karier serta perenungannya tentang kekaryaan dan makna hidup, termasuk puisi, agaknya harus menunggu giliran penerbitan pada kesempatan yang lain.
Dengan beragamnya pemikiran, tak ayal beberapa gagasan kadang diulang dalam berbagai kesempatan, padahal sejak awal, kumpulan tulisan ini ingin menghindar dari duplikasi semacam itu. Agar tak terlalu mengganggu, maka beberapa bagian dari suatu artikel terpaksa ”disunat” untuk kemudian ”ditampung” dalam artikel lain yang ”senafas”, sedangkan beberapa lainnya hanya mungkin diringkaskan, untuk tetap menjaga relevansi dengan ide dasarnya. (Kalaupun masih ditemukan pengulangan, itulah aroma khas dari bunga rampai semacam ini!).
Menanti Kemakmuran Negeri. Kumpulan Perenungan Sosial Ekonomi Indonesia adalah judul buku yang akhirnya dipilih dari sejumlah alternatif, sebagai manifestasi dari keragaman pemikiran BA yang tersiar pada berbagai kesempatan; pada rentang waktu yang panjang; pada suasana dan nuansa yang berbeda – namun, tetap bertumpu pada perspektif BA. Tentunya, pembaca bisa menikmatinya dari perspektif lain. Bisa juga memulai dari Bagian atau tulisan mana pun; karena seperti sebuah aporisma: Air di cawan dapat direguk dari sisi mana pun; mungkin dengan citarasa yang berbeda, tergantung dari suasana saat menikmatinya.
...
Terkait dengan ”sejarah” penerbitan ini, Pak Agus Gunawan telah berkontribusi dalam meyakinkan BA tentang perlunya menerbitkan kumpulan tulisan ini, bahkan Pak Agus-lah yang mengawal saya dengan mengirim email, SMS, dan menelepon, sehingga memacu saya untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Karena itu, sepantasnya kalau ucapan terima kasih disampaikan kepadanya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan Staf Gubernur Bank Indonesia – Pak Juda, Pak Dicky, Pak Iwan, Ibu Elsya, dan Ibu Mieke – yang membantu menelusuri dan menemukan berbagai tulisan, serta memberi masukan dalam beberapa diskusi. Tak lupa, terima kasih untuk kedua buah hati saya – Anggia dan Dinda – serta sekretaris saya – Mia dan Vera – yang telah membantu pengetikan, terutama pada tahap awal.
Memakmurkan Zamrud Khatulistiwa
Hasil dari kerja banyak orang itu, kalau dituang selayang pandang, beginilah jadinya.
Bagian 1 (Membangun Ekonomi, Memakmurkan Negeri) secara keseluruhan memaparkan 15 tulisan. Sebagian besar tulisan mempertanyakan arah pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, dengan tawaran solusi berjangka panjang, yang saat ini pun  masih relevan, dan sekali-kali saran fragmatis sesuai masanya. Beberapa di antaranya, bahkan cenderung menggugat kemapanan, misalnya ketika BA mempertanyakan relevansi ”tinggal landas” Rostow  – yang kala itu dilontar oleh para pakar, cendikia, dan politisi. Imbauannya, dengan bekerja, dan bekerja keraslah, seharusnya kita berperanserta dalam memakmurkan zamrud khatulistiwa. Tak ada kata ganti untuk ”kerja keras”, katanya.
Bagian 2 (Zamrud Khatulistiwa dan Berbagai Persoalannya) berisi 17 tulisan, yang secara umum merupakan hasil kontemplasi BA tentang kemiskinan, pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), koperasi, pertanian, utang luar negeri, lokalitas, dan globalisasi. Dalam hal ini, BA sangat mendambakan terwujudnya perekonomian Indonesia yang berbasis pada ekonomi kerakyatan yang mendukung kehidupan para petani dan penguatan sektor UMKM. Inilah akar dari perekonomian kita yang memiliki tradisi panjang, yang diwariskan oleh para pendiri bangsa ini. Tanpa berpretensi membela ataupun melebih-lebihkan, menurut BA, petani merupakan pihak yang telah bekerja lebih untuk bangsa dan negara kita. Pada saat bersamaan, sektor UMKM memiliki resiliensi yang tinggi terhadap guncangan krisis yang mahadahsyat bahkan menjadi generator penyelamat ekonomi nasional.
Sebuah pemikiran yang menarik tentang dunia perbankan dikemukan BA ketika membuat analisis, bahwa perbankan merupakan penyebab krisis. Hal ini bukan kesalahan masyarakat, tetapi salah asuh, salah asuhan, dan salah urus bank sendiri. Karena itu, pembenahan perbankan akan merupakan obat bagi krisis perekonomian Indonesia. Keinginan untuk memiliki industri perbankan yang kredibel, tahan gejolak dan lebih efisien, kiranya perlu dipetakan dalam suatu landscape perbankan, di mana perlu kualifikasi perbankan berdasarkan wilayah usaha, yakni internasional, nasional, regional, dan lokal, dengan karakteristik, kriteria, dan pengaturan yang dibeda-bedakan. Pemikiran inilah kiranya yang belakangan dikonkretkan dalam Enam Pilar  Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Adapun Bagian 3 (Menata Kinerja, Membangun Citra) menyajikan 10 tulisan tentang Bank Indonesia, yang merentang dari gagasan mendasar hingga sedikit teknis. Tak lupa, menyertakan dua tulisan bergaya cerita pendek, serta refleksi di hari jadi BI. Mengawali pidatonya di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat, saat fit and profer, 12 Mei 2003, BA menyatakan bahwa seluruh jajaran di Bank Indonesia, serta BI sebagai lembaga, tidak lain adalah aparat dan lembaga yang seluruh tenaga dan perhatiannya harus diabdikan pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Sikap dasar ini sangat penting untuk dipahami dan diinternalisasikan oleh seluruh jajaran BI karena dengan sikap itulah BI akan dengan sekuat tenaga dan segala upaya memberikan produk yang terbaik bagi masyarakat; mencoba memahami masyarakat dengan segala kebutuhannya dan bukan sebaliknya, yaitu BI yang ingin dipahami oleh masyarakat. “Saya dan mungkin kita semua, ingin melihat Bank Indonesia ke depan menjadi lembaga yang memberikan ketenangan dan menebarkan ketenteraman bagi semua. Saya ingin dan saya akan berusaha agar BI menjadi sebuah lembaga yang apabila orang mendengarkan ucapan para pejabatnya dan melihat langkah serta mengikuti saran kebijakannya menjadi tenanglah hatinya”, katanya.
Mozaik Puitis dalam Larik-larik Birokratis
Burhanuddin Abdullah bagaikan mozaik puitis dalam larik-larik birokratis. Sebagai birokrat, BA adalah pekerja keras, disiplin dan optimistis menatap masa depan untuk menggapai mimpi-mimpi di langit lazuardi, dengan kaki yang membumi. Namun, BA acapkali cukup puitis dalam  menuangkan ide-idenya. Simak saja masterpiece-nya, ”Menata Kinerja, Membangun Citra” yang dipaparkannya saat fit and profer, 12 Mei 2003. Saya, pendengarnya, kagum karena ketajaman analisis, sentuhan filosofis dan ungkapan puitisnya, yang ditutur dengan lentur. Apalagi, saat berargumen dalam tanya-jawab yang penuh percaya-diri, menggoda, diselingi canda. Dunia moneter yang di masa lalu terkesan misterius, mithis, keras, ... mencair sudah.
BA senantiasa berjiwa demokratis, dan memiliki leadership yang visioner serta berpihak pada rakyat banyak, termasuk dukungan tak-kenal-henti bagi pengembangan UMKM dan petani. Selain itu, komunitas internasional adalah bagian dari hidupnya, termasuk ketika ia bertugas di IMF. Pemilihannya sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia untuk kedua kalinya, merupakan pengakuan akan profesionalismenya; seperti halnya penganugrahan Doktor Honoris Causa di bidang ekonomi dari Universitas Diponegoro belum lama ini.
Sikapnya yang terbuka dan menghargai orang lain, menjadi mozaik di antara kawan seprofesi, birokrasi dan politisi. Karena mudah diterima oleh banyak pihak, ia mampu mendorong proses reformasi dan re-engineering BI dengan tingkat resistensi minimal. Tak heran kalau kemudian ia terpilih menjadi Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia. Jabatan lain yang disandangnya – dulu maupun kini, di lingkungan BI maupun di luarnya – seakan mengabsahkan BA sebagai figur yang diterima di berbagai kalangan.
***
Sebagai pekerja keras, profesional, serta diterima dalam kalangan luas, berpilin dengan pendalaman filosofis dan keindahan citarasa bahasa dalam percik-percik pemikirannya, tak ayal menempatkan Burhanuddin Abdullah sebagai mozaik puitis dalam larik-larik birokratis.

Bogor,  Juni 2006

Mengadili Dewan Gubernur Bank Indonesia


Mengadili Dewan Gubernur Bank Indonesia:
catatan akhir perjalanan karir

Penulis: Burhanuddin Abdullah
Penyunting: Tika Noorjaya
Penerbit: Pustaka Jaya, 2009
ISBN: 9794193593, 9789794193594
Tebal: 419 halaman



MERAJUT BENANG KUSUT

Pengantar Tika Noorjaya (Penyunting)


Hari itu saya tengah merampungkan naskah “buku putih” Membongkar Mitos Aliran Dana BI.1 Namun, sebuah warta membuat saya terpana. Ya, Kamis, 10 April 2008 sore itu saya mendapat berita duka bahwa Gubernur Bank Indonesia (GBI), Burhanuddin Abdullah (BA), memulai kehidupan barunya di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Mabes POLRI terkait kasus “Alir­an Dana BI”. Padahal penulisan “buku putih” itu tak lain dimaksudkan untuk mengurai benang kusut sekaligus membongkar mitos “Aliran Dana BI”, sehingga pembaca diharapkan paham apa yang sebenarnya terjadi. Dengan penahanan BA, agaknya benang yang kusut semakin kusut.

Namun, kini di hadapan pembaca hadir buku yang akan mengurai, lalu merajut kembali benang-benang kusut tersebut. Pemintalnya tak lain adalah BA yang sejak 28 Januari 2008 dituduh sebagai tersangka tindak pidana korupsi “Aliran Dana BI” sebesar Rp 100 miliar rupiah, lalu menjalani status tahanan 77 hari kemudian. Ya, BA yang sejak awal penetapannya sebagai Tersangka ingin turut mengurai benang kusut “Aliran Dana BI”,2 nyatanya terbelit oleh kekusutan kasus itu sendiri. Demikianlah, pada 29 Oktober 2008, dengan diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari salah seorang anggota Majelis Hakim (yakni: Murdiyono), akhirnya BA divonis hukuman 5 (lima) tahun penjara, denda Rp 250 juta, serta diharuskan membayar uang perkara Rp 10.000,00; putusan yang dengan serta-merta ditampik BA dan mengajukan banding ke tataran pengadil­an yang lebih tinggi.

*
Saya merasakan kegundahan dan kegalauan BA atas keputusan Majelis Hakim tersebut, meski tak lama berselang setelah penetapan vonis itu, BA berkali-kali menyelimutinya dengan melepas canda di hadapan hampir 50 orang kerabat, sahabat, dan orang-orang dekatnya yang menyesaki ruang tunggu ber­ukuran tak lebih dari 20 meter persegi di Gedung Tipikor itu.3

Namun, saya juga menengarai kebangkitan BA tatkala beberapa hari kemudian BA merencanakan untuk merajut benang kusut tersebut melalui penerbitan buku ini. Agaknya, meski raganya terpenjara, jiwanya tetap berkelana, ke mana-mana. Hasil pemikirannya yang meloncat dari satu ide ke gagasan lain dalam selang waktu yang tak begitu panjang, menggambarkan kembali semangat kerja kerasnya. Saya mencoba mengimbanginya, meski agak kepayahan karena keterbatasan masa dan ruang. Betapa tidak. Belum lagi naskah buku ini selesai, BA bersemangat untuk melanjutkan penjelajahannya dalam dunia penulisan dengan rencana penerbitan tiga buku lainnya: Demi Stabilitas. Biografi Sebuah Jabatan, metamorfosa dari Laporan Pertanggungjawaban BA sebagai Gubernur BI, 2003-2008 yang sudah lama disiapkan namun belum dirampungkannya; Recollection of Thoughts yang merupakan kumpulan percikan renungannya berupa artikel atau opininya tentang berbagai masalah kehidupan; serta (semacam) otobiografi. Saya jadi terbayang—meski mungkin tera­sa berle­bihan—sang maestro Pramoedya Ananta Toer, dengan tetralogi novel Pulau Buru-nya yang amat menawan itu. Saya juga terba­yang Soekarno, Putra Sang Fajar, lewat Indonesia Menggugat serta tulisan lainnya yang mengalir dari tahanan.

Saya menyambut gembira gagasan itu, dan memang sudah lama dinantikan, karena—dengan demikian—naskah-naskah yang selama ini sudah terkumpul, yakni: catatan harian BA, draft perjalanan hidup dan catatan karirnya di Bank Indonesia, sekumpulan artikel yang belum dibukukan, sekumpulan puisi, transkripsi rekaman “Suara dari Penjara”, serta kliping media massa tentang BA, tampaknya akan cukup kontributif untuk merea­lisasikan obsesinya.

Melalui upayanya untuk merealisasikan penerbitan buku lanjutan setelah buku ini, saya merasa bahwa BA sedang berusaha untuk melengkapi dua bukunya yang terdahulu, yang kebe­tulan melibatkan saya dalam penyuntingannya.4 Kalau buku ini ingin mengurai lalu merajut benang kusut terbatas di seputar “Aliran Dana BI”, maka Biografi Sebuah Jabatan agaknya berpeluang untuk merajut benang kusut dalam format, latar dan tatar yang lebih besar, bukan semata-mata tentang Bank Indonesia.

Tentang buku ini sendiri, saya sempat bertanya-tanya; apakah penulisan buku dengan judul seperti ini tidak akan mengesankan pembelaan buta, karena ditulis oleh sang penderita. Sebuah gugatan atas ketidakadilan individual yang dirasakannya? Bisa “ya”, bisa juga “tidak”. Meski latar buku ini sebagian besar mengurai hal-ihwal pengadilan BA, ujungnya adalah mengambil hikmah bagi pembelajaran ke masa depan, bukan saja bagi BA melainkan bagi BI maupun penataan pranata negara. Dalam elaborasi lanjutan, nampaklah bahwa buku ini merupakan penjelajahan ke segala jurusan, bukan semata soal kekecewaan atau “pemberontakan” karena berada di tahanan. Banyak perenungan awal yang agaknya bisa terus digali untuk diperdalam. Dan, ke “pendalaman” itulah agaknya BA akan bertualang di hari-hari mendatang.

Tika Noorjaya
Bogor, April 2009



CATATAN KAKI
 

[1] Atas pertimbangan dan bantuan beberapa sahabat, “buku putih” itu diterbitkan atas nama Te-En (inisial saya) dengan judul Mencari Keadilan: Membongkar Mitos Aliran Dana BI. Buku ini diedarkan secara terbatas dan tidak diperjualbelikan, karena lebih merupakan materi pendukung dalam berbagai pembahasan terkait dengan kasus “Aliran Dana BI”.

[2] Lihat pernyataan BA setelah penetapannya sebagai Tersangka kasus “Aliran Dana BI”, yang dimuat dan diberitakan hampir oleh seluruh media pada 29 Januari 2008 – yang juga disajikan lengkap dalam salah satu bagian buku ini.

[3] Saat itu, BA antara lain bercanda tentang perilaku di “Negeri Bambu”, yang didengarnya dari sesama tahanan di Bareskrim menjelang keberangkatannya ke Pengadilan Tipikor hari itu. Konon, di “Negeri Bambu”, yang pertama-tama ditebang adalah bambu yang lurus-lurus. Selain itu BA juga mengomentari istilah “sepatutnya” dan “seharusnya” yang melatari penetapan vonis pengadilannya, karena menurutnya, “sepatutnya” dan “seharusnya” Majelis Hakim membebaskannya.
Cerita itulah yang saya sampaikan kepada seorang wartawan di luar ruangan, yang bertanya kenapa BA seperti tak terguncang oleh putusan yang berat itu.
Sejumlah teman BA yang sangat prihatin atas musibah ini, juga merasa lega tatkala menyaksikan bagaimana dalam waktu yang tak begitu lama BA mampu kembali ke karakternya yang ceria dan memproduksi canda yang menertawakan dirinya sendiri ataupun perhatiannya yang tetap terpelihara dalam mengamati perkembangan perekonomian negeri.

[4] Buku pertama adalah Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Pustaka LP3ES Indonesia, Januari 2006) yang merupakan kumpulan pidatonya pada masa, 2003-2005, dan buku kedua adalah Menanti Kemakmuran Negeri. Kumpulan Esai tentang Pembangunan Sosial Ekonnomi Indonesia (PT Gramedia Pustaka Utama, Juni 2006) yang merupakan kumpulan artikelnya sejak medio 1985 hingga medio 2005.

[5] Lihat, misalnya laporan Kompas, 18 Mei 2003 yang mewawancarai BA beberapa hari setelah BA menjadi GBI. Tatkala ditanya apa obsesinya setelah menjadi Gubernur BI, BA menjawab: Saya ingin menjadi Novelis. Saya terkesima dengan tulisan Ellie Weisel, ... Kecil, pendek, bahasa inggrisnya simple. Saya juga suka buku filosofi Cina, karya Lin Yutang”. Pertanyaan senada diajukan sejumlah wartawan tatkala BA berada di Gedung Pengadilan Tipikor, Kuningan.

Senin, 26 September 2011

Benang Merah Muda: Garis-garis Refleksi Sehari-hari


Judul : Benang Merah Muda: Garis-garis Refleksi Sehari-hari
Penulis : Burhanuddin Abdullah
Editor : Tika Noorjaya & Inayati Ashriyah
Penerbit: MQS Publishing
Cetakan: Ke-1, Juli 2011















BERCANDA DENGAN KATA PENUH MAKNA
Pengantar Editor: Tika Noorjaya

Di dalam Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Burhanuddin Abdullah (BA) tetap bisa bercanda. Tempat mukimnya selama hampir enam bulan itu, diplesetkannya menjadi “Pesantren Sukakaya”. Kenapa suka-miskin; bukankah lebih baik suka-kaya, gugatnya, sambil tertawa. Itulah salah satu kelakarnya, ketika pertama kali saya mengunjunginya di “pesantren” itu. Lalu, BA beragumen tentang perlunya optimisme, berpikir besar, bercita-cita tinggi dan berjangka panjang melampaui usia fisikal, kalimat positif, dan lain-lain. Sungguh pertemuan yang mengasyikan. Dan, suasana semacam itu agaknya tetap berlangsung, siapa pun penjenguk yang datang berkunjung, yang membuat BA hampir tanpa kesepian, dan pendatang merasa tercerahkan.
Bercanda dengan kata-kata penuh makna, memang merupakan keseharian BA, tak peduli dalam suasana apa. Bahkan, tatkala pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, 29 Oktober 2008 yang memberatkannya pun, BA masih bisa bercanda dan membuat ketawa kerabat, sahabat dan handai taulannya[1], padahal mereka hadir dengan wajah getir; menepuk punggung dengan wajah murung.
Bercanda dengan menertawakan diri sendiri adalah cara yang rasional untuk menjaga kewarasan, dan melanggengkan harapan, katanya suatu ketika. Karena itu, tak usah heran kalau canda-demi-canda, adalah bagian yang menarik dari jawabannya yang penuh makna dalam perbincangan keseharian, maupun dalam menjawab pertanyaan peserta seminar[2] yang bertanya tentang pengalamannya di “pesantren”, sekalipun pada akhirnya, biasanya, ditutup dengan menarik hikmah dari segalanya.
***
Dalam buku ini pun, anda akan menemukan sejumlah canda penuh makna, yang instan ataupun terselubung, karena secara keseluruhan buku ini merupakan kumpulan renungan hariannya yang sangat bernas dengan berbagai gagasan serius: Dari soal “Klakson” mobil kebanggaannya yang suara tidid-nya nyaris tak terdengar sampai “Tiga Kekuatan Dahsyat” yang menggelegar. Dari soal “Makan Siang” di warung kaki-lima sampai “Membagikan Nikmat Kemerdekaan” bagi seluruh penjuru negeri, bahkan penghuni bumi.
Dikemas dalam lima bab, secara keseluruhan buku ini menampilkan 42 artikel, yang penulisannya merentang dari Maret 1992 hingga Januari 2011. Jangan khawatir. Sekalipun artikel tertua telah berusia hampir dua dasawarsa, relevansinya dengan suasana kekinian tetap terasa; bukan hanya karena tema yang diusung sangat universal, tetapi juga karena telah melalui proses tulis-ulang. Beberapa di antaranya, bahkan terasa sebagai gagasan “yang ditulis barusan”. Demikian pula, beberapa artikel yang mulanya diedarkan di lingkungan BI, dalam banyak hal dapat diperluas jangkauannya ke tataran masyarakat awam.
Dalam Bab “The Power of Hope”, paparan diawali dengan “Biduk Lalu, Kiambang Bertaut” yang menggambarkan optimisme di tengah kegalauan karena dampak krisis multidimensi yang berkepanjangan. Selanjutnya, harapan-demi-harapan terlontar antara lain melalui keinginan untuk “Menjadi Matahari di Seluruh Negeri”; “Bekerja Lebih Keras, Cerdas, dan Ikhlas”; “Adil”; dan “Merdeka”.
Suasana yang sama juga terasa dalam Bab “The Spririt of Change and Success” yang dimulai dengan “Optimisme dan Kebebasan”. Di bab inilah, kita akan menemukan “Anak Penyamun di Sarang Perawan”, plesetan dari novel Marah Roesli, Anak Perawan di Sarang Penyamun. Tulisan ini, tak lain, adalah pidato sambutan BA sebagai wakil karyawan Bank Indonesia (BI) atas pengangkatan Prof Dr. Anwar Nasution yang resmi menjadi keluarga BI sebagai Deputi Gubernur Senior. Pada saat disampaikan, pidato ini, tak pelak, menjadi bahan gergeran, karena – seperti populer waktu itu – Anwar Nasution-lah yang mencap BI sebagai “sarang penyamun”. Selebihnya, bab ini bernuansa serius di bawah topik disiplin dan kreativitas, profesionalisme, karakter bangsa, perubahan dan transisi, membangun struktur dan kultur, serta wisdom and leadership.
Bab The Spirit of Happiness, lebih banyak membahas tentang nilai-nilai, yang terutama berangkat dari kesadaran beragama, antara lain: “Kebahagiaan, Etos Memberi, dan Integritas”; “Kaaffah”; “Iman dan Kerja Besar Pembangunan”; serta “Bersyukur”.
The Power of Us” adalah bab yang membahas kekuatan kita sebagai bangsa yang penuh wibawa, berjaya, dan berbudaya. Sekalipun di sana-sini masih diselingi canda, secara umum inilah gagasan orisinal BA yang diungkapkan dengan frasa yang penuh makna dan estetika. Meskipun demikian, tak terhindarkan di bab ini kita temukan paparan yang betul-betul serius, misalnya “Bank Sentral dalam Sistem Keuangan yang Terintegrasi Secara Global” dan  Menuju Pembangunan Berbasis Industri Pangan”, yang memang merupakan ringkasan dari orasi ilmiahnya sewaktu menerima penghargaan Doctor Honoris Causa dari Universitas Diponegoro dan Universitas Padjadjaran.
Akhirnya, bab “Just How to Be Creative”, adalah tulisan ringan yang menggambarkan kefasihan BA dalam berbahasa untuk menuliskan karya-karyanya.
***
Rencana penerbitan buku ini sebenarnya telah dirancang jauh hari, karena naskah sudah lama tersedia. Penyelesaiannya menjadi tertangguhkan karena BA selalu merasa “belum waktunya”. Entah kenapa, semangatnya untuk menulis yang membara sewaktu bermukim di Bareskrim, tiba-tiba saja mendingin di Sukamiskin.
***
Konvoy itu begitu panjang. Jalan yang memang sempit, terasa menyesakkan karena tepian jalan diparkiri ratusan mobil dan sepeda motor penjemput yang menyemut menambah panjang antrian. Ya, itulah konvoy yang mengantarkan Burhanuddin Abdullah (BA) menuju rumahnya di Cihanjuang, selepas pidato pembebasannya dari “Pesantren Sukamiskin”, 6 Maret 2010.
Saya mengira, inilah saat yang tepat untuk mengingatkannya tentang garapannya yang belum tuntas: menerbitkan buku yang telah lama menjadi obsesinya. Namun, hampir tengah malam, dalam roman BA yang kecapaian menerima kunjungan tamu yang tak berkesudahan, saya tak kuasa untuk menyampaikannya.
Teman-teman dari MQ-Publishing-lah, yang berhasil menggegaskan penerbitan ini beberapa bulan kemudian, sehingga melalui upayanya dapat tampil seperti apa adanya saat ini. Dan, kepada mereka selayaknya diberikan penghargaan, terutama atas pemilihan dan pemilahan naskah, serta kesabaran menunggu penyelesaian penulisan ulang yang ternyata membutuhkan waktu panjang.
Semoga kita bisa menarik manfaat dan maslahat dari karya ini. Semoga kita bisa bercanda dengan penuh.

Bogor, 3 Juli 2011


Tika Noorjaya


[1] Lihat Pengantar saya dalam buku Mengadili Dewan Gubernur Bank Indonesia: Catatan Akhir Perjalanan Karir, hal. xviii.
[2] Tak lama setelah kebebasannya hingga belakangan ini, BA seringkali diundang untuk menjadi pembicara di beberapa seminar. Meskipun seminar-seminar tersebut tak terkait dengan masalah hukum yang menderanya, ada saja di antara peserta yang menanyakan pengalamannya. Jawabannya, sungguh elegan, tak ada pembelaan frontal, melainkan canda-canda yang menebar tawa.