Tampilkan postingan dengan label Wayang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wayang. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2017

Srikandi

Heru HS, SRIKANDI, Ecosystem Publishing, Surabaya, November 2017, 144 halaman, ISBN 978-602-1527-44-3.
________


Tak percuma di bawah judul buku (Srikandi) tertulis "Novel wayang spiritual". Halnya, dalam novel singkat ini kita diajak berkelana spiritual menjelajah tragedi kehidupan manusia yang senantiasa berlumuran derita, dosa, amarah, cinta, dan asa. Wacana spiritual itu antara lain (sebagian besar) berupa monolog Srikandi yang tak bisa menerima kehadiran Dewi Manohara, yang merampas cinta Arjuna dari dirinya. (Meskipun Srikandi sendiri "merampas" cinta Sang Donyuan Arjuna dari Dewi Ulupi, Subadra, dan Larasati)
Ya, buku ini mengisahkan perjalanan Dewi Srikandi, sejak berbahagia menapaki lakon sebagai isteri Arjuna, hingga proses perubahan jati dirinya menjadi lelaki ksatriya atas bantuan Begawan Stuna. Peristiwa memalukan yang tentu saja melabrak tradisi, hukum, dan agama, sehingga Arjuna berketetapan hati bahwa Srikandi harus dihukum.
Namun demikian, di akhir kisah Arjuna, sang lelaki langit itu, memaafkan Srikandi berkat bisikan Kresna di menit-menit yang genting menjelang Arjuna melepaskan anak panahnya. Sesungguhnyalah nasehat yang sama juga disampaikan sebelumnya oleh Yudhistira dan Semar kepada Arjuna, namun tak diindahkannya karena kemarahannya yang luar biasa.
______
Tentu saja happy ending, ... cerita selanjutnya berlangsung sesuai skenario para dewa, bahwa di kemudian hari, di medan Kurusetra Srikandilah yang akan mengalahkan kehebatan Bisma di kancah Bharayudha sebagai perwujudan supata Dewi Amba di masa lalu, yang cintanya ditolak oleh Bisma.

Kamis, 28 Desember 2017

HANOMAN dalam Wiracarita Ramayana

ZULHAM FAROBI, Hanoman dalam Wiracarita Ramayana, Penerbit Pustaka Jawi, Yogyakarta, November 2017, (viii + 404 halaman). ISBN 978-602-5469-58-9.



Sebagai pengagum tokoh Hanoman, saya amat tergoda untuk menyelesaikan membaca buku ini hanya dalam dua hari karena Hanoman berkisah tentang dirinya sendiri secara memikat dengan menggunakan kata ganti orang pertama: AKU.
Novel ini terasa puitis sejak awal, ketika masa kecil Hanoman yang indah bersama Dewi Anjani, sang ibu, harus berakhir di suatu pagi, saat Hanoman bangun tidur dan sang ibu tak lagi ada di sisinya. Menarik sekali bahwa kenangan tentang sang ibu (dalam bentuk nyanyian dan puisi) berkali-kali mengemuka kala Hanoman menyikapi suatu keadaan, termasuk di penutup kisah. Buku ini memang sangat kental menonjolkan hubungan cinta kasih ibu dan anak.
_____
Meskipun demikian, saya merasa ada hal yang berbeda ketika membaca novel wayang ini dibandingkan dengan wiracarita Ramayana yang selama ini saya ketahui. Secara umum, plot dasar cerita dalam novel ini sama dengan pakem, tetapi ada beberapa rekaan "baru".
Dewi Swayempraba, misalnya, tampil sebagai penolong dalam perjalanan pasukan Kiskenda menuju Alengka (halaman 155-172), bukannya sebagai pihak yang licik dan mencelakakan.
Episode "Rama Tambak" (Jembatan Rama, halaman 267-272) terasa datar, terasa mudah, karena ada pertolongan Dewa Wisnu, sehingga meniadakan berbagai gangguan dari anak-anak dan saudara Rahwana yang selama ini digambarkan amat seram dan membahayakan, sehingga pekerjaan harus diulang berkali-kali. Dalam buku ini, karena tanpa gangguan maka jembatan penyeberang lautan untuk mencapai Alengka itu dapat diselesaikan hanya dalam empat hari.
Hal yang tak diceritakan adalah khasiat daun Latamaosandi (sandilata) dari Gunung Mangliawan untuk menghidupkan kembali Rama, Laksmana, serta prajurit wanara yang mati karena kesaktian aji penyirep dan gigitan ular berbisa panah Nagapasa yang dilepaskan Indrajit.
Demikian juga, tak ada kisah lucu ketika panah Kyai Dangu milik Rama yang menyakiti dan membuntuti Rahwana ke mana pun dia sembunyi. Karena itu, tak ada juga kisah tentang Gunung Sondara-Sondari yang menjepit Rahwana di akhir hidupnya. Kematian Rahwana digambarkan "biasa saja", wajar tanpa penderitaan.
Akhirnya, episode "Sinta Labuh Geni" (Api Dewi Sinta, halaman 381-391) menjelang penghujung kisah berlangsung happy-ending dalam narasi singkat, bukannya penuh dengan pergulatan batin yang intens tentang arti kesetiaan.

Sabtu, 16 Januari 2016

Pahlawan Pilihan Kresna




ARDIAN KRESNA, "Pahlawan Pilihan KRESNA", Diva Press Jogjakarta, November 2009, 208 halaman. 

Sepintas judul buku ini mengesankan KRESNA sedang melakukan pemilihan pahlawan, dan ARJUNA yang dipilihnya untuk dibela. Itu pun janggal, karena hampir 75% buku ini bercerita tentang BAMBANG EKALAYA yang tekun belajar ilmu memanah dan bijaksana memimpin negara (setara Yudistira). Padahal, teknik belajarnya hanya semata-mata dari patung Durna yang dipujanya. Barangkali semacam Long Distance Learning, Sistem Belajar Jarak jauh (SBJJ), kalau dalam terminologi sekarang.

Meskipun kemahiran EKALAYA ternyata setara Arjuna, ... akhirnya dia diperdaya oleh Durna, ... lalu Arjuna dan Kresna bersekongkol membunuhnya. TRAGIS. IRONIS.

Cerita wayang memang sudah diplot para dewa sedemikian rupa, ... sehingga tokoh di luar mainstream (yang taqdirnya telah ditetapkan) harus tersingkir. Tokoh semacam Ekalaya harus disingkirkan. Hasil jerih payah Ekalaya dengan SBJJ berakhir di rekaperdaya Durna.

Sebagai refleksi, di zaman kini, tatkala Avatar merebut pasar, atau superhero yang berjaya dalam berbagai versi, saya malah terkenang bahwa di dunia wayang ada nilai-nilai yang bisa digali. Karena itulah saya senantiasa tergoda membeli buku wayang tatkala menyambangi toko buku di mana saja, termasuk di toko buku online atau buku loakan.

Senin, 05 Oktober 2015

Menggugat Kemapanan Dunia Pewayangan

Sejak Ir. Sri Mulyono mengupas seputar dunia wayang di Harian Buana Minggu pada akhir 1970-an, ternyata kupasannnya mendapat perhatian yang antuasias dan meluas dari para pembaca setia, yang kemudian dibukukan oleh Penerbit CV Haji Masagung, sedikitnya, dalam empat terbitan. Masing-masing: Wayang dan Karakter Manusia (1976), Wayang dan Karakter Manusia 2 (1977), Apa & Siapa Semar (1978), dan Tripama Watak Satria dan Sastra Jendra (1978).

Dalam keempat buku itu telah muncul berbagai pemikiran yang keluar dari kemapanan, baik  karakter sejumlah wayang, atau bahkan filsafat dari cerita yang lazim difahami kala itu.

Minat terhadap dunia wayang, ternyata belum hilang. Kini, setidaknya ada dua buku, yang berada pada jalur itu. Keduanya mengambil setting babad Ramayana.  

Yang pertama adalah RAHWANA PUTIH, karya Sri Teddy Rusdy, yang diterbitkan Yayasan Ketagama tahun 2013. Ini adalah novel wayang beraroma filsafat. Rahwana yang selama ini dikenal sebagai raja Alengka yang angkara murka penuh kegelapan yang hitam kelam; kini tampil dari sisi putihnya yang mempertanyakan eksistensi dirinya yang telah diatur secara licik oleh para dewa. Karena itu, Rahwana tampil sebagai satria gagah perkasa. Terkait dengan Dewi Sinta, bahkan Rahwana digambarkan sebagai Sang Kegelapan Pemeram Keagungan Cinta. Dengan setting seperti itu, maka Ramayana-lah justru yang dipertanyakan.



Yang kedua adalah SINTA OBONG, karya Ardian Kresna, yang direbitkan Diva Press tahun 2012, yang bercerita tentang SINTA DAN CINTA. Novel ini merupakan lanjutan dari epos Ramayana, yang kadung memunculkan stigma hitam-putih antara Rahwana yang raja raksasa angkara dan Ramayana yang satria bijaksana. Melalui novel ini, Stigma tersebut coba dibantah lewat pledoi Rahwana soal cintanya yang suci terhadap Sinta. Sementara Sinta bicara soal kesetiaan dan mempertanyakan kesatriaan Rama. 

 
 
Rame, seru, dan dalam beberapa hal menggugat kemapanan cara berpikir yang -- terlanjur -- sudah lama tertanam.

Sabtu, 29 Agustus 2015

Hanoman: Belajar Kemuliaan dari Kisah Pewayangan



HANOMAN, Akhir Bisu Sebuah Perang Besar (Pitoyo Amrih, Diva Press, April 2014, 472 halaman).


Dengan usia 25 abad lebih, konon, Hanoman eksis sejak Wayang Purwa hingga menjelang perang antara Jenggala dengan Panjalu.

Novel ini sebagian besar berkisah tentang masa kejayaannya menumpas Rahwana dalam episode Ramayana. Namun, ia tak mau terlibat dalam Bharata Yudha, karena, menurutnya, peperangan yang semula didasarkan pada semangat perjuangan untuk membela kebenaran, tak lebih dari sekadar benturan kepentingan.

Di bagian akhir novel ini, Kresna menemuinya (halaman 452). Pembicaraan dua orang yang dilakukan dengan mata, mulut, dan telinga batin; jasad mereka diam sedang sukma mereka bersama, bertemu, berpelukan, dan saling menyapa (halaman 453). ... Tampak kemudian Sri Kresna tertunduk malu; perlahan dia menitikkan air mata, meski matanya tetap terpejam (halaman 455). 

Kalau sampai Sri Kresna malu apalagi meteskan air mata berarti ia menyesali keputusan yang salah, padahal selama ini dikesankan bahwa Prabu Kresna juga lambang good leader yang nyaris tak pernah keliru dalam mengambil keputusan, semuanya logis, fair play, adil dan masih banyak lagi. Kehadiran Prabu Kresna adalah sebagai juru pengadil sekaligus pengatur strategi untuk membersihkan sampah dunia, sehingga jika masih ada benturan kepentingan maka Bathara Wisnu belum adil. Memang benar, Kresna adalah good leader dalam rangka mengamankan skenario yang sudah dibuat para dewa. Jadi, para penulis yang muncul belakangan, justru mempertanyakan skenario para dewa itu. 

Perbincangan di halaman 454 memang serba singkat, tapi maksudnya adalah keinginan Kresna (sebagai titisan Bathara Wisnu) untuk membunuh Antasena agar tak terlibat dalam Bharata Yudha. Ketidakadilan juga hadir dalam diri Sri-Rama (yang juga titisan Wisnu) yang mencurigai kesetiaan Sinta dan akibat negatifnya.

Buku karya Miftahul A'la ini juga bercerita tentang Hanoman: Si Buruk Rupa Berjiwa Mulya (200 halaman, Penerbit Garailmu, Jakarta, 2009). Buku ini dikemas bukan dalam versi novel seperti karya Pitoyo Amrih di atas, melainkan dalam format biografi sebagai legenda, sejak kelahiran hingga kematiannya.
 



Hal yang menarik dari buku ini terutama mengenai ajaran hidup Hanoman: pembela kebenaran, pemberani, pantang menyerah, optimistis, pendukung loyalitas, kesatria sejati, kasih sayang, hati-hati dalam bertindak, bertanggung jawab, penuh kesederhanaan, percaya diri, dan tidak silau dengan dunia. 

Jelaslah ke-12 sifat di atas lebih dari cukup untuk mencapai kemuliaan hidup, yang masih relevan hingga sekarang.