Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Mei 2016

Hidup adalah Perjuangan

HIDUP ADALAH PERJUANGAN

Budi (B) yang cadel ingin membeli nasi goreng made in Mang Dudum (D) yang mangkal di dekat rumahnya.

Hari ke-1 :
B: “Beli nasi goleng 1 ya, Bang?!”
D: “Apa…?” (ngeledek)
B: “Nasi Goleng!”
D: “Apaan…?” (ngeledek lagi)
B: “Nasi Goleng!!!”
D: “Ohh nasi goleng…”

Sambil ditertawakan oleh pembeli yang lain, ia memutuskan pulang dengan perasaan sangat kesal dan sesampainya di rumah ia bertekad untuk berlatih mengucapkan “Nasi Goreng” dengan baik dan benar. Hingga akhirnya.

Hari ke-2:
Dengan perasaan bangga, ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa mengucapkan pesanan tanpa cadel lagi.
B: “Bang, saya mau beli NASI GORENG, bungkus!!!”
D: “Oke sip… Pake apa?”
B: “Pake telol…”  Jawabnya sambil sedih.
Setelah Mang Dudum dan pembeli lainnya menertawakan, ia kembali pulang dan berlatih mengucapkan kata “telor” sampai benar. Lalu ..

Hari ke-3:
B: “Bang… beli NASI GORENG, pake TELOR!!! Bungkus!” (bernada mantap)
D: “Ceplok atau dadar?”
B: “Dadal…”  ia menjawab dengan spontan.. Lalu kembali bersedih.
Mau tak mau, ia kembali pulang dan berlatih dengan keras. Kemudian…

Hari ke-4:
Bermodalkan 4 hari berlatih lidah, hari ini ia yakin mampu memesan nasi goreng tanpa ditertawakan.
B: “Bang… Beli NASI GORENG, pake TELOR, diDADAR, 1 bungkus!”
D: “Wuih, hebat kamu! Sudah tidak cadel lagi nich! Oke harganya Rp.7.500.”
Ia menyerahkan uang Rp.8000 kepada Mang Dudum.
Lama ditunggu Mang Dudum tidak mengembalikan sisanya, hingga ia pun bertanya:
B: “Bang, kembaliannya, Bang?”
D: “Oh iya! Uang kamu Rp.8.000, harganya Rp.7500. Jadi, kembalinya berapa?” (Senyum-senyum ngeledek).

Ia gugup juga untuk menjawabnya. Keringat dingin pun menyembul seketika saat melafalkan “5 LATUS” dalam hatinya. Tapi akhirnya secercah cahaya menerangi. Dengan lantang ia menjawab, ”GOPEK, Bang…!!!”
Usai menerima kembalian sebesar Rp.500, ia melenggang pulang dengan senyum penuh kemenangan. 
Yes !!!!

Molal of the stoly:
“Hidup adalah peljuangan, beljuanglah telus dan jangan mudah  ‘menyelah’! Sebab, selalu ada cala kalau diilingi dengan doa dan usaha.”
Selamat belkalya.

Jumat, 25 Maret 2016

Kapitalisme Lanjutan



KAPITALISME LANJUTAN
Oleh Tika Noorjaya

Membaca postingan di sosial media tentang kericuhan demo Taxi Online beberapa hari belakangan ini, banyak di antara para pengeritik yang mengarahkan telunjuk ke arah kapitalisme sebagai biang keroknya.

Menurut saya, penilaian tersebut a-historis; -- dan karena itu beberapa hari ini saya menyempatkan diri untuk membaca ulang 1-2 buku tentang kapitalisme yang kebetulan ada di perpustakaan saya. Ternyata, ... kapitalisme adalah isme atau ideologi moderen sebagai jawaban terhadap isme-isme lain yang telah hadir dan berjaya di masa lalu. Sebut saja feodalisme, kolonialisme, fasisme, komunisme, sosialisme, otoriterianisme, dll.

Kapitalisme sendiri berusaha untuk merumuskan alternatif terhadap tatanan masyarakat masa lalu itu yang semakin nyata terlihat kebangkrutannya, hanya menghasilkan kemiskinan menyeluruh, dan menentang perubahan. Secara terminologis, kapitalisme adalah kegiatan produksi yang diperuntukkan bagi pasar, yang dilakukan oleh perorangan maupun secara bersama, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Di dalamnya termasuk kebutuhan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. So what gitu lho ...

Dalam perkembangan lebih lanjut, berbekal kaidah efisiensi, konon koperasi moderen yang kini dikembangkan di Amerika Serikat juga mengikuti asas-asas kapitalisme.



Bahwa kemudian terjadi penyimpangan semacam kapitalisme semu di Asia Tenggara, hal semacam itu terjadi juga pada isme-isme terdahulu. Korupsi yang terkait dengan birokrasi seperti yang dipaparkan dalam The Rise of Ersatz Capitalism in Souteast Asia (Yoshihara Kunio, 1988) misalnya, itu juga terjadi dalam sosialisme, atau bentuk isme mana pun.

Dan memang, menurut Peter L. Berger (1988), kapitalisme dan sosialisme dalam bentuk yang paling lengkap dan sempurna sekalipun, tidak akan dijumpai pada masyarakat bangsa-negara mana pun; pada kurun waktu yang mana pun. Baik kapitalisme maupun sosialisme sama-sama tidak memuaskan dalam mencapai pemerataan dan keadilan.

Berdasarkan kajian teoritis terhadap hubungan antara kapitalisme dengan stratifikasi; kapitalisme dengan bentuk-bentuk masyarakat politik; serta kapitalisme dengan berbagai bentuk sistem nilai, dalam buku Revolusi Kapitalis, sampailah Peter Berger pada 50 proposisi tentang kemakmuran, keadilan dan kebebasan, yang diajukannya atas dasar bukti empiris; tidak semata-mata tentang kapitalisme, tetapi juga tentang “pantulan bayangan pohon”nya, yakni sosialisme.

Begitulah, ide tentang sharing economy yang belakangan ini mengemuka, boleh jadi merupakan revolusi kapitalisme tahap lanjutan, kalau dilihat dari produk atau layanannya yang semakin efisien dan bermanfaat. Kalau diperhatikan, kebutuhan akan kapital bukan hanya di pihak penyelenggara aplikasi, tetapi juga para pemilik armadanya yang amat sangat banyak. Mereka secara bersama-sama saling melengkapi membentuk sharing economy. Karena itu, para pihak di sisi “supply” berhak pula memperoleh manfaat.

Adapun tentang manfaat dari sisi demand, kita kutip saja "10 Alasan Taxi Online Disukai Penumpang" yang dengan gaya bercanda, pernah pula beredar di media sosial. Kesepuluh alasan tersebut adalah: (1) Murah; (2) Mobil bagus: (3) Muat banyak; (4) Tidak takut nyasar; (5) Tak ribet uang kembalian; (6) Tak takut Argo Kuda; (7) Bisa charge HP; (8) Ada permen Aqua dan tissue; (9) Komentar tetangga: "Hebat, dia udah pake sopir"; (10) Kata satpam kompleks, "Wah mobil bapak itu banyak betul, gonta-ganti terus".

Karena itu, yang harus dikaji di kemudian hari, bukan soal kapitalismenya semata yang akan terus mengembangkan diri melalui modernisasi (karena hal itu merupakan tuntutan zaman), melainkan menciptakan batas-batas hukum yang jelas, yang mengayomi persoalan moral dan etika, yang terbawa pada masalah keadilan, yang konon ingin diperjuangkan oleh sopir Non-Taxi Online dan barisannya. Di sisi lain, konsumen juga menginginkan keadilan agar dapat terus memperoleh manfaat, seperti yang selama ini telah dirasakan.

Bogor, 25 Maret 2016 

Sabtu, 16 Januari 2016

Pahlawan Pilihan Kresna




ARDIAN KRESNA, "Pahlawan Pilihan KRESNA", Diva Press Jogjakarta, November 2009, 208 halaman. 

Sepintas judul buku ini mengesankan KRESNA sedang melakukan pemilihan pahlawan, dan ARJUNA yang dipilihnya untuk dibela. Itu pun janggal, karena hampir 75% buku ini bercerita tentang BAMBANG EKALAYA yang tekun belajar ilmu memanah dan bijaksana memimpin negara (setara Yudistira). Padahal, teknik belajarnya hanya semata-mata dari patung Durna yang dipujanya. Barangkali semacam Long Distance Learning, Sistem Belajar Jarak jauh (SBJJ), kalau dalam terminologi sekarang.

Meskipun kemahiran EKALAYA ternyata setara Arjuna, ... akhirnya dia diperdaya oleh Durna, ... lalu Arjuna dan Kresna bersekongkol membunuhnya. TRAGIS. IRONIS.

Cerita wayang memang sudah diplot para dewa sedemikian rupa, ... sehingga tokoh di luar mainstream (yang taqdirnya telah ditetapkan) harus tersingkir. Tokoh semacam Ekalaya harus disingkirkan. Hasil jerih payah Ekalaya dengan SBJJ berakhir di rekaperdaya Durna.

Sebagai refleksi, di zaman kini, tatkala Avatar merebut pasar, atau superhero yang berjaya dalam berbagai versi, saya malah terkenang bahwa di dunia wayang ada nilai-nilai yang bisa digali. Karena itulah saya senantiasa tergoda membeli buku wayang tatkala menyambangi toko buku di mana saja, termasuk di toko buku online atau buku loakan.

Senin, 05 Oktober 2015

Menggugat Kemapanan Dunia Pewayangan

Sejak Ir. Sri Mulyono mengupas seputar dunia wayang di Harian Buana Minggu pada akhir 1970-an, ternyata kupasannnya mendapat perhatian yang antuasias dan meluas dari para pembaca setia, yang kemudian dibukukan oleh Penerbit CV Haji Masagung, sedikitnya, dalam empat terbitan. Masing-masing: Wayang dan Karakter Manusia (1976), Wayang dan Karakter Manusia 2 (1977), Apa & Siapa Semar (1978), dan Tripama Watak Satria dan Sastra Jendra (1978).

Dalam keempat buku itu telah muncul berbagai pemikiran yang keluar dari kemapanan, baik  karakter sejumlah wayang, atau bahkan filsafat dari cerita yang lazim difahami kala itu.

Minat terhadap dunia wayang, ternyata belum hilang. Kini, setidaknya ada dua buku, yang berada pada jalur itu. Keduanya mengambil setting babad Ramayana.  

Yang pertama adalah RAHWANA PUTIH, karya Sri Teddy Rusdy, yang diterbitkan Yayasan Ketagama tahun 2013. Ini adalah novel wayang beraroma filsafat. Rahwana yang selama ini dikenal sebagai raja Alengka yang angkara murka penuh kegelapan yang hitam kelam; kini tampil dari sisi putihnya yang mempertanyakan eksistensi dirinya yang telah diatur secara licik oleh para dewa. Karena itu, Rahwana tampil sebagai satria gagah perkasa. Terkait dengan Dewi Sinta, bahkan Rahwana digambarkan sebagai Sang Kegelapan Pemeram Keagungan Cinta. Dengan setting seperti itu, maka Ramayana-lah justru yang dipertanyakan.



Yang kedua adalah SINTA OBONG, karya Ardian Kresna, yang direbitkan Diva Press tahun 2012, yang bercerita tentang SINTA DAN CINTA. Novel ini merupakan lanjutan dari epos Ramayana, yang kadung memunculkan stigma hitam-putih antara Rahwana yang raja raksasa angkara dan Ramayana yang satria bijaksana. Melalui novel ini, Stigma tersebut coba dibantah lewat pledoi Rahwana soal cintanya yang suci terhadap Sinta. Sementara Sinta bicara soal kesetiaan dan mempertanyakan kesatriaan Rama. 

 
 
Rame, seru, dan dalam beberapa hal menggugat kemapanan cara berpikir yang -- terlanjur -- sudah lama tertanam.

Sabtu, 29 Agustus 2015

Hanoman: Belajar Kemuliaan dari Kisah Pewayangan



HANOMAN, Akhir Bisu Sebuah Perang Besar (Pitoyo Amrih, Diva Press, April 2014, 472 halaman).


Dengan usia 25 abad lebih, konon, Hanoman eksis sejak Wayang Purwa hingga menjelang perang antara Jenggala dengan Panjalu.

Novel ini sebagian besar berkisah tentang masa kejayaannya menumpas Rahwana dalam episode Ramayana. Namun, ia tak mau terlibat dalam Bharata Yudha, karena, menurutnya, peperangan yang semula didasarkan pada semangat perjuangan untuk membela kebenaran, tak lebih dari sekadar benturan kepentingan.

Di bagian akhir novel ini, Kresna menemuinya (halaman 452). Pembicaraan dua orang yang dilakukan dengan mata, mulut, dan telinga batin; jasad mereka diam sedang sukma mereka bersama, bertemu, berpelukan, dan saling menyapa (halaman 453). ... Tampak kemudian Sri Kresna tertunduk malu; perlahan dia menitikkan air mata, meski matanya tetap terpejam (halaman 455). 

Kalau sampai Sri Kresna malu apalagi meteskan air mata berarti ia menyesali keputusan yang salah, padahal selama ini dikesankan bahwa Prabu Kresna juga lambang good leader yang nyaris tak pernah keliru dalam mengambil keputusan, semuanya logis, fair play, adil dan masih banyak lagi. Kehadiran Prabu Kresna adalah sebagai juru pengadil sekaligus pengatur strategi untuk membersihkan sampah dunia, sehingga jika masih ada benturan kepentingan maka Bathara Wisnu belum adil. Memang benar, Kresna adalah good leader dalam rangka mengamankan skenario yang sudah dibuat para dewa. Jadi, para penulis yang muncul belakangan, justru mempertanyakan skenario para dewa itu. 

Perbincangan di halaman 454 memang serba singkat, tapi maksudnya adalah keinginan Kresna (sebagai titisan Bathara Wisnu) untuk membunuh Antasena agar tak terlibat dalam Bharata Yudha. Ketidakadilan juga hadir dalam diri Sri-Rama (yang juga titisan Wisnu) yang mencurigai kesetiaan Sinta dan akibat negatifnya.

Buku karya Miftahul A'la ini juga bercerita tentang Hanoman: Si Buruk Rupa Berjiwa Mulya (200 halaman, Penerbit Garailmu, Jakarta, 2009). Buku ini dikemas bukan dalam versi novel seperti karya Pitoyo Amrih di atas, melainkan dalam format biografi sebagai legenda, sejak kelahiran hingga kematiannya.
 



Hal yang menarik dari buku ini terutama mengenai ajaran hidup Hanoman: pembela kebenaran, pemberani, pantang menyerah, optimistis, pendukung loyalitas, kesatria sejati, kasih sayang, hati-hati dalam bertindak, bertanggung jawab, penuh kesederhanaan, percaya diri, dan tidak silau dengan dunia. 

Jelaslah ke-12 sifat di atas lebih dari cukup untuk mencapai kemuliaan hidup, yang masih relevan hingga sekarang.

Sabtu, 22 Agustus 2015

9 Ciri Negatif Manusia Indonesia



Dr. Ali Akbar, 9 Ciri Negatif Manusia Indonesia, Penerbit Penaku, 2011, 200 halaman (cetak ulang tahun 2014).



Ke9 ciri negatif manusia Indonesia tersebut adalah: malas, tidak disiplin, korup, emosional, individualis, suka meniru, rendah diri, boros, dan percaya takhayul.

Inilah hasil penelitian kuantitatif Ali Akbar yang dalam latar belakangnya merujuk buku karya Mochtar Lubis (Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, CV Masagung, Jakarta, 1977, 134 halaman) sebagai acuan dasar.

Wacana kualitatif dari Mochtar Lubis 38 tahun lalu itu kini mendapat penegasan kuantitatif di buku ini. Dari 33 ciri yang muncul dalam studi Ali Akbar, diperoleh 10 peringkat pertama. Dalam hal ini, ada satu hal yang menarik, Penelitian ini menemukan bahwa dari 10 ciri itu, ternyata ciri pertama dan di urutan pertama bersifat positif, yakni Ramah Tamah. Ciri yang pertama ini tentu saja mendahului 9 ciri negatif yang menjadi judul buku ini.


Dengan temuan, bahwa Ramah Tamah merupakan penciri pertama manusia Indonesia, maka kini kita perlu mengembangkan penelitian yang mempelajari ciri-ciri positif manusia Indonesia, meninggalkan ciri-ciri negatif, dan mensosialisasikannya untuk kemaslahatan bangsa.