Tampilkan postingan dengan label Resensi Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi Buku. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 September 2021

BARANANGSIANG, Terang Benderang

BARANANGSIANG, Terang Benderang

"Baranangsiang" adalah buku kedua karya Kang Yan Lubis, alias Rusdian Lubis.




Seperti "Anak Kolong" (buku Kang Yan yang pertama), gaya bahasa buku ini bohemian, "seenaknya", tanpa kehilangan orisinalitas dan intelektualitas.

Lorong waktu yang mundur ke alam 1970-1980an berhasil digali dengan cukup terang, rinci dan teliti. Kenangan diunggah dalam format pada masanya, flash back, dan sekali-sekali ditarik ke masa kini.

Dalam format novel, Kang Yan mengenang masa lalu Baranangsiang dengan taburan sejuta fantasi. Terasa indah seperti ketika Pramudya Ananta Toer menggambarkan lika-liku geografis dan eksotis Malang-Kediri dalam lakon "Arok-Dedes".
_____
Sebagian besar kenangan tentu saja bercerita tentang Kampus IPB Baranangsiang melalui ingatan tentang Mahatani, Tempat indekos, POSMA, Ruang Kuliah, Laboratorium Praktikum, Praktik Lapang, Perpustakaan, Landasan Matematika, Gado-gado Bi Enur, KKN, RCD, Pers Kampus, Kewiraan dan Mahawarman, para dosen, dll.

Bagian lain ada juga yang berkisah tentang pengalaman di tempat lain, khususnya ketika Kang Iyan belajar dan bekerja di mancanagara, namun senantiasa dikaitkan dengan ingatan tentang Baranangsiang.

Bagian yang paling menarik bagi saya sebagai pituin Sunda, adalah proses Kang Iyan Menyunda, Menjadi Sunda.

Dari ungkapan yang menyebar dan menebar di sekitar 300an halaman buku ini, wabil khusus tentang "Salak dari Gunung Salak" (halaman 145-158) dan "Banondari" (2 episode, halaman 173-184 dan 185-202), segera tampak bahwa Kang Iyan telah memahami kesundaan lebih dari cukup, tak sekadar berbahasa tapi juga budaya. Karena itu, saya lebih suka menyebutnya Kang Iyan daripada Bang Lubis.
_____
Kang Iyan memang empat tahun lebih dulu masuk IPB dibanding saya, tetapi suasana batin pada waktu itu relatif tak banyak berubah, jadi biografi ini dapat dinikmati dengan mudah, bahkan ada irisan tiga tahun kebersamaan (1976-1978).

Lebih dari itu, letak geografis Departemen Agronomi, jurusannya, berdekatan dengan Departemen Sosek, jurusan saya.
_____
Setelah membaca keseluruhan naskah, saya merasa terhibur, terharu, dan bersyukur, bahwa ada kakak tua yang menuliskan kenangan tentang Baranangsiang dan ke-IPB-an dengan cara yang cerdas dan jenaka, kadang-kadang nakal juga. Jadi ingat Si Kabayan, yang lugu dan cerdas, mengisi hidup dengan sepenuh "heuheuy jeung deudeuh".

Tak ada gading yang tak retak, ... foto-foto bersejarah dalam buku ini kiranya akan lebih afdol kalau tampil dalam warna aslinya. Entah kenapa, foto hitam-putih di buku ini sebagian besar terlalu gelap untuk mengesankan "kenangan".
____
Nama saya disebut-sebut dalam buku ini, bukan karena menjadi pelakon, melainkan karena mendapat kepercayaannya untuk menerjemahkan beberapa lagu Sunda ke dalam Bahasa Indonesia ("Banondari Saga-1" dst).

Oh ya, tak lupa Kang Yan juga menampilkan foto sampul buku-buku DR. Ir. Hidayat Nataatmadja (alm) koleksi pribadi perpustakaan saya. Rupanya kami sesama fans berat Pa Hidayat yang cerdas, yang ilmunya lintas-batas seperti Einstein ("Migrain Lantaran Einstein", halaman 251-268).
____
Buku Kang Yan ini menjadi pelengkap bagi kami mahasiswa IPB Angkatan 13 (ASTAGA, Ayo Santai Tapi Awas Gagal) yang telah mengumpulkan lebih dari 200 kenangan dalam dua jilid buku, yakni Merajut Kenangan, Mensyukuri Nikmat Kebersamaan (Jilid I: 2017) dan Merekatkan Kebersamaan, Melestarikan Persahabatan (Jilid II: 2018).
_____
Yan Lubis, BARANANGSIANG, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019, (xiii + 314) halaman. ISBN 978-602-433-745-2.
Ary
Like
Comment

Comments

Jumat, 29 Desember 2017

Srikandi

Heru HS, SRIKANDI, Ecosystem Publishing, Surabaya, November 2017, 144 halaman, ISBN 978-602-1527-44-3.
________


Tak percuma di bawah judul buku (Srikandi) tertulis "Novel wayang spiritual". Halnya, dalam novel singkat ini kita diajak berkelana spiritual menjelajah tragedi kehidupan manusia yang senantiasa berlumuran derita, dosa, amarah, cinta, dan asa. Wacana spiritual itu antara lain (sebagian besar) berupa monolog Srikandi yang tak bisa menerima kehadiran Dewi Manohara, yang merampas cinta Arjuna dari dirinya. (Meskipun Srikandi sendiri "merampas" cinta Sang Donyuan Arjuna dari Dewi Ulupi, Subadra, dan Larasati)
Ya, buku ini mengisahkan perjalanan Dewi Srikandi, sejak berbahagia menapaki lakon sebagai isteri Arjuna, hingga proses perubahan jati dirinya menjadi lelaki ksatriya atas bantuan Begawan Stuna. Peristiwa memalukan yang tentu saja melabrak tradisi, hukum, dan agama, sehingga Arjuna berketetapan hati bahwa Srikandi harus dihukum.
Namun demikian, di akhir kisah Arjuna, sang lelaki langit itu, memaafkan Srikandi berkat bisikan Kresna di menit-menit yang genting menjelang Arjuna melepaskan anak panahnya. Sesungguhnyalah nasehat yang sama juga disampaikan sebelumnya oleh Yudhistira dan Semar kepada Arjuna, namun tak diindahkannya karena kemarahannya yang luar biasa.
______
Tentu saja happy ending, ... cerita selanjutnya berlangsung sesuai skenario para dewa, bahwa di kemudian hari, di medan Kurusetra Srikandilah yang akan mengalahkan kehebatan Bisma di kancah Bharayudha sebagai perwujudan supata Dewi Amba di masa lalu, yang cintanya ditolak oleh Bisma.

Kamis, 28 Desember 2017

Perbankan dalam Pusaran MEA dan VUCA

Perbankan dalam Pusaran MEA dan VUCA


Tahun 2020 tak lama lagi akan menjelang, dan masyarakat perbankan akan segera memasuki babak baru pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), di mana industri perbankan akan berintegrasi satu sama lain, khususnya di lingkup ASEAN. Pada saat yang sama, era Neo-Digital berhembus kian kencang, ditandai dengan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity), suatu perubahan yang sangat cepat, penuh ketidakpastian, semakin kompleks, dengan realita perekonomian yang semakin ambigu, tak menentu.
Jelaslah, sumber kerentanan perbankan akan datang dari segala penjuru, termasuk industri financial technology (FinTech) yang berpotensi memantik disrupsi di industri perbankan, perilaku nasabah (yang didominasi Gen Y dan Gen Z) yang akan semakin melek teknologi, serta iklim kompetisi yang amat keras. Di sisi lain, trauma krisis keuangan pada tahun 1998 dan 2008, selama ini telah mendorong Otoritas Keuangan untuk membuat regulasi yang semakin ketat, berlandaskan azas prudensialitas.
Dengan berada dalam tantangan dua pusaran tersebut, maka industri perbankan dituntut untuk dapat memanfaatkan berbagai peluang, sehingga industri ini tetap dapat berperan secara optimal dalam pembangunan nasional.
Dalam kondisi demikian, Krisna Wijaya, penulis buku ini, menyarankan perlunya berpikir secara berbeda. Kebiasaan berpikir secara linear dalam situasi krisis kerap mengecoh, katanya. Harus ada kemauan untuk thinking out of the box, dengan melakukan berbagai simulasi menggunakan data non-linear. Tak heran, kalau digital banking yang selama ini kita anggap sebagai jawaban, baginya justru menjadi sebuah pertanyaan. Penjabaran dari berbagai pemikirannya itu kemudian dituangkan secara ajeg dan telaten dalam Majalah Infobank, yang dalam buku ini dikelompokkan menjadi delapan Bab. Setiap Bab terdiri dari 5-8 artikel, sehingga total menjadi 41 artikel.
Inilah buku yang kaya informasi non-mainstream, untuk membekali para bankir masa depan agar lebih inovatif dan tangguh menghadapi dunia yang terus mengalami perubahan.
________
(KRISNA WIJAYA, Peluang & Tantangan Perbankan, Eko B. Supriyanto (Editor), Penerbit PT Infoarta Pratama, Jakarta, November 2017 (Cetakan I), (xii + 166) halaman. ISBN 978-979-8338-11-3).

HANOMAN dalam Wiracarita Ramayana

ZULHAM FAROBI, Hanoman dalam Wiracarita Ramayana, Penerbit Pustaka Jawi, Yogyakarta, November 2017, (viii + 404 halaman). ISBN 978-602-5469-58-9.



Sebagai pengagum tokoh Hanoman, saya amat tergoda untuk menyelesaikan membaca buku ini hanya dalam dua hari karena Hanoman berkisah tentang dirinya sendiri secara memikat dengan menggunakan kata ganti orang pertama: AKU.
Novel ini terasa puitis sejak awal, ketika masa kecil Hanoman yang indah bersama Dewi Anjani, sang ibu, harus berakhir di suatu pagi, saat Hanoman bangun tidur dan sang ibu tak lagi ada di sisinya. Menarik sekali bahwa kenangan tentang sang ibu (dalam bentuk nyanyian dan puisi) berkali-kali mengemuka kala Hanoman menyikapi suatu keadaan, termasuk di penutup kisah. Buku ini memang sangat kental menonjolkan hubungan cinta kasih ibu dan anak.
_____
Meskipun demikian, saya merasa ada hal yang berbeda ketika membaca novel wayang ini dibandingkan dengan wiracarita Ramayana yang selama ini saya ketahui. Secara umum, plot dasar cerita dalam novel ini sama dengan pakem, tetapi ada beberapa rekaan "baru".
Dewi Swayempraba, misalnya, tampil sebagai penolong dalam perjalanan pasukan Kiskenda menuju Alengka (halaman 155-172), bukannya sebagai pihak yang licik dan mencelakakan.
Episode "Rama Tambak" (Jembatan Rama, halaman 267-272) terasa datar, terasa mudah, karena ada pertolongan Dewa Wisnu, sehingga meniadakan berbagai gangguan dari anak-anak dan saudara Rahwana yang selama ini digambarkan amat seram dan membahayakan, sehingga pekerjaan harus diulang berkali-kali. Dalam buku ini, karena tanpa gangguan maka jembatan penyeberang lautan untuk mencapai Alengka itu dapat diselesaikan hanya dalam empat hari.
Hal yang tak diceritakan adalah khasiat daun Latamaosandi (sandilata) dari Gunung Mangliawan untuk menghidupkan kembali Rama, Laksmana, serta prajurit wanara yang mati karena kesaktian aji penyirep dan gigitan ular berbisa panah Nagapasa yang dilepaskan Indrajit.
Demikian juga, tak ada kisah lucu ketika panah Kyai Dangu milik Rama yang menyakiti dan membuntuti Rahwana ke mana pun dia sembunyi. Karena itu, tak ada juga kisah tentang Gunung Sondara-Sondari yang menjepit Rahwana di akhir hidupnya. Kematian Rahwana digambarkan "biasa saja", wajar tanpa penderitaan.
Akhirnya, episode "Sinta Labuh Geni" (Api Dewi Sinta, halaman 381-391) menjelang penghujung kisah berlangsung happy-ending dalam narasi singkat, bukannya penuh dengan pergulatan batin yang intens tentang arti kesetiaan.

Minggu, 17 September 2017

Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia,

Erna Maria Lokollo (Editor), Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia, IPB Press, Bogor, Juni 2016 (Cetakan Ke-2); (viii + 302 halaman). ISBN 978-979-493-463-0.


Gonjang-ganjing penggerebegan PT IBU (PT Indo Beras Unggul) belakangan ini telah menjadi perbincangan yang intens di media massa, lengkap dengan pro-kontranya, yang bahkan cenderung emosional, disertai sindir-menyindir dari para pendukungnya.
Itulah implementasi pembangunan pertanian di lapangan, yang tidak semudah kajian akademis. Nyatanya, dari doeloe hingga kini, Indonesia belum bisa beranjak dari persoalan beras. Halnya, dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, maka kebutuhannya telah melampaui 35 juta ton beras per tahun. Tak pelak, beras adalah komoditas yang sangat strategis bahkan politis. Tak heran, peristiwa penggerebegan di atas melibatkan para petinggi dari kementrian, kepolisian, dan beberapa lembaga terkait.

----

Buku ini dapat dijadikan pegangan untuk memetakan permasalahan, sekaligus mencari solusinya. Buku ini mengawali pemaparan dengan landasan teoritis tentang definisi manajemen rantai pasok (Supply Chain Management, SCM), dilanjutkan dengan penerapan konsepnya dalam pembangunan pertanian Indonesia. Secara teknis kemudian menjadi menarik ketika para kontributor membahas delapan studi kasus komoditas, yaitu beras (Dewa K. S. Swastika dan Sumaryanto), kentang (Muchjidin Rachmat, Mardiah Hayati, dan Desi Rahmaniar), cabai merah besar (Saptana), melon dan semangka (Saptana, Adang Agustian, dan Sunarsih), kopi (Reni Kustiari), tembakau (Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti), broiler (Saptana dan Arief Daryanto), serta ternak dan daging sapi (Prajogo U. Hadi). Daerah penelitian pun menyebar di wilayah Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Buku ini juga memberi petunjuk, bahwa komoditas beras memang menjadi prioritas khusus, karena ada satu lagi tambahan studi kasus beras di daerah Aceh (Erna Maria Lokollo, DewaKetut Sadra Swastia, dan Wahida). 
Ternyata, rumus kunci dalam penerapan SCMterletak pada pemenuhan terhadap persyaratannya, yakni: (a) Aktivitas yang dilakukan sepanjang rantai pasok harus menghasilkan nilai tambah, (2) Ada peranan jasa di setiap simpul, (3) Harus ada “penentu” harga, baik apa maupun siapa, (4) Ada hubungan kesepadanan antar-pelaku, (5) Bagaimana “terciptanya” nilai tambah di setiap simpul, dan (6) Harus teridentifikasi penentu dan pengambilan keputusan.
Dalam konteks keberlanjutan pembangunan pertanian, perubahan lingkungan strategis seperti liberalisasi perdangangan, pesatnya pertumbunan pasar modern, dinamika permintaan pasar, dan perubahan preferensi konsumen menuntut adanya perbaikan dalam sistem SCM. Dengan penerapan SCM secara konsisten dan berkesinambungan diharapkan terjadi peningkatan produktivitas, efisiensi usaha, serta efektivitas distribusi, sehingga dapat memenuhi sekaligus memuaskan kebutuhan konsumen.

----

Kembali ke kasus PT IBU, menurut pengalaman saya sangat mungkin pengusaha swasta mengambil rente dari sistem komoditas beras yang sedang berlangsung, karena sebagai entitas bisnis pasti mereka ingin mendapat margin. Ketika saya menjadi Tim Bantuan Tenaga Mahasiswa IPB dalam Satgas Pengadaan Pangan Dalam Negeri pada tahun 198081, pembelian gabah dari petani ditetapkan dengan harga yang berbeda antara penjualan melalui KUD dengan swasta, sehingga terjadi kongkalingkong rente ekonomi dalam bentuk “kerjasama” antara pihak swasta dengan koperasi untuk menikmati rente tersebut bersama-sama.
Karena itu, dalam kasus PT IBU belakangan ini, sebaiknya kasus tersebut dibawa ke meja hijau saja, agar jelas siapa yang bersalah dan di mana letask salahnya. Dalam persidangan di pengadilan nanti, kiranya dapat diperoleh pencerahan bagaimana komoditas yang sangat vital ini seharusnya dikelola. Mungkin Editor dan/atau Kontributor penulis buku ini dapat dihadirkan sebagai Saksi Ahli, dalam pemenuhan persyaratan atau prakondisi manajemen SCM.
Kalaupun sejak awal kita ingin menarik hikmah dari kasus PT IBU, dengan berbekal pengetahuan dari buku in, maka hal itu tertuju terutama ke soal optimalisasi peran Bulog di daerah (Dolog dan Subdolog). Atau, perlu juga dipertimbangkan keberadaan BUMD (Badan Usaha Milik Desa) yang telah berhasil di Kabupaten Kulonprogo. Hal yang juga perlu dikaji adalah efektivitas subsidi di hulu (subsistem usahatani). 

Rabu, 03 Mei 2017

The Living Legend: Rachmat Saleh


“Bekerjalah dengan jujur, … kerjakan dengan sepenuh kemampuan untuk mencapai yang terbaik. Dan, .. kalau jadi pemimpin berlakulah sebagai pemimpin yang adil”. Itulah nasihat Bapak Lodan Djojowinoto kepada sang anak yang baru diterima kerja di Bank Indonesia awal 1956. Sang anak tak lain adalah Rachmat Saleh (RS), yang dalam perjalanan karirnya kemudian mencapai puncak sebagai Gubernur Bank Indonesia selama dua periode dan Menteri Perdagangan.
Itulah sepenggal tanggapan RS dalam acara Bedah Buku “Rachmat Saleh: Legacy Sang Legenda” (xxxvii + 444 halaman) di Ruang Serbaguna Kampus Bumi LPPI, Jakarta, sekaligus merayakan ulang tahun RS, 4 Mei 2015.



Sebelumnya, DR. C. Harinowo (Komisaris Bank BCA), Ir. Hartarto (mantan Menteri Perdagangan), dan DR. Achwan (mantan Deputi Gubernur BI) menyampaikan pandangannya tentang buku ini, dipandu oleh moderator DR. Subarjo Joyosumarto (mantan Deputi Gubernur BI, mantan Ketua LPPI, dan kini Rektor Indonesia Banking School). Tentu saja semuanya memuji-muji.
Selain itu, dalam buku ini ada juga beberapa testimoni dari sejumlah tokoh nasional antara lain Wapres Jusuf Kalla yang menyebutnya sebagai “Dirigen Keberpihakan Kepada Pribumi” dan Burhanuddin Abdullah, yang menyebut RS sebagai “Legenda Hidup Perbankan”, atau The Living Legend. Memang kualitas kepemimpinannya luar biasa.
Dalam usianya yang sudah melewati 85 tahun, suara RS masih mantap dan berwibawa untuk menjawab berbagai pertanyaan, termasuk alasan kenapa dalam proses penyusunan buku itu dia sama sekali tak terlibat, bahkan untuk sekadar diwawancarai. Seperti diketahui, biografi ini memang tampil istimewa karena seluruhnya merupakan penuturan orang lain, bukan dari sang tokoh.
Pernah saya dengar dari para pendukung proses penulisan buku ini, bahwa RS menolak ketika sampul bukunya itu akan menampilkan foto dirinya yang cukup besar, seperti kebanyakan buku biografi. Hasil kompromi, akhirnya foto RS dipasang minimal, dan bendera merah putih yang berkibar diu belakangnya.
Semoga kehadiran buku ini memberi manfaat, khususnya contoh keteladanan dari sang pemimpin, Bapak Rachmat Saleh. Aamiin.

Minggu, 19 Maret 2017

NAMAKU DAHLIA, Kisah Kelompok Perempuan di Dusun Lubuk Beringin

Penulis: Syafrizaldi, 

Judul Buku: Namaku Dahlia. Kisah Kelompok Perempuan di Dusun Lubuk Beringin

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun Terbit: 2015

Tebal: 180 halaman

ISBN 978-602-03-1712-0.




Buku ini bukan novel, apalagi fiksi. Buku ini adalah kisah nyata, true story, 15 tahun perjuangan kelompok perempuan di Dusun Lubuk Beringin untuk keluar dari keterpurukan ekonomi. 
Di dusun pedalaman yang berjarak sekitar 350 km dari pusat ibukota Provinsi Jambi ini akan kita dapati sekelompok perempuan luar biasa. Mereka adalah organisator andal. Kegiatan "yasinan" dikreasikan menjadi arisan, yang lalu berkembang menjadi lembaga keuangan mikro yang kuat, sekaligus memberi manfaat bagi penduduk untuk memberdayakan potensi ekonomi lokal yang berbasis pertanian. Mereka berhasil mengusir rentenir dan menghalau pencari rente dari luar kampung.

Gerakan perempuan yang kemudian membentuk Koperasi Wanita Dahlia ini, memang bukan koperasi beraset dan beromset besar yang wah, ... namun semangat kemandirian dan gotong royong sungguh demikian tertanam dalam. Mereka tak sungkan mengembalikan uang bantuan dari Pemerintah yang "ada-ada saja" maunya.

Kisah perjuangan para perempuan andal ini sungguh layak menjadi referensi bagi gerakan perekonomian lokal bersemangat koperasi di seluruh penjuru negeri.

Gerakan perempuan yang kemudian membentuk Koperasi Wanita Dahlia ini, memang bukan koperasi beraset dan beromset besar yang wah, ... namun semangat kemandirian dan gotong royong sungguh demikian tertanam dalam. Mereka tak sungkan mengembalikan uang bantuan dari Pemerintah yang "ada-ada saja" maunya.

Kisah perjuangan para perempuan andal ini sungguh layak menjadi referensi bagi gerakan perekonomian lokal bersemangat koperasi di seluruh penjuru negeri.


Contoh keberhasilan semacam ini seharusnya memang didokumentasikan. Bukan untuk dicopy paste di tempat lain, karena setiap daerah berbeda masalah. Melainkan sebagai referensi bahwa ada cara lain untuk menyiasati situasi.

HUJAN, novel karya Tere Liye

Penulis: TERE LIYE

Judul Buku: Hujan

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun terbit: Januari 2016

Tebal: 320 halaman

ISBN: 978-602-03-2478-4



Di pagi yang gerimis 21 Mei 2042, penghuni bumi sedang merayakan kelahiran bayi yang ke 10 milyar, ketika sebuah gunung purba meletus, dengan kekuatan 100 kali lipat letusan Gunung Krakatau atau Gunung Tambora. Hanya sepuluh persen penduduk bumi yang selamat, termasuk Lail dan Esok, lelaki 15 tahun, yang menyelamatkan Lail dari stasiun kereta bawah tanah yang runtuh.

Hari itulah awal Lail yatim piatu di usia 13, sekaligus awal kisah cintanya. Kisah cinta yang mengalir dalam setting pasca bencana. Kisah cinta yang sunyi dalam era kecanggihan teknologi. Kisah cinta jarak jauh di antara perjuangan untuk kemanusiaan dan proyek kapal rahasia untuk penyelamatan penghuni bumi dari kepunahan. Kisah tentang Lail yang merasa bertepuk sebelah tangan.

***

“Aku ingin melupakan hujan”, kata Lail, yang putus harapan, delapan tahun setelah musibah itu. Teknologi canggih di Pusat Terafi Saraf telah sampai di tahap akhir untuk menghapus ingatan Lail tentang hujan, kesedihan dan penderitaan. Tetapi, di saat kritis itulah Esok datang, ...

***

Inilah novel terbaru Tere Liye yang berkisah tentang “Hujan”, tentang “Melupakan”, tentang “Perpisahan”, tentang “Cinta” dan tentang “Persahabatan”.

Namanya juga fiksi, penyebutan 21 Mei 2042 dalam novel ini tak usahlah terlalu dipikirkan.

MATA HARi, novel karya Paui Coelho

Penulis: Paulo Coelho

Judul Buku: MATA HARI

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2016

Tebal: 192 halaman

ISBN: 978-602-03--3613-8.




MATA HARI

"Langsing dan tinggi, lentur dan gemulai seperti binatang liar, Mata Hari memiliki rambut hitam yang menggelombang aneh dan membawa kita ke tempat ajaib".

Itulah salahsatu kutipan klipping koran-koran di Inggris tahun 1900an tentang Mata Hari, yang kisah nyatanya diangkat dari dokumen dinas intel Inggris, dan dibuka untuk publik pada tahun 1999.

Paulo Coelho, sang maestro penulis novel ini, menghidupkan kembali cerita tentang salah satu wanita paling misterius dalam sejarah. Dan Indonesia yang kala itu bernama Hindia Belanda, sempat menjadi tempat mukim Mata Hari bersama tentara Belanda yang menikahinya pada 11 Juli 1895. Namun keluarganya yang tidak harmonis mengantarnya untuk berkelana di Eropa, dimulai dari Perancis.

Sebagai penari, dia membuat para penontonnya syok dan berdebar-debar; sebagai wanita penghibur, daya tariknya membius pria-pria paling kaya dan berkuasa pada zaman itu.

Tetapi, ketika Perang Dunia Pertama berkecamuk, paranoia menyelimuti seantero negeri. Ia ditangkap dan dituduh melakukan kegiatan mata-mata, yang kemudian mengantarnya ke penjara dan riwayat hidupnya berakhir di depan 12 orang regu penembak pada subuh hari 15 Oktober 1917.

Itulah keputusan hukum yang ternyata disesali oleh jaksa Andre Mornet pada tahun 1947. Katanya " ... bukti yang kami miliki begitu lemah sehingga tidak mungkin cukup untuk menghukum seekor kucing sekalipun".