Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2017

Roda Pedati


Kembali terbukti, bahwa hidup bagaikan roda pedati, yang bergerak memutar, kadang ke depan, ada kalanya ke belakang. Suatu ketika berada di atas, kali lain terdampar di bawah.
Para haters kiri yang jadi pecundang pada tahun 2012 dan 2014 hingga kini tetap menjadi pembenci, pendengki dan penebar fitnah yang tak pernah lelah. Nggak move on. Deritanya tampaknya terus menggumpal bagai bola salju yang terus menggelinding entah sampai kapan.
Hari berganti, dan roda pun berputar. Mereka, para haters kiri itu, kini merasakan nikmatnya kemenangan dalam kontestasi di Pilkada DKI, berkat keberhasilan menjual ayat dan menolak mayat melalui demo berjilid-jilid JUTAAN ORANG (katanya) hanya untuk menjebloskan SATU ORANG SAJA yang dipaksakan didakwa sebagai penista agama. Karena baru merasakan kemenangan dan memendam bara yang tertahan hampir tiga tahunan maka kecenderungan euforianya jadi over dosis.
Dan perilaku pun berulang. Seperti pada kasus 2012 dan 2014, euforia kemenangan para haters kiri tersebut segera dibalas pihak haters kanan yang kini sedang jadi pecundang dan merasa dapat giliran untuk marah dan meradang.
Pidato Anies yang kesleo lidah seperti halnya "sang penista agama", segera diserang dengan berbagai cara, termasuk melaporkannya ke polisi. Selain soal (1) "pribumi" dan (2) "ahistoris kolonialisme hanya terjadi di Jakarta" yang konyol itu, kini bahkan hal remeh-temeh pun jadi sasaran olok-olok dan cercaan haters kanan, tak beda dengan kelakuan para haters kiri yang morang-maring paska Pilkada DKI tahun 2012 dan Pilpres tahun 2014.
Ditambah dengan banyolan Sandi yang gagap dalam berucap dan belepotan dalam berbahasa, maka genaplah sudah ketika ada hater yang tega-teganya mengganti sebutan untuk Gubernur jadi Gabener dan Wakil Gubernur jadi Wagabener. Ada-ada saja.
Musim hujan mulai tiba, dan perlahan namun pasti musim banjir pun akan melanda. Mengikuti contoh mada lalu, dapat dipastikan akan banyak canda dan cercaan tentang banjir tersebut, seperti yang dialami penguasa terdahulu.
______
Tanpa kesadaran untuk rekonsiliasi, boleh jadi ke depan negeri ini akan terus berisik. Haters kiri maupun haters kanan saling berbalas dan menghinakan. Keduanya nggak move-on move- on.
Karena itu, saya berharap, semoga fenomena balas-berbalas dendam ini dapat diredam agar tidak terus bergelora dan memaksakan kehendak menjadi demo balasan berjilid-jilid oleh para haters kanan. Selanjutnya biarlah ditangani aparat dan berakhir di pengadilan, tanpa pihak yang berusaha memaksakan kehendak. Kisah kelam akhir 2016 janganlah diulang karena hanya akan menguras energi bangsa, yang pada akhirnya hanya akan melanggengkan ketertinggalan dari negara tetangga yang sudah lebih dulu maju, melaju.
Semoga kutukan keris Empu Gandring dengan balas dendam yang berkepanjangan dapat diakhiri. Derita negeri cukupkan sampai di sini.
Harapan ini kiranya bukan utopia, karena beberapa pentolan ahli fitnah waljamaah sudah ada yang dikandangkan dan buron polisi.
Sebaliknya, untuk haters kanan tak perlu membalas dendam dengan serampangan, apalagi kalau sampai harus berhadapan dengan kepolisian dan pengadilan, karena hanya buang waktu dan menyusahkan keluarga seperti yang sudah dialami beberapa orang haters kiri. Marilah berdamai dengan diri sendiri.
Biduk lalu, kiambang bertaut. Pilkada berlalu, pendukung bersatu.
Semoga.

Minggu, 17 September 2017

DARI PERGURUAN TINGGI, MEMBANGUN NEGERI


ASEP SAEFUDDIN, Dari Perguruan Tinggi Bangun Negeri, Rajawali Press, Jakarta, Maret 2017, 242 halaman.
ISBN 978-602-425-145-1.

___
Penulis buku ini, Prof Dr. Ir. Asep Saefuddin, adalah anak saintifik Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion. Betapa tidak. Saya mengenal Kang Asep sejak sama-sama kuliah di Insitut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1976. Saya tahu bahwa sejak awal Kang Asep menjadi “anak emas” Pak Andi Hakim, antara lain karena merupakan sedikit dari mahasiswa IPB yang IPK-nya selalu tinggi.



Dari biografi singkat di bagian akhir buku ini (Bagian Delapan, halaman 194-240), segera tampak, bahwa perjalanan hidup, keilmuan dan karir Kang Asep banyak diwarnai dan tak lepas dari peran Pak Andi. Tak heran kalau dua tahun terakhir Kang Asep menjadi anggota Tim Pengusul Pemberian nama Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion, -- jalan menuju Kampus IPB Baranangsiang yang dulu disebut Jl. Rumah Sakit II.

Sekalipun berbeda latar belakang antara Batak dan Sunda, ada kesamaan antara Pak Andi dengan Kang Asep: Keduanya sama-sama Guru Besar IPB bergelar Prof Dr Ir, berkeahlian di bidang statistika, menjadi administartor perguruan tinggi, aktivis kampus, ... dan suka menulis dalam berbagai denominasi pemikiran.

Buku ini contohnya. Buku ini bukan buku ilmiah kepakaran Kang Asep sebagai ahli statistika, melainkan penuangan gagasannya yang terkait dengan pengalamannya menjadi administrator perguruan tinggi, tepatnya sebagai Rektor Universitas Trilogi sejak 3 Oktober 2013 hingga sekarang. Luar biasa, dalam rentang yang pendek itu, terkumpul 49 tulisan yang sebagian besar pernah dimuat di media massa. Karena Universitas Trilogi berpilarkan Teknopreneur, Kolaborasi, dan Kemandirian, maka salahsatu Bagian dari kumpulan tulisan ini fokus pada ketiga pilar tersebut.

Sebagai rampaian tulisan yang serba singkat, tak terhindarkan bahwa uraiannya tak sampai final untuk jadi sebuah proposal kegiatan yang rinci, tetapi sejumlah gagasannya kiranya akan menjadi tongkat penunjuk ke arah ketidaktahuan yang harus dielaborasi kemudian.

Buku ini dibagi menjadi tujuh Bagian, yang ketujuhnya diberi judul awal “Perguruan Tinggi”, baru diikuti dengan pokok bahasannya, yaitu: (1) Generasi Teknopreneur, (2) Ilmu Pengetahuan, (3) Etika dan Sosial Politik, (4) Gagasan dan Riset, (5) Kolaborasi dan Kemandirian, (6) Revolusi Mental dan Pendidikan, serta (7) Sistem Pendidikan Nasional.

Itulah garis besar gagasan Prof Dr Ir. Asep Saefuddin untuk membangun negeri dari perguruan tinggi. Peran yang menjadi obsesinya agar perguruan tinggi menjadi lumbung ide sebagai jalan penyelesaian masalah bangsa, ... sebagai tambahan khazanah urgensi perguruan tinggi.

Perguruan tinggi memang bukan segalanya, namun segalanya bisa lahir dan diselesaikan di sini. “Dari Perguruan Tinggi, Mari Kita Membangun Negeri”, katanya (halaman ix).

Selasa, 18 Agustus 2015

BANDUNG: Perpustakaan Ajip Rosidi


PERESMIAN PERPUSTAKAAN AJIP ROSIDI 

Perpustakaan Ajip Rosidi, alhamdulillah, kini telah berdiri di Jl Garut Nomor 2 Bandung dan diresmikan menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-70. Bangunan berlantai tiga itu kini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. 

Pada tahap awal, tak kurang dari 40 ribu buku siap dinikmati secara manual dan 20 ribu di antaranya sudah dalam bentuk digital, dari berbagai denominasi keilmuan dalam berbagai ragam bahasa, tak cuma yang berbahasa Sunda. Di antaranya terdapat Majalah Mangle tahun 1960an, juga sejumlah karya tentang Indonesia yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Dalam biantara (pidato) peresmian yang hampir satu jam, Kang Ajip menyampaikan latar belakang munculnya gagasan pendirian perpustakaan ini, antara lain sebagai tindak lanjut dari Kongres Internasional Budaya Sunda I (KIBS I, Agustus 2001). Tak lupa disampaikan perjuangan kerasnya untuk merealisasikan perpustakaan ini, termasuk upayanya untuk memulai menggalang dana dengan menjual sejumlah lukisan koleksi pribadinya di Singapura. Sejumlah nama dan lembaga juga disebut sebagai pihak yang memberikan dukungan dan sumbangan, baik untuk pembangunan gedung maupun perlengkapan dan tambahan bukunya.

Selesai biantara, Kang Ajip mengantar pengunjung untuk melihat pameran karikatur tokoh Sunda (di lantai 1), koleksi buku (di lantai 2) dan lukisan (di lantai 3). Dalam usianya yang ke-77, kelelahan agaknya menyergapnya begitu saja, dan Kang Ajip ambruk, pingsan; -- untunglah hanya beberapa saat berkat perawatan dokter, kerabat dan sahabatnya.

Hatur nuhun Kang Ajip Rosidi, panitia dan para penyelenggara, sehingga perpustakaan ini telah siap dimanfaatkan masyarakat.

Semoga perjuangan Kang Ajip membuka mata dan hati para tokoh Sunda lainnya untuk menunjukkan kemaslahatannya bagi bangsa dan sesama. Dan harapan Kang Ajip dalam penutup biantara kiranya dapat segera menjadi kenyataan:

"Anggapan bahwa orang Sunda kurang peranannya di lingkungan nasional di antaranya disebabkan orang Sunda kurang suka membaca. Mudah-mudahan sesudah tersedia bukunya, orang Sunda tidak lagi kalah oleh orang lain".

Aamiin.

Bandung, 15 Agustus 2015.

Senin, 04 Mei 2015

Peranan Pers Mahasiswa: Intelektualitas atau Aktivisme ?




PERANAN PERS MAHASISWA
DALAM LATAR BARU GERAKAN KEMAHASISWAAN
INTELEKTUALITAS ATAU AKTIVISME?

Oleh: AE Priyono dan Tika Noorjaya


Sebenarnya judul yang diminta kepada kami untuk makalah ini adalah “Kontribusi Penerbitan Kampus Mahasiswa yang Bervisi Akademis dalam Pembentukan Mentalitas Keilmuan bagi Mahasiswa”.
Tulisan ini menghindari judul optimistis yang dimintakan oleh panitia itu hanya dengan satu alasan, yakni bahwa lembaga pers mahasiswa bukanlah variabel yang bebas bagi terciptanya mentalitas keilmuan mahasiswa. Pers mahasiswa lebih merupakan variabel yang tegantung dari kondisi kampus pada umumnya. Mereka yang pesimistis akan mengatakan bahwa pers mahasiswa bahkan akan hanya suatu non-faktor, ia jelas tak akan mempunyai kontribusi apa-apa.
Rupanya ada variabel lain yang benar-benar merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi subur atau hancurnya iklim akademis di kampus-kampus. Berikut ini hanya sebuah ilustrasi: jika sistim pendidikan sebuah negara hanya berkepentingan memproduksi mahasiswanya untuk sekedar sebagai “sekrup pembangunan”, jika mahasiswanya tumpul daya kristisnya dan tumpul hati nuraninya. Maka mustahil mengharapkan kehidupan kampus yang sehat, dan dengan demikian tak usahlah  mengharapkan iklim yang subur dalam kehidupan kampus yang sehat dalam kehidupan intelektual mahasiswa, dengan atau tanpa pers mahasiswa. Sebuah rezim yang anti-inteletual memang selalu melahirkan malapetaka bagi dunia akademis. Malapetaka itu antara lain berupa pembangunan lembaga-lembaga mahasiswa, dan pembredelan pers mahasiswa.
Ilustrasi di atas mengisyaratkan satu pesan, yaitu bahwa membicarakan pers mahasiswa dan peranan atau kontribusinya dalam pembentukan mentalitas keilmuan mahasiswa, sama sekali tidak bisa dilakukan di dalam ruang “vacum”, seakan-akan faktor-faktor makro politik pendidikan tinggi tidak punya pengaruh. Oleh karena itu, jika tulisan ini hendak setia pada judul semula, tentulah variabel-variabel penting dalam ilustrasi di atas perlu mendapat perhatian.
Daripada membicarakan sesuatu yang nampak muskil, tulisan ini akan lebih menyoroti kondisi riil pers mahasiswa dewasa ini dalam konteksnya yang lebih relevan sebagai bagian dari dinamika gerakan kemahasiswaan. Jika pers mahasiswa memiliki peranan dalam sejarah gerakan kemahasiswaan, sampai sejauh manakah peranan itu berfungsi dalam pembentukan ideologi mahasiswa? Kita sangat terganggu dengan kenyataan bahwa dewasa ini pers mahasiswa lebih merupakan ekspresi dari kondisi empiris dunia mahasiswa yang sedang mengalami involusi, aktual maupun simbolis. Ada gejala kebangkitan pers mahasiswa seperti dilihat akhir-akhir ini.  Tapi adakah gejala itu mewakili semangat dari dalam atau dari luar, kita masih belum pasti. Munculnya komite-komite pembelaan pers yang baru-baru ini pernah disorot terutama di Yogyakarta dan Jawa Tengah, menunjukkan indikasi lain dari tumbuhnya semangat aktivitas di kalangan aktivis pers mahasiswa yang juga semakin banyak disponsori institusi-institusi kampus senidiri semakin menunjukkan adaya gairah intelektualisme. Rupanya gejala aktivisme dan intelektualisme merupakan dua hal yang berbeda yang semakin menunjukkan perbedaan orientasi di kalangan aktifisnya. Tulisan ini akan mencoba melihat kenyataan ini sekedar untuk mendeskripsikannya dan sekaligus melihatnya dalam perspektif gerakan kemahasiswaan secara lebih luas yang akhir-akhir ini banyak dianggap sedang memasuki latar baru – sebuah setting objektif yang belum banyak dipetakan bagaimana bakal jadinya.

Dilema Otonomi Pers Mahasiswa

Sampai sejauh ini, pers mahasiswa masih terus menjadi objek kebijaksanaan. Banyak pihak, dari dalam maupun dari luar, menginginkan macam-macam peranan yang harus dimainkan. Pers mahasiswa, sebagaimana tradisinya di masa lalu, tampaknya masih dianggap sebagai lembaga yang strategis, baik untuk kepentingan akademis maupun politis. Di tengah-tengah posisi saling memperebutkan semacam ini, kita memang perlu mempertanyakan apakah sekarang pers mahasiswa masih memiliki kebebasan untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri? Oleh karena itu segera menjadi jelas bahwa “otonomi” akan merupakan kata kunci dalam pembicaraan mengenai peranan dan kontribusi pers mahasiswa. Dengan kebijaksanaan seperti ini rupanya pers mahasiswa harus menjadi suatu penerbitan di bawah kendali kampus di mana rektor adalah penguasa tertingginya. Kita tidak bisa menafsirkan lain bahwa perubahan nama itu dengan sendirinya telah memperlihatkan niat politisnya yang hegemonik untuk birokratisasi. Tanpa otonomi pers mahasiswa hanya akan memainkan peranan palsu dengan kontribusi palsu. Otonomi bukan saja diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran sejati mengenai peranannya dalam memupuk kritisisme intelektual, tapi juga untuk menyuarakan komitmen-komitmen dan seruan-seruan sosialnya. Tanpa otonomi, pers mahasiswa akan mengalami disorientasi baik secara intelektual maupun sosial, jika bukan malah kehilangan kedua-duanya.
Diperlukannya otonomi pers mahasiswa tentulah bukan dalam pengertian institusional dan finansial. Pers mahasiswa jelas dimaksudkan untuk memenuhi salah satu fungsi penting kehidupan kampus: kebutuhan akan adanya forum yang independen (bagi mahasiswa). Secara keseluruhan masyarakat kampus bertanggung jawab untuk adanya forum semacam itu – yang salah satu bentuknya adalah pers mahasiswa – harus dimungkinkan.
Sebagai forum yang independen, lembaga pers mahasiswa jelas akan menolak bentuk interfensi. Cita-cita independensi dan non-interfensi merupakan keinginan yang sah untuk otonomi. Kita sangat risau bahwa cita-cita ini bukan saja hanya harus berhadapan dengan upaya-upaya dari luar untuk subordinasi dan dominasi, tapi juga dibayang-bayangi oleh strerilisasi dan apatisme di kalangan mahasiswa sendiri. Pada titik ini kita bisa mengatakan bahwa cita-cita otonomi pers mahasiswa memang sedang menghadapi dilema: dari luar ia menghadapi regimentasi birokratik, dan dari dalam menghadapi apatisme involutif. Makalah ini, harus diakui, tidak akan menghasilkan apa-apa untuk memecahkan dilema ini.

 Pers Mahasiswa dalam Dinamika Gerakan Kemahasiswaan

Bahwa kondisi kehidupan pers mahasiswa dewasa ini sangat merosot, kita sudah sangat mahfum. Mengharapkan peranannya sebagai katalisator untuk dinamika politik, jelas seperti mengharapkan kemustahilan. Tradisi pers mahasiswa Indonesia yang pernah memiliki peranan untuk pembentukan opini seperti yang terjadi di masa-masa yang lalu, kini tak lagi ada. Mahasiswa Indonesia rupanya pernah berbangga memiliki agen-agen pembentukan opini yang cukup berpengaruh baik pada masa awal orde baru maupun ketika terjadi proses pencairan politik nasional pada dekade-dekade 1970-an. Nama-nama koran dan majalah mahasiswa seperti Mahasiswa Indonesia, Angkatan 66, dan Harian Kami pada masa awal-awal orba; juga nama-nama seperti Salemba (UI), Gelora Mahasiswa (UGM), Kampus (ITB), Derap Mahasiswa (Ikip Jogjakarta), atau Muhbibah (UII) pada pertengahan kedua tahun1970-an dan awal 1980-an, menjadi bukti sejarah betapa pers mahasiswa pernah punya peranan besar bukan saja sebagai wahana kritisme intelektual, tapi juga sebagai komunikasi politik dan pembentuk opini keluar.
Kita memang bisa mencatat adanya pergeseran yang menarik mengenai basis institusional dan idiologis pers mahasiswa pada dua periode itu. Jika pada periode awal orde baru pers mahasiswa lebih berbasis pada solidaritas pengelompokkan idiologis sehingga tampak mencerminkan adanya aliansi mahasiswa dengan kekuatan politik di luar kampus, pada periode 1970-an dan awal 1980-an, pers mahasiswa lebih merupakan wakil dari suara kampus masing-masing. Rupanya ini terjadi karena penarikan diri gerakan mahasiswa untuk menjadi gerakan yang lebih independen yakni yang lebih mewakili kelompoknya sendiri dengan orientasi politiknya sendiri. Demikianlah dinamika pers mahasiswa ternyata dipengaruhi oleh orientasi gerakan mahasiswa yang lebih luas. Jika pada awal-awal orde baru pers mahasiswa tampak mewakili kepentingan-kepentingan dan aliansi-aliansi politiknya dengan kekuatan riil di luar kampus, maka pada periode berikutnya orientasi ini segera berubah lebih “ke dalam”— suatu pergeseran orientasi yang oleh beberapa pengamat dianggap mencerminkan adanya dialektik antara kondisi subyektif gerakan kemahasiswaan dan kondisi obyektif situasi politik makro.
Maraknya gerakan-gerakan kemahasiswaan pada dekade 1970-an dan awal 1980-an yang berkubu di kampus menyebabkan pers mahasiswa juga semakin galak. Menghindari trauma aliansi dengan meiliter pada pertengahan 1960-an yang pada kenyataannya berakhir abortif, gerakan-gerakan kemahasiswaan yang banyak disuarakan pers mahasiswa sendiri mulai mencari format gerakannya yang baru. Upaya ini makin terasa dibutuhkan ketika peristiwa Malari yang terjadi pada tahun 1974 membawa gerakan-gerakan mahasiswa pada dilema politik praktis. Ada perdebatan sengit apakah gerakan mahasiswa hanya sekedar gerakan moral atau politik dengan target-target politik tertentu. Akan tetapi sebelum perdebatan berakhir dengan kesimpulan definitif dengan format bersama, pemerintah kemudian melakukan depolitisasi kampus melalui program NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dengan implikasinya yang tragis: alienasi mahasiswa dari politik, apatisme sosial.
Dengan memperhatikan nama saja, NKK jelas diterapkan dengan sepenuhnya sterilisasi – sebuah rekayasa politik terhadap kelompok muda terpelajar yang kini secara implisit diakui sendiri kekeliruannya oleh pemerintah. Kendati pun demikian sungguh menarik untuk diungkapkan, dengan efek NKK rupanya mengandung blessing in disguise tersendiri. Pengambilan jarak yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa dalam kegiatan politik praktis – meskipun menyebabkan mereka kehilangan aksesnya untuk menjalin hubungan dengan massa – telah membuka peluang lain dalam kegiatan-kegiatan intelektual. Tumbuhnya kelompok-kelompok studi terutama sejak pertengahan 1980-an, membuktikan fenomena itu. Mungkin kita bisa menjadi lebih terbatas, akan tetapi mereka telah memperluas ruangan lain dalam dunia intelektual.
Barangkali benar yang dikatakan Denny J.A. bahwa satu-satunya ruangan yang tersisa bagi kegiatan mahasiswa pasca –NKK memang hanya dalam kegiatan intelektual saja. Akan tetapi menganggap bahwa kegiatan intelektual tersebut menjadi satu-satunya alternatif bagi pola perpolitikan mahasiswa untuk periode 1980-an, jelas adalah anggapan yang gegabah. Ini dibuktikan sendiri dalam proses aktifis, aksi inteletual tidaklah cukup untuk merepresentasikan kesadaran sosial mereka sebagai kelompok muda terpelajar. Itu sebabnya aksi-aksi massa yang secara langsung berhubungan dengan politik praktis harus digerakkan kembali.
Pada titik perdebatan inilah, orientasi gerakan mahasiswa menjadi terpecah dalam dua kelompok. Mereka yang berorientasi intelektualisme ekstrim menganggap kekuatan mahasiswa tetap merupakan kekuatan yang semu (apparent force) yang berfungsi untuk mendukung kekuatan inti (main force) dalam proses perubahan politik. Bagi kelompok ini, kekuatan inti tersebut bisa berasal dari militer atau kelompok-kelompok lain di kalangan elite. Mereka juga beranggapan bahwa dalam situasi di mana ekspansi artikulasi negara hanya bisa berlangsung jika hal itu dilakukan dari dalam negara. Dengan anggapan seperti inilah mereka menganggap gerakan mahasiswa hanya bisa dilihat sebagai latihan kecil untuk menghadapi momentum besar perubahan politik yang sesungguhnya.
Berbeda dengan itu, kelompok yang berorientasi aktifisme ekstrim menganggap gerakan mahasiswa tetap memiliki bargaining politik yang kuat, bahkan lebih kuat jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan buruh, petani, atau sektor-sektor sosial lainnya. Itu sebabnya gerakan mahasiswa harus dikonsolidasikan sebagai kekuatan politik riil, bukan saja pada level organisasional untuk mereduksi kecenderungan sektarian (karena sentimen almamater atau sentimen regional), tapi juga dalam level isyu gerakan untuk menarik simpatik dengan dukungan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Mereka beranggapan bahwa sudah saatnya kini menjalin aliansi massa di tingkat bawah. Jadi, berbeda dengan kelompok yang berorientasi intelektualisme, yang menganggap gerakan mahasiswa bukan agen perubahan karena kekuatannya hanya semu, kelompok yang berorientasi aktivisme memandang gerakan mahasiswa akan menjadi kekuatan riil karena kemampuan artikulatifnya untuk mewakili kelompok-kelompok sosial lain yang lebih luas.
Demikianlah, dengan prihatin kita akan mengatakan bahwa kebangkitan kembali gerakan kemahasiswaan yang dimulai akhir-akhir ini, sesungguhnya diawali dengan perpecahan antara mereka yang intellectual-oriented dan mereka yang action-oriented. Dalam latar seperti inilah, muncul aura konflik yang tidak sehat antara intelektualisme dan aktivisme. Dan persis pada latar ini pula peranan pers mahasiswa akan dipertaruhkan.

 Pers Mahasiswa 1990-an: Perlunya Visi Intelektual dan Sosial Baru

Percekcokan antara intelektualisme dan aktivisme di kalangan gerakan mahasiswa rupanya belum akan berakhir dalam waktu dekat ini. Hal ini tampaknya akan berpengaruh pada identifikasi diri mengenai peranan pers mahasiswa: apakah ia akan muncul dengan format akademis – dan semata-mata akademis belaka -- atau akan terjebak sekedar menjadi corong politik semata.
Sikap terbaik untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan antagonis ini bukan harus dijawab dengan logika either-or, tapi lebih dengan jawaban but-and. Kita percaya bahwa intelektualisme tanpa aksi adalah kemubaziran moral, seperti halnya kita percaya bahwa aksi kolektif tanpa pandangan dan pilihan intelektual yang jelas hanyalah perjudian politik.
Peranan simbolis dan aktual pers mahasiswa dewasa ini rupanya sangat tergantung pada sejauh mana ia bisa mengelaborasi visi intelektual dan sosialnya untuk pembentukan opini, bukan saja di kalangan mahasiswa, tetapi juga keluar untuk menjangkau tumbuhnya kesadaran mengenai perubahan. Mungkin akan menjadi sangat ideal untuk menganggap pers mahasiswa memiliki peran untuk kosientasi, untuk penyadaran. Tapi bahwa itulah yang menjadi tugas utamanya, kita tidak akan bisa membantahnya. Kita yakin bahwa penyadaran merupakan langkah pertama untuk setiap transformasi, bahkan revolusi. Itu sebabnya gerakan penyadaran yang menjadi fungsi simbolik pers mahasiswa – apa pun artinya – akan menjadi gerakan garda depan.
Bahwa fungsi simbolik seperti itu harus ditumbuhkan ke dalam peranannya yang aktual, tentu perlu pemikiran lebih lanjut. Satu hal yang paling penting diperhatikan adalah bahwa pers mahasiswa kini perlu melakukan reorientasi untuk lebih menegaskan lagi visi intelektual dan sosial tertentu, sebuah institusi pers tidak akan berfungsi sebagai lembaga pembentuk opini yang efektif. Format dari visi intelektual dan sosial pers mahasiswa, dengan demikian akan menjadi basis bagi perumusan kebijakan redaksional dan strategi pembentukan opininya. Kaitan antara visi dan kebijakan dan strategi, rupanya akan sangat mempengaruhi peranan aktualnya yang empiris. Di tengah-tengahnya kita harus merumuskan posisi diri dalam ekologi informasi obyektif yang ada di sekitar kita. Dalam kaitan ini politik informasi nasional misalnya, sangat perlu mendapat pertimbangan.
Persis pada titik inilah, kita bisa mengawali diskusi yang sesungguhnya, sehingga ini bisa diselesaikan sebagai pengantar untuknya.

Makalah ini disampaikan dalam “Temu Aktivis Penerbitan Kampus Mahasiswa se Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Majalah Mahasiswa PABELAN, di Gedung Puslitbang Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12-15 Maret 1990: