Tampilkan postingan dengan label Sosiologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosiologi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2017

Roda Pedati


Kembali terbukti, bahwa hidup bagaikan roda pedati, yang bergerak memutar, kadang ke depan, ada kalanya ke belakang. Suatu ketika berada di atas, kali lain terdampar di bawah.
Para haters kiri yang jadi pecundang pada tahun 2012 dan 2014 hingga kini tetap menjadi pembenci, pendengki dan penebar fitnah yang tak pernah lelah. Nggak move on. Deritanya tampaknya terus menggumpal bagai bola salju yang terus menggelinding entah sampai kapan.
Hari berganti, dan roda pun berputar. Mereka, para haters kiri itu, kini merasakan nikmatnya kemenangan dalam kontestasi di Pilkada DKI, berkat keberhasilan menjual ayat dan menolak mayat melalui demo berjilid-jilid JUTAAN ORANG (katanya) hanya untuk menjebloskan SATU ORANG SAJA yang dipaksakan didakwa sebagai penista agama. Karena baru merasakan kemenangan dan memendam bara yang tertahan hampir tiga tahunan maka kecenderungan euforianya jadi over dosis.
Dan perilaku pun berulang. Seperti pada kasus 2012 dan 2014, euforia kemenangan para haters kiri tersebut segera dibalas pihak haters kanan yang kini sedang jadi pecundang dan merasa dapat giliran untuk marah dan meradang.
Pidato Anies yang kesleo lidah seperti halnya "sang penista agama", segera diserang dengan berbagai cara, termasuk melaporkannya ke polisi. Selain soal (1) "pribumi" dan (2) "ahistoris kolonialisme hanya terjadi di Jakarta" yang konyol itu, kini bahkan hal remeh-temeh pun jadi sasaran olok-olok dan cercaan haters kanan, tak beda dengan kelakuan para haters kiri yang morang-maring paska Pilkada DKI tahun 2012 dan Pilpres tahun 2014.
Ditambah dengan banyolan Sandi yang gagap dalam berucap dan belepotan dalam berbahasa, maka genaplah sudah ketika ada hater yang tega-teganya mengganti sebutan untuk Gubernur jadi Gabener dan Wakil Gubernur jadi Wagabener. Ada-ada saja.
Musim hujan mulai tiba, dan perlahan namun pasti musim banjir pun akan melanda. Mengikuti contoh mada lalu, dapat dipastikan akan banyak canda dan cercaan tentang banjir tersebut, seperti yang dialami penguasa terdahulu.
______
Tanpa kesadaran untuk rekonsiliasi, boleh jadi ke depan negeri ini akan terus berisik. Haters kiri maupun haters kanan saling berbalas dan menghinakan. Keduanya nggak move-on move- on.
Karena itu, saya berharap, semoga fenomena balas-berbalas dendam ini dapat diredam agar tidak terus bergelora dan memaksakan kehendak menjadi demo balasan berjilid-jilid oleh para haters kanan. Selanjutnya biarlah ditangani aparat dan berakhir di pengadilan, tanpa pihak yang berusaha memaksakan kehendak. Kisah kelam akhir 2016 janganlah diulang karena hanya akan menguras energi bangsa, yang pada akhirnya hanya akan melanggengkan ketertinggalan dari negara tetangga yang sudah lebih dulu maju, melaju.
Semoga kutukan keris Empu Gandring dengan balas dendam yang berkepanjangan dapat diakhiri. Derita negeri cukupkan sampai di sini.
Harapan ini kiranya bukan utopia, karena beberapa pentolan ahli fitnah waljamaah sudah ada yang dikandangkan dan buron polisi.
Sebaliknya, untuk haters kanan tak perlu membalas dendam dengan serampangan, apalagi kalau sampai harus berhadapan dengan kepolisian dan pengadilan, karena hanya buang waktu dan menyusahkan keluarga seperti yang sudah dialami beberapa orang haters kiri. Marilah berdamai dengan diri sendiri.
Biduk lalu, kiambang bertaut. Pilkada berlalu, pendukung bersatu.
Semoga.

Selasa, 15 Maret 2016

Kritik



KRITIK
Oleh Tika Noorjaya

Kritik yang baik bersifat membangun. Boleh saja mengecam kebijakan pemerintah yang dinilai keliru tapi harus mampu memberikan alternatifnya. Pernyataan harus punya dasar dan kriteria yang jelas. Kritik juga harus obyektif, sesuai dengan obyek yang menjadi sorotan. Pengeritik juga harus fokus; -- orang yang mengeritik secara membabibuta terhadap semua persoalan, pastilah tidak punya kualitas.

Sebagai contoh, dalam kasus Tol Lampung, menurut hemat saya, seharusnya yang dikritik adalah Pemda Lampung dan aparatnya; juga masyarakatnya. Bukan Jokowi. Presiden telah melaksanakan kapasitas (matra dan gatra) kepemimpinannya: Mengarahkan (agar ada tol), Menyediakan anggaran, Mendelegasikan wewenang (ke aparat di bawahnya), lalu memantau pelaksanaan. Harus apa lagi? Apa harus jadi sopir bulldozer? Para pelaksana dan masyarakat Lampung seharusnya malu Presiden sampai harus melakukan kunjungan berkali-kali. Kenapa?  Karena Presiden juga harus memberikan perhatian ke wilayah lain (bukan hanya Lampung). Harus memperhatikan masalah lain (bukan hanya jalan tol). Pendeknya harus  memperhatikan gatra darat, laut dan udara, serta geostrategis di dalam maupun luar negeri. Dan lain-lain. Kalaupun ternyata aparat kita masih lambat juga, kita tak harus melempar kesalahan ke regim lama, yang penting regim yang sekarang terhindar dari jalan yang keliru di masa lalu. Demikian pula, kalau masyarakat masih sulit menerima perubahan, maka kita terima apa adanya, memang negeri ini baru sampai di sini.

Ketika kita mengeritik, maka kita harus mengerti betul duduk persoalan, tidak menyerang, tidak menghina, apalagi memfitnah. Kalau kritik tak dihiraukan, tak usah kecewa dan meradang. Orang atau pihak yang dikritik berhak menerima atau menolaknya, karena setiap orang punya cara pandang yang berbeda dalam melihat persoalan. Pengeritik bukan satu-satunya yang memahami persoalan. Pengeritik tak layak merasa sebagai pihak yang paling benar.

Sebaiknya, kita juga punya saluran yang efektif dalam menyampaikan kritik, misalnya menulis di media massa dengan argumentasi yang baik, sehingga menjadi perdebatan publik. Bergabung dalam asosiasi atau perkumpulan apa pun, yang kiranya punya suara untuk didengarkan Pemerintah. Atau sejelek-jeleknya menjadi anggota DPR-RI lah.

Sebagai masyarakat, setidaknya kita turut mendoakan agar pemimpin kita diberi kesehatan dan dapat menjalankan amanahnya dengan baik. Segala perbedaan seharusnya sudah selesai ketika Pilpres telah usai.

Bersyukurlah kita punya presiden yang tidak alergi terhadap kritik, dan menerima masukan untuk perbaikannya. Bahkan para hatters yang menjamur itu, sepertinya tak membuatnya sakit hati, berbagai hinaan dihadapinya dengan legowo.

Lagi pula, apa enaknya menjadi hatters, menjadi pembenci? Seperti kata Dale Carnegy, “When we hate our enemies, we are giving them power of us: power over sleep, our appetities, our blood pressure, or health, and our happiness”. 

Membenci, … memang seharusnya dihindari.

Bogor, 16 Maret 2016.

Kamis, 28 Januari 2016

SUMATERA UTARA: Contoh Paradoks Itu



Sumatera Utara: Contoh Paradoks Itu
Oleh Tika Noorjaya

RESENSI BUKU:
Judul Buku: The North Sumatran Regional Economy, Growth with Unbalanced Development.
Penulis: Colin Barlow dan Thee Kian Wie.
Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, 1988.
Tebal: (xi + 98 halaman).

SEBAGAIMANA  dikatakan Prof. Mubyarto, masalah perekonomian daerah tampaknya bukan hanya belum kita pelajari secara mendalam dan sungguh-sungguh, tetapi juga kebanyakan data statistik yang diterbitkan BPS dan kantor-kantor cabangnya di daerah serta BAPPEDA, belum mampu menerangkan berbagai paradoks sosial ekonomi yang tampak (BIES, April 1987). Padahal, mengkaji masalah perekonomian daerah agaknya bukan hanya bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan daerah yang dikaji, tetapi juga dapat merupakan pembanding bagi daerah lain, terutama daerah yang karakteristiknya mirip. Penguasaan permasalahan daerah ini akan memungkinkan perbaikan dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran, yang pada gilirannya akan mampu meyakinkan Pusat.
Demikianlah, buku yang memusatkan perhatian pada ketimpangan pertumbuhan di Sumatera Utara ini agaknya tidak hanya patut menjadi perhatian Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan pihak-pihak terkait dengannya, termasuk Pusat, tetapi juga provinsi-provinsi lain yang memiliki kecenderungan serupa. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Di manakah letak ketimpangannya? Apakah penyebabnya? Dan, lebih penting lagi, kalau mungkin, bagaimana upaya untuk menanggulanginya? Dalam kaitan inilah kehadiran buku The North Sumatran Regional Economy cukup bermakna.
***
Selama ini, kita mengenal Sumut sebagai provinsi yang demikian potensial, dengan kekayaan sumberdaya alamdan sumberdaya manusiany. Posisi geografisnya memungkinkan keterkaitan secara luas baik dengan pusat pasar dalam negeri maupun dengan pasar internasional. Latar belakang sejarahnya, yang sudah lebih awal ditangani secara intensif – terutama dalam bidang perkebunan yang berorientasi ekspor – juga semakin memantapkan provinsi ini sebagai salah satu provinsi dengan perekonomian terbesar di luar Jawa.
Dari berbagai kondisi plus ini, tidak mengherankan kalau sejak tahun 1970-an perekonomiannya telah tumbuh demikian cepat dan telah mengantarnya sebagai salah satu provinsi yang peetumbuhan produk domestik rata-rata tahuanannya tertinggi di Indonesia (hal. 1), dengan rata-rata pertumbuhan 7,9% per tahun selama periode 1974-1984 (hal. 9). Memang, karena melemahnya pasaran minyak bumi dan harga-harga berbagai mata dagangan yang banyak dihasilkan provinsi ini – seperti karet, minyak sawit dan aluminium – sejak tahun 1982 pertumbuhannya mengalami penurunan; tetapi kalau kita simak perjalanan selama empat tahun Pelita IV, pertumbuhan ekonomi Sumut mencapai 5,6%, jauh di atas tingkat rata-rata nasional yang hanya mencapai 3,7% (Suara Karya, 29 Desember 1987). Dan, seperti kebanyakan provinsi lain, penyumbang terbesar terhadap produk domestik Sumut adalah sektor pertanian, sekalipun peranannya menurun dari 41,0% pada tahun 1975 menjadi 37,7% pada tahun 1984 (hal. 8).
Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang demikian baik, pada dirinya mengandung ketimpangan yang serius dalam berbagai aspek, di mana terjadi kontras antara sektor moderen yang maju dengan perkembangan yang baik dibanding keragaan produsen tradisional yang perkembangannya semakin seret. Terutama dalam bidang pertanian, gejala dualisme yang diwariskan sejarah, dengan pembagian yang kontras antar segmen-segmen masyarakat – seperti yang telah dikaji oleh Boeke (1953) – ternyata tidak menunjukkan perubahan (hal. 4). Demikian pula halnya dengan ketimpangan antar subsektor dalam sektor manufaktur, sekalipun tidak semenonjol dalam bidang pertanian.
Dualisme dalam pertanian, misalnya, dapat ditunjukkan dengan perbandingan kembalian kotor (gross return) yang mencapai Rp 3,54 juta per pekerja bagi karyawan perkebunan besar, sedangkan petani perkebunan rakyat (dalam hal ini karet, kelapa, kopi, dan cengkeh) hanya mendapat Rp 0,47 juta per keluarga (hal. 43); suatu perbandingan yang sungguh terpaut jauh kalau angka terakhir ini dikonversi dengan jumlah orang dalam keluarga pekebun (smallholders) dimaksud, sekaipun untuk yang terakhir ini mungkin saja ada hasil dari usaha lain yang dalam analisanya tidak ikut dibahas. Untuk beberapa budidaya, tentu saja ketimpangan ini dapat dijelaskan dengan rendahnya produktivitas dan sempitnya pemilikan lahan, di samping kurangnya akses petani kecil terhadap berbagai input (terutama modal), informasi, dan kurang menguntungkannya struktur tataniaga hasil budidayanya, karena jauhnya transportasi serta kurang baiknya prasarana (misalnya bagi petani kecil karet di wilayah pantai timur).
Di lain pihak, dualisme dalam sektor manufaktur, misalnya, dapat ditunjukkan dengan nilai tambah per tenaga kerja yang mencapai Rp 9,02 juta untuk sektor moderen, dan Rp 299 ribu untuk sektor tradisional. Lagi-lagi perbandingan yang mencolok. Kalau informasi ini dibandingkan dengan data sensus industri nasional tahun 1974/1975, yang merupakan survey lengkap terhadap semua subsektor industri, tampaklah bahwa dualisme di Sumut lebih nyata dibanding Indonesia secara keseluruhan.
Dalam kaitan dengan keunggulan sektor moderen ini (baik dalam bidang pertanian maupun manufaktur), menarik untuk menyimak peringatan pengarang bahwa sektor moderen di Sumatera Utara mempunyai masalah internalnya sendiri ... yaitu rendahnya efisiensi pada kebanyakan perusahaan, terutama bila dibandingkan dengan usaha yang sama di luar negeri (hal. 5).
Ketimpangan lainnya adalah sehubungan dengan pembagian wilayah, di mana dataran sebelah timur yang subur dan mempunyai potensi alam yang lebih banyak, berkembang jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan wilayah bagian barat dan wilayah pegunungan. Dalam hal produk domestik tahun 1982 (dengan harga konstan), misalnya, sementara wilayah pantai barat mencapai Rp 247 ribu/kapita dan wilayah pegunungan mencapai Rp 276 ribu/kapita, maka wilayah pantai timur bagian selatan mencapai Rp 309 ribu/kapita dan wilayah pantai timur bagian utara mencapai Rp 349 ribu/kapita (hal. 22). Sebagai tambahan terhadap keragaan ini, adalah sangat substansialnya perbedaan pendapatan per kapita antara wilayah kerja kabupaten dengan kotamadya, di mana yang disebut belakangan cenderung mempunyai produk domestik yang lebih tinggi dibanding yang disebut pertama, dengan perbandingan yang bahkan dapat mencapai dua kali lipat (kecuali bagi Kotamadya Sibolga yang di bawah rata-rata produk domestik per kapita wilayah pantai barat).
Lagi pula, walapun pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki jalan-jalan serta berbagai prasarana lainnya, namun sebagian besar pengeluaran tersebut menguntungkan wilayah sekitar Medan, tempat berlokasinya sebagian besar sektor moderen. Di sisi lain, investasi yang sangat mahal di Sumut – proyek hydroelektrik raksasa Asahan dan Inalum (PT Indonesia Asahan Aluminium) yang nilai investasinya mencapai 411 milyar yen misalnya, juga merupakan unit ekonomi enclave, yang pengaruhnya terhadap perekonomian setempat kecil sekali.
***
Tentu saja, Pemda Sumut dan Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi berbagai ketimpangan yang ada, antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya perbaikan prasarana, seperti sekolah, jalan, pembangkit tenaga listrik, moderenisasi pelabuhan dan lain-lain, yang telah meningkatkan potensi dan daya saing provinsi ini, sekalipun masih tetap perlu ada upaya untuk lebih memperbaiki prasarana, terutama jalan di luar wilayah pantai timur (hal. 83). Saran klasik, yang telah diungkapkan A. T. Mosher lebih du dasawarsa yang lalu ketika membahas lima faktor mutlak dalam pembangunan pertanian.
Keberhasilan program BIMASdan INMAS telah mengurangi (fragmentasi) pasar. Demikian juga pembangunan proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBUN) antara lain juga dimaksudkan pada arah penyeimbangan dan mengubah pola dualisme, sekalipun hanya meliput sebagian kecil penduduk saja dan tidak besar pengaruhnya dalam mengubah kendala utama, yang karenanya pengarang menyarankan untuk lebih memperluas pasokan kredit dan informasi seperti halnya yang terjadi di Muangthai untuk program yang sama (hal. 86).
Sementara itu, kegiatan yang lebih mengarah pada upaya penyeimbangan wilayah seperti halnya operasi khusus terpadu Maduma telah pula menampakkan hasilnya, terutama dalam menggugah etos kerja dan komitmen pembangunan pada masyarakat desa di kelima kabupaten yang dicakup dalam program ini, yang empat di antaranya tak lain adalah wilayah pantai barat Sumut yang, konon, dahulu merupakan “peta kemiskinan”.
***
Itu semua hanya sebagai contoh dari berbagai  upaya dalam menanggapi permasalahan ketimpangan pertumbuhan yang dialami Sumut.
Namun perlu juga diingat, seperti diungkapkan pengarang, masalah pertumbuhan sama sekali bukan hal yang unik, dan fenomena ketimpangan perkembangan dapat dilihat sebagai karakteristik kebanyakan provinsi di Indonesia, juga dalam perekonomian negara berkembang lainnya (hal. 87). Dalam buku ini, memang, pernyataan di atas tidak diikuti dengan rincian lebih lanjut, provinsi mana saja yang dimaksud; tetapi dalam hal ini kita dapat merujuk kembali penyataan Mubyarto (BIES, April 1987). Dikatakannya bahwa salah satu gambaran umum yang sangat menarik dari survey perekonomian daerah adalah banyaknya “paradoks” dalam pembangunan daerah, terutama yang tersaji dalam laporan dari Jawa Barat, Jawa Tengah (termasuk DI Yogyakarta), Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur. Meskipun laporan dari wilayah lain tidak secara eksplisit menyajikannya, namun cerita tentang paradoks yang sama juga ditemukan. Uraian ini dialnjutkan dengan pertanyaan manis: Apakah hal ini juga tidak berlaku bagi negara secara keseluruhan? Tak pelak, suatu pertanyaan yang menarik kalau diingat betapa sejak Pelita III komitmen nasional demikian gencar menekankan aspek pemerataan dalam trilogi pembangunan kita.
Kalau paradoks pembangunan yang tercermin dari contoh Sumut serta yang didukung oleh pengamatan Mubyarto ini ditarik “ke atas”, seyogyanya ada pengkajian ulang untuk merumuskan kembali hakikat pembangunan itu sendiri. Kalau pada tahun 1970-an banyak cerdik pandai yang mempermasalahkan merentannya kemiskinan dan terabaikannya pemerataan dalam hubungan dengan perekonomian yang sedang tumbuh pada waktu itu, maka sekarang pun tampaknya issue paradoks tersebut masih relevan untuk dikemukakan – sekalipun pertumbuhan ekonomi tidak secemerlang dasawarsa 1970-an. Agaknya dapat kita sepakati bahwa pembangunan tidak cukup hanya sekadar menjawab pertanyaan “untuk apa”, tetapi juga “bagi siapa”. Bahkan David Korten (1988) dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan dengan pendekatan yang berorientasi kepada masyarakat (people oriented) pun perlu diubah menjadi pembangunan yang berpusat pada masyarakat (people centered development). Tentu saja,  itu semua jangan sampai menjadi sekadar permainan kata-kata atau slogan politik, karena yang paling penting adalah realitanya.
Kurang jelas, apakah penerbitan buku yang menarik ini akan mampu mengundang para ilmuwan kita untuk mengkaji wilayah lainnya sertamenjawab pertanyaan Mubyarto seperti yang telah dikutip di atas. Sebagai peminat yang tidak dilahirkan di Sumut dan belum pernah berkunjung ke sana, ketertarikan saya pada buku ini, misalnya, bukanlah karena judul besarnya, melainkan karena judul kecilnya yang merangsang: sekalipun setelah selesai membaca buku ini serta merta terungkap refleksi: Barangkali provinsi tempat saya dilahirkan juga begitu. Kalau anda membaca buku ini, saya kira anda juga akan merasakannya.
TIKA NOORJAYA*
* Penulis adalah dosen Fakultas Pertanian Universitas Borobudur, Jakarta.

 




Resensi buku ini dimuat dalam Majalah Prisma 5, 1989, halaman 95-96.

Rabu, 13 Mei 2015

Kelapa vs Kelapa Sawit: Melerai Persaingan Antarsaudara



Kelapa vs Kelapa Sawit: Melerai Persaingan Antarsaudara
Oleh Tika Noorjaya

BELUM lama ini diberitakan produsen kelapa/kopra mengeluh karena rendahnya harga yang mereka terima, seperti laporan yang disampaikan kepada Menteri Muda UPPTK, Ir. Hasjrul Harahap ketika berkunjung ke Buleleng (Bali) akhir Oktober lalu.

Karena itu, diperlukan upaya untuk menanggulangi efek negatif persaingan antara kelapa (Cocos mucifera) dan kelapa sawit (Elaestica guinensis).

Dari sekian banyak tumbuhan yang tersebar di negeri ini, rasanya tidak ada tumbuhan lain selain kelapa yang setiap komponennya tanpa kecuali dapat dimanfaatkan.
Pucuk daunnya yang disebut janur kuning, dapat digunakan sebagai hiasan atau dekorasi pesta-pesta. Daunnya yang sedikit tua dapat digunakan sebagai pembungkus ketupat yang menambah semaraknya suasana lebaran. Lepas dari daunnya, lidi dapat disusun menjadi sapu atau dipotong menjadi tusuk sate atau tusuk daun.

Ketika pohon telah berbunga, dari batang bunga dapat dideres (dihisap) airnya untuk dimasak menjadi gula jawa, sedangkan dari bunganya sendiri (manggar) dapat diolah menjadi bahan gudeg.

Kelapa muda yang disebut cengkir, dahulu digunakan untuk bahan sesaji dalam upacara adat tertentu. Air kelapa muda? Siapa yang belum pernah merasakan nikmatnya ketika diminum pada siang hari yang panas. Buahnya? Tentu saja, bahkan lebih banyak lagi manfaatnya. Selagi muda, dagingnya dapat dimakan mentah, misalnya sebagai campuran air bersih menjadi air santan sebagai bumbu masak yang lezat. Parutan kelapa dapat juga dibuat serundeng, galendo atau campuran penganan lain. Bahkan, daging buah kelapa tua dapat diolah menjadi minyak kelapa, untuk menggoreng, dan sebagainya. Kalau tidak, dapat juga dikeringkan sebagai kopra, agar tahan lama.

Di luar daging, ada tempurung dan sabut. Tempurung dapat dibuat menjadi alat minum, gayung, bahan hiasan, kancing dan sebagainya, bahkan alat bunyi bagi tarian Minangkabau. Arangnya mempunyai kalori yang tinggi, di samping dapat bertahan lama karena kerasnya. Sabutnya dapat dibuat alat-alat rumah tangga seperti kesed, sapu, tali dan sebagainya.
Batang pohonnya yang panjang dan lurus serta kuat, antara lain dapat digunakan sebagai jembatan atau saluran air.
Tampaknya tidak berlebihan andaikata kelapa disebut budidaya multiguna. Tetapi mengapa tidak primadona?

Kelapa Sawit: Primadona
Bebarapa tahun lalu, kelapa sawit telah lebih dahulu diproklamasikan sebagai primadona sektor pertanian, khususnya sub-sektor perkebunan, dengan berbagai alasan. Rendahnya biaya produksi, kesempatan kerja; prospek pemasaran, dan sebagainya. Sehingga, dengan baiknya posisi kelapa sawit pada masa lalu maka budidaya ini telah dipacu sedemikian rupa dalam bentuk perluasan tanaman yang melibatkan PNP/PTP, perkebunan swasta dan petani/rakyat. Akibatnya, jatuhnya harga minyak sawit beberapa bulan yang lalu, tak pelak lagi ”memukul” mereka.

Tetapi, barangkali seperti primadona sungguhan; banyak tingkahnya yang aneh-aneh. Seperti kita ketahui, harga jual minyak sawit dibedakan antara harga jual lokal dan harga ekspor (terakhir, harga jual lokal adalah Rp 425,-/kg). Ketika harga ekspor lebih tinggi daripada harga jual lokal, konon terjadi ”kucing-kucingan”, dan diantara ”kucing-kucing” tersebut ada yang berhasil mengekspor minyak sawit jatah pasar lokal.

Beberapa bulan lalu, ketika harga ekspor lebih rendah dibanding kelapa sawit, konon pula ada ”kucing” yang memanfaatkan jatah ekspor untuk dipasarkan lokal, sehingga ”membanjiri” pasar lokal dan menekan harga kelapa. Padahal, alasan penetapan harga jual lokal cukup kuat, yaitu melindungi petani kelapa agar tetap bergairah menghasilkan kelapa.

Kebijakan ini tampaknya wajar, karena kita ketahui pula bahwa luas areal kelapa dalam sub-sektor perkebunan menempati peringkat pertama, yang kiranya dapat diartikan sebagai banyaknya orang yang berkepentingan dengan tanaman ini, apalagi kalau diingat bahwa berdasarkan data tahun 1985, lebih dari 98% areal tanaman kelapa adalah kelapa rakyat, yang mungkin pemiliknya menggantungkan sebagian hidupnya dari tanaman ini.

Memang, antara kelapa dan kelapa sawit terdapat hubungan saudara yang cukup erat. Selain sama-sama keluarga palma, keduanya merupakan penghasil minyak nabati di samping bunga matahari, kedele, minyak zaitun dan beberapa jenis lainnya, yang dalam beberapa hal dapat saling menggantikan. Satu hal yang membedakannya adalah biaya produksi minyak sawit yang lebih rendah daripada minyak kelapa, sehingga persaingannya di pasar cenderung memukul (petani) kelapa.

Namun, seperti dipaparkan di muka, fungsi sosial kelapa lebih menonjol daripada kelapa sawit, sehingga cukup alasan andaikata ada perlakuan khusus (persus) bagi para petani kelapa; apalagi kalau diingat beberapa waktu yang lalu petani kelapa pernah dibebani pungutan-pungutan tertentu; pernah ada Cess Kopra; Dana Rehabilitasi Kopra, dan sebagainya.

Perlakuan Khusus
Mari kita melihat permasalahan kelapa secara umum, yakni konsumsi yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita; tanpa diimbangi peningkatan produksi.

Menurut Sensus Sosial Ekonomi Nasional tahun 1976, konsumsi kelapa per kapita per tahun mencapai 11,12 kg setara kopra. Tetapi, data ini belum mempertimbangkan konsumsi kelapa segar sebagai kelapa muda, sehingga konsumsi sebesar 11,12 kg per kapita per tahun tampaknya terlalu rendah, dan dengan meningkatnya taraf kemakmuran maka konsumsi kelapa sekarang diperkirakan mencapai 14-16 kg setara kopra per kapita per tahun.

Peningkatan konsumsi ini antara lain tercermin dengan meningkatnya penggunaan minyak sawit untuk kebutuhan minyak goreng di dalam negeri, di mana kalau pada tahun 1978 minyak goreng yang berasal dari minyak sawit baru 100 ribu ton, pada awal tahun 1984 sudah mencapai 750 ribu ton; meski waktu itu harga minyak sawit di pasar internasional sangat baik.

Memang, kebijakan pengalokasian sebagian minyak sawit untuk konsumsi minyak goreng dalam negeri ini telah dapat ”menolong” konsumen di dalam negeri, tetapi itu berarti menekan petani kelapa dan melepas pangsa pasar (market share) minyak sawit di pasar internasional, yang dengan sigap dimanfaatkan, terutama oleh negara tetangga kita, Malaysia, sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia (padahal menurut sejarahnya, kelapa sawit Malaysia berasal dari Indonesia).

Lain lagi dengan permasalahan rendahnya produktivitas. Keragaan yang kurang menggembirakan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; banyaknya tanaman tua, yang berdasarkan data tahun 1985 dengan luas areal 3.059.710 hektar, 27,2% diantaranya merupakan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), 6,8% tanaman tua/rusak (berumur lebih dari 60 tahun) dan sisanya (66,0%) merupakan Tanaman Menghasilkan (TM). Tetapi, dari areal TM tersebut sekitar 40% diantaranya berumur lebih dari 50 tahun.

Kedua, terlambatnya peremajaan bagi tanaman tua/rusak dan tanaman yang berumur lebih dari 50 tahun (lihat penjelasan pertama), karena (terutama) peremajaan perkebunan rakyat mengalami berbagai hambatan antara lain kesukaran memperoleh bibit, pengadaan pupuk dan sarana produksi lain, disamping kurangnya kemampuan dan kemauan petani.

Ketiga, seringnya terserang hama/penyakit tanaman serta adanya musim kering, seperti halnya pada tahun 1982-1983 di mana menyebabkan turunnya produksi secara drastis. (Mengenai musim kering ini, tampaknya perlu ada perhatian khusus, sehubungan dengan ramalan beberapa pakar yang mengingatkan kemungkinan terjadinya siklus musim lima-tahunan yang berarti diramalkan akan terjadi musim kering pada tahun 1987-1988).

Keempat, masalah pemasaran yang meliputi harga kopra yang kurang merangsang petani untuk berproduksi dan rantai pemasaran yang panjang, termasuk kurang terjaminnya pengangkutan antarpulau. Padahal, seperti kita maklumi, meskipun tanaman kelapa hampir tersebar di seluruh Indonesia, hanya beberapa daerah saja yang potensi kelapa dan kopranya cukup besar, antara lain Sulawesi, Maluku, Riau dan beberapa pulau lainnya; sedangkan daerah konsumen terbesar berada di Pulau Jawa.

Salah satu akibat dari rendahnya produktivitas adalah tingginya biaya produksi per satuan hasil. Sedangkan apabila digabungkan dengan masalah peningkatan konsumsi per kapita per tahun dapat menyebabkan kelebihan permintaan, yang secara teoritis dapat mengangkat harga. Tetapi, karena komoditi ini dapat digantikan dengan bahan minyak nabati lain (termasuk minyak sawit) yang biaya produksinya lebih rendah, maka di pasar kelapa kurang dapat bersaing.

Karena itulah, diperlukan perlakuan khusus untuk merangsang petani kelapa agar bergairah untuk berproduksi, dengan meningkatkan produktivitas dan mutunya. Upaya tersebut dapat berupa perangsang harga maupun perangsang bukan harga, agar mampu menjawab secara positif permasalahan seperti dipaparkan di muka.

Untuk itu, pengaitan kelapa dengan kelapa sawit yang cenderung merugikan petani-petani kiranya perlu ditinjau kembali, antara lain dengan mempertajam pasar bagi masing-masing, sehingga tidak lagi terjadi ”persaingan” antara keduanya. Kelapa dengan fungsi sosial yang lebih besar lebih diarahkan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dengan melakukan upaya lanjutan, antara lain peningkatan produktivitas, efisiensi serta penataan distribusi pemasarannya, sehingga konsumen dapat membeli dengan harga yang wajar, sementara para petani kelapa tidak dirugikan.

Sedangkan minyak sawit, baik dalam bentuk CPO (Crude Palm Oil) maupun dalam bentuk produksi industri hilir, diarahkan pada pasar luar negeri, dengan upaya lanjutan antara lain perlunya peningkatan daya saing dengan menurunkan harga pokok maupun perbaikan mutu, termasuk penataan administrasi ekspor agar memudahkan proses pengeksporan itu sendiri. Upaya terakhir ini, tampaknya sekarang memperoleh peluang, karena konon Malaysia mengurangi ekspor CPO dan mengarahkannya menjadi produk lanjutan; dengan demikian kekosongan pasar CPO yang ditinggalkan Malaysia dapat kita ”isi”.

Sementara itu, dengan membaiknya harga CPO akhir-akhir ini di pasar internasional (pada akhir Oktober 1986 mencapai 340 dollar AS metrik ton), kiranya tidak terjadi lagi main ”kucing-kucingan” yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Selain itu, ketahanan masing-masing komoditi terhadap gejolak perekonomian dunia tampaknya perlu terus dimantapkan, apalagi kalau benar ramalan yang berkembang belakangan ini, bahwa harga-harga komoditi primer seperti CPO tidak akan banyak bergerak dari tingkat yang sekarang.


Artikel ini dimuat di Harian Prioritas, 25 Februari 1987.