Tampilkan postingan dengan label Kebudayaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebudayaan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 Januari 2019

YOGYAKARTA: Sendratari RAMAYANA

Sendratari RAMAYANA
Pagelaran sendratari di bawah bulan purnama di Candi Prambanan tetaplah penuh pesona, sekalipun rembulan lebih banyak bercumbu dengan gumpalan kabut.
Tata lampu yang apik berhasil mengubah suasana menjadi penuh sensasi. Sedikit canda, menyegarkan suasana.
Dibanding 22 tahun lalu, Hanoman Obong tetap merupakan episode paling mengesankan, sekalipun kolosalitas pelakon tak lagi terekpos. Jumlah pemain rasanya banyak berkurang.


Minggu, 17 September 2017

DARI PERGURUAN TINGGI, MEMBANGUN NEGERI


ASEP SAEFUDDIN, Dari Perguruan Tinggi Bangun Negeri, Rajawali Press, Jakarta, Maret 2017, 242 halaman.
ISBN 978-602-425-145-1.

___
Penulis buku ini, Prof Dr. Ir. Asep Saefuddin, adalah anak saintifik Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion. Betapa tidak. Saya mengenal Kang Asep sejak sama-sama kuliah di Insitut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1976. Saya tahu bahwa sejak awal Kang Asep menjadi “anak emas” Pak Andi Hakim, antara lain karena merupakan sedikit dari mahasiswa IPB yang IPK-nya selalu tinggi.



Dari biografi singkat di bagian akhir buku ini (Bagian Delapan, halaman 194-240), segera tampak, bahwa perjalanan hidup, keilmuan dan karir Kang Asep banyak diwarnai dan tak lepas dari peran Pak Andi. Tak heran kalau dua tahun terakhir Kang Asep menjadi anggota Tim Pengusul Pemberian nama Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion, -- jalan menuju Kampus IPB Baranangsiang yang dulu disebut Jl. Rumah Sakit II.

Sekalipun berbeda latar belakang antara Batak dan Sunda, ada kesamaan antara Pak Andi dengan Kang Asep: Keduanya sama-sama Guru Besar IPB bergelar Prof Dr Ir, berkeahlian di bidang statistika, menjadi administartor perguruan tinggi, aktivis kampus, ... dan suka menulis dalam berbagai denominasi pemikiran.

Buku ini contohnya. Buku ini bukan buku ilmiah kepakaran Kang Asep sebagai ahli statistika, melainkan penuangan gagasannya yang terkait dengan pengalamannya menjadi administrator perguruan tinggi, tepatnya sebagai Rektor Universitas Trilogi sejak 3 Oktober 2013 hingga sekarang. Luar biasa, dalam rentang yang pendek itu, terkumpul 49 tulisan yang sebagian besar pernah dimuat di media massa. Karena Universitas Trilogi berpilarkan Teknopreneur, Kolaborasi, dan Kemandirian, maka salahsatu Bagian dari kumpulan tulisan ini fokus pada ketiga pilar tersebut.

Sebagai rampaian tulisan yang serba singkat, tak terhindarkan bahwa uraiannya tak sampai final untuk jadi sebuah proposal kegiatan yang rinci, tetapi sejumlah gagasannya kiranya akan menjadi tongkat penunjuk ke arah ketidaktahuan yang harus dielaborasi kemudian.

Buku ini dibagi menjadi tujuh Bagian, yang ketujuhnya diberi judul awal “Perguruan Tinggi”, baru diikuti dengan pokok bahasannya, yaitu: (1) Generasi Teknopreneur, (2) Ilmu Pengetahuan, (3) Etika dan Sosial Politik, (4) Gagasan dan Riset, (5) Kolaborasi dan Kemandirian, (6) Revolusi Mental dan Pendidikan, serta (7) Sistem Pendidikan Nasional.

Itulah garis besar gagasan Prof Dr Ir. Asep Saefuddin untuk membangun negeri dari perguruan tinggi. Peran yang menjadi obsesinya agar perguruan tinggi menjadi lumbung ide sebagai jalan penyelesaian masalah bangsa, ... sebagai tambahan khazanah urgensi perguruan tinggi.

Perguruan tinggi memang bukan segalanya, namun segalanya bisa lahir dan diselesaikan di sini. “Dari Perguruan Tinggi, Mari Kita Membangun Negeri”, katanya (halaman ix).

Minggu, 16 Oktober 2016

JAMBI dan Batanghari

Tak jauh dari pusat kota Jambi, melintas Sungai Batanghari. Di malam hari, Batanghari penuh pesona warna-warni. Dipandang dari Jembatan Gentala Arasy, di sebelah kiri terpampang tulisan Jambi Kota Seberang, dan di sebelah kanan ada tulisan Gentala Arasy. Baik ke kanan maupun ke kiri, kita akan disuguhi pemandangan yang indah.

Batanghari adalah sungai yang spesial, karena merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera, yang punya nilai sejarah tinggi, sebagai sentral perdagangan bagi Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Dharmasraya. Mata air sungai ini berasal dari Gunung Rasan, dan yang menjadi hulu dari sungai ini adalah Danau Di Atas (Sumatera Barat), yang setelah menempuh perjalanan jauh bermuara di Laut Cina Selatan.



Jambi Kota Seberang adalah wajah Kota Jambi sebenarnya, tempat warga asli melayu jambi tinggal beserta adat istiadatnya, serta tempat peninggalan benda bersejarah yang masih bertahan dan terjaga dari gerusan zaman.

Sejak tahun lalu di sini diresmikan jembatan pedestrian tempat orang berlalu-lalang, tanpa gangguan roda dua atau empat. Jembatan sepanjang 503m ini menghubungkan Kota Jambi dengan Kampung Seberang, yang dulu harus menyebrang dengan getek (perahu) atau kendaraan darat tapi harus melingkar jauh ke barat dulu, sebelum berputar ke arah jembatan. 

Di ujung seberang jembatan pedestrian, ada jam gadang Jambi atau dikenal dengan menara Gentala Arasy. Di dalam Menara Gentala Arasy itulah terdapat museum mini tentang Islam dan melayu Jambi. Inilah salah satu ikon wisata baru yang menarik di Kota Jambi. Menara ini menggambarkan sejarah penyebaran Agama Islam di Kota Jambi. Bentuknya menyerupai bangunan masjid yang dilengkapi dengan menara. 



Menara ini dimanfaatkan sebagai museum islami. Di museum ini, kita dapat melihat berbagai macam bukti dan sejarah perkembangan Islam di Kota Jambi. Di antaranya ada mushaf Al-Qur’an terbesar di Sumatera berukuran 1,25m x 1,80m. Ada juga Al-Qur’an peninggalan abad ke-19 yang terbuat dari kertas Eropa, tinta Cina merah dan hitam yang tidak memiliki sampul. Selain itu ada Kitab Ilmu Albayan, Kitab Fiqih, dan Tafsir Al-Quran (302 halaman) yang ditulis abad ke-16 dalam bahasa Arab, tinta Cina dan kertas Eropa.

Masih di bagian dalam bangunan, ada ruangan teater yang menayangkan film perkembangan Islam di Jambi dan beberapa cerita rakyat; -- saat saya berkunjung sedang ditayangkan “Rumah untuk Nyai” (Nyai dalam bahasa Jambi berarti Nenek). Kisah sedih tentang kemiskinan penduduk, yang dikemas dengan penuh canda.


Di luar keindahan sekitar jembatan, ada juga Danau Sipin dan tempat yang monumental, seperti Mesjid Seribu Tiang, dan patung Pahlawan Sultan Thaha di pelataran gubernuran.



 



Selasa, 15 Maret 2016

Kritik



KRITIK
Oleh Tika Noorjaya

Kritik yang baik bersifat membangun. Boleh saja mengecam kebijakan pemerintah yang dinilai keliru tapi harus mampu memberikan alternatifnya. Pernyataan harus punya dasar dan kriteria yang jelas. Kritik juga harus obyektif, sesuai dengan obyek yang menjadi sorotan. Pengeritik juga harus fokus; -- orang yang mengeritik secara membabibuta terhadap semua persoalan, pastilah tidak punya kualitas.

Sebagai contoh, dalam kasus Tol Lampung, menurut hemat saya, seharusnya yang dikritik adalah Pemda Lampung dan aparatnya; juga masyarakatnya. Bukan Jokowi. Presiden telah melaksanakan kapasitas (matra dan gatra) kepemimpinannya: Mengarahkan (agar ada tol), Menyediakan anggaran, Mendelegasikan wewenang (ke aparat di bawahnya), lalu memantau pelaksanaan. Harus apa lagi? Apa harus jadi sopir bulldozer? Para pelaksana dan masyarakat Lampung seharusnya malu Presiden sampai harus melakukan kunjungan berkali-kali. Kenapa?  Karena Presiden juga harus memberikan perhatian ke wilayah lain (bukan hanya Lampung). Harus memperhatikan masalah lain (bukan hanya jalan tol). Pendeknya harus  memperhatikan gatra darat, laut dan udara, serta geostrategis di dalam maupun luar negeri. Dan lain-lain. Kalaupun ternyata aparat kita masih lambat juga, kita tak harus melempar kesalahan ke regim lama, yang penting regim yang sekarang terhindar dari jalan yang keliru di masa lalu. Demikian pula, kalau masyarakat masih sulit menerima perubahan, maka kita terima apa adanya, memang negeri ini baru sampai di sini.

Ketika kita mengeritik, maka kita harus mengerti betul duduk persoalan, tidak menyerang, tidak menghina, apalagi memfitnah. Kalau kritik tak dihiraukan, tak usah kecewa dan meradang. Orang atau pihak yang dikritik berhak menerima atau menolaknya, karena setiap orang punya cara pandang yang berbeda dalam melihat persoalan. Pengeritik bukan satu-satunya yang memahami persoalan. Pengeritik tak layak merasa sebagai pihak yang paling benar.

Sebaiknya, kita juga punya saluran yang efektif dalam menyampaikan kritik, misalnya menulis di media massa dengan argumentasi yang baik, sehingga menjadi perdebatan publik. Bergabung dalam asosiasi atau perkumpulan apa pun, yang kiranya punya suara untuk didengarkan Pemerintah. Atau sejelek-jeleknya menjadi anggota DPR-RI lah.

Sebagai masyarakat, setidaknya kita turut mendoakan agar pemimpin kita diberi kesehatan dan dapat menjalankan amanahnya dengan baik. Segala perbedaan seharusnya sudah selesai ketika Pilpres telah usai.

Bersyukurlah kita punya presiden yang tidak alergi terhadap kritik, dan menerima masukan untuk perbaikannya. Bahkan para hatters yang menjamur itu, sepertinya tak membuatnya sakit hati, berbagai hinaan dihadapinya dengan legowo.

Lagi pula, apa enaknya menjadi hatters, menjadi pembenci? Seperti kata Dale Carnegy, “When we hate our enemies, we are giving them power of us: power over sleep, our appetities, our blood pressure, or health, and our happiness”. 

Membenci, … memang seharusnya dihindari.

Bogor, 16 Maret 2016.

Senin, 24 Agustus 2015

BANYUMAS: Batik Papringan Banyumasan


Batik Banyumasan di Desa Papringan ini merupakan representasi estetika seni dan budaya Banyumas, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah),
 
Sejak jaman kerajaan, masyarakat Desa Papringan, sebagian besar kaum perempuannya memiliki kegiatan membatik untuk mengisi waktu luangnya, juga membantu pendapatan keluarga. Perkembangan batik di Banyumas, konon, dibawa oleh para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di sini setelah selesai peperangan tahun 1830.

Berpuluh tahun lalu, para pembatik Papringan hanya berperan sebagai buruh batik dari para pengusaha di kota. Mereka memola mori, atau mengisi mori yang telah dibatik sebelumnya. Mereka menerima upah per lembar kain, tanpa penghargaan terhadap karya seni, ataupun harga jual kain batik nantinya. Hubungan pengrajin batik Papringan dengan pengusaha di Sokaraja sebenarnya simbiose mutualistis, tetapi pengrajin batik tidak punya daya tawar yang baik. Mereka hanya sebagai buruh dengan upah yang minim. Karena itu, agaknya perlu ada upaya untuk mengubah pola usaha pengrajin dari buruh menjadi produsen dan pengusaha batik yang mampu.

Waktu berlalu. Kini sudah terbentuk Kelompok Perajin Batik Pringmas yang menghimpun seluruh pembatik di Desa Papringan. Pada awalnya terdapat 225 orang pengrajin batik. Sekarang sudah mulai bertambah dengan adanya pengrajin batik cap dan konveksi.

Mereka juga sudah punya Gedung Sentra Batik Papringan yang menampung berbagai macam produk hasil karya masyarakat Desa Papringan, mulai dari batik tulis, batik kombinasi, kain jumputan, batik cap, baju batik dan kerajinan lainnya. Gedung sumbangan dari Bank Indonesia ini, dijadikan sebagai showroom yang buka setiap hari, pukul 09.00-16.00 WIB. Bagi yang berminat, terbuka kesempatan untuk melihat proses produksi batik (bahkan mencoba sendiri) di Galeri ini setiap Rabu dan Sabtu.

Gedung ini terletak di samping pendopo RW 1 Desa Papringan, di pinggir jalan desa dan di tepi Sungai Serayu, dengan pemandangan Sungai Serayu yang indah. Berjarak sekitar 15 km, dari pusat kota Purwokerto ke lokasi ini hanya perlu 20-30 menit saja dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Karena itu, tak mengherankan kalau beberapa motif batik dilatarbelakangi oleh ekosistem Sungai Serayu ini.

 Sungai Serayu, di belakang Galeri Sentra Batik Papringan

Melihat perkembangannya belakangan ini, kiranya perlu ada upaya untuk menjadikan Desa Papringan sebagai Sentra Industri Batik di Banyumas, serta mengenalkan dan memasarkan Batik Papringan Banyumas ke seluruh Nusantara.



Sabtu, 22 Agustus 2015

9 Ciri Negatif Manusia Indonesia



Dr. Ali Akbar, 9 Ciri Negatif Manusia Indonesia, Penerbit Penaku, 2011, 200 halaman (cetak ulang tahun 2014).



Ke9 ciri negatif manusia Indonesia tersebut adalah: malas, tidak disiplin, korup, emosional, individualis, suka meniru, rendah diri, boros, dan percaya takhayul.

Inilah hasil penelitian kuantitatif Ali Akbar yang dalam latar belakangnya merujuk buku karya Mochtar Lubis (Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, CV Masagung, Jakarta, 1977, 134 halaman) sebagai acuan dasar.

Wacana kualitatif dari Mochtar Lubis 38 tahun lalu itu kini mendapat penegasan kuantitatif di buku ini. Dari 33 ciri yang muncul dalam studi Ali Akbar, diperoleh 10 peringkat pertama. Dalam hal ini, ada satu hal yang menarik, Penelitian ini menemukan bahwa dari 10 ciri itu, ternyata ciri pertama dan di urutan pertama bersifat positif, yakni Ramah Tamah. Ciri yang pertama ini tentu saja mendahului 9 ciri negatif yang menjadi judul buku ini.


Dengan temuan, bahwa Ramah Tamah merupakan penciri pertama manusia Indonesia, maka kini kita perlu mengembangkan penelitian yang mempelajari ciri-ciri positif manusia Indonesia, meninggalkan ciri-ciri negatif, dan mensosialisasikannya untuk kemaslahatan bangsa.