Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 April 2015

Esprit de Corrupt




“ESPRIT DE CORRUPT”

Oleh: Tika Noorjaya

"Saya akan melemparkan para koruptor ke penjara berterali baja", kata Fernando Collor de Mello, tahun 1989, sewaktu berkam­panye untuk pemilihan kepresidenannya. Tiga tahun kemudian, tepatnya akhir September 1992, ia, yang telah menjadi Presiden Brazilia, dituduh melakukan korupsi senilai US $ 6,5 juta atau sekitar Rp. 13 milyar. Ironis. Dia yang pada mulanya antikorupsi, justru terjungkal karena tuduhan melakukan korupsi.
Ironi dan kontradiksi juga terjadi pada Ny.  Santiago -- seorang Hakim Agung, dan juga mantan calon presiden Filipina. Dalam kampanyenya, ia melontarkan gagasan pembersihan aparat negara yang korup, sekaligus memberantasnya. Namun,  beberapa lama berselang ia dituduh melakukan korupsi, yang, konon, antara lain digunakan untuk membiayai kampanyenya.
 Hal yang hampir mirip juga terjadi pada salah seorang  pakar tentang  korupsi  di negeri jiran. Sebagai seorang guru besar sosiologi terkenal di Universitas Malaysia, seringkali pendapat pakar ini menjadi acuan pakar lain atau santapan empuk media-massa manakala membicarakan korupsi. Namun, ironis. Dia yang telah menulis beberapa buku dan makalah tentang korupsi, juga dituduh melakukan korupsi di lingkungan tempatnya bekerja.
 Ketiga contoh di atas, tentu saja merupakan bagian dari daftar panjang yang dapat dilengkapi oleh setiap orang, sesuai dengan wawasan masing-masing. Di lingkungan  kecil  kita  saja, seperti  di tempat kerja, tetangga, atau dalam pergaulan sehari-hari, ironi dan kontradiksi tampaknya telah mewarnai ucapan dan perilaku koruptor  -- dengan variasi peran dari tingkat bawah sampai tingkat atas; dengan kisaran nilai korupsi dari ribuan sampai milyaran atau bahkan triliunan rupiah, yang ada kalanya dilakukan oleh orang-orang yang sepantasnya menjadi panutan. Antara kata dan tindakannya seakan telah terjadi pembelahan, yang seringkali sangat membingungkan.
 Kalau kebetulan figur panutan itu adalah penguasa  atau oknum pemerintah, yang karena kekuasaannya mampu berbuat apa saja, maka celakalah seluruh negeri karena orang-orang di bawahnya tidak segan-segan untuk meniru patronnya. Seperti kata pepatah Cina, "Kelompok yang memerintah adalah angin, dan rakyat adalah semacam alang-alang. Ke mana angin bertiup ke sanalah alang-alang meliuk" (S.H. Alatas,  Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi,  LP3ES,  1987). Atau, lebih celaka lagi kias dan nasihat dari Raja Nusyirwan: "Jika seorang raja makan sebuah apel dari kebun milik  seseorang, maka  hamba-hambanya  akan mencabut pohon  itu  ke  akar-akarnya.  Demi lima butir telur, yang diperintahkan Sultan untuk mengambil­nya dengan paksa, orang-orang yang menjadi  prajurit-prajuritnya akan  merampas seribu unggas di kolam air", katanya  (Abdul  Hadi W.M., Sastra Sufi, 1992).
 Sesungguhya pelacakan jejak korupsi dan akibat negatifnya dapat ditarik jauh surut ke belakang. Dari Kekaisaran Romawi, misalnya, kita dapat bercermin bagaimana korupsi telah menyebabkan keruntu­han kekaisaran, yang selanjutnya mengakibatkan penindasan  terha­dap  rakyat  miskin. Demikian pula bukti-bukti yang terkumpul hampir selama setengah abad dari negara-negara Dunia Ketiga menunjukkan bahwa korupsilah yang menghalangi pembangunan mereka.

Esprit de Corrupt
 Kalau para pakar ilmu manajemen memadankan esprit de corp dengan "jiwa korsa", maka esprit de corrupt  agaknya sepadan dengan frasa "jiwa korupsi". Kalau demikian, memangnya  korupsi itu mempunyai jiwa ?
 Pengalaman naik Bis Patas P-16 di Jl. Sudirman, Jakarta belum  lama berselang, mungkin dapat menjelaskan fenomena  ini. Waktu itu, selepas ditilang polisi karena menarik  penumpang  di atas kapasitasya, dengan suara keras, sopir bis menggerutu bahwa sebelumnya ia telah membayar Rp. 2.000,- agar bisa menarik penum­pang melebihi kapasitasnya, sehingga menurut penilaiannya  peni­langan  tersebut  menyalahi "aturan main" yang telah disepakati sebelumnya. Dari sini, tampaklah bahwa jiwa korupsi terletak di dua sisi: sopir ingin bebas mendapat muatan penumpang di atas kapasitasnya; sementara polisi mendapat uang sebagai kompensasi dari kekuasaan yang dimilikinya. Tinggallah penumpang  menanggung derita berjejal dan kepanasan !
 Tentu saja analogi seperti itu terlalu menyederhanakan masalah. Tetapi, agaknya benar bahwa untuk sebagian, semangat korupsi itu juga diwarnai semangat sebagai korp (esprit de corp). Tanpa semangat korp, korupsi menjadi mudah terbongkar, karena pihak-pihak yang merasakan ketidakadilan dalam memperoleh man­faat, atau bahkan dirugikan, tidak cukup handal untuk menahan kerahasiaan lembaga korupsi yang semula dibangun atas dasar saling pengertian. Sopir bus yang membongkar rahasia "aturan main" adalah salah satu contohnya. Demikian pula kasus tertuduh­nya Presiden Collor melakukan korupsi adalah wujud yang begitu konkret tentang bagaimana seorang adik sekalipun dapat menghan­curkan karir kakaknya, karena kesepakatan membina kelembagaan korupsi memudar, yang kemudian semakin mencuat ke permukaan karena lembaga lain ikut nimbrung dan mengungkapkan temuannya lewat media-massa. Terlebih-lebih karena korupsi itu didukung oleh Ibu Negara serta sejumlah orang kepercayaan Collor --  yang kasus korupsinya lebih dulu terbongkar.
Dari sisi lain, jiwa korupsi dari contoh di atas juga dapat kita lihat dari dua sisi, yang mesti kita pandang laiknya  sebuah mata uang. Yakni, paduan antara niat di satu sisi dan peluang di sisi lainnya. Keduanya menjadi bermakna, kalau muncul bersama-sama.  Karenanya, pencegahan korupsi seyogianya lebih tertuju pada upaya pencegahan berpadunya niat dan peluang itu. Bagaimana agar niat seseorang atau sekelompok orang untuk korupsi tidak ditunjang oleh kesempatan yang terbuka, baik lewat kolaborasi dengan penguasa ataupun pemanfaatan celah-celah (loop-hole) peraturan yang dibuat dengan kurang mantap.
 Akhirnya, esprit de corrupt juga dapat kita lihat dalam kasus bagaimana vokalnya orang-orang yang  berniat  memberantas korupsi, dengan sedikit efektivitas; sementara pihak-pihak pelaku korupsi tidak pernah menggembar-gemborkannya, namun efektivitas­ nya senantiasa terjaga. Jiwa korupsi telah memungkinkannya untuk saling menjaga di antara para pelakunya, sehingga tanpa suara sekalipun korupsi telah meruyak ke segala lapisan masyarakat dan berbagai bidang kehidupan -- dan pembongkaran korupsi agaknya lebih merupakan kekecualian karena "kesalahan teknis" di antara para pelakunya. Dalam kaitan ini tidaklah mengherankan kalau belum lama berselang tersebar kabar bahwa selama dua tahun di negeri kita, tak kurang dari Rp. 3 triliun uang negara yang raib digerogoti koruptor.

 Artikel ini dimuat Jawa Pos, Oktober 1997.

Selasa, 21 April 2015

Oase Bagi Jiwa yang Berkelana

Resensi Buku Oleh Tika Noorjaya


Dimuat Majalah Infobank, Juli 2009

Judul: Mengadili Dewan Gubernur Bank Indonesia. Catatan Akhir Perjalanan Karir
Penulis                 : Burhanuddin Abdullah
Penerbit              : PT Dunia Pustaka Jaya, Juli 2009
Tebal                     : (xxxvi + 419) hlm

Inilah true story yang ditulis mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah (BA) di balik jeruji besi terkait kasus “Aliran Dana YPPI”. Dalam narasi tentang Rutan Bareskrim, rumah barunya sejak 10 April 2008, BA bertutur begitu rinci, misalnya tentang seluk beluk ukuran dan fasilitas ruangan, kegiatan harian, sampai makanan yang disantapnya; tak lupa tentang jabatan barunya sebagai Ketua RT di antara sesama pemukim di sana. Bahkan BA menarik lima pelajaran, yakni: spektrum pergaulan semakin melebar; rajin ibadah; rajin membaca untuk menambah ilmu; menjadi tahu mana teman sejati dan mana yang bukan; serta bisa mengamati permainan rasa yang terungkap dalam do’a dan harapan. Tentang mushola, dinilainya sebagai oase bagi jiwa yang sedang berkelana; tempat untuk menumpahkan segala rasa. Ia adalah ruangan yang “tembus ke langit,” katanya (hal. 72).
Ironi Bergaya Novel
Boleh jadi, buku ini sedikit “mengecoh”. Meski menggunakan judul “Mengadili ...”, jangan harap anda akan menemukan pasal-pasal hukum yang diulang berkali-kali, serta harus difahami dengan mengerutkan dahi. Sebaliknya, buku ini diawali dengan Prolog bernuansa novel dalam perhelatan pesta pernikahan. Sungguh menggoda, bagaimana relevansi kegembiraan BA di fora-pesta dengan derita-nista di rumah tahanan. Sebaliknya, buku ini digenapi dengan Epilog, yang “memotret” suasana buram di akhir persidangan, ... dengan pukulan palu godam vonis di luar perkiraan – yakni 5 (lima) tahun penjara. Selesai persidangan dan tiba di kamar tahanan, BA duduk tepekur sambil bertanya-tanya: “Mengapa kebijakan yang diambil oleh lembaga, yang dimaksudkan untuk memperbaiki suasana kerja, sebagaimana terbukti dari hasil-hasilnya, masih harus berhadapan dengan prasangka... Apakah ini untuk membalas dendam zaman yang tak akan berkesudahan, atau memang benar untuk menegakkan keadilan? Sejarahlah yang akan bertutur kemudian!”, katanya (hal. 277).
Format buku pun tak lazim sebagai buku non-fiksi. Terkesan amat ringan. Tak ada urutan nomor bab-per-bab. Dalam Mukadimah, sebagai pembuka wacana, BA merunut latar belakang serta  menggelar enam alasan mengapa buku ini ditulis. Selain itu, buku ini mengusung sejumlah pertanyaan akademis untuk menelusuri suatu bidang studi tersendiri yang inisiatifnya dapat saja ditimbulkan dari buku ini. Pun menarik untuk disimak, bahwa Nota Pembelaan (Pledooi) dalam buku ini hampir satu-setengah kali lipat dibanding Pledooi yang dibacakan BA di persidangan. Catatan post factum, baik narasi maupun catatan kaki, menambah keluasan paparan ini.
Pemahaman BA tentang korupsi ternyata begitu luas dengan rujukan literatur yang subur. Lebih dari itu, dalam pengalaman hidupnya BA tak bersedia berurusan dengan kegiatan yang berpeluang korupsi. Untuk pengurusan izin “ini-itu” BA lebih baik meminta bantuan orang lain daripada harus berhubungan langsung dengan korupsi – semata-mata karena tak mau bersentuhan dengan korupsi. Dan, dalam kasus yang sejak awal diselewengkan sebagai “Aliran Dana BI” ini pun terbukti, tak sepeser pun dari uang yang seratus milyar itu yang mengalir ke kantongnya sebagai Gubernur BI. Kenyataan ini menimbulkan tanda tanya bagi memori kolektif masyarakat awam, yang memadankan koruptor dengan tikus rakus yang menggerogoti uang negara.
“… dengan setting nuansa itu saya menjadi memiliki kegairahan yang aneh dalam membaca bukunya”, kata Emha Ainun Najib dalam “Pengantar”-nya.
Menarik Hikmah
Ternyata tak mudah mencari dan merumuskan hikmah bagi BA, BI, apalagi bagi negeri dari kasus ini. Setelah mengamati tujuh kecenderungan masa depan berdasarkan kasus ini, ... “ke depan para politisi, negarawan, dan perancang kelembagaan negara ini perlu melakukan perenungan kembali dan melakukan perancangan ulang dalam beberapa hal yang strategis agar kehidupan bernegara memberikan kepastian bagi setiap elemen bangsa dalam melakukan pekerjaannya” (hal. 268). Sedikitnya ada lima hal yang perlu dipikirkan kembali dalam pelaksanaan tugas-tugas di masa depan, yakni: (1) mensiasati masa peralihan agar dapat dijalani dengan selamat dan ongkos yang murah; (2) faktor budaya tidak dapat dinafikan pengaruhnya terhadap kemajuan perekonomian suatu bangsa; (3) mengkaji kembali arrangement kelembagaan dan pengertian lembaga negara yang independen disesuaikan dengan tradisi dan perjalanan kesejarahan politik dan perekonomian negara; (4) lembaga harus tetap memikirkan dirinya sebagai salah satu wahana bagi upaya pencapaian kesejahteraan rakyat; dan (5) rekrutmen anggota Dewan Gubernur perlu dipikirkan kembali untuk disempurnakan.
Semogalah, hari-hari mendatang akan menjadi saksi bagi pencerahan penegak hukum di Indonesia dalam mengejar cita-cita bersama menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Atau, akankah kita biarkan benang yang kusut semakin kusut? (Tika Noorjaya)

Rabu, 28 September 2011