Tampilkan postingan dengan label Perkebunan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perkebunan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2017

KELAPA MULTIGUNA



Di luar puja-puji tentang keindahan gemulai nyiur yang melambai di pinggir pantai, Nyiur atau Kelapa (Cocos mucifera) layak dimahkotai sebagai budidaya multiguna.
Dari sekian banyak tumbuhan yang tersebar di negeri ini, rasanya tidak ada tumbuhan lain selain Kelapa yang setiap komponennya tanpa kecuali dapat dimanfaatkan.
Pucuk daunnya yang disebut janur kuning, dapat digunakan sebagai hiasan atau dekorasi pesta-pesta. Daunnya yang sedikit tua dapat digunakan sebagai pembungkus ketupat yang menambah semaraknya suasana lebaran. Lepas dari daunnya, lidi dapat disusun menjadi sapu atau dipotong menjadi tusuk sate atau tusuk daun.
Ketika pohon telah berbunga, dari batang bunga dapat dideres (dihisap) airnya untuk dimasak menjadi gula jawa, sedangkan dari bunganya sendiri (manggar) dapat diolah menjadi bahan gudeg.
Kelapa muda yang disebut cengkir, dahulu digunakan untuk bahan sesaji dalam upacara adat tertentu. Air kelapa muda? Siapa yang belum pernah merasakan nikmatnya ketika diminum pada siang hari yang panas. Buahnya? Tentu saja, bahkan lebih banyak lagi manfaatnya. Selagi muda, dagingnya dapat dimakan mentah, misalnya sebagai campuran air bersih menjadi air santan sebagai bumbu masak yang lezat. Parutan kelapa dapat juga dibuat serundeng, galendo atau campuran penganan lain. Bahkan, daging buah kelapa tua dapat diolah menjadi minyak kelapa, untuk menggoreng, dan sebagainya. Kalau tidak, dapat juga dikeringkan sebagai kopra, agar tahan lama.
Di luar daging, ada tempurung dan sabut. Tempurung dapat dibuat menjadi alat minum, gayung, bahan hiasan, kancing dan sebagainya, bahkan alat bunyi bagi tarian Minangkabau. Arangnya mempunyai kalori yang tinggi, di samping dapat bertahan lama karena kerasnya. Sabutnya dapat dibuat alat-alat rumah tangga seperti kesed, sapu, tali dan sebagainya.
Batang pohonnya yang panjang dan lurus serta kuat, antara lain dapat digunakan sebagai jembatan atau saluran air.
Kelapa memang multiguna.

Selasa, 09 Agustus 2016

Masalah Perkebunan: Harga Turun, Muncul PHK

Masalah Perkebunan:
Harga Turun, Muncul PHK

Oleh Tika Noorjaya

MENURUNNYA harga mata dagangan hasil perkebunan tertentu kiranya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelesuan perekonomian dunia sekarang ini, apalagi karena pembudidayaan tanaman perkebunan lebih banyak diorientasikan untuk ekspor. Bahkan mata dagangan perkebunan diharapkan menghasilkan devisa sebagai pengganti pendapatan devisa dari minyak bumi yang harganya semakin tidak menentu.
Sebagai mata dagangan ekspor, gejolak perdagangan dunia secara langsung terkait dengannya. Gejolak yang baik cenderung membawa pengaruh yang baik, tetapi gejolak yang buruk tak pelak lagi membawa pengaruh yang cenderung memburuk pula.
Terakhir, yang banyak dirasakan subsektor perkebunan adalah menurunnya harga mata dagangan tertentu, seperti minyak sawit, teh, karet, dan yang lainnya. Akibatnya terjadi penurunan pendapatan, yang pada gilirannya banyak mengganggu likuiditas perusahaan termasuk tersiarnya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di lingkungan perkebunan negara, serta adanya perkebunan terlantar.

Cadangan Penyangga
Masalahnya, bagaimana para pekebun (termasuk pengelola perkebunan milik negara) pada saat harga-harga mata dagangan kurang menggembirakan, mampu tetap bertahan, bahkan mampu terus melanjutkan investasinya sesuai dengan harapan.
Satu hal lagi, dari pengalaman selama ini, maka pada masa mendatang bukan hal yang mustahil terjadi gejolak harga yang kurang menguntungkan, meskipun mungkin secara rata-rata (dalam jangka panjang) cukup menguntungkan. Hal ini menjadi lebih penting mengingat keberhasilan pembangunan perkebunan rakyat selama kurang lebih dua periode Pelita, yang melibatkan ratusan ribu atau mungkin jutaan petani pesertanya. Tentu, kita tidak mengharapkan para pekebun meninggalkan atau menelantarkan kebunnya lantaran pendapatan mereka dari kebunnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kita juga tidak mengharapkan apabila misalnya para pekebun karet “memperkosa” kulit karet dengan melakukan sadapan berat.
Semua itu tidak kita harapkan, karena kita sadar bahwa hal itu akan berpengaruh dalam jangka panjang, sementara investasinya kita biayai dengan susah payah karena kondisi keuangan yang sulit. Bahkan sebaliknya, investasi itu kita harapkan memberikan hasil yang semaksimal mungkin dalam waktu selama mungkin.
Berdasarkan keyakinan bahwa budidaya tertentu dalam jangka panjang akan cukup menguntungkan, mungkin sudah saatnya dipikirkan adanya sistem sejenis cadangan penyangga, di mana terjadinya gejolak harga tidak terlalu “memukul” pekebun.
Dalam sistem ini, pendapatan minimum para pekebun setiap bulannya diupayakan tidak di bawah kebutuhan hidup keluarganya. Misalnya, pada saat harga turun seperti sekarang, mungkin perlu dilakukan”subsidi” (yang diperhitungkan sebagai tambahan kredit). Sebaliknya, pada saat harga baik, ditempuh upaya yang memungkinkan para pekebun “menabung” di samping mencicil kredit.

PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sekarang seakan-akan menjadi momok yang setiap saat mengincar karyawan, tidak terkecuali karyawan perkebunan.
Meskipun seringkali diungkapkan bahwa perusahaan perkebunan tidak akan melakukan PHK mengingat kegiatannya yang padat karya, berita yang mengaitkan perkebunan dengan PHK sempat muncul juga, bahkan dengan “bumbu” penyedap. Hari ini dikabarkan ada PHK di kebun “anu”, besoknya dibantah pejabat. Hari lain dikabarkan ada PHK di kebun “itu”, besoknya dibantah pejabat yang menyatakan bahwa yang terjadi bukan PHK melainkan “peremajaan” karyawan. Kemudian disusul tanggapan pejabat lain yang meragukan “peremajaan” karyawan tersebut. Semakin ramai, sekaligus membingungkan! Meskipun demikian, terkesan “adanya” PHK, walaupun jumlahnya mungkin sulit diketahui. Seperti dipaparkan di muka, dari penjelasan yang muncul ke permukaan, tak salah lagi hal tersebut antara lain disebabkan menurunnya pendapatan. Atau, kalau memang PHK di lingkungan perusahaan perkebunan baru merupakan gejala, uraian di bawah ini kiranya akan membatalkan atau setidak-tidaknya menangguhkannya.
Penurunan pendapatan telah mengubah keseimbangan perusahaan, di mana untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan pertimbangan yang tidak hanya teknis dan ekonomis, tapi juga sosial dan bahkan politis.
Kedudukan perusahaan perkebunan sebagai penerima harga di pasaran internasional menyebabkan upaya yang ditempuh untuk mencapai keseimbangan baru lebih bersifat ke dalam, yakni dengan melakukan upaya menurunkan harga pokok dengan berbagai peningkatan efisiensi, meskipun barangkali masih ada celah-celah untuk menembus pasar.
Dalam hal ini, kita mengenal tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi teknis, efisiensi ekonomis, dan efisiensi sosial. Sayang, dalam rangka efisiensi, kita seringkali terjebak pada pengertian teknis dan ekonomi saja, sehingga penyelesaiannya pun bersifat teknis dan ekonomis. Tenaga kerja yang biasanya mendapat proritas dikorbankan, melalui PHK atau cara lain. Padahal beberapa pustaka menilai tenaga kerja sebagai aset utama perusahaan, kalau dapat memanfaatkannya secara optimal. Dari sisi ini, mengembangkan sumberdaya manusia kiranya merupakan keharusan.
Kalau memang karena kondisinya sudah sedemikian sulit sehingga rasionalisasi tenaga kerja terpaksa perlu dilakukan, masih dapat diajukan pertanyaan, apakah tidak lebih baik apabila PHK diberi arti lain selain pemutusan hubungan kerja? PHK dapat merupakan kependekan dari pengurangan hari kerja, artinya jumlah tenaga tetap, hanya diadakan pengaturan hari kerja, dengan konsekuensi penurunan pendapatan bagi karyawan harian. Atau barangkali ada benarnya juga saran sumber Kompas di Departemen Pertanian yang mengatakan kalau perlu gaji direksi, staf dan karyawan bulanan dikurangi untuk dikompensasikan kepada karyawan harian (tetap). Dapat juga PHK diartikan sebagai peningkatan hasil kerja, yaitu dengan meningkatkan produktivitas seluruh faktor produksi, termasuk tenaga kerja, dengan implikasi lanjutan perlunya peningkatan pemasaran untuk memperoleh pasar baru, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Mungkin dapat digali dan dilaksanakan akronim lain di luar pemutusan hubungan kerja, dengan memperhatikan aspek teknis, ekonomis, sosial dan politis secara menyeluruh. Dalam hal ini, untuk melakukan perubahan tersebut seyogyanya dilakukan pendekatan yang luwes, sehingga karyawan tidak resah karena dibayangi PHK yang sewaktu-waktu menghempaskannya. Hal ini sekaligus menumbuhkan semangat efisiensi dan kebersamaan yang menciptakan ruang kerja yang nyaman dengan membukanya jendela alasan kemanusiaan.

Perkappen
Dalam perusahaan perkebunan negara, sesungguhnya pembuka jendela alasan kemanusiaan semacam itu telah ada dengan terbentuknya Persatuan Karyawan Perusahaan Perkebunan Negara (Perkappen) yang antara lain bertujuan memperjuangkan perbaikan nasib dan mempertinggi taraf hidup karyawan dan purnakaryawan, dengan peningkatan dan pengembangan perusahaan.
Dalam menanggapi isyu PHK di lingkungan perusahaan perkebunan negara, seyogyanya Perkappen tampil sebagai penyelamat dengan memperjuangkan kepentingan anggotanya. Dalam jangka panjang, Perkappen seyogyanya menyadari pentingnya mengadakan perjanjian kerja bersama dengan berbagai upaya, di mana persyaratan kerja tidak ditentukan secara sepihak (oleh perusahaan saja), melainkan ditentukan bersama. Hal ini akan lebih menjamin terciptanya hubungan kerja yang serasi, selaras, dan seimbang dalam kewajiban, tanggung jawab, dan hak masing-masing pihak.

·          Tika Noorjaya, lulusan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi IPB, Bogor, dan pernah bekerja di sebuah perusahaan perkebunan milik negara.


Artikel ini dimuat HU Kompas, 18 Agustus 1986.


Sabtu, 16 Januari 2016

KARANGANYAR: Rumah Teh Ndoro Donker




Rumah Teh Ndoro Donker berlokasi di Jl. Afdeling, Kemuning, Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasinya mencolok di tengah hamparan kebun teh yang menghijau, dengan latar belakangan Gunung Lawu.

Sebagai hamba Allah yang terlahir di Pangalengan, dengan suasana yang mirip dengan di wilayah ini daerah, saya langsung terbayang sejumlah perkebunan di belahan selatan kota Bandung itu.

Boleh jadi nama Ndoro Donker dalam percaturan nasional tak seterkenal Junghuhn atau Karl Boscha di Jawa Barat yang punya sejarah panjang dan menebar maslahat hingga sekarang, namun pesona nama Ndoro Donker-lah yang konon menyebabkan Rumah Teh ini dinamai demikian.

Memasuki Rumah ini, kita dibawa pada suasana perkebunan teh di masa lalu yang menghiasi dinding rumah ini, dengan arsitektur yang kental suasana kolonial Belanda-nya. Beragam sajian teh disajikan dalam berbagai pilihan varian rasa: Premium Lady Gray Tea, White Tea, Jasmine Tea, Donker Black Tea, Radja Tea, dan varian teh lainnya. Tapi kalau anda mau kopi, coklat ataupun susu tersedia juga.

Saya yang datang ke sana agak sorean dalam suasana mendung, tak kuasa menahan perut yang lapar. Rumah Teh ini memang menyajikan camilan unik dan makan utama. Akhirnya saya memilih Lady Gray Tea, Ubi Donker dan Pisang Panggang, -- sebagai penawar dingin yang muzarab.

Kamis, 23 Juli 2015

Pembiayaan Syariah untuk Mendukung Perkebunan



PEMBIAYAAN SYARIAH

UNTUK MENDUKUNG PERKEBUNAN


Oleh Tika Noorjaya


Sepanjang tahun 2010, perbankan syariah Indonesia tumbuh dengan volume usaha yang tinggi, antara lain ditunjukkan dengan pertumbuhan asset 43,99% dan Dana Pihak Ketiga (DPK) 39,16%. Kalau ditelusuri perjalanan historisnya, selama satu dasawarsa ini perkembangan perbankan syariah menggambarkan perluasan yang menggembirakan. Kinerja tersebut tampaknya masih akan dapat dipertahankan pada tahun ini, dan amat mungkin sampai beberapa tahun ke depan. Sayangnya, portofolio pertumbuhan perbankan syariah masih dikuasai oleh sektor kelistrikan, retail dan manufaktur.
Perkembangan lembaga pembiayaan syariah yang pesat dalam dasawarsa ini serta komitmen Bank Indonesia untuk memposisikan perbankan syariah sebagai salah satu pilar ekonomi nasional yang kokoh di masyarakat, merupakan peluang bagi komunitas perbankan syariah untuk bersama-sama dengan pelaku usaha  merumuskan berbagai kebijakan yang kondusif sehingga terdapat sinergi antara perkembangan sistem pembiayaan syariah dengan usaha di sektor riil, khususnya di bidang pertanian.
Pengembangan pembiayaan syariah untuk sektor pertanian merupakan pilihan strategis. Seperti dikatakan Ashari dan Sapta (2005), tiga penciri pembiayaan berbasis syariah adalah: (1) bebas bunga, (2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan (3) perhitungan bagi hasil dilakukan setelah periode transaksi berakhir. Selain itu, terdapat beberapa jenis produk pembiayaan syariah yang berpeluang besar untuk diimplementasikan pada sektor pertanian, antara lain: mudharabah, musyarakah, muzara’ah, bai’ al murabahah, bai’ as-salam, bai’ al ishtina dan rahn (gadai). Banyaknya alternatif pembiayaan syariah ini memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha pertanian untuk memilih skim pembiayaan yang sesuai dengan jenis kegiatan dan skala ekonominya.
Salahsatu subsektor pertanian yang berprospek untuk diajak kerjasama adalah subsektor perkebunan. Subsektor ini mempunyai keunggulan karena peranannya dalam menciptakan lapangan kerja, pemanfaatan potensi alam dan menjaga kelestarian linkungan, serta penghasil devisa dan penyedia kebutuhan dalam negeri. Namun, berdasarkan pengalaman, pengembangannya haruslah selektif mengingat subsektor ini rentan terhadap kegagalan pengembalian kredit/pembiayaan, baik akibat kegagalan produksi maupun pemasaran.
Untuk mengurangi risiko usaha atau meningkatkan peluang keberhasilan dalam implementasi pembiayaan syariah di subsektor perkebunan, salah satu faktor kunci adalah model kemitraan usaha yang terintegrasi antara pelaku usaha perkebunan dan pihak perbankan syariah. Secara empiris pola kemitraan yang saling menguntungkan telah dapat memberikan manfaat baik bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) maupun bagi Usaha Menengah dan Besar (UMB) dalam upaya meningkatkan volume usahanya. Selain itu, pola kemitraan juga dapat memberikan solusi untuk mengatasi masalah permodalan yang kerap menjadi handycap bagi sebagian UMK. Sinergitas yang apik dan terjalin kokoh ini diyakini akan dapat memberikan solusi bagi masalah kualitas kredit (pembiayaan), mengurangi pengangguran, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, pihak perbankan syariah perlu melakukan penjajagan kerjasama dan pembahasan yang intensif dengan komunitas perkebunan dalam rangka pengembangan komoditas unggulan berbasis kemitraan usaha sebagai langkah strategis pengamanan kualitas pembiayaan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan para petani plasma.
Melalui pertemuan semacam itu, diharapkan terjadi kesamaan persepsi di antara para pelaku dan pemadu sistem bisnis komoditas perkebunan dengan komunitas perbankan syariah, sehingga diperoleh pola pembiayaan yang cocok untuk mendukung pengembangan komoditas perkebunan sebagai wahana peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini Bank Indonesia kiranya dapat memberikan penguatan, misalnya dengan menyusun model pembiayaan komoditas perkebunan berbasis syariah.

Tika Noorjaya, adalah mantan pegawai sebuah perusahaan perkebunan negara dan pengamat perbankan syariah.

Artikel ini dimuat Majalah KARSA, Vol. 1, No. 03, September 2011, halaman 15.

Rabu, 13 Mei 2015

Kelapa vs Kelapa Sawit: Melerai Persaingan Antarsaudara



Kelapa vs Kelapa Sawit: Melerai Persaingan Antarsaudara
Oleh Tika Noorjaya

BELUM lama ini diberitakan produsen kelapa/kopra mengeluh karena rendahnya harga yang mereka terima, seperti laporan yang disampaikan kepada Menteri Muda UPPTK, Ir. Hasjrul Harahap ketika berkunjung ke Buleleng (Bali) akhir Oktober lalu.

Karena itu, diperlukan upaya untuk menanggulangi efek negatif persaingan antara kelapa (Cocos mucifera) dan kelapa sawit (Elaestica guinensis).

Dari sekian banyak tumbuhan yang tersebar di negeri ini, rasanya tidak ada tumbuhan lain selain kelapa yang setiap komponennya tanpa kecuali dapat dimanfaatkan.
Pucuk daunnya yang disebut janur kuning, dapat digunakan sebagai hiasan atau dekorasi pesta-pesta. Daunnya yang sedikit tua dapat digunakan sebagai pembungkus ketupat yang menambah semaraknya suasana lebaran. Lepas dari daunnya, lidi dapat disusun menjadi sapu atau dipotong menjadi tusuk sate atau tusuk daun.

Ketika pohon telah berbunga, dari batang bunga dapat dideres (dihisap) airnya untuk dimasak menjadi gula jawa, sedangkan dari bunganya sendiri (manggar) dapat diolah menjadi bahan gudeg.

Kelapa muda yang disebut cengkir, dahulu digunakan untuk bahan sesaji dalam upacara adat tertentu. Air kelapa muda? Siapa yang belum pernah merasakan nikmatnya ketika diminum pada siang hari yang panas. Buahnya? Tentu saja, bahkan lebih banyak lagi manfaatnya. Selagi muda, dagingnya dapat dimakan mentah, misalnya sebagai campuran air bersih menjadi air santan sebagai bumbu masak yang lezat. Parutan kelapa dapat juga dibuat serundeng, galendo atau campuran penganan lain. Bahkan, daging buah kelapa tua dapat diolah menjadi minyak kelapa, untuk menggoreng, dan sebagainya. Kalau tidak, dapat juga dikeringkan sebagai kopra, agar tahan lama.

Di luar daging, ada tempurung dan sabut. Tempurung dapat dibuat menjadi alat minum, gayung, bahan hiasan, kancing dan sebagainya, bahkan alat bunyi bagi tarian Minangkabau. Arangnya mempunyai kalori yang tinggi, di samping dapat bertahan lama karena kerasnya. Sabutnya dapat dibuat alat-alat rumah tangga seperti kesed, sapu, tali dan sebagainya.
Batang pohonnya yang panjang dan lurus serta kuat, antara lain dapat digunakan sebagai jembatan atau saluran air.
Tampaknya tidak berlebihan andaikata kelapa disebut budidaya multiguna. Tetapi mengapa tidak primadona?

Kelapa Sawit: Primadona
Bebarapa tahun lalu, kelapa sawit telah lebih dahulu diproklamasikan sebagai primadona sektor pertanian, khususnya sub-sektor perkebunan, dengan berbagai alasan. Rendahnya biaya produksi, kesempatan kerja; prospek pemasaran, dan sebagainya. Sehingga, dengan baiknya posisi kelapa sawit pada masa lalu maka budidaya ini telah dipacu sedemikian rupa dalam bentuk perluasan tanaman yang melibatkan PNP/PTP, perkebunan swasta dan petani/rakyat. Akibatnya, jatuhnya harga minyak sawit beberapa bulan yang lalu, tak pelak lagi ”memukul” mereka.

Tetapi, barangkali seperti primadona sungguhan; banyak tingkahnya yang aneh-aneh. Seperti kita ketahui, harga jual minyak sawit dibedakan antara harga jual lokal dan harga ekspor (terakhir, harga jual lokal adalah Rp 425,-/kg). Ketika harga ekspor lebih tinggi daripada harga jual lokal, konon terjadi ”kucing-kucingan”, dan diantara ”kucing-kucing” tersebut ada yang berhasil mengekspor minyak sawit jatah pasar lokal.

Beberapa bulan lalu, ketika harga ekspor lebih rendah dibanding kelapa sawit, konon pula ada ”kucing” yang memanfaatkan jatah ekspor untuk dipasarkan lokal, sehingga ”membanjiri” pasar lokal dan menekan harga kelapa. Padahal, alasan penetapan harga jual lokal cukup kuat, yaitu melindungi petani kelapa agar tetap bergairah menghasilkan kelapa.

Kebijakan ini tampaknya wajar, karena kita ketahui pula bahwa luas areal kelapa dalam sub-sektor perkebunan menempati peringkat pertama, yang kiranya dapat diartikan sebagai banyaknya orang yang berkepentingan dengan tanaman ini, apalagi kalau diingat bahwa berdasarkan data tahun 1985, lebih dari 98% areal tanaman kelapa adalah kelapa rakyat, yang mungkin pemiliknya menggantungkan sebagian hidupnya dari tanaman ini.

Memang, antara kelapa dan kelapa sawit terdapat hubungan saudara yang cukup erat. Selain sama-sama keluarga palma, keduanya merupakan penghasil minyak nabati di samping bunga matahari, kedele, minyak zaitun dan beberapa jenis lainnya, yang dalam beberapa hal dapat saling menggantikan. Satu hal yang membedakannya adalah biaya produksi minyak sawit yang lebih rendah daripada minyak kelapa, sehingga persaingannya di pasar cenderung memukul (petani) kelapa.

Namun, seperti dipaparkan di muka, fungsi sosial kelapa lebih menonjol daripada kelapa sawit, sehingga cukup alasan andaikata ada perlakuan khusus (persus) bagi para petani kelapa; apalagi kalau diingat beberapa waktu yang lalu petani kelapa pernah dibebani pungutan-pungutan tertentu; pernah ada Cess Kopra; Dana Rehabilitasi Kopra, dan sebagainya.

Perlakuan Khusus
Mari kita melihat permasalahan kelapa secara umum, yakni konsumsi yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita; tanpa diimbangi peningkatan produksi.

Menurut Sensus Sosial Ekonomi Nasional tahun 1976, konsumsi kelapa per kapita per tahun mencapai 11,12 kg setara kopra. Tetapi, data ini belum mempertimbangkan konsumsi kelapa segar sebagai kelapa muda, sehingga konsumsi sebesar 11,12 kg per kapita per tahun tampaknya terlalu rendah, dan dengan meningkatnya taraf kemakmuran maka konsumsi kelapa sekarang diperkirakan mencapai 14-16 kg setara kopra per kapita per tahun.

Peningkatan konsumsi ini antara lain tercermin dengan meningkatnya penggunaan minyak sawit untuk kebutuhan minyak goreng di dalam negeri, di mana kalau pada tahun 1978 minyak goreng yang berasal dari minyak sawit baru 100 ribu ton, pada awal tahun 1984 sudah mencapai 750 ribu ton; meski waktu itu harga minyak sawit di pasar internasional sangat baik.

Memang, kebijakan pengalokasian sebagian minyak sawit untuk konsumsi minyak goreng dalam negeri ini telah dapat ”menolong” konsumen di dalam negeri, tetapi itu berarti menekan petani kelapa dan melepas pangsa pasar (market share) minyak sawit di pasar internasional, yang dengan sigap dimanfaatkan, terutama oleh negara tetangga kita, Malaysia, sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia (padahal menurut sejarahnya, kelapa sawit Malaysia berasal dari Indonesia).

Lain lagi dengan permasalahan rendahnya produktivitas. Keragaan yang kurang menggembirakan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; banyaknya tanaman tua, yang berdasarkan data tahun 1985 dengan luas areal 3.059.710 hektar, 27,2% diantaranya merupakan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), 6,8% tanaman tua/rusak (berumur lebih dari 60 tahun) dan sisanya (66,0%) merupakan Tanaman Menghasilkan (TM). Tetapi, dari areal TM tersebut sekitar 40% diantaranya berumur lebih dari 50 tahun.

Kedua, terlambatnya peremajaan bagi tanaman tua/rusak dan tanaman yang berumur lebih dari 50 tahun (lihat penjelasan pertama), karena (terutama) peremajaan perkebunan rakyat mengalami berbagai hambatan antara lain kesukaran memperoleh bibit, pengadaan pupuk dan sarana produksi lain, disamping kurangnya kemampuan dan kemauan petani.

Ketiga, seringnya terserang hama/penyakit tanaman serta adanya musim kering, seperti halnya pada tahun 1982-1983 di mana menyebabkan turunnya produksi secara drastis. (Mengenai musim kering ini, tampaknya perlu ada perhatian khusus, sehubungan dengan ramalan beberapa pakar yang mengingatkan kemungkinan terjadinya siklus musim lima-tahunan yang berarti diramalkan akan terjadi musim kering pada tahun 1987-1988).

Keempat, masalah pemasaran yang meliputi harga kopra yang kurang merangsang petani untuk berproduksi dan rantai pemasaran yang panjang, termasuk kurang terjaminnya pengangkutan antarpulau. Padahal, seperti kita maklumi, meskipun tanaman kelapa hampir tersebar di seluruh Indonesia, hanya beberapa daerah saja yang potensi kelapa dan kopranya cukup besar, antara lain Sulawesi, Maluku, Riau dan beberapa pulau lainnya; sedangkan daerah konsumen terbesar berada di Pulau Jawa.

Salah satu akibat dari rendahnya produktivitas adalah tingginya biaya produksi per satuan hasil. Sedangkan apabila digabungkan dengan masalah peningkatan konsumsi per kapita per tahun dapat menyebabkan kelebihan permintaan, yang secara teoritis dapat mengangkat harga. Tetapi, karena komoditi ini dapat digantikan dengan bahan minyak nabati lain (termasuk minyak sawit) yang biaya produksinya lebih rendah, maka di pasar kelapa kurang dapat bersaing.

Karena itulah, diperlukan perlakuan khusus untuk merangsang petani kelapa agar bergairah untuk berproduksi, dengan meningkatkan produktivitas dan mutunya. Upaya tersebut dapat berupa perangsang harga maupun perangsang bukan harga, agar mampu menjawab secara positif permasalahan seperti dipaparkan di muka.

Untuk itu, pengaitan kelapa dengan kelapa sawit yang cenderung merugikan petani-petani kiranya perlu ditinjau kembali, antara lain dengan mempertajam pasar bagi masing-masing, sehingga tidak lagi terjadi ”persaingan” antara keduanya. Kelapa dengan fungsi sosial yang lebih besar lebih diarahkan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dengan melakukan upaya lanjutan, antara lain peningkatan produktivitas, efisiensi serta penataan distribusi pemasarannya, sehingga konsumen dapat membeli dengan harga yang wajar, sementara para petani kelapa tidak dirugikan.

Sedangkan minyak sawit, baik dalam bentuk CPO (Crude Palm Oil) maupun dalam bentuk produksi industri hilir, diarahkan pada pasar luar negeri, dengan upaya lanjutan antara lain perlunya peningkatan daya saing dengan menurunkan harga pokok maupun perbaikan mutu, termasuk penataan administrasi ekspor agar memudahkan proses pengeksporan itu sendiri. Upaya terakhir ini, tampaknya sekarang memperoleh peluang, karena konon Malaysia mengurangi ekspor CPO dan mengarahkannya menjadi produk lanjutan; dengan demikian kekosongan pasar CPO yang ditinggalkan Malaysia dapat kita ”isi”.

Sementara itu, dengan membaiknya harga CPO akhir-akhir ini di pasar internasional (pada akhir Oktober 1986 mencapai 340 dollar AS metrik ton), kiranya tidak terjadi lagi main ”kucing-kucingan” yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Selain itu, ketahanan masing-masing komoditi terhadap gejolak perekonomian dunia tampaknya perlu terus dimantapkan, apalagi kalau benar ramalan yang berkembang belakangan ini, bahwa harga-harga komoditi primer seperti CPO tidak akan banyak bergerak dari tingkat yang sekarang.


Artikel ini dimuat di Harian Prioritas, 25 Februari 1987.