Tampilkan postingan dengan label Pertanian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pertanian. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2017

MADURA: Garam Asin, Bisakah Berbuah Manis?


Mengamati ribut-ribut soal kelangkaan garam belakangan ini, saya jadi teringat bahwa 4-5 tahun yang lalu saya pernah terlibat dalam suatu penelitian singkat tentang garam rakyat.
Pada 20 Juli 2012 saya berkunjung ke Sampang, Madura, untuk melihat peta permasalahan garam serta melihat langsung bagaimana proses produksinya di lapangan. Hasilnya? Seperti sekarang, saat itu ditengarai ada upaya untuk conditioning impor garam dengan menghembuskan isu kelangkaan garam. Petani garamnya sendiri tak kunjung menerima hasil yang layak atas kerja kerasnya.
Tahap berikutnya, melakukan uji coba aplikasi teknologi tepat guna Garam Solusi (Ramsol) di Cirebon (Maret 2013). Teknologi ini dapat meningkatkan produktivitas sekitar 80%, dari 100 ton/ha menjadi 180 ton/ha didukung teknologi Geomembrant yang dapat meningkatkan kualitas garam (lebih putih bersih dan mengkristal keras). Karena itu, hasil analisis usahanya pun sungguh berlipat.


Dengan performa awal seperti itu saya sampai pada kesimpulan optimistis. Begini: "Di masa depan yang dekat, membuat garam cukup di halaman rumah... Teknologi sederhana ... namun bisa jadi solusi konkrit bagi peningkatan pendapatan petani. Tataniaga garam yang temaram, boleh jadi akan terterangi. Semoga!!!" (Lihat link postingan Facebook 20 Maret 2013).
____
Semoga pemanfaatan teknologi Ramsol dan Geomembrant ke depan terus dikembangkan dan diperluas ke wilayah-wilayah produksi yang lain. Melalui teknologi itu, petak-petak garam bahkan bisa dipasang di halaman rumah. Karena terkontrol, boleh jadi masa produksinya juga tidak akan terlalu terkendala oleh musim seperti sekarang ini, sehingga fluktuasi produksi dan harga dapat diatasi.
Tentu saja, selain aspek teknis produksi tersebut, perlu membenahi sistem tataniaganya, agar jerih payah petani garam dapat dihargai selayaknya.
_____
Garam yang asin, siapa tahu suatu ketika akan berbuah manis. Semoga.

KELAPA MULTIGUNA



Di luar puja-puji tentang keindahan gemulai nyiur yang melambai di pinggir pantai, Nyiur atau Kelapa (Cocos mucifera) layak dimahkotai sebagai budidaya multiguna.
Dari sekian banyak tumbuhan yang tersebar di negeri ini, rasanya tidak ada tumbuhan lain selain Kelapa yang setiap komponennya tanpa kecuali dapat dimanfaatkan.
Pucuk daunnya yang disebut janur kuning, dapat digunakan sebagai hiasan atau dekorasi pesta-pesta. Daunnya yang sedikit tua dapat digunakan sebagai pembungkus ketupat yang menambah semaraknya suasana lebaran. Lepas dari daunnya, lidi dapat disusun menjadi sapu atau dipotong menjadi tusuk sate atau tusuk daun.
Ketika pohon telah berbunga, dari batang bunga dapat dideres (dihisap) airnya untuk dimasak menjadi gula jawa, sedangkan dari bunganya sendiri (manggar) dapat diolah menjadi bahan gudeg.
Kelapa muda yang disebut cengkir, dahulu digunakan untuk bahan sesaji dalam upacara adat tertentu. Air kelapa muda? Siapa yang belum pernah merasakan nikmatnya ketika diminum pada siang hari yang panas. Buahnya? Tentu saja, bahkan lebih banyak lagi manfaatnya. Selagi muda, dagingnya dapat dimakan mentah, misalnya sebagai campuran air bersih menjadi air santan sebagai bumbu masak yang lezat. Parutan kelapa dapat juga dibuat serundeng, galendo atau campuran penganan lain. Bahkan, daging buah kelapa tua dapat diolah menjadi minyak kelapa, untuk menggoreng, dan sebagainya. Kalau tidak, dapat juga dikeringkan sebagai kopra, agar tahan lama.
Di luar daging, ada tempurung dan sabut. Tempurung dapat dibuat menjadi alat minum, gayung, bahan hiasan, kancing dan sebagainya, bahkan alat bunyi bagi tarian Minangkabau. Arangnya mempunyai kalori yang tinggi, di samping dapat bertahan lama karena kerasnya. Sabutnya dapat dibuat alat-alat rumah tangga seperti kesed, sapu, tali dan sebagainya.
Batang pohonnya yang panjang dan lurus serta kuat, antara lain dapat digunakan sebagai jembatan atau saluran air.
Kelapa memang multiguna.

Minggu, 17 September 2017

Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia,

Erna Maria Lokollo (Editor), Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia, IPB Press, Bogor, Juni 2016 (Cetakan Ke-2); (viii + 302 halaman). ISBN 978-979-493-463-0.


Gonjang-ganjing penggerebegan PT IBU (PT Indo Beras Unggul) belakangan ini telah menjadi perbincangan yang intens di media massa, lengkap dengan pro-kontranya, yang bahkan cenderung emosional, disertai sindir-menyindir dari para pendukungnya.
Itulah implementasi pembangunan pertanian di lapangan, yang tidak semudah kajian akademis. Nyatanya, dari doeloe hingga kini, Indonesia belum bisa beranjak dari persoalan beras. Halnya, dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, maka kebutuhannya telah melampaui 35 juta ton beras per tahun. Tak pelak, beras adalah komoditas yang sangat strategis bahkan politis. Tak heran, peristiwa penggerebegan di atas melibatkan para petinggi dari kementrian, kepolisian, dan beberapa lembaga terkait.

----

Buku ini dapat dijadikan pegangan untuk memetakan permasalahan, sekaligus mencari solusinya. Buku ini mengawali pemaparan dengan landasan teoritis tentang definisi manajemen rantai pasok (Supply Chain Management, SCM), dilanjutkan dengan penerapan konsepnya dalam pembangunan pertanian Indonesia. Secara teknis kemudian menjadi menarik ketika para kontributor membahas delapan studi kasus komoditas, yaitu beras (Dewa K. S. Swastika dan Sumaryanto), kentang (Muchjidin Rachmat, Mardiah Hayati, dan Desi Rahmaniar), cabai merah besar (Saptana), melon dan semangka (Saptana, Adang Agustian, dan Sunarsih), kopi (Reni Kustiari), tembakau (Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti), broiler (Saptana dan Arief Daryanto), serta ternak dan daging sapi (Prajogo U. Hadi). Daerah penelitian pun menyebar di wilayah Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Buku ini juga memberi petunjuk, bahwa komoditas beras memang menjadi prioritas khusus, karena ada satu lagi tambahan studi kasus beras di daerah Aceh (Erna Maria Lokollo, DewaKetut Sadra Swastia, dan Wahida). 
Ternyata, rumus kunci dalam penerapan SCMterletak pada pemenuhan terhadap persyaratannya, yakni: (a) Aktivitas yang dilakukan sepanjang rantai pasok harus menghasilkan nilai tambah, (2) Ada peranan jasa di setiap simpul, (3) Harus ada “penentu” harga, baik apa maupun siapa, (4) Ada hubungan kesepadanan antar-pelaku, (5) Bagaimana “terciptanya” nilai tambah di setiap simpul, dan (6) Harus teridentifikasi penentu dan pengambilan keputusan.
Dalam konteks keberlanjutan pembangunan pertanian, perubahan lingkungan strategis seperti liberalisasi perdangangan, pesatnya pertumbunan pasar modern, dinamika permintaan pasar, dan perubahan preferensi konsumen menuntut adanya perbaikan dalam sistem SCM. Dengan penerapan SCM secara konsisten dan berkesinambungan diharapkan terjadi peningkatan produktivitas, efisiensi usaha, serta efektivitas distribusi, sehingga dapat memenuhi sekaligus memuaskan kebutuhan konsumen.

----

Kembali ke kasus PT IBU, menurut pengalaman saya sangat mungkin pengusaha swasta mengambil rente dari sistem komoditas beras yang sedang berlangsung, karena sebagai entitas bisnis pasti mereka ingin mendapat margin. Ketika saya menjadi Tim Bantuan Tenaga Mahasiswa IPB dalam Satgas Pengadaan Pangan Dalam Negeri pada tahun 198081, pembelian gabah dari petani ditetapkan dengan harga yang berbeda antara penjualan melalui KUD dengan swasta, sehingga terjadi kongkalingkong rente ekonomi dalam bentuk “kerjasama” antara pihak swasta dengan koperasi untuk menikmati rente tersebut bersama-sama.
Karena itu, dalam kasus PT IBU belakangan ini, sebaiknya kasus tersebut dibawa ke meja hijau saja, agar jelas siapa yang bersalah dan di mana letask salahnya. Dalam persidangan di pengadilan nanti, kiranya dapat diperoleh pencerahan bagaimana komoditas yang sangat vital ini seharusnya dikelola. Mungkin Editor dan/atau Kontributor penulis buku ini dapat dihadirkan sebagai Saksi Ahli, dalam pemenuhan persyaratan atau prakondisi manajemen SCM.
Kalaupun sejak awal kita ingin menarik hikmah dari kasus PT IBU, dengan berbekal pengetahuan dari buku in, maka hal itu tertuju terutama ke soal optimalisasi peran Bulog di daerah (Dolog dan Subdolog). Atau, perlu juga dipertimbangkan keberadaan BUMD (Badan Usaha Milik Desa) yang telah berhasil di Kabupaten Kulonprogo. Hal yang juga perlu dikaji adalah efektivitas subsidi di hulu (subsistem usahatani). 

Selasa, 15 Desember 2015

YOGYAKARTA: Amarilis






AMARILIS

Kebun bunga amarilis di Desa Salam, Patuk, Gunung Kidul, Yoyakarta, tiba-tiba saja menjadi terkenal, diberitakan media lokal dan nasional. Secara provokatif, media massa membandingkannya dengan musim bunga di Belanda. Bunga ini memang hanya mekar sekali dalam setahun setiap awal musim hujan, itu pun tak lebih dari 3 minggu.

Sayangnya, karena tanpa penataan yang baik maka bunga indah itu kini banyak yang rontok, pohonnya banyak yang tumbang terinjak-injak, karena banyak orang yang selfie di tempat pohon itu berdiri. 


Memang wisata ini bersifat dadakan. Tak ada aturan selain imbauan agar jangan menginjak pohon, ... tapi tanpa sanksi, siapa yang peduli. Begitu pula dengan imbauan "Ambil gambar bayar seikhlasnya", karena memang tak ada karcis khusus untuk berkunjung ke sana. Sementara itu, jalanan menjadi macet, dan tukang parkir mendapat siraman rezeki karena antusiasme pengunjung.
 
Agaknya, tahun-tahun mendatang perlu lebih ditata, karena terbukti dapat menjadi destinasi wisata, bukan hanya penduduk Yogya, tapi juga dari luar kota.

Rabu, 04 November 2015

Senin, 05 Oktober 2015

Melepas Perangkap Impor Pangan


Judul Buku      : Melepas Perangkap Impor Pangan
Penulis             : DR. Ir. Hermen Malik, MSc.
Penerbit           : LP3ES, Jakarta, Juni 2014.
Tebal                : (xxiv+336 halaman). 
ISBN                : 978-602-7984-09-7

Buku ini bermakna bagi pembangunan pertanian ke depan, karena membahas isyu perangkap impor pangan, sekaligus memberi jalan keluarnya untuk mencapai kedaulatan pangan. 

Meskipun buku ini hadir dari hasil kontemplasi seorang akademisi, paparan buku ini sarat kedalaman pengalaman lapangan, karena sang penulis, Hermen Malik, adalah mantan pejabat nasional, dan kini Bupati Kabupaten Kaur, Bengkulu sejak empat tahun lalu.   

Ditinjau dari sisi pertanian secara lebih luas, kebutuhan untuk memberdayakan sektor pertanian terutama karena produksi sejumlah komoditas belum memenuhi kebutuhan, sehingga harus mengimpor. Laju pertumbuhan impor pertanian pada 2004-2013 mencapai 16,8%/ tahun. Untuk komoditas pangan utama Indonesia masih menjadi negara net importer. Komoditas pangan yang menyumbang impor terbesar adalah kedelai, jagung, beras, serta subsektor hortikultura. Subsektor peternakan juga masih defisit neraca perdagangannya, yang terbesar adalah impor susu, ternak sapi dan daging sapi.[1] 

Sektor pertanian juga belum menarik pihak perbankan untuk membiayainya. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Triwulan II-2015, kredit sektor pertanian, perburuan dan kehutanan hanya 5,83%.[2]


[1] Source: http://old.setkab.go.id/artikel-13835-posisi-pertanian-yang-tetap-strategis-masa-kini-dan-masa-depan.html.
[2] Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, Laporan Triwulan II-2015.

Jumat, 04 September 2015

BOGOR: Prospek Singkong



Bapak Suharyo Husen, Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), memberikan penjelasan tentang latar belakang, visi dan misi lembaganya kepada perwakilan APRACA dan AFRACA dari Nepal, India, Nigeria, Kenya, dan Uganda. Para tamu dari mancanegara itu mendapatkan penjelasan di Kantor Pusat MSI, Pondok Ratna Farm (PRF) Jl. Raya Tapos Nomor 10, Kampung Cukanggaleuh 1, Desa Jambuluwuk, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.


Selain itu, Pak Suharyo juga memaparkan permasalahan dan prospek komoditas singkong sebagai bagian dari upaya diversifikasi pangan. Selain itu, ternyata singkong juga dapat dijadikan bahan baku untuk membuat plastik ramah lingkungan (green plastic), yang limbahnya di alam jauh lebih cepat terurai dibanding plastik yang selama ini digunakan.

Solusinya pun disediakan dengan sistem kluster. Menurut analisisnya, economies of scale dicapai pada skala usaha 310 hektar. Dapat juga dikembangkan Klaster Singkong Terpadu dengan luasan 30 Ha/Klaster. Pola ini dapat diarahkan untuk memproduksi Chips Mocaf dan Chips tepung, bioethanol, dan pakan ternak. Pola yang sama bisa juga diarahkan untuk memproduksi singkong kupas untuk memasok kebutuhan 170 pabrik krosok (tapioka kasar) yang ada di daerah Legokgaok, Desa Kadumangu, Kecamatan Babakan Madong, Sentul, Kabupaten Bogor. Selanjutnya, produk dari pabrik-pabrik kecil ini dipasok ke pabrik tapioka halus di daerah Ciluwar, Bogor.

Sabtu, 29 Agustus 2015

BOGOR: Jambu Kristal

JAMBU KRISTAL (Psidium Guava sp. Crystal var) di Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor kini naik daun terutama karena bijinya yang amat minimal (nirbiji, seedless), sedangkan ukuran buahnya jauh lebih besar dibanding jambu biasa. 
 

Dikunyah renyah, rasanya manis, selembut apel atau pir. Tak heran kalau harganya cukup mahal, khususnya untuk kualitas super. 

Sementara ibu-ibu rumah tangga secara kreatif mulai mengolahnya menjadi manisan, dodol, es buah, pudding, dendeng buah dan olahan lainnya.

SUKABUMI: Hanjeli sebagai Pangan Alternatif





Hanjeli (Coix lacrymajobi L) adalah salahsatu tanaman pangan, yang potensial untuk menjadi pangan alternatif. Puluhan tahun lalu, di masa beras merupakan barang langka, tanaman ini cukup berjasa. Rasanya lebih pulen daripada beras padi dan sedikit lengket seperti ketan. Karena itu, tak jarang hanjeli menjadi bahan baku pembuat bubur lezat untuk penganan buka puasa. Selain itu hanjeli juga bisa diolah menjadi beraneka ragam jenis makanan, seperti kue kering, brownies, lontong, peuyeum (tape), dan tepungnya bisa dijadikan bahan dasar untuk membuat nasi buatan.
Tanaman ini tak perlu persyaratan istimewa untuk pertumbuhannya, seperti yang ditemukan di Desa Batununggal, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi ini. Tanaman ini tumbuh di pekarangan sempit, di antara pagar dan rumah penduduk. 
Semula saya mengira bahwa Hanjeli adalah tanaman dataran tinggi, karena tumbuh di tanah kelahiran saya, Pangalengan (Bandung Selatan); namun ternyata Hanjeli dapat tumbuh juga di dataran sedang seperti di Cibadak Sukabumi. Entahlah, apakah tanaman ini juga dapat tumbuh di dataran rendah. 
Meskipun agak mirip, Hanjeli berbeda dengan Sorgum (Sorghum bicolor atau Shorgum vulgare). Sorgum sering disebut cantel di Jawa Tengah. Keduanya masuk famili gramineae. Jagung, padi, tebu, gandum, barley, sorgum, jelai atau hanjeli masuk ke dalam famili gramineae. Semuanya pangan serealia penting. 
Semoga ke depan ada ahli tanaman yang serius mengembangkan Hanjeli menjadi pangan alternatif

Rabu, 13 Mei 2015

Kelapa vs Kelapa Sawit: Melerai Persaingan Antarsaudara



Kelapa vs Kelapa Sawit: Melerai Persaingan Antarsaudara
Oleh Tika Noorjaya

BELUM lama ini diberitakan produsen kelapa/kopra mengeluh karena rendahnya harga yang mereka terima, seperti laporan yang disampaikan kepada Menteri Muda UPPTK, Ir. Hasjrul Harahap ketika berkunjung ke Buleleng (Bali) akhir Oktober lalu.

Karena itu, diperlukan upaya untuk menanggulangi efek negatif persaingan antara kelapa (Cocos mucifera) dan kelapa sawit (Elaestica guinensis).

Dari sekian banyak tumbuhan yang tersebar di negeri ini, rasanya tidak ada tumbuhan lain selain kelapa yang setiap komponennya tanpa kecuali dapat dimanfaatkan.
Pucuk daunnya yang disebut janur kuning, dapat digunakan sebagai hiasan atau dekorasi pesta-pesta. Daunnya yang sedikit tua dapat digunakan sebagai pembungkus ketupat yang menambah semaraknya suasana lebaran. Lepas dari daunnya, lidi dapat disusun menjadi sapu atau dipotong menjadi tusuk sate atau tusuk daun.

Ketika pohon telah berbunga, dari batang bunga dapat dideres (dihisap) airnya untuk dimasak menjadi gula jawa, sedangkan dari bunganya sendiri (manggar) dapat diolah menjadi bahan gudeg.

Kelapa muda yang disebut cengkir, dahulu digunakan untuk bahan sesaji dalam upacara adat tertentu. Air kelapa muda? Siapa yang belum pernah merasakan nikmatnya ketika diminum pada siang hari yang panas. Buahnya? Tentu saja, bahkan lebih banyak lagi manfaatnya. Selagi muda, dagingnya dapat dimakan mentah, misalnya sebagai campuran air bersih menjadi air santan sebagai bumbu masak yang lezat. Parutan kelapa dapat juga dibuat serundeng, galendo atau campuran penganan lain. Bahkan, daging buah kelapa tua dapat diolah menjadi minyak kelapa, untuk menggoreng, dan sebagainya. Kalau tidak, dapat juga dikeringkan sebagai kopra, agar tahan lama.

Di luar daging, ada tempurung dan sabut. Tempurung dapat dibuat menjadi alat minum, gayung, bahan hiasan, kancing dan sebagainya, bahkan alat bunyi bagi tarian Minangkabau. Arangnya mempunyai kalori yang tinggi, di samping dapat bertahan lama karena kerasnya. Sabutnya dapat dibuat alat-alat rumah tangga seperti kesed, sapu, tali dan sebagainya.
Batang pohonnya yang panjang dan lurus serta kuat, antara lain dapat digunakan sebagai jembatan atau saluran air.
Tampaknya tidak berlebihan andaikata kelapa disebut budidaya multiguna. Tetapi mengapa tidak primadona?

Kelapa Sawit: Primadona
Bebarapa tahun lalu, kelapa sawit telah lebih dahulu diproklamasikan sebagai primadona sektor pertanian, khususnya sub-sektor perkebunan, dengan berbagai alasan. Rendahnya biaya produksi, kesempatan kerja; prospek pemasaran, dan sebagainya. Sehingga, dengan baiknya posisi kelapa sawit pada masa lalu maka budidaya ini telah dipacu sedemikian rupa dalam bentuk perluasan tanaman yang melibatkan PNP/PTP, perkebunan swasta dan petani/rakyat. Akibatnya, jatuhnya harga minyak sawit beberapa bulan yang lalu, tak pelak lagi ”memukul” mereka.

Tetapi, barangkali seperti primadona sungguhan; banyak tingkahnya yang aneh-aneh. Seperti kita ketahui, harga jual minyak sawit dibedakan antara harga jual lokal dan harga ekspor (terakhir, harga jual lokal adalah Rp 425,-/kg). Ketika harga ekspor lebih tinggi daripada harga jual lokal, konon terjadi ”kucing-kucingan”, dan diantara ”kucing-kucing” tersebut ada yang berhasil mengekspor minyak sawit jatah pasar lokal.

Beberapa bulan lalu, ketika harga ekspor lebih rendah dibanding kelapa sawit, konon pula ada ”kucing” yang memanfaatkan jatah ekspor untuk dipasarkan lokal, sehingga ”membanjiri” pasar lokal dan menekan harga kelapa. Padahal, alasan penetapan harga jual lokal cukup kuat, yaitu melindungi petani kelapa agar tetap bergairah menghasilkan kelapa.

Kebijakan ini tampaknya wajar, karena kita ketahui pula bahwa luas areal kelapa dalam sub-sektor perkebunan menempati peringkat pertama, yang kiranya dapat diartikan sebagai banyaknya orang yang berkepentingan dengan tanaman ini, apalagi kalau diingat bahwa berdasarkan data tahun 1985, lebih dari 98% areal tanaman kelapa adalah kelapa rakyat, yang mungkin pemiliknya menggantungkan sebagian hidupnya dari tanaman ini.

Memang, antara kelapa dan kelapa sawit terdapat hubungan saudara yang cukup erat. Selain sama-sama keluarga palma, keduanya merupakan penghasil minyak nabati di samping bunga matahari, kedele, minyak zaitun dan beberapa jenis lainnya, yang dalam beberapa hal dapat saling menggantikan. Satu hal yang membedakannya adalah biaya produksi minyak sawit yang lebih rendah daripada minyak kelapa, sehingga persaingannya di pasar cenderung memukul (petani) kelapa.

Namun, seperti dipaparkan di muka, fungsi sosial kelapa lebih menonjol daripada kelapa sawit, sehingga cukup alasan andaikata ada perlakuan khusus (persus) bagi para petani kelapa; apalagi kalau diingat beberapa waktu yang lalu petani kelapa pernah dibebani pungutan-pungutan tertentu; pernah ada Cess Kopra; Dana Rehabilitasi Kopra, dan sebagainya.

Perlakuan Khusus
Mari kita melihat permasalahan kelapa secara umum, yakni konsumsi yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita; tanpa diimbangi peningkatan produksi.

Menurut Sensus Sosial Ekonomi Nasional tahun 1976, konsumsi kelapa per kapita per tahun mencapai 11,12 kg setara kopra. Tetapi, data ini belum mempertimbangkan konsumsi kelapa segar sebagai kelapa muda, sehingga konsumsi sebesar 11,12 kg per kapita per tahun tampaknya terlalu rendah, dan dengan meningkatnya taraf kemakmuran maka konsumsi kelapa sekarang diperkirakan mencapai 14-16 kg setara kopra per kapita per tahun.

Peningkatan konsumsi ini antara lain tercermin dengan meningkatnya penggunaan minyak sawit untuk kebutuhan minyak goreng di dalam negeri, di mana kalau pada tahun 1978 minyak goreng yang berasal dari minyak sawit baru 100 ribu ton, pada awal tahun 1984 sudah mencapai 750 ribu ton; meski waktu itu harga minyak sawit di pasar internasional sangat baik.

Memang, kebijakan pengalokasian sebagian minyak sawit untuk konsumsi minyak goreng dalam negeri ini telah dapat ”menolong” konsumen di dalam negeri, tetapi itu berarti menekan petani kelapa dan melepas pangsa pasar (market share) minyak sawit di pasar internasional, yang dengan sigap dimanfaatkan, terutama oleh negara tetangga kita, Malaysia, sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia (padahal menurut sejarahnya, kelapa sawit Malaysia berasal dari Indonesia).

Lain lagi dengan permasalahan rendahnya produktivitas. Keragaan yang kurang menggembirakan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; banyaknya tanaman tua, yang berdasarkan data tahun 1985 dengan luas areal 3.059.710 hektar, 27,2% diantaranya merupakan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), 6,8% tanaman tua/rusak (berumur lebih dari 60 tahun) dan sisanya (66,0%) merupakan Tanaman Menghasilkan (TM). Tetapi, dari areal TM tersebut sekitar 40% diantaranya berumur lebih dari 50 tahun.

Kedua, terlambatnya peremajaan bagi tanaman tua/rusak dan tanaman yang berumur lebih dari 50 tahun (lihat penjelasan pertama), karena (terutama) peremajaan perkebunan rakyat mengalami berbagai hambatan antara lain kesukaran memperoleh bibit, pengadaan pupuk dan sarana produksi lain, disamping kurangnya kemampuan dan kemauan petani.

Ketiga, seringnya terserang hama/penyakit tanaman serta adanya musim kering, seperti halnya pada tahun 1982-1983 di mana menyebabkan turunnya produksi secara drastis. (Mengenai musim kering ini, tampaknya perlu ada perhatian khusus, sehubungan dengan ramalan beberapa pakar yang mengingatkan kemungkinan terjadinya siklus musim lima-tahunan yang berarti diramalkan akan terjadi musim kering pada tahun 1987-1988).

Keempat, masalah pemasaran yang meliputi harga kopra yang kurang merangsang petani untuk berproduksi dan rantai pemasaran yang panjang, termasuk kurang terjaminnya pengangkutan antarpulau. Padahal, seperti kita maklumi, meskipun tanaman kelapa hampir tersebar di seluruh Indonesia, hanya beberapa daerah saja yang potensi kelapa dan kopranya cukup besar, antara lain Sulawesi, Maluku, Riau dan beberapa pulau lainnya; sedangkan daerah konsumen terbesar berada di Pulau Jawa.

Salah satu akibat dari rendahnya produktivitas adalah tingginya biaya produksi per satuan hasil. Sedangkan apabila digabungkan dengan masalah peningkatan konsumsi per kapita per tahun dapat menyebabkan kelebihan permintaan, yang secara teoritis dapat mengangkat harga. Tetapi, karena komoditi ini dapat digantikan dengan bahan minyak nabati lain (termasuk minyak sawit) yang biaya produksinya lebih rendah, maka di pasar kelapa kurang dapat bersaing.

Karena itulah, diperlukan perlakuan khusus untuk merangsang petani kelapa agar bergairah untuk berproduksi, dengan meningkatkan produktivitas dan mutunya. Upaya tersebut dapat berupa perangsang harga maupun perangsang bukan harga, agar mampu menjawab secara positif permasalahan seperti dipaparkan di muka.

Untuk itu, pengaitan kelapa dengan kelapa sawit yang cenderung merugikan petani-petani kiranya perlu ditinjau kembali, antara lain dengan mempertajam pasar bagi masing-masing, sehingga tidak lagi terjadi ”persaingan” antara keduanya. Kelapa dengan fungsi sosial yang lebih besar lebih diarahkan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dengan melakukan upaya lanjutan, antara lain peningkatan produktivitas, efisiensi serta penataan distribusi pemasarannya, sehingga konsumen dapat membeli dengan harga yang wajar, sementara para petani kelapa tidak dirugikan.

Sedangkan minyak sawit, baik dalam bentuk CPO (Crude Palm Oil) maupun dalam bentuk produksi industri hilir, diarahkan pada pasar luar negeri, dengan upaya lanjutan antara lain perlunya peningkatan daya saing dengan menurunkan harga pokok maupun perbaikan mutu, termasuk penataan administrasi ekspor agar memudahkan proses pengeksporan itu sendiri. Upaya terakhir ini, tampaknya sekarang memperoleh peluang, karena konon Malaysia mengurangi ekspor CPO dan mengarahkannya menjadi produk lanjutan; dengan demikian kekosongan pasar CPO yang ditinggalkan Malaysia dapat kita ”isi”.

Sementara itu, dengan membaiknya harga CPO akhir-akhir ini di pasar internasional (pada akhir Oktober 1986 mencapai 340 dollar AS metrik ton), kiranya tidak terjadi lagi main ”kucing-kucingan” yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Selain itu, ketahanan masing-masing komoditi terhadap gejolak perekonomian dunia tampaknya perlu terus dimantapkan, apalagi kalau benar ramalan yang berkembang belakangan ini, bahwa harga-harga komoditi primer seperti CPO tidak akan banyak bergerak dari tingkat yang sekarang.


Artikel ini dimuat di Harian Prioritas, 25 Februari 1987.