Senin, 23 Agustus 2021
RUANG KULIAH DI BARANANGSIANG
“Salju” di Kampus Baranangsiang
Kenangan Masa Kuliah (1)
Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)
Kampus Baranangsiang selalu indah untuk dikenang. Halamannya,
bangunannya, tanamannya, tempat parkirnya, ... dan terutama orang-orangnya. Keindahan ini sudah saya rasakan sejak
masih sekolah di SMA. Waktu itu, kalau pas melintas di Jl. Pajajaran dan
melihat gedung itu, sering terbersit keinginan untuk menjadi penghuninya.
Alhamdulillah, akhirnya terlaksana.
Halaman depan Kampus Baranangsiang ditutupi hamparan
rumput hijau yang terawat rapi. Biasa digunakan untuk upacara-upacara, termasuk
pelantikan sarjana. Latihan Resimen Mahasiswa (Menwa), Latihan Beladiri,
Baris-berbaris, biasa juga dilakukan di sana. Oh ya, waktu perjuangan mahasiswa
tahun 1997/1978 juga banyak kegiatan dilaksanakan di sana.
Tapi yang cukup mengesankan di halaman Kampus
Baranangsiang adalah “hujan salju”. Memang bukan salju sungguhan, melainkan
salju dalam angan-angan. Ya, dulu di situ banyak pohon kapuk randu. Ketika
musimnya tiba, serat-serat kapuk randu terlepas dan ditiup angin beterbangan.
Udara penuh dengan serat-serat putih, yang akhirnya terdampar di rerumputan
sebagai “salju”. Embun pagi menambah indahnya suasana. Itulah keindahan yang
sering saya nikmati dari ventilasi Ruang Kuliah Botani.
Begitu memasuki pintu gerbang, dulu tak ada pos Satpam. Kita bisa langsung memasukkan sepeda atau sepeda motor ke tempat parkir di sebelah kiri. Parkir mobil? Harus jalan terus ke arah kanan. Tetapi, waktu itu pemilik mobil amat langka, dosen sekalipun masih banyak yang naik bemo atau jalan kaki, apalagi mahasiswa.
Bangunan yang dirancang oleh F. Silaban itu diawali
dengan Ruang Kimia. Tapi sebelumnya harus melewati prasasti pendirian IPB yang
ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 27 April 1952. Di halaman depan Ruang
Kimia sejak dulu dipenuhi dengan spandoek, seperti sekarang, yang kerap kali
terasa merusak pemandangan.
Bangunan kedua adalah Ruang Botani, di situlah saya
banyak menghabiskan waktu untuk kuliah. Ke sebelah kanan lagi ada Ruang Fisika.
Di halaman depan kedua ruang kuliah itu relatif bersih, karena di depannya ada
plang “Institut Pertanian Bogor” yang cukup besar. Banyak mahasiswa-mahasiswi
yang suka nampang di sana.
Jalan terus ke arah kanan kita akan bertemu dengan Kantor Pusat IPB, tempat pimpinan IPB berkantor. Seingat saya, tak banyak ruangan di situ yang menggunakan AC. Oh ya, di dalamnya ada Perpustakaan Pusat, yang koleksi bukunya cukup banyak termasuk thesis dan disertasi Mahasiswa Pasca Sarjana. Tempat yang nyaman untuk mencari referensi, apalagi petugas perpustakaannya, Euis Sartika, adalah teman saya, sesama Alumni SMAN2 Bogor.
Lebih ke kanan lagi adalah Aula Kantor Pusat (AKP),
yang selain menjadi tempat seremonial juga tempat quiz/ujian.
Kampus Baranangsiang areanya cukup luas, yang
memanjang hingga ke belakang. Sebagian besar ditempati berbagai jurusan
Fakultar Pertanian, yaitu: Departemen Statistika & Komputasi (STK);
Departemen Ilmu Tanah; Departemen Hama & Penyakit Tanaman (HPT); Departemen
Ilmu Gizi & Keluarga (IGK), Departemen Sosial Ekonomi (SOSEK), dan
Departemen Agronomi. Bahkan ada Fakultas Perikanan di bawah PKM (Pusat Kegiatan
Mahasiswa), bersebelahan dengan Departemen Sosek.
Sebenarnya kompleks Kampus Baranangsiang lebih luas
lagi karena dulu terdapat Ruang Kuliah P1-P6 dan Asrama Putri IPB (APIP-IPB) di
sebelah Utara. Di sana ada dinamika dan perjuangan para mahasiswi untuk
menyelesaikan kuliah tepat waktu. Tentu saja, di sana juga ada
cinta dan romantika, ... he he he.
Selasa, 15 Januari 2019
JAKARTA: Pelabuhan Sunda Kelapa Anno 1527
Jumat, 29 Desember 2017
PONTIANAK: Kesultanan Kodriyah
Minggu, 30 April 2017
SUMATERA BARAT: Istana Pagaruyung
Minggu, 16 Oktober 2016
JAMBI dan Batanghari
Jumat, 03 Juni 2016
K. A. R. Bosscha, Malabar, Pangalengan
Sejak kecil saya mengenal Bosscha. Berawal karena saya pernah diajak kakak rekreasi ke makamnya di Perkebunan Malabar. Saat itu saya masih sekolah di SDN-I Pangalengan.
Setelah pindah ke Bogor pada tahun 1973 dan kuliah di IPB sejak 1976, pengetahuan saya tentang Bosscha semakin bertambah karena skripsi saya juga tentang teh, dan berlokasi di Perkebunan Kertamanah, tak jauh dari Perkebunan Malabar.
Bagi saya, memang, Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha lebih saya kenal sebagai ahli teh, karena pernah menjadi administratur di Perkebunan Teh Malabar. Kekaguman saya kepada Bosscha semakin bertambah tatkala saya pindah ke Bogor, dan nama Bosscha cukup dikenal karena "makam"-nya terdapat pula di Kebun Raya Bogor.
Khalayak luas mungkin mengenal Bosscha sebagai pakar astronomi karena namanya dijadikan nama observatorium tertua di Indonesia sekaligus yang terbesar di Asia Tenggara yaitu Observatorium Bosscha di Lembang - Bandung. Bagi masyarakat Bandung nama Bosscha bahkan lebih familiar lagi karena namanya diabadikan menjadi salah satu nama ruas jalan di Bandung.
Di dalam buku "Lebih Dekat dengan Karel Albert Rudolf Bosscha" kita diajak mengenal Bosscha lebih dekat, apa yang telah dilakukannya dan sumbangsihnya bagi Indonesia sehingga 85 tahun setelah kematiannya berdirilah sebuah komunitas yang menamakan dirinya Sahabat Bosscha. Komunitas ini bertekad untuk merawat, memelihara, dan meneruskan cita-cita Bosscha.
Ketika minggu lalu saya Tea-Walk bersama-sama teman-teman alumni SMPN Pangalengan, saya membayangkan berapa banyak orang yang pernah mengunjungi makamnya. Tempatnya yang asri memang senantiasa mengundang untuk dikunjungi.
Betapa banyak jasanya, dan wajarlah kalau penghargaan diberikan kepadanya, sekalipun negaranya pernah menjajah negara kita cukup lama.
Rabu, 06 April 2016
Candi Mendut
Candi
Mendut berlokasi tak jauh dari Candi Borobudur, barangkali sekitar tiga kilometeran.
Kalau tak tergesa-gesa, wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur, pastilah
menyempatkan datang ke sini. Tepatnya Candi Mendut berada di Desa Mendut,
Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar 38 km ke arah
barat laut dari Yogyakarta. Tak sampai sejam, kita sudah bisa menikmati wisata
sejarah eksistensi agama Budha di negeri tercinta.
J.G. de
Casparis menduga bahwa Candi Mendut dibangun oleh raja pertama dari wangsa
Syailendra pada tahun 824 M. Diperkirakan usia Candi Mendut lebih tua
daripada usia Candi Borobudhur.
Candi ini
pertama kali ditemukan pada tahun 1836. Pada tahun 1897-1904, pemerintah Hindia
Belanda melakukan pemugaran yang pertama. Kaki dan tubuh candi telah berhasil
direkonstruksi. Pada tahun 1908, Van Erp memimpin rekonstruksi dan pemugaran
kembali Candi Mendut, yaitu dengan menyempurnakan bentuk atap, memasang
kembali stupa-stupa dan memperbaiki sebagian puncak atap. Pemugaran sempat
terhenti karena ketidaktersediaan dana, namun dilanjutkan kembali pada tahun
1925.
Denah
dasar Candi Mendut berbentuk segi empat. Tinggi bangunan seluruhnya 26,40 m.
Tubuh candi Buddha ini berdiri di atas batu setinggi sekitar 2 m. Dinding
kaki candi dihiasi dengan 31 buah panel yang memuat berbagai relief cerita,
pahatan bunga dan sulur-suluran yang indah. Di ruangan yang cukup luas dalam
tubuh Candi Mendut terdapat tiga buah Arca Buddha.
Di sudut
selatan, di halaman samping Candi Mendut, terdapat batu-batu reruntuhan yang
sedang diidentifikasi dan dicoba untuk direkonstruksi.
|