Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Agustus 2021

RUANG KULIAH DI BARANANGSIANG

Kenangan Masa Kuliah di IPB (2)

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)

Sewaktu Tingkat Persiapan Bersama (TPB), sebagian besar kegiatan perkuliahan dan praktikum diselenggarakan di Kampus Baranangsiang. Ada tiga ruang kuliah (RK) legendaris, yaitu RK Kimia, RK Botani, dan RK Fisika. Kesemuanya dapat menampung sekitar 450an mahasiswa, yang dipilah menjadi empat kelompok. 

Sebagai anggota Kelompok III yang berjumlah sekitar 90an orang, kami menempati Ruang Kuliah Botani. Hanya dalam hal khusus kami pindah ruangan.



 Ruang Kuliah Kimia (kiri atas); Ruang Kuliah Botani (kanan atas); Ruang Kuliah Fisika (bawah).

_____ 
Di ruangan itu bor atau papan tulis hitam memanjang di depan kelas, cukup luas untuk menjadi pusat perhatian dan mencatat kuliah para dosen, dengan segala gayanya. Ketika mengajar, para dosen itu masih menggunakan kapur tulis, tentu saja.  

Ada dosen yang lembut hingga suaranya nyaris tak terdengar; ada pula dosen yang menghentak-hentak walaupun bukan orang Batak. Pak Andi Hakim Nasoetion, tentu saja orang Batak kekecualian, karena suaranya yang pelan dan menggeram, cadel pula. 

Oh ya, di meja depan itu ada juga keran untuk cuci tangan, meskipun seringkali airnya mampet. _____ 
RK Botani berada di bagian tengah, strategis, di antara RK Kimia dan RK Fisika. Di seberangnya ada Menhetten (Mahatani), yang di bagian belakangnya ada "kantor" Senat Mahasiswa Faperta. 

Posisi ini menguntungkan karena sebelum kuliah/praktikum kita bisa nongkrong di Mahatani dulu sambil memandang teman-teman yang lalu-lalang, siapa tahu ada yang bisa diajak kerjasama sebagai "pembanding" dalam penyusunan laporan praktikum atau laporan responsi. Kalau pas lagi ada uang, kita juga bisa pesan teh manis, kopi atau mi rebus made-in Dayat (kalau tak salah), penjaga kios Mahatani, yang logat Sundanya kentel banget. 

Di sini kita bisa juga mengincar barang baru berupa kaos, jaket, topi, tas, stiker, gantungan kunci, dll. Pemasok barang-barang tersebut antara lain Rachman Effendi, sesama Astagian, sekaligus teman akrab saya sejak di Alamanda’75 SMAN 2 Bogor, yang punya sense of business yang terbawa hingga sekarang. Kadang-kadang saya juga ikut-ikutan bisnis dengannya, kalau ada yang pesen vandel, plakat, atau kaos dari institusi/perguruan tinggi lain. Di sela-sela kebersamaan dengan Rachman, sejak masih di SMA 2, kami sering berkunjung ke rumah Lily Siti Nuramaliati di Jl. Bangka 25, yang bunganya cantik-cantik dan banyak disambangi kumbang-kumbang. Waktu itu, saya menangkap “ada pelangi” yang bersinar di mata Rachman kalau sedang menatap Lily. Alhamdulillah, akhirnya mereka berjodoh beberapa puluh tahun kemudian. 
______ 
Hal yang mengherankan, ruang kuliah kami sering didatangi mahasiswa/i dari kelompok lain, entah apa sebabnya. Sedemikian seringnya mereka bergabung, sampai lupa bahwa mereka adalah pengungsi, yang tak terdaftar di Kelompok III. Itulah sebabnya, banyak rekan Kelompok III yang booking tempat duduk sebelum kuliah dengan menyimpan tas/buku lebih dulu, sebelum para pengungsi itu datang. 

Saya sendiri lebih memilih duduk di barisan tiga atau yang lebih belakang, kuatir ditanya dosen, he he he. 
_____ 
Ruang Kuliah Botani memang mengesankan dengan bangku-bangku kokoh memanjang, yang menanjak ala theater bioskop atau tontonan gladiator di negeri Yunani. Bangunan ini memang nyaman tanpa AC sekalipun. Sistem pencahayaannya juga cukup memadai. 

Ruangan ini terbagi tiga, satu di tengah, satu di sayap kiri dan satu lagi di sayap kanan. Pembagian "sayap" dipisahkan oleh dua tangga yang bergradasi menaik ke belakang. Nah, di lantai barisan belakang itulah seringkali saya melihat teman-teman yang tiduran sambil menunggu praktikum atau responsi di sore hari. 

Ventilasi udara yang berada di sebelah kiri selain meniupkan angin semilir, juga cukup nyaman untuk melihat lapangan hijau di bagian depan kampus. Kadang rerumputan hijau itu diselimuti bunga randu yang berguguran dan beterbangan menutup halaman. Indah nian, ... seakan tebaran salju. 
______ 
Di bagian luar sebelah kanan, ada papan pengumuman, yang seringkali membuat saya degdegan, menanti pengumuman hasil quiz atau ujian. 

Belakangan saya bisa menebak, sehabis melihat papan pengumuman itu siapa yang mukanya berseri-seri, namun banyak pula yang mengelus dada. Mereka yang berseri-seri itu umumnya mahasiswa yang biasa duduk di baris satu atau baris dua, ... Willy, Nora, Komarsa (alm), misalnya. 

Adapun yang merana atau mengelus dada kebanyakan yang duduk di bagian belakang, ... untuk itu saya tak perlu menyebutkan contohnya. He he he. 
______ 
Oh ya, di Kelompok III juga banyak kaum residivis, RCD ... Para senior yang galak-galak sewaktu OSMA, ternyata terdampar di “kapal yang sama” di kelompok kami, hi hi hi. 

Meskipun sekelas, kami tetap menyebut mereka kakak, mas, akang, teteh, embak, abang, dll. Di antara mereka, ada seorang mahasiswi cantik yang berangkat dan pulang kuliah dengan mengendarai sedan Corona oranye tua, suatu kemewahan kala itu, di antara sebagian besar mahasiswa/i IPB yang naik bemo atau bahkan jalan kaki, sambil berpayung fantasi menyusuri trotoar dengan harap-harap cemas karena wesel dari orang tua tak kunjung tiba. 
_____ 
Saya termasuk mahasiswa yang sering pakai payung sambil berfantasi ...

“Salju” di Kampus Baranangsiang

Kenangan Masa Kuliah (1)

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)

Kampus Baranangsiang selalu indah untuk dikenang. Halamannya, bangunannya, tanamannya, tempat parkirnya, ... dan terutama orang-orangnya. Keindahan ini sudah saya rasakan sejak masih sekolah di SMA. Waktu itu, kalau pas melintas di Jl. Pajajaran dan melihat gedung itu, sering terbersit keinginan untuk menjadi penghuninya. Alhamdulillah, akhirnya terlaksana.

Halaman depan Kampus Baranangsiang ditutupi hamparan rumput hijau yang terawat rapi. Biasa digunakan untuk upacara-upacara, termasuk pelantikan sarjana. Latihan Resimen Mahasiswa (Menwa), Latihan Beladiri, Baris-berbaris, biasa juga dilakukan di sana. Oh ya, waktu perjuangan mahasiswa tahun 1997/1978 juga banyak kegiatan dilaksanakan di sana.

Tapi yang cukup mengesankan di halaman Kampus Baranangsiang adalah “hujan salju”. Memang bukan salju sungguhan, melainkan salju dalam angan-angan. Ya, dulu di situ banyak pohon kapuk randu. Ketika musimnya tiba, serat-serat kapuk randu terlepas dan ditiup angin beterbangan. Udara penuh dengan serat-serat putih, yang akhirnya terdampar di rerumputan sebagai “salju”. Embun pagi menambah indahnya suasana. Itulah keindahan yang sering saya nikmati dari ventilasi Ruang Kuliah Botani.

Begitu memasuki pintu gerbang, dulu tak ada pos Satpam. Kita bisa langsung memasukkan sepeda atau sepeda motor ke tempat parkir di sebelah kiri. Parkir mobil? Harus jalan terus ke arah kanan. Tetapi, waktu itu pemilik mobil amat langka, dosen sekalipun masih banyak yang naik bemo atau jalan kaki, apalagi mahasiswa.

Bangunan yang dirancang oleh F. Silaban itu diawali dengan Ruang Kimia. Tapi sebelumnya harus melewati prasasti pendirian IPB yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 27 April 1952. Di halaman depan Ruang Kimia sejak dulu dipenuhi dengan spandoek, seperti sekarang, yang kerap kali terasa merusak pemandangan.

Bangunan kedua adalah Ruang Botani, di situlah saya banyak menghabiskan waktu untuk kuliah. Ke sebelah kanan lagi ada Ruang Fisika. Di halaman depan kedua ruang kuliah itu relatif bersih, karena di depannya ada plang “Institut Pertanian Bogor” yang cukup besar. Banyak mahasiswa-mahasiswi yang suka nampang di sana.




Jalan terus ke arah kanan kita akan bertemu dengan Kantor Pusat IPB, tempat pimpinan IPB berkantor. Seingat saya, tak banyak ruangan di situ yang menggunakan AC. Oh ya, di dalamnya ada Perpustakaan Pusat, yang koleksi bukunya cukup banyak termasuk thesis dan disertasi Mahasiswa Pasca Sarjana. Tempat yang nyaman untuk mencari referensi, apalagi petugas perpustakaannya, Euis Sartika, adalah teman saya, sesama Alumni SMAN2 Bogor.

Lebih ke kanan lagi adalah Aula Kantor Pusat (AKP), yang selain menjadi tempat seremonial juga tempat quiz/ujian.

Kampus Baranangsiang areanya cukup luas, yang memanjang hingga ke belakang. Sebagian besar ditempati berbagai jurusan Fakultar Pertanian, yaitu: Departemen Statistika & Komputasi (STK); Departemen Ilmu Tanah; Departemen Hama & Penyakit Tanaman (HPT); Departemen Ilmu Gizi & Keluarga (IGK), Departemen Sosial Ekonomi (SOSEK), dan Departemen Agronomi. Bahkan ada Fakultas Perikanan di bawah PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa), bersebelahan dengan Departemen Sosek.

Sebenarnya kompleks Kampus Baranangsiang lebih luas lagi karena dulu terdapat Ruang Kuliah P1-P6 dan Asrama Putri IPB (APIP-IPB) di sebelah Utara. Di sana ada dinamika dan perjuangan para mahasiswi untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu. Tentu saja, di sana juga ada cinta dan romantika, ... he he he.

Selasa, 15 Januari 2019

JAKARTA: Pelabuhan Sunda Kelapa Anno 1527

Pelabuhan Sunda Kelapa sudah dikenal sejak di SD, namun baru kali ini kami sempat mengunjunginya. Kami mengenalnya sebagai pelabuhan tertua di Indonesia yang awalnya dikuasai Kerajaan Tarumanagara, namun kemudian memjadi rebutan berbagai pihak.


Konon, selain para pedagang Nusantara yang berdagang di pelabuhan ini, banyak juga para pedagang asing yang singgah seperti dari Tiongkok, Arab, India, Inggris dan Portugis.
Tepatnya pada 22 Juni 1527, pasukan gabungan Kesultanan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa lalu mengubah namanya menjadi Jayakarta. Peristiwa ini kemudian diingat sebagai ulang tahun Kota Jakarta.

Jumat, 29 Desember 2017

PONTIANAK: Kesultanan Kodriyah



Iniah kesultanan Melayu yang didirikan tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, di daerah muara Sungai Kapuas Pontianak.
Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I), sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran.
Setelah mukim di Pontianak, ia mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
Di ruangan dalam istana ini terkesan magis. Tamu hanya berfoto di depan kursi Sultan, tak bisa mendudukinya seperti di Istana Pagaruyung atau Istana Deli.

Minggu, 30 April 2017

SUMATERA BARAT: Istana Pagaruyung


Istana Pagaruyung dan sekitarnya merupakan wisata spesial yang bersentuhan dengan sejarah dan kerajaan masa lalu, dalam kemasan budaya khas Bukittinggi, yang byukti-buktinya masih dapat dijumpai di kiri-kanan jalan. Tak lupa suguhan cerita tentang asal-usul nama "Minangkabau", yakni tentang kemenangan gudel setempat melawan kerbau besar dari Jawa. 

Istana Pagaruyung terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Diukur dari Padang (Ibukota Sumatera Barat), istana ini berjarak sekitar 108 kilometer, atau sekitar 45 kilometer dari Bukittinggi.
Keindahan Pagaruyung tidak hanya memperlihatkan keindahan istana, tetapi juga lingkungan di sekitarnya, sehingga menjadi destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Harga tiket masuknya yang terjangkau membuat istana ini diminati para pelancong. Bisa jalan sendiri, atau dipandu berbagai travel biro, yang banyak menawarkan jasa paket perjalanan saja maupun dilengkapi dengan paket kesenian tradisional Minang.

Menurut sejarah, Istana Pagaruyuang atau Istano Basa merupakan replika dari bangunan asli, yang terletak di atas bukit Batu Patah dan terbakar habis dalam kerusuhan berdarah tahun 1804. Istana tersebut kemudian didirikan kembali, namun kembali terbakar pada tahun 1966.
Proses pembangunan kembali Istano Basa dilakukan dengan peletakan tunggak tuo (tiang utama) pada 27 Desember 1976. Bangunan baru ini tidak didirikan di tapak istana lama, melainkan di lokasi baru di sebelah selatannya.
Pada 27 Februari 2007, Istano Basa kembali mengalami kebakaran akibat petir yang menyambar puncak istana, sehingga bangunan tiga tingkat ini hangus terbakar. Ikut terbakar juga sebagian dokumen serta kain-kain hiasan. Diperkirakan hanya sekitar 15% barang berharga yang selamat. Barang-barang yang lolos dari kebakaran tersebut sekarang disimpan di Balai Benda Purbakala Kabupaten Tanah Datar. Adapun harta pusaka Kerajaan Pagaruyung sendiri disimpan di Istano Silinduang Bulan, 2 kilometer dari Istano Basa.




Kini bangunan Istana Pagaruyung berdiri megah, memancarkan kemewahan Tanah Minang yang kaya. Inilah istana dengan bangunan rumah adat berbentuk rumah gadang. Di dalam istana terdapat museum yang memamerkan beberapa peninggalan dari perlengkapan dan perabotan raja, singgasana raja, juga bilik putri raja dengan warna-warni yang cerah dan indah.
Apabila ingin berfotoria dengan lebih spesial, di lantai bawah istana tersebut terdapat penyewaan baju adat Minangkabau lengkap dengan aksesorisnya, cukup Rp35.000 bisa pakai sepuasnya di area istana. Saya juga melakukannya, dan dengan begitu, saya bisa berkhayal menjadi Bagindo Datuk Nugaya.

 

Minggu, 16 Oktober 2016

JAMBI dan Batanghari

Tak jauh dari pusat kota Jambi, melintas Sungai Batanghari. Di malam hari, Batanghari penuh pesona warna-warni. Dipandang dari Jembatan Gentala Arasy, di sebelah kiri terpampang tulisan Jambi Kota Seberang, dan di sebelah kanan ada tulisan Gentala Arasy. Baik ke kanan maupun ke kiri, kita akan disuguhi pemandangan yang indah.

Batanghari adalah sungai yang spesial, karena merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera, yang punya nilai sejarah tinggi, sebagai sentral perdagangan bagi Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Dharmasraya. Mata air sungai ini berasal dari Gunung Rasan, dan yang menjadi hulu dari sungai ini adalah Danau Di Atas (Sumatera Barat), yang setelah menempuh perjalanan jauh bermuara di Laut Cina Selatan.



Jambi Kota Seberang adalah wajah Kota Jambi sebenarnya, tempat warga asli melayu jambi tinggal beserta adat istiadatnya, serta tempat peninggalan benda bersejarah yang masih bertahan dan terjaga dari gerusan zaman.

Sejak tahun lalu di sini diresmikan jembatan pedestrian tempat orang berlalu-lalang, tanpa gangguan roda dua atau empat. Jembatan sepanjang 503m ini menghubungkan Kota Jambi dengan Kampung Seberang, yang dulu harus menyebrang dengan getek (perahu) atau kendaraan darat tapi harus melingkar jauh ke barat dulu, sebelum berputar ke arah jembatan. 

Di ujung seberang jembatan pedestrian, ada jam gadang Jambi atau dikenal dengan menara Gentala Arasy. Di dalam Menara Gentala Arasy itulah terdapat museum mini tentang Islam dan melayu Jambi. Inilah salah satu ikon wisata baru yang menarik di Kota Jambi. Menara ini menggambarkan sejarah penyebaran Agama Islam di Kota Jambi. Bentuknya menyerupai bangunan masjid yang dilengkapi dengan menara. 



Menara ini dimanfaatkan sebagai museum islami. Di museum ini, kita dapat melihat berbagai macam bukti dan sejarah perkembangan Islam di Kota Jambi. Di antaranya ada mushaf Al-Qur’an terbesar di Sumatera berukuran 1,25m x 1,80m. Ada juga Al-Qur’an peninggalan abad ke-19 yang terbuat dari kertas Eropa, tinta Cina merah dan hitam yang tidak memiliki sampul. Selain itu ada Kitab Ilmu Albayan, Kitab Fiqih, dan Tafsir Al-Quran (302 halaman) yang ditulis abad ke-16 dalam bahasa Arab, tinta Cina dan kertas Eropa.

Masih di bagian dalam bangunan, ada ruangan teater yang menayangkan film perkembangan Islam di Jambi dan beberapa cerita rakyat; -- saat saya berkunjung sedang ditayangkan “Rumah untuk Nyai” (Nyai dalam bahasa Jambi berarti Nenek). Kisah sedih tentang kemiskinan penduduk, yang dikemas dengan penuh canda.


Di luar keindahan sekitar jembatan, ada juga Danau Sipin dan tempat yang monumental, seperti Mesjid Seribu Tiang, dan patung Pahlawan Sultan Thaha di pelataran gubernuran.



 



Jumat, 03 Juni 2016

K. A. R. Bosscha, Malabar, Pangalengan


Sejak kecil saya mengenal Bosscha. Berawal karena saya pernah diajak kakak rekreasi ke makamnya di Perkebunan Malabar. Saat itu saya masih sekolah di SDN-I Pangalengan.

Setelah pindah ke Bogor pada tahun 1973 dan kuliah di IPB sejak 1976, pengetahuan saya tentang Bosscha semakin bertambah karena skripsi saya juga tentang teh, dan berlokasi di Perkebunan Kertamanah, tak jauh dari Perkebunan Malabar.

Bagi saya, memang, Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha lebih saya kenal sebagai ahli teh, karena pernah menjadi administratur di Perkebunan Teh Malabar. Kekaguman saya kepada Bosscha semakin bertambah tatkala saya pindah ke Bogor, dan nama Bosscha cukup dikenal karena "makam"-nya terdapat pula di Kebun Raya Bogor.

Khalayak luas mungkin mengenal Bosscha sebagai pakar astronomi karena namanya dijadikan nama observatorium tertua di Indonesia sekaligus yang terbesar di Asia Tenggara yaitu Observatorium Bosscha di Lembang - Bandung. Bagi masyarakat Bandung nama Bosscha bahkan lebih familiar lagi karena namanya diabadikan menjadi salah satu nama ruas jalan di Bandung.

Di dalam buku "Lebih Dekat dengan Karel Albert Rudolf Bosscha" kita diajak mengenal Bosscha lebih dekat, apa yang telah dilakukannya dan sumbangsihnya bagi Indonesia sehingga 85 tahun setelah kematiannya berdirilah sebuah komunitas yang menamakan dirinya Sahabat Bosscha. Komunitas ini bertekad untuk merawat, memelihara, dan meneruskan cita-cita Bosscha.

Ketika minggu lalu saya Tea-Walk bersama-sama teman-teman alumni SMPN Pangalengan, saya membayangkan berapa banyak orang yang pernah mengunjungi makamnya. Tempatnya yang asri memang senantiasa mengundang untuk dikunjungi.

Betapa banyak jasanya, dan wajarlah kalau penghargaan diberikan kepadanya, sekalipun negaranya pernah menjajah negara kita cukup lama.

Rabu, 06 April 2016

Candi Mendut



Candi Mendut

Candi Mendut berlokasi tak jauh dari Candi Borobudur, barangkali sekitar tiga kilometeran. Kalau tak tergesa-gesa, wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur, pastilah menyempatkan datang ke sini. Tepatnya Candi Mendut berada di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar 38 km ke arah barat laut dari Yogyakarta. Tak sampai sejam, kita sudah bisa menikmati wisata sejarah eksistensi agama Budha di negeri tercinta.



J.G. de Casparis menduga bahwa Candi Mendut dibangun oleh raja pertama dari wangsa Syailendra pada tahun 824 M. Diperkirakan usia Candi Mendut lebih tua daripada usia Candi Borobudhur.


Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1836. Pada tahun 1897-1904, pemerintah Hindia Belanda melakukan pemugaran yang pertama. Kaki dan tubuh candi telah berhasil direkonstruksi. Pada tahun 1908, Van Erp memimpin rekonstruksi dan pemugaran kembali Candi Mendut, yaitu dengan menyempurnakan bentuk atap, memasang kembali stupa-stupa dan memperbaiki sebagian puncak atap. Pemugaran sempat terhenti karena ketidaktersediaan dana, namun dilanjutkan kembali pada tahun 1925.

Denah dasar Candi Mendut berbentuk segi empat. Tinggi bangunan seluruhnya 26,40 m. Tubuh candi Buddha ini berdiri di atas batu setinggi sekitar 2 m. Dinding kaki candi dihiasi dengan 31 buah panel yang memuat berbagai relief cerita, pahatan bunga dan sulur-suluran yang indah. Di ruangan yang cukup luas dalam tubuh Candi Mendut terdapat tiga buah Arca Buddha.



Di sudut selatan, di halaman samping Candi Mendut, terdapat batu-batu reruntuhan yang sedang diidentifikasi dan dicoba untuk direkonstruksi.


Candi Prambanan



CANDI PRAMBANAN


Seperti terbaca dalam legenda, kisah Bandung Bandawasa mirip dengan kisah Sangkuriang, yang gagal mempersunting sang putri jelita idaman. Akal-akalan kedua putri untuk menghindar dari pinangan juga sama, yakni membunyikan lesung yang mengundang kokok ayam sebagai penanda siang, sehingga batalah seluruh perjanjian untuk menuju pelaminan. Kalau kisah Sangkuriang memunculkan Legenda Gunung Tangkuban Parahu, kisah Roro Jonggrang menghadirkan Legenda Candi Prambanan. 




Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia. Belum dapat dipastikan kapan candi ini dibangun, namun kuat dugaan bahwa Candi Prambanan dibangun sekitar medio abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya. 

Setelah melalui pemugaran dalam rentang waktu yang panjang, sekarang Candi Prambanan terlihat anggun. Di depan komplek candi, dibangun panggung pentas Sendratari Ramayana dan Taman Wisata Prambanan yang dapat mempercantik wajah komplek Prambanan. Tahun 1998, saya pernah menyaksikan sendratari tersebut dalam lakon “Hanoman Obong”. Sungguh suatu atraksi seni tari yang penuh sensasi, karena pertunjukan dilangsungkan di bawah taburan sinar purnama, saat rembulan bulat penuh seluruh.


Dihitung dari pusat kota budaya Yogyakarta, Candi Prambanan terletak kurang lebih 17 km ke arah timur, tepatnya di Desa Prambanan Kecamatan Bokoharjo. Lokasinya sekitar 100 m dari jalan raya Yogya-Solo, sehingga tak sulit untuk menemukannya. Kawasan wisata yang yang terletak pada ketinggian 154 m dpl ini sebagian termasuk wilayah Kabupaten Sleman, dan sebagian lagi masuk dalam wilayah Kabupaten Klaten.

Selasa, 05 April 2016

Candi Borobudur, 1994-2016




BOROBUDUR, 1994-2016

Borobudur, jelaslah merupakan kebanggaan bangsa Indonesia. Sudah sejak sekolah dasar, saya mendapatkan pengetahuan tentang keberadaan candi ini yang disebut-sebut sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Borobudur, dimuat dalam pelajaran Sejarah, atau lebih luas disebut Ilmu Pengetahuan Umum, ketika itu.

Alhamdulillah, dua kali saya berkunjung ke candi ini. Pertama, tahun 1994, merupakan bagian dari perjalanan liburan dalam rangka Idul Fitri, menempuh perjlanan dari Malang pulang kampung ke Pangalengan, Bandung Selatan. Saat itu, kemegahan Borobudur sudah tampak, tapi pengelolaannya masih amat sederhana. Meskipun demikian, sudah tampak pula bahwa candi agung ini dapat menebarkan kemaslahatan bagi penduduk sekitar yang berdagang cindra mata, makanan, minuman, bahkan foto langsung jadi, sekaligus menawarkan sebagai pemandu wisata. Lokasi parkir dan pasar cindra mata amatlah dekat dengan lokasi candi, dapat dijangkau dengan jalan kaki begitu saja. Saat itu kebetulan keluarga saya bertemu dengan teman lama suami-istri Iyus Yusuf dan Lia, beserta keluarganya.

Kini, 22 tahun kemudian, rupanya Borobudur sudah banyak berubah, terutama di bagian luar dengan cara pengelolaan yang profesional pula, ... dan karenanya pengunjung harus merogoh kantong lebih dalam. Perjalanan pun menjadi lebih jauh dari pintu gerbang pembelian karcis hingga ke lokasi candi, sehingga disediakan andong bermesin dengan beberapa gerbong penumpang. Demikian pula, para penjaja jasa, penjual makanan dan cindra mata, kini sudah dilokalisasi dengan tertib, yang dapat dipastikan harus dilewati pengunjung karena jalurnya memang sudah diatur sedemikian. Yang mengherankan, harga-harga barang yang dijajakan sepertinya semakin murah menjelang keluar areal pasar. Jelasnya, begitu mau pulang, kita harus pandai-pandai menawar belanjaan, atau tunggulah belanja hingga menjelang keluar dari areal pasar. Secara umum, barang-barang yang ditawarkan tersebut relatif murah. Selain itu juga disediakan tontonan visualisasi Borobudur di Gedung Informasi; -- sayangnya pada waktu saya berkunjung tak sempat menikmati sajian tersebut.

Dengan perjalanan wisata di hari kerja, suasana jalan tidak terlalu ramai, sehingga saya dapat menjangkau Borobudur tak sampai sejam dari pusat kota Yogyakarta, dengan menggunakan kendaraan roda empat. Sayang sekali, dengan waktu yang sempit, serta terhalang cuaca mendung dan hujan, maka perjalanan seharian itu hanya bisa mengunjungi Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Prambanan. Keinginan untuk berkunjung ke Candi Ratu Boko, tampaknya harus diendapkan sebagai “hanca” untuk perjalanan kemudian.

Suatu hal yang merupakan pengetahuan “baru” bagi saya, adalah penjelasan dari petugas Museum, bahwa konstruksi Candi Borobudur ternyata dibentuk dengan menggunakan “kunci” yang berbeda untuk setiap tingkatan. Masih-masing bagian konstruksi tidak direkat dengan semen misalnya, melainkan “kunci” tersebut. Bentuk dan model “kunci” tersebut macam-macam. Sebagai contoh, ditunjukkan pada saya, bahwa untuk bisa membuka bagian bawah candi, terlebih dahulu harus membuka bagian yang lebih atas, karena sang “kunci” terdapat di bagian itu (di bagian atas); ... demikian seterusnya. Teknologi yang luar biasa untuk ukuran masa itu.

Candi Borobudur berada di Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, sekitar 15 km arah selatan kota Magelang. Candi ini berada di dataran berbukit yang hampir seluruhnya dikelilingi oleh gunung. Di baratnya ada Gunung Merbabu, sedangkan Gunung Merapi itu letaknya tepat di selatannya persis Gunung Merbabu. Tepat di Selatan agak ke Barat sedikit ada komplek pegunungan Menoreh dengan salah satu puncak tertingginya adalah Suroloyo. Juga sama halnya dengan Sumbing dan Sindoro, rupanya gunung serupa namun tak sama ini letaknya berjejer. kalau kita lewat arah Temanggung ke Wonosobo maka kita akan disuguhi pemandangan di kanan dan kiri jalan masing-masing berupa gunung, dan itulah Si Ndoro dan Mas Sumbing. dan letak jalur tersebut adalah di utara arah Barat Candi Borobudur.

Sir Thomas Stamford Rafless adalah orang pertama yang menemukan puing-puing bebatuan tua dalam jumlah banyak di sekitar wilayah Magelang. Gubernur Jendral Inggris inilah yang memimpin Indonesia pada masa peralihan penjajahan dari Belanda ke Inggris tahun 1811-1816. Dialah orang pertama yang menguak asal-usul Candi Borobudur yang awalnya tertimbun tanah.

Rafless kemudian memerintahkan anak buahnya untuk meneruskan pekerjaannya, tetapi karena kesibukan perang maka pekerjaan ini akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1835, proses pengangkatan Candi dilanjutkan oleh Hartman, Gubernur Jendral Belanda. Ia mengerahkan banyak pekerja untuk membongkar dan menghilangkan semua penghalang yang menutupi tumpukan bebatuan di sana. Ia mengusahakan pembersihan menyeluruh dari puing-puing yang mengotori candi. Namun demikian, saat itu Candi Borobudur belumlah berbentuk sempurna. Banyak bagian yang gompel, hilang, dan rusak karena ditelan zaman.

Pada tahun 1907-1911, di bawah pimpinan Van Erf, Belanda mulai melakukan pemugaran yang memang belum sempurna. Pemugaran dilakukan dengan teknologi konvensional, sehingga reliefnya belum terbentuk seperti aslinya. Pemugaran Candi Borobudur ini hanya sebatas menghindari kerusakan-kerusakan lebih lanjut dengan memindahkan batuan-batuan yang rentan runtuh. Dia berjasa bagi bangsa Indonesia karena menyelamatkan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia dari kerusakan yang lebih parah.

Dalam suasana negara yang diliputi dengan peperangan dan perjuangan kemerdekaan,  tak banyak upaya pemugaran yang berarti. Seiring berjalannya waktu, saat kondisi negara mulai membaik, pada 10 Agustus 1973 dilakukan pemugaran di masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemugaran dipimpin oleh Dr. Soekmono dibantu oleh sekitar 600 pekerja muda lulusan SMA dan STM bangunan yang sebelumnya sudah diberikan pendidikan dan keterampilan khusus tentang bidang Chemika Arkeologi (CA) dan Teknologi Arkeologi (TA). Mereka asli putra-putri Indonesiai, tak satu pun tenaga ahli dari luar negeri. Pemugaran diselesaikan pada 23 Februari 1983.

Saat Ini Candi Borobudur setiap tahunnya dikunjungi oleh lebih dari empat juta wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Borobudur jelaslah aset bangsa yang membuat bangga.

Bogor, 5 Maret 2016