Tampilkan postingan dengan label Wiraswasta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wiraswasta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Januari 2016

BOGOR: Pemulung Mandiri


PEMULUNG MANDIRI

Sebut saja Mang Udin. Dialah salah seorang pemulung sampah di sekitar komplek perumahan kami.
Tak tahan dengan kerasnya persaingan sebagai pengojek di Tanjung Priuk, sejak sepuluh tahun lalu Mang Udin banting setir dengan profesinya sekarang ini. Area perburuannya pun tak pernah jauh, ... ya di sekitar perumahan ini. Konon, dia berangkat dari rumah selepas solat subuh, dan kembali di rumah sebelum solat dzuhur, dengan membawa penghasilannya hari itu.

Hasil kerjanya ini senantiasa disyukurinya karena telah menghidupi keluarganya dengan seorang istri dan enam anak.

Ketika saya tanya apakah kehidupannya sekarang lebih susah dibanding sebelumnya, jawabannya "tidak". Dia bilang sama saja, karena harga jual hasil pulungannya juga naik dari sekitar Rp1.000-1.500/kg di tahun 2005 menjadi sekitar Rp3.000-4.000/kg sekarang ini. Itu adalah contoh harga plastik sejenis botol Aqua. Harga barang-barang lain pun (kertas, logam, dll) mengikuti trend-nya sendiri-sendiri.

Tentu saja, Mang Udin tidak sendirian. Setidaknya ada tiga pemulung lainnya yang sering saya temui setiap jalan kaki di pagi hari.

Minggu, 30 Agustus 2015

Tahu SUMEDANG



Tahu Sumedang: Menebar Makna bagi Sesama, Memberi Arti bagi Negeri

Di luar popularitasnya sebagai panganan yang lezat, tahu Sumedang menyimpan sekelumit kisah tentang keligatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam menyiasati dinamika usaha yang telah digelutinya secara turun-temurun. Dengan kiat-kiat sederhana, UMKM pengusaha tahu mampu berkembang hampir di seluruh penjuru negeri. Tanpa keluh-kesah, mereka menebar makna bagi sesama; memberi arti bagi negeri.
Ny. Een Sukaenah dan Kawan-kawannya
Pengusaha mikro seperti pasangan suami-istri Sutaryat (58) dan Ny. Een Sukaenah (57) adalah salah satu dari delapan pengusaha tahu di Situraja, Kabupaten Sumedang. Mereka menapaki usaha ini sejak awal 1980-an. Dengan masing-masing merekrut 3-6 orang pekerja, secara keseluruhan para pengusaha tersebut menghasilkan sekitar 20 ribu potong tahu per hari. Pelanggannya yang berjumlah sekitar 60 orang umumnya adalah pedagang tahu goreng yang menjajakannya di warung-warung atau berkeliling kampung. Produsen tahu sendiri menjual sebagian kecil dari produk mereka di warung masing-masing. Tanpa banyak bicara dan suara, mereka telah meningkatkan taraf kehidupannya serta menampung banyak tenaga kerja.


Begitu pula, tatkala harga Bahan Bakar Minyak (BBM) melambung, mereka mengoptimalkan pendapatan dengan mengganti BBM dengan kayu bakar yang melimpah di sekitarnya. Begitu saja. Sungguh sederhana. Lalu mereka bersyukur, karena dapat hidup layak, memperbaiki rumah, membeli tanah dan peralatan rumah, serta membekali anak-anak dengan pendidikan secukupnya untuk melanjutkan perjalanan kemanusiaan.
 Cara kerja mereka begitu sederhana, namun menarik dan bermakna. Ampas tahu, misalnya. Benda yang semula terbuang percuma, dijual sebagai pakan ternak atau bahkan lauk-pauk. Dengan disiplin, dana ekstra hasil penjualannya  setiap hari ditabung ke dalam dua celengan. Celengan kuning digunakan untuk membayar sewa warung, sementara tabungan di celengan hitam dibuka menjelang lebaran sebagai Tunjangan Hari Raya (THR) bagi karyawan  pabrik dan para pelanggannya, seperti diutarakan Ny. Een Sukaenah Sutaryat.
Peranan BMT Al-Amanah
Para pengusaha tahu itu berbagi-hasil dengan BMT Al-Amanah, suatu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berpola syariah. Kebutuhan modal investasi ataupun modal kerja disediakan lembaga ini setelah yakin bahwa para pengusaha tahu tersebut layak dibiayai. Dan terbukti, dari tujuh pengusaha tahu yang pernah dibiayai BMT Al-Amanah, tak satu pun yang bermasalah, seperti diungkapkan Dedi Suardi, S. Sos, salah seorang manajer di BMT Al-Amanah. Tak mengherankan kalau nilai pembiayaan bagi mereka terus ditingkatkan. 
Kesulitan yang muncul, yakni tatkala harus menyediakan agunan, dapat mereka atasi dengan kemufakatan kelompok. Sebagai contoh, agunan untuk kelompok Ny. Een yang beranggotakan tujuh orang (dengan nilai pinjaman total Rp 400 juta), disediakan oleh salah-seorang pengusaha, dengan hak dan kewajiban yang disepakati anggota kelompok. Di antara kelompoknya itu, Ny. Een sendiri menikmati pembiayaan Rp. 45 juta dengan cicilan Rp 121.000/hari dan tabungan Rp 20.000/hari. Sebelumnya, Ny. Een mendapat pembiayaan Rp. 15 juta. Dana tersebut digunakan untuk memperluas tempat usaha dan membangun tungku kayu bakar.
Agar tidak membebani dan sesuai kesepakatan anggota, maka cicilan dan bagi-hasil dikumpulkan harian untuk kemudian diperhitungkan di akhir bulan. Untuk itu, pengusaha tak usah repot datang ke kantor BMT Al-Amanah, karena petugas BMT akan dengan setia mendatangi nasabahnya setiap hari. Saat ini BMT Al-Amanah mempunyai 90 kelompok dengan jumlah anggota 5-20 orang per kelompok di antara sekitar 4.000 peminjam, termasuk di antaranya dua orang nasabah yang bermukim dan berusaha di Jakarta.
Mengingat besarnya kebutuhan masyarakat, maka selain dana yang bersumber dari modal dan tabungan anggota, BMT tersebut bekerjasama dengan perbankan seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Jabar Syariah serta lembaga lainnya. Peranan perbankan sebagai penyedia dana bagi UMKM memang sangat penting, baik disalurkan secara langsung maupun melalui lembaga keuangan lainnya. Kemudahan perbankan dalam menyalurkan dananya kepada UMKM, juga didukung dengan makin besarnya dukungan peraturan-peraturan Bank Indonesia dalam penyesuaian prosedur pemberian kredit dan insentif kebijakan yang lebih memudahkan dan mendorong bank untuk menyalurkan kreditnya. Di samping itu, BMT Al-Amanah juga mendapat pembiayaan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB).
BMT Al-Amanah bersama dengan 12 BMT lainnya di wilayah Sumedang dan Majalengka menjadi anggota Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) Sumedang sebagai organisasi yang menaunginya. PINBUK Sumedang adalah salahsatu Business Development Service Provider (BDSP) di Jawa Barat yang telah diakreditasi oleh P3UKM (Pusat Pengembangan Pendamping Usaha Kecil dan Menengah) sebagai Pendamping Usaha Kecil dan Menengah (PUKM). P3UKM adalah suatu lembaga independen yang didirikan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, perbankan se-Jawa Barat, universitas, lembaga penjamin kredit serta berbagai pihak terkait lainnya. Lembaga ini memberikan penguatan berupa pelatihan, monitoring, pendampingan, dan pemberian akreditasi/sertifikasi bagi PUKM Mitra seperti PINBUK Sumedang. 
Epilog
Senyum Ny. Een Sukaenah mengembang. Pembiayaan yang diterimanya dari BMT Al-Amanah adalah rangkaian panjang kebijakan Bank Indonesia yang ditransformasikan kepada perbankan dengan pendampingan dari BDSP. Peran semua pihak itulah yang menyatukannya dalam satu sinergi dan menggulirkan dana perbankan untuk UMKM.
Ny. Een Sukaenah adalah contoh dari begitu banyak UMKM pengusaha tahu yang tersebar bukan hanya di Situraja, tetapi di seluruh Sumedang, bahkan berkiprah hampir di seluruh penjuru negeri. Tanpa keluh-kesah, UMKM pengusaha tahu mampu menebar makna bagi sesama; memberi arti bagi negeri. (Tika Noorjaya).


Selasa, 12 Mei 2015

What Would Steve Jobs Do?


Judul Buku: What Would Steve Jobs Do?

Penulis: Peter Sander.

Penerbit: McGraw-Hill.

Cetakan Pertama: 2012

Tebal: 215 halaman. 
  

Steve Jobs dan Apple, siapa yang tak kenal nama-nama itu? 
Buku ini memaparkan enam model bisnis Steve Jobs, yang mengibarkan Apple sebagai perusahaan publik yang sangat bernilai dan menjadi model global untuk binis yang mumpuni. Keenam model tersebut adalah: Customer, Vision, Culture, Product, Message, dan Personal Brand.

Customer: Memahami pelanggan dengan baik, sehingga tahu persis apa yang mereka inginkan, lebih dari sekadar yang dikerjakannya. 


Vision: Tak kenal henti memikirkan produk baru. 

Culture: Menciptakan lingkungan, yang menumbuhkan kesadaran bahwa “tidak bisa” adalah kosa-kata yang buruk. 

Product: Menciptakan produk yang dapat mengubah dunia. 

Message: Menyampaikan pesan yang menarik sehingga menjadi kepanjangan dari produk itu sendiri. 

Personal Brand: Membuat orang berpikir tentang keteguhan, tepat janji, dan percaya ketika mereka berpikir tentang Anda.

Kapan Pengusaha Muslim Bangkit ?

                   
Judul Buku:  Kebangkitan Pengusaha Muslim

Editor: B. Wibowo

Penerbit: PT Bina Rena Pariwara, Jakarta.

Cetakan Pertama: 1991.                   
Tebal: 266 halaman (termasuk indeks).


Kapan Pengusaha Muslim Bangkit ?
Oleh Tika Noorjaya

KETIKA menegaskan pemilihan kata resurgence (kebangkitan kembali) – dan bukan reassertion ataupun revivalims – Chandra Muzaffar, seorang intelektual muslim Malaysia, dalam salahsatu tulisannya yang dimuat dalam buku Islam and Society in Southest Asia (1986) antara lain menyebutkan bahwa pemilihan kata itu sedikitnya didasari tiga argumen yang kuat. Pertama, konsep ini merupakan suatu pandangan dari dalam, di mana kaum Muslimin melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Kedua, menunjukkan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Ketiga, sebagai suatu konsep mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan lain, baik di mata ”penantang” maupun ”yang ditantang”.
Buku Kebangkitan Pengusaha Muslim yang diangkat dari ”Dialog Bisnis Muktamar Muhamamdiyah ke-42” di Yogyakarta ini menampilkan hasil pemikiran 12 orang tokoh nasional dengan latar belakang beragam: kyai, menteri, birokrat, sultan, pengusaha. Mereka – Rahimi Sutan, KH. AR Fachruddin, Arifin M. Siregar, Nasrudin Sumintapura, Karnaen A. Perwataatmadja, Mar’ie Soetrisno Bachir, Harry Kuntoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X – memusatkan kajian pada tema sentral ”pengembangan potensi bisnis di kalangan Muhammadiyah”.
Para pembaca maupun penulis buku ini, secara implisit, tampaknya menyadari ketiga argumen dalam konsep ”kebangkitan” tersebut, tetapi memandangnya dalam kaitan khusus, yakni ”kebangkitan” pengusaha muslim. Meskipun demikian, cakrawala gagasan yang tertuang, baik dalam makalah, presentasi maupun dalam diskusi, tidak terbatas pada pengusaha di lingkungan Muhammadiyah, melainkan lebih meluas pada wawasan pengusaha muslim, terutama muslim Indonesia. Manakala Muhammadiyah ”dipotret”, muslim Indonesia adalah bingkai penyekatnya.
Keragaman latar belakang pembicara serta cara penyajian yang membentang dari yang sangat serius dan argumentatif hingga yang to the point dan terkesan santai, tidak mengurangi semangat yang terkandung di dalamnya.
Potensi Ummat
Kebangkitan pengusaha muslim Indonesia, sesuai dengan argumen pertama, jelas datang dari dalam kelompok ini, dan tidak ditiup-tiupkan dari kalangan lain yang mungkin menyimpan maksud-maksud tertentu. Kalaupun ada pihak-pihak di luar pengusaha muslim yang ingin melihat kebangkitan pengusaha muslim, tak lain adalah saudara sendiri, yakni ummat Islam pada umumnya, yang ingin melihat kebangkitan pengusaha muslim sebagai bagian dari kebangkitan Islam pada umumnya.
Harapan akan kebangkitan pengusaha muslim secara obyektif bisa didekati paling tidak dari potensinya. Dari segi ini, Islam tak pelak, adalah agama mayoritas di Indonesia, sehingga tidak hanya berpotensi untuk melahirkan pengusaha-pengusaha muslim yang cukup banyak, tapi juga sumber pasar utama bagi produk-produk yang dihasilkan.
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk tidak meninggalkan soal perekonomian. Dengan ulasan yang santai namun berbobot filosofis yang berat, KH AR Fachruddin menguraikan bagaimana masalah perekonomian dikupas dalam Al-Qur’an. Riwayat Nabi Muhammad pun dijadikan contoh tentang bagaimana penilaian Nabi terhadap orang yang semata-mata mementingkan ibadat kerokhanian (shalat, puasa, di mesjid – sampai tidak pernah keluar dari mesjid - ) namun melupakan masalah keduniawian (halaman 31-33).
Islam juga mengajarkan kewiraswastaan. Sejarah telah mencatat bahwa salah satu kekuatan ummat Islam adalah kepiawaian dalam berdagang. Muhammad sendiri adalah seorang pedagang, sebelum dinobatkan menjadi rasulullah. Dalam kaitan ini Probosoetedjo (khususnya di halaman 84-88) dan Soetrisno Bachir (khusus di halaman 171-174) membahasnya, juga, dengan mengutip beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Peluang dan Pendukung
Peluang dan faktor pendukung kebangkitan pengusaha muslim antara lain berkaitan dengan era pembangunan di Indonesia, terutama dengan penekanan pada aspek pemerataan dalam Trilogi Pembangunan Nasional sekarang ini. Berbagai kegiatan pemerintah seperti penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK), sistem bapak-angkat, pelaksanaan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang terdapat pada berbagai sektor – pertanian, industri, jasa – dapat diartikan sebagai peluang bagi pengembangan peranan ummat Islam, karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar ummat Islam Indonesia masih hidup dalam tingkat kehidupan yang rendah, di bawah garis kemiskinan.
Peranan pajak yang ”mengambil” sebagian kekayaan orang-orang kaya untuk negara, pada akhirnya juga memberi dampak positif bagi orang miskin – kaum dhuafa yang masih hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Pesatnya perkembangan Islamic Development Bank dan hangatnya pembicaraan mengenai Bank Islam akhir-akhir ini dapat merupakan peluang dan pendukung alternatif pembiayaan bagi umat Islam yang dihadapkan pada aspek haramnya riba dalam memahami interest (bunga uang) yang berlaku dalam perbankan konvensional selama ini. Dalam hal ini bank Islam menawarkan konsep ”bagi hasil”, yang menghilangkan keharusan pembayaran biaya bunga uang (interest sama dengan nol) diganti dengan bagi hasil yang diperoleh dari hasil usaha. Bank tanpa bunga mensyaratkan adanya kebersamaan, keterbukaan dan kejujuran antara bank dan nasabahnya, sehingga kedua belah pihak dapat merasakan adanya keadilan (halaman 224).
Kebangkitan Islam yang dipercayai akan terjadi pada abad ke-15 juga dapat dianggap sebagai faktor pendukung yang cukup positif, terutama dalam artinya sebagai penggugah semangat keislaman. Selanjutnya, kehadiran organisasi masyarakat yang bernafaskan Islam, disamping yang sudah ada, dipandang sebagai peluang untuk lebih memperbesar keberadaan ummat muslim.
Tegasnya, peluang dan faktor pendukung bagi kebangkitan pengusaha muslim – sebagai bagian dari kebangkitan Islam – tidak hanya berada dalam lingkaran Muhammadiyah atau ummat Islam semata-mata tapi juga secara nasional, bahkan internasional.
Kelemahan dan Tantangan
Kelemahan dan tantangan yang dihadapi, tak lepas dari pengalaman selama ini, karena baik secara kuantitas maupun kualitas, kemampuan pengusaha muslim Indonesia lebih banyak tertinggal, terutama yang menyangkut profesionalisme, khususnya ketertinggalan dibanding pengusaha nonpri. Tentu saja hal ini bisa ditarik jauh ke belakang, tatkala pada masa penjajahan keberadaan pengusaha muslim mendapat tekanan berat dari penguasa, sementara pengusaha nonpri justru mendapat angin dan previlise. Dalam kaitan dengan masa kini pun, bahkan, Probosutedjo berandai-andai ”... seandainya para pengusaha pribumi juga memperoleh kemudahan yang sama dengan pedagang-pedagang keturunan Cina, kiranya kelihaian pengusaha pribumi tidak kalah dengan pengusaha keturunan Cina”, kata Probo (halaman 88). Tak pelak, ini adalah suatu andaian, yang menantang pembuktian.
Tantangannya, bagaimana potensi dan peluang yang besar bagi kebangkitan pengusaha muslim tidak malah berbenturan dengan fakta saat ini, sehingga tanpa pengendaliannya bisa tergelincir pada masalah SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Bagaimanapun, pengusaha muslim Indonesia adalah warga negara Indonesia yang telah berikrar diri dan bernaung dalam suatu negara kebangsaan Indonesia dengan asas tunggal Pancasila – dan bukan negara Islam, dengan memberlakukan syariah Islam. Kesadaran ini bahkan telah ditanamkan pada awal pembentukan negara ini oleh para founding fathers kita.
Karenanya, tidaklah berlebihan kalau ”Dialog Bisnis Muhammadiyah” ini antara lain menyimpulkan perlunya penggalangan solidaritas nasional guna menumbuhkan dan meningkatkan perekonomian rakyat, serta solidaritas muslim guna menumbuhkan perekonomian ummat pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya. Juga ditekankan perlunya digalang dan ditumbuhkan jiwa profesionalisme ummat sesuai tuntutan dan perkembangan jaman (halaman 20).
Catatan Penutup
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Dengan mengacu konsep “kebangkitan kembali” yang dikemukakan Chandra Muzaffar, satu hal yang kurang dibahas secara cukup luas dalam buku ini adalah latar sejarah tentang kejayaan pengusaha muslim di masa lalu, yang menyebabkan pengusaha muslim masa kini ingin melihat “kebangkitannya kembali”. Dalam hal ini, misalnya, Junus Jahja hanya menyebut beberapa nama saudagar Islam yang kaya, seperti Djohan Djohor, Tasripin, Nitisemito, Tjokrosuharto, H. Bilal, Dasaad, Muchsin, Rahman Tamin, H. Sierat, H. Djuned, Hasyim Ning, Gobel (halaman 139-140). Tanpa mengungkapkan, bagaimana perjalanan bisnis mereka hingga dapat timbul dan memuncak ke tataran wiraswastawan nasional yang berhasil.
Dengan mengacu pendapat Junus Jahya pula, mungkin kita harus menggali dan mengungkapkan etika pembangunan para saudagar Islam yang berjaya, baik kini maupun masa lampau. Selain itu, menurut hemat penulis, hal yang mungkin perlu ditelusuri juga adalah mengapa beberapa wiraswastawan Islam yang berhasil, dalam perjalanannya, menjadi jatuh dan tak mampu bangkit kembali. Apakah merka kalah bersaing, atau karena tidak diikutkan dalam persaingan?
Kalau benar sinyalemen SH Alatas (Mitos Pribumi Malas, LP3ES Jakarta, 1988) bahwa penyingkiran golongan pedagang Melayu dan Jawa (yang secara garis besar berarti juga penyingkiran golongan pengusaha muslim, - penulis) merupakan proses terhadap yang bermula pada abad ke-17 oleh Belanda ... dan – hingga ke suatu tingkatan tertentu – oleh penguasa setempat, maka mungkinkah kejayaannya bisa dibangkitkan secara bertahap pula? Apakah cara demikian cukup memadai dalam era perubahan dan informasi yang sedemikian cepatnya sekarang ini? Lebih menarik lagi, apakah mungkin ”penguasa setempat” kita saat ini masih melakukan tindakan semacam yang dilakukan para pendahulunya – selama empat abad yang lalu? Kalau demikian halnya, sungguh ironis dengan makna kemerdekaan yang ditebus dengan pengorbanan para pahlawan.
Bagaimanapun, dari keberhasilan dan kegagalan mereka, tampaknya bisa diambil hikmah bagi generasi kini maupun generasi mendatang. Masalahnya, kapan mereka akan bangkit? Dapatkah mereka bangkit dengan kekuatan sendiri-sendiri? Kalau tidak, siapa yang akan membangkitkan?
Tidak cukup hanya dengan menyelenggarakan satu-dua diskusi atau diungkap dengan senyum seremoni, apalagi kalau sekadar basa-basi. Kini, perlu aksi!
Langkah Muhammadiyah untuk menyelenggarakan diskusi bisnis di kalangan pengusaha Muslim ini patut dipuji, namun masih memerlukan penjabaran program kegiatan nyata. Bukan hanya di kalangan Muhammadiyah semata-mata, tapi juga pengusaha muslim pada umumnya.


Resensi buku ini dimuat Suara Karya, 20 Agustus 1991.

Minggu, 03 Mei 2015

Agar Berhasil Wiraswasta Harus Mencari Peluang



Agar Berhasil Wiraswasta Harus Mencari Peluang
Oleh Aan Hasanuddin dan Tika Noorjaya

Ada dua hal menarik dari dunia wiraswasta, yang keduanya satu sama lain saling bertolak belakang, yaitu kesempatan untuk meraih sukses dan kemungkinan menanggung risiko. Dan justru situasi yang bertolak belakang itu yang tetap merangsang orang untuk menerjuninya.
Hari ini Bisnis Indonesia menurunkan artikel kewiraswastaan yang ditulis oleh Aan Hasanuddin dan Tika Noorjaya, masing-masing lulusan FISIP Unpad, Bandung dan Faperta IPB Bogor. Artikel ini merupakan bagian terakhir dari serial 3 tulisan.

BOGOR: Banyak wiraswastawan kita yang berhasil, tetapi lebih banyak lagi yang mengalami kegagalan. Perkiraan menunjukkan bahwa mereka yang sukses tidak lebih dari 5%, dan tidak perlu heran, sisanya sebagian besar akan terus mencoba bangkit kembali, karena dianggap bahwa kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda.

Ada dua hal menarik dari dunia wiraswasta, yang keduanya satu sama lain saling bertolak belakang, yaitu kesempatan untuk meraih sukses dan kemungkinan menanggung risiko.
Justru kedua situasi yang bertolak belakang itu yang tetap merangsang orang untuk menerjuninya. Ini, dapat berarti dua hal. Pertama, banyak orang yang optimistis dengan selalu melihat dari sisi positif terhadap situasi yang dialaminya. Kedua, orang memang harus berkiprah untuk mempertahankan hidupnya, karena mungkin dunia lain tidak bermurah hati padanya.

Bagi pendatang baru, atau yang sudah menceburkan diri ke dalam dunia wiraswasta, seyogyanya mengkaji kembali rahasia yang tersimpan di lubuk hati usahawan. Howard H. Svenson mencoba ”membedah dada” para wiraswastawan, dan menemukan rumus kunci dalam hati mereka, untuk diuji kesahihannya, disesuaikan dengan konteks budaya kita , agar pemahaman kita menjadi bulat dan tetap relevan.

Kewiraswastaan seringkali dihubungkan dengan istilah inovatif, kreatif, dinamis, sanggup mengambil risiko dan berorientasi pada pertumbuhan. Hal ini dapat dimengerti, mengingat pada umumnya wiraswastaan harus selalu mencari jalan untuk mengoperasionalkan inovasi dan kreativitasnya dalam tindakan, yang oleh orang awam jarang terpikirkan. Namun, pengertian ini kurang jelas dan akan menyulitkan bagi para manajer dalam usahanya untuk lebih berjiwa wiraswasta.

Tipe Manajer
Dalam hubungan itu, sekurang-kurangnya ada dua tipe perilaku ekstrim manajer. Pertama, manajer yang bersifat promotor, yang yakin akan kemampuan untuk memperoleh kesempatan. Jenis ini, tidak hanya menyesuaikan diri pada perubahan, tetapi perubahan itu sendiri dicoba diciptakan dengan mengerahkan segala kemampuannya. Dia sadar, setiap perusahaan akan mengalami pasang surut, terutama apabila kepentingan individu berbeda dengan kepentingan perusahaan. Wiraswatawan yang berhasil akan berusaha menyesuaikan kedua kepentingan tersebut, dengan memandang bahwa kepentingan karyawan adalah juga kepentingan perusahaan; pun sebaliknya.

Kedua, termasuk jenis ”Trustee”, yaitu manajer yang selalu merasa dirinya terancam oleh perubahan atau sesuatu yang tidak diketahuinya. Dia lebih mengutamakan hal-hal yang dapat diduga, karena tidak membahayakan dirinya. Tipe ini berjiwa priyayi. Ia sangat khawatir dengan setiap perubahan, misalnya takut andaikata bawahannya lebih pandai atau lebih terampil. Ia juga khawatir kalau pelanggannya akan beralih ke perusahaan lain.

Padahal, proses kewiraswastaan biasanya mengarah pada dua hal yang satu sama lain tak terlepaskan dan menyangkut masalah perubahan, yakni perubahan pasar dan pengembangan kewiraswastaan itu sendiri.

Pasar merupakan tempat yang selalu dicari oleh para usahawan untuk dijadikan tempat jual-beli barang dan jasa. Karena selalu diperebutkan, maka pasar itu pun berubah-ubah sesuai dengan ”siapa” yang menguasainya. Kedinamisan pasar, memaksa orang yang berkepentingan selalu berupaya agar tidak terlempar dari pasar.

Ambil Keputusan
Untuk tetap memperoleh bagian dari pasar, dibutuhkan upaya pengambilan keputusan oleh manajer secara tepat dan cepat. Dalam hubungan ini, manajer tipe kedua sebelum memutuskan sesuatu antara lain, akan bertanya tentang sumberdaya apa yang ada di bawah penguasaannya; struktur apa yang menghubungkan antara organisasi dengan pasar; bagaimana dirinya dapat mempengaruhi orang lain yang berakibat terhadap kerjanya, serta kesempatan apa yang layak untuk usahanya.

Lain halnya dengan tipe pertama. Sebelum membuat keputusan, ia mengajukan pertanyaan yang berkisar pada ”letak” kesempatan itu; bagaimana cara merealisirnya, sumberdaya apa yang diperlukan; kemudian, bagaimana dapat menguasainya serta struktur apa yang digunakannya.
Perbedaan kedua tipe di atas, akan sangat berpengaruh pada perolehan kesempatan untuk dapat menguasai pasar. Dari beberapa pertanyaan di atas, tampak bahwa manajer tipe pertama lebih aktif, kreatif dan inovatif dibandingan dengan manajer tipe kedua. Tipe terakhir ini, ternyata lebih mengutamakan keamanan daripada risiko, lebih mengutamakan organisasi daripada langkah nyata, serta lebih mengutamakan formalitas daripada mobilitas untuk menguasai berbagai sumberdaya yang akan digunakannya.

Cari Kesempatan
Setiap wiraswasta harus mencari kesempatan. Apabila kesempatan itu sudah diraih, berarti salah-satu jalan menuju sukses sudah ”di tangan”. Untuk memperoleh kesempatan tersebut, ia seyogyanya berorientasi ke luar (pasar), dan bukan ke dalam (sumberdaya yang dimilikinya). Manajer tipe pertama selalu menyesuaikan dengan perubahan di luar, sedangkan manajer tipe kedua selalu melestarikan sumberdaya dan bereaksi secara lamban, agar terhindar dari kemungkinan mendapat ancaman.

Mental seorang wiraswastawan akan selalu diuji agar keputusan yang diambilnya dapat bermanfaat bagi perusahaan dan masyarakat. Selain itu, seorang wiraswastwan seyogyanya kreatif dan inovatif. Ia barangkali tidak perlu melakukan upaya terobosan yang hebat, melainkan hanya meramu gagasan-gagasan lama agar kelihatannya seperti baru.

Dalam dunia nyata seorang wiraswastawan akan berhadapan dengan berbagai tantangan. Pertama, teknologi yang selalu membuka pintu baru bagi perubahan dan menutup yang lainnya, sehingga penguasaan teknologi secepatnya akan sangat membantu meningkatkan produktivitas.

Kedua, konsumen selalu menginginkan perubahan pelayanan yang lebih baik; hal ini seyogyanya menjadi perhitungan para wiraswastawan, mengingat sifat manusia yang selalu ingin mengganti barang-barang keperluannya, walaupun barang yang lama masih baik.

Ketiga, sehubungan dengan tatanilai sosial yang berubah, maka diperlukan kearifan bahwa masyarakat itu merupakan sesuatu yang selalu bergerak secara dinamis. Seorang wiraswastawan yang baik sekurang-kurangnya akan melangkah dengan dinamika yang sama, bahkan seharusnya berada di depan menyongsong perubahan-perubahan dan mungkin mengarahkannya, sehingga ketika masyarakat memerlukan suatu barang atau jasa, ia sudah siap-sedia.

Keempat, tindakan-tindakan politik dan peraturan pemerintah yang mempengaruhi persaingan harus diikuti agar tidak bertentangan dengan aturan main pemerintah.

Kuasai Sumberdaya
Banyak orang yang terkecoh dengan sumberdaya apabila mereka akan melakukan sesuatu. Mereka selalu berpikir mengenai tingkat sumberdaya untuk merealisir kesempatan yang sudah dicanangkan; padahal, kalau diresapi dengan baik, sukses itu tidak berhubungan dengan sumberdaya, melainkan berhubungan dengan kreativitas.

Karena sumberdaya sangat terbatas, maka tidak sedikit orang yang beranggapan akan perlunya penguasaan sumberdaya. Namun, manajer tipe pertama menganggap bahwa sumberdaya itu tidak harus dimiliki, melainkan lebih ditekankan pada kemampuan untuk menggunakannya. Dalam alam pikirannya, teknologi yang cepat berubah tidak perlu dimiliki, sebab memiliki itu sangat mahal, antara lain karena cepat berubah, tidak efisien dan untuk menjaga stabilitas. Sedangkan manajer tipe kedua beranggapan bahwa sumberdaya tidak cukup hanya dikuasai, tetapi harus pula dimiliki atau digaji.

Satu hal lagi yang sering menjadi bahan pemikiran para wiraswastawan, yakni struktur apa yang terbaik dalam organisasi usahanya. Manajer tipe pertama, tidak peduli terhadap struktur organisasi yang akan digunakan; yang penting jalan !. Hal ini bukan berarti bahwa struktur organisasi tidak perlu, tetapi keberadaannya tidak dijadikan pokok permasalahan yang harus dipersiapkan secara cermat. Sedangkan bagi manajer tipe kedua, struktur organisasi sangat penting, bukan saja untuk keteraturan kerja dan mendudukkan orang sesuai pada tempatnya, bahkan lebih dari itu; struktur tersebut baginya dapat berubah fungsi menjadi (antara lain) atribut bagi status dirinya, sehingga tampak lebih formal.

Merangsang Jiwa
Wiraswastawan bukan merupakan tipe orang tertentu, walaupun dalam keberadaannya ia sering melakukan hal yang aneh-aneh, sehingga mungkin sulit dimengerti orang.

Untuk mengetahui tempat mereka, kita dapat menemukannya pada perusahaan-perusahaan kecil, karena apabila perusahaan itu sudah menjadi besar, para wirawastawan cenderung formal dalam perilakunya.

Menjadi wirawastawan tangguh, yang tahan banting dalam segala situasi dan kondisi, memang memerlukan latihan, baik melalui pengetahuan dan buku-buku atau pengalamannya sendiri.
Untuk sebagian orang, kehadiran suatu organisasi dianggap sangat perlu sebagai wadah dalam melakukan sesuatu, sehingga barangkali tidak sedikit yang mengangankan menjadi usahawan.
Yang sangat perlu diperhatikan oleh calon, apalagi yang sudah mengaku dirinya sebagai wiraswatawan, adalah melakukan sesuatu yang kelihatannya tidak mungkin, sepanjang hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan falsafah negara dan agama.

 Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, Jum’at, 2 Mei 1986; di halaman 4.