Kamis, 28 Desember 2017

Bambu yang Merunduk

BAMBU YANG MERUNDUK, NAMUN BANYAK MANFAAT
Bambu itu merunduk manakala angin bertiup. Semakin kencang angin bertiup, semakin rendah dia merunduk. Namun ia tidak patah, tak juga dia melawan. Ia meredam kebuasan sang angin menjadi ketenangan yang nyaman.


Batangnya tegak menjangkau langit, namun akar serabutnya menjulur kemana saja, untuk merekat dan memperkuat keberadaannya.
Bambu adalah contoh ajaran kebaikan dan kebajikan. Ia akur dalam kelompok, serta merekat persahabatan dan kekerabatan. Ia teguh, tabah dan sabar dalam situasi apa pun. Ia sangat berguna bagi siapa saja.
Beberapa waktu yang lalu saya melihat pameran karya Akademi Bambu Nusantara (ABN) di Jakarta. Saat itu, saya langsung teringat hutan bambu di Kebun Raya Bogor, sambil membayangkan bahwa rumpun bambu semacam di Kebun Raya itu banyak juga terdapat di kampung saya, dan juga bertebaran di seantero Nusantara, yang pernah saya kunjungi.


Ya, banyak sekali jenis bambu yang tumbuh di negeri ini, konon mencapai 159 spesies di antara 1.250 jenis bambu yang terdapat di dunia. Memang Indonesia adalah salah satu wilayah yang menjadi surga bagi jenis tanaman ini, yang di beberapa daerah mempunyai sebutan berbeda seperti buluh, aur, awi, dan eru.
Manfaat Bambu
Menurut Muqodas Syuhada, pendiri ABN, kegunaan pohon bambu lebih banyak dibanding dengan kelapa, misalnya. Bambu bisa dimanfaatkan untuk menjaga kedaulatan sandang, pangan dan papan, serta kedaulatan lingkungan," katanya.
Bambu bermanfaat dalam hal makanan. Misalnya, Lumpia Semarang tak nyaman jika tak dicampur bambu muda alias rebung. Bungkus bacang terbuat dari daun bambu. Lemang juga dibakar dengan menggunakan bambu berlubang. Terkait dengan makanan ini, jangan lupa menyebut sumpit, tusuk sate, dan tusuk gigi. Peralatan dapur pun banyak yang menggunakan bambu, seperti bakul, hihid, boboko.
Bambu juga digunakan untuk membuat jembatan, pagar, saluran air, bahan bangunan tempat tinggal.
Untuk alat musik juga bisa, seperti suling dan karinding. Bambu juga membantu Pak Daeng Sutigna dan Pak Udjo Ngalagena menjadi terkenal ke seantero negara dengan memperkenalkan angklung, arumba dan calung, yang semuanya terbuat dari bambu.
Bambu juga bisa digunakan untuk senjata dan permainan, seperti meriam bambu, galah, rakit/perahu, tongkat. Bambu runcing terkenal zaman kemerdekaan sebagai senjata. Ada juga meriam bambu, yang kalau di kampung saya disebut "lodong". Memang ada juga lodong terbuat dari batang pakis, tetapi susah nyarinya, sedangkan lodong bambu banyak tersedia di sekitar kampung. Lodong-lodong itu sangat digemari waktu bulan ramadhan, dengan gelegarnya yang membuat kami suka cita: anak-anak maupun orang dewasa.
Dari segi lingkungan, kalau tumbuh di tebing, bambu bisa menguatkan untuk menahan longsor, karena akar serabutnya yang bisa menjalar jauh.
Ternyata, yang harus ditiru bukan hanya "ilmu padi", dan “ilmu kelapa”, tapi juga "ilmu bambu".

Pemecah Belah Bangsa

PEMECAH BELAH BANGSA
Oleh Tika Noorjaya

Kelakuan para pemecah belah bangsa itu memang payah. Mereka menggembor-gemborkan bahwa Islam sekarang dipinggirkan, ... pokoknya seburuk-buruknya perlakuan. Padahal, Islam Mayoritas di Indonesia baik-baik saja, bahkan terjadi kemajuan dibanding puluhan tahun yang lalu secara kualitas maupun kuantitas, seperti pernah saya tulis dengan judul “Islam Mayoritas, Islam Minoritas”.

Dalam usia yang menjelang senja ini, kita menyaksikan bahwa dibanding masa lalu, Islam sekarang sudah amat jauh berkembang, termasuk perubahan model pendidikan pesantren yang sudah jauh meninggalkan ciri-ciri tradisionalitas.

Demikian pula fasilitas fisik keagamaan Islam seperti mushala, masjid, pesantren, dll, yang semakin banyak, besar, dan megah. Kemajuan dalam bidang fisik ini saya saksikan sendiri di hampir seluruh pelosok negeri, seluruh Nusantara, termasuk di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Non-Muslim.

Pengajian marak di mana-mana, acara radio, acara TV, WA dibanjiri tausiyah, bahkan demo-demo diakomodasi yang hingga berjilid-jilid itu. Apakah dulu seperti itu? Sebagai pembanding, coba tanya bagaimana derita simpatisan PPP sebagai satu-satunya Partai Islam pada Pemilu 1977, karena diberangus dari 4 partai Islam pada Pemilu 1971. Saya punya saudara dan teman di kampung, yang menjadi saksi hidup atas sikap represif Rezim Orde Baru terhadap Islam waktu itu, karena di kampung saya PPP memperoleh dukungan lumayan besar. Kalau kita buka buku-buku sejarah, maka sikap represif Pemerintah di tahun 1977 itu hanyalah contoh kecil saja.

Dulu, "Assalamualaikum" hanya merupakan pembuka pidato, dan amat sangat terbatas yang berani mengucapkannya dalam perbincangan sehari-hari.

Dulu, kaum wanita hanya kenal kerudung atau pasmina, sedangkan jilbab merupakan barang langka. (Karena itu, tak usaha heran kalau kebanyakan kaum wanita kita di masa lalu tidak memaki jilbab, seperti halnya Ibu Kartini atau Cut Nya Din; -- suatu isu yang pernah muncul seakan Pemerintah tidak pro-Islam dalam penerbitan uang rupiah emisi baru. Tanpa pemahaman sejarah sama sekali, isyu itu mereka umbar begitu hingar-bingar ... sungguh memalukan).

Kemudahan transportasi juga telah memungkinkan jumlah haji dan umrah yang terus meningkat setiap tahun. Dulu ? Haji bisa dihitung dengan jari, bahkan Umroh rasanya kurang dikenal. Hal ini tentu saja merupakan petunjuk juga bahwa banyak umat Islam yang penghidupannya lebih baik, sehingga mereka dapat pergi ke tanah suci, baik untuk berhaji maupun umrah.

Nikmat mana lagi yang tengah diingkari di negara dan era ini? Dari sudut mana Islam dipinggirkan? Yang sebenarnya terjadi, yang merasa dipinggirkan adalah kaum Islam Minoritas yang baru muncul beberapa tahun belakangan, termasuk Ormas semacam HTI yang secara resmi telah dibubarkan karena tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Mereka ini dipimpin oleh segelintir ulama yang memecah belah, bahasanya kasar dan mengghasut, mengkofar-kafirkan orang, memprovokasi, dan secara umum tidak menunjukkan sikap Islami yang rahmatan lil’alamin. Kalau menurut Jenderal Gatot Nurmantyo, mereka adalah “Ulama Palsu.” (Lihat tulisan saya berjudul “Menyiangi Rumput Liar, Menyiangi Ulama Liar”).

Berdasarkan pengalaman di kampung dulu dan dalam pemahaman saya selama ini, ... ulama, ustadz, atau kyai yang kami (saya) teladani senantiasa memberikan kenyamanan dan keteduhan dalam berucap dan berperilaku, suaranya lembut (nyaris tak terdengar seperti iklan Isuzu dulu), tidak menghina dan tidak menghujat ke sana-sini. Kata guru saya (alm) akhlak seseorang itu dapat dilihat dari cara berucap dan bertingkah laku, ... yang sama sekali tak nampak dari perilaku para ulama dimaksud.
___
Mengenai Abdul Somad, jujur saya menyukai ceramahnya dari beberapa video yang pernah saya lihat dan simak. Tampilannya sederhana, tapi isinya bernas, meyakinkan. (Sejauh ini saya tidak merasa punya kapasitas untuk memeriksa apakah hadis-hadis yang disampaikannya sahih atau tidak, karena konon setiap mazhab akan memilih dan memilah hadis-hadis yang cocok dengan pendiriannya). Ditambah dengan humornya yang pas, ceramahnya terasa enak, gayeng.

Meskipun demikian, sebagai anak muda, Somad masih harus banyak belajar rendah hati. Penghinaan fisik terhadap Rina Nose (yang katanya pesek dan buruk rupa) tak layak dibela dengan cara apa pun; demikian pula tentang pengkafiran terhadap Ucapan “Hari Ibu” dan “Hari Natal” yang ngawur itu.

Kenapa? Membandingkan ucapan “Selamat Hari Natal” dengan “Kalimat Syahadat”, sehingga dicap merusak aqidah, adalah logika yang belepotan karena tidak “apple to apple”, suatu standar etika dalam dunia akademis.

Pantasnya, ucapan “Selamat Hari Natal” itu dibandingkan dengan “Selamat Idul Fitri”, “Selamat Idul Adha” atau “Selamat Maulid”. Saya tak keberatan kalau dia bersama Felix Siauw berpendapat bahwa haram mengucapkan “Hari Natal”, tapi tak perlu didramatisir sebagai de-Islamisasi, apalagi dengan mengatasnamakan Islam.

“Natal” secara harfiah berarti “lahir” atau kelahiran. Tentang kelahiran Nabi Isa cukup banyak  ayat AlQuran yang memberitakannya, misalnya ada di Surat Maryam ayat 16-40. Bukan hanya itu, Nabi Isa tak sekadar nabi, beliau juga Rosul seperti halnya Kangjeng Nabi Muhammad SAW. Jadi, mengakui hari kelahirannya adalah sesuai dengan Rukun Iman kita.

Tentang kelahiran yang dibilang bukan 25 Desember, jangankan kelahiran Nabi Isa yang sudah melewati masa ribuan tahun, sedangkan hari kelahiran saya pada akhir 1950an saja amat tak jelas. Orang tua saya yang terbiasa dengan kalender Qomariah menyebutkan bahwa saya lahir 5 Syafar ...  Belakangan, setelah saya konversi ke kalender Syamsiah (Masehi) ternyata harinya nggak cocok, apalagi tanggalnya, ha ha ha. Saya yakin, di masa lalu sebagian besar umat Islam menggunakan kalender Qomariah dalam kehiduan sehari-harinya, bukan kalender Masehi seperti sekarang. Saya juga yakin, di masa lalu hanya sebagian kecil saja masyarakat yang sadar perlunya Akte Kelahiran. Meskipun begitu, ketika di rapor dan ijazah tertulis 19 November, maka saya fine-fine saja ketika teman-teman memberikan ucapan selamat ulang tahun pada tanggal 19 November itu.

OK, meskipun tak logis, anggaplah apa yang di-igaukan Somad dan Siauw itu betul, tapi ... kita ‘pan membaca kalimat syahadat dalam setiap solat kita, berarti pada saat itu kita memperbaiki lagi aqidah kita. So what gitu lho. Ha ha ha.
___
Mengenai Felix Siauw, saya tak ingin komentar banyak, karena sudah jelas dia pendukung HTI, ormas yang sudah jelas-jelas dilarang sebagaimana halnya PKI. Dia berkhayal bahwa penguasa takut akan kebangkitan Islam. Ini konspirasi basi, seperti Aming Bos CAI dalam Sinetron “Dunia Terbalik”, he he he. Kalau pemerintah takut Islam, kenapa Kementerian Agama mendapat porsi besar dalam APBN? Kenapa NU dan Muhammadiyah semakin membesar dari hari ke hari? Kenapa sampai di pelosok desa selalu ada masjid, musholla dan pesantren dibangun?

Jadi, yang sesungguhnya diberantas oleh negara adalah radikalisme dan anti Pancasila, para  "pemberontak" ideologi bangsa dan negara. Mereka para kaum Islam Minoritas, tetapi senantiasa mengatasnamakan Islam Mayoritas.

HANOMAN dalam Wiracarita Ramayana

ZULHAM FAROBI, Hanoman dalam Wiracarita Ramayana, Penerbit Pustaka Jawi, Yogyakarta, November 2017, (viii + 404 halaman). ISBN 978-602-5469-58-9.



Sebagai pengagum tokoh Hanoman, saya amat tergoda untuk menyelesaikan membaca buku ini hanya dalam dua hari karena Hanoman berkisah tentang dirinya sendiri secara memikat dengan menggunakan kata ganti orang pertama: AKU.
Novel ini terasa puitis sejak awal, ketika masa kecil Hanoman yang indah bersama Dewi Anjani, sang ibu, harus berakhir di suatu pagi, saat Hanoman bangun tidur dan sang ibu tak lagi ada di sisinya. Menarik sekali bahwa kenangan tentang sang ibu (dalam bentuk nyanyian dan puisi) berkali-kali mengemuka kala Hanoman menyikapi suatu keadaan, termasuk di penutup kisah. Buku ini memang sangat kental menonjolkan hubungan cinta kasih ibu dan anak.
_____
Meskipun demikian, saya merasa ada hal yang berbeda ketika membaca novel wayang ini dibandingkan dengan wiracarita Ramayana yang selama ini saya ketahui. Secara umum, plot dasar cerita dalam novel ini sama dengan pakem, tetapi ada beberapa rekaan "baru".
Dewi Swayempraba, misalnya, tampil sebagai penolong dalam perjalanan pasukan Kiskenda menuju Alengka (halaman 155-172), bukannya sebagai pihak yang licik dan mencelakakan.
Episode "Rama Tambak" (Jembatan Rama, halaman 267-272) terasa datar, terasa mudah, karena ada pertolongan Dewa Wisnu, sehingga meniadakan berbagai gangguan dari anak-anak dan saudara Rahwana yang selama ini digambarkan amat seram dan membahayakan, sehingga pekerjaan harus diulang berkali-kali. Dalam buku ini, karena tanpa gangguan maka jembatan penyeberang lautan untuk mencapai Alengka itu dapat diselesaikan hanya dalam empat hari.
Hal yang tak diceritakan adalah khasiat daun Latamaosandi (sandilata) dari Gunung Mangliawan untuk menghidupkan kembali Rama, Laksmana, serta prajurit wanara yang mati karena kesaktian aji penyirep dan gigitan ular berbisa panah Nagapasa yang dilepaskan Indrajit.
Demikian juga, tak ada kisah lucu ketika panah Kyai Dangu milik Rama yang menyakiti dan membuntuti Rahwana ke mana pun dia sembunyi. Karena itu, tak ada juga kisah tentang Gunung Sondara-Sondari yang menjepit Rahwana di akhir hidupnya. Kematian Rahwana digambarkan "biasa saja", wajar tanpa penderitaan.
Akhirnya, episode "Sinta Labuh Geni" (Api Dewi Sinta, halaman 381-391) menjelang penghujung kisah berlangsung happy-ending dalam narasi singkat, bukannya penuh dengan pergulatan batin yang intens tentang arti kesetiaan.

Rabu, 18 Oktober 2017

LOMBOK: Pantai Senggigi

Kembali menelusuri Pantai Senggigi adalah suatu nostalgia tentang keindahan panorama pantai, dengan air yang jernih dan bersih, serta semilir angin yang menyegarkan.


Senggigi terletak di sebelah barat pesisir Pulau Lombok, tetapi suasananya serasa berada di Pantai Kuta, Bali. Tak heran kalau wisatawan domestik dan mancanegara banyak lalu lalang di sana.



Pantainya memang menjadi daya tarik dengan pemandangan garis pantainya yang panjang, sehingga tampak indah dipandang dari kejauhan dan ketinggian. Kontur jalannya naik turun antara pantai dan perbukitan yang tak begitu tinggi namun cukup memadai untuk menikmati keindahan pantainya, seperti bisa kita saksikan dari lokasi sekitar Villa Hantu, Pantai Stangi. Demikian pula pemndangan di sekitar Malimbu, yang dapat melihat ke arah tiga pulau terkenal: Gili Trawangah, Gili Mano, dan Gili Air.

 

Sementara dari pantai kita bisa melihat keindahan panorama perbukitan. Sayangnya, cuaca sudah mulai hujan, sehingga beberapa tempat yang indah tak sempat dikunjungi. 

 

Dengan garis pantai yang panjang, Pantai Senggigi menyuguhkan gradasi warna pasir pantai dari hitam hingga putih, meski tak putih-putih amat. Air lautnya jernih dan bersih dengan riak ombak yang kecil. Pantai Senggigi adalah objek wisata menarik bagi orang-orang yang menyukai laut sebagai pilihan destinasi untuk rekreasi. 

Senggigi hanya berjarak sekitar 16 km dari pusat kota Mataram sebagai ibokota Provinsi NTB. Kalau dihitung dari bandara internasional Lombok Praya sekitar 50 km, dengan perjalanan darat yang lancar sekitar satu jam.

Tak pelak, perjalanan ke Senggigi menghadirkan pengalaman wisata pantai yang mengundang rindu untuk mengulangnya.

  

Senggigi 1999 (kiri) dan 2017 (kanan)

LOMBOK: Pulau Seribu Mesjid

Dikenal sebagai "Pulau Seribu Mesjid", nyatanya di Pulau Lombok terdapat sekitar 5.400 mesjid. Dengan luas pulau mencapai 4.725 km2, berarti setiap 0.88 km2 ada satu mesjid. Ini angka rata-rata dari tempat kosong hingga padat penduduk. Karena itu tak mengherankan kalau di perkotaan yang padat penduduk, bisa kita temukan mesjid dalam jarak yang berdekatan.


Hal itu bisa kita saksikan sejak perjalanan dari Bandara Internasional Lombok menuju pusat kota Mataram. Di kiri-kanan jalan, di tepi jalan yang dekat maupun di kejauhan, mesjid demi mesjid berdiri megah dan indah. Umumnya berukuran besar dengan kapasitas tampung yang cukup banyak, konon karena setiap komunitas selalu berkeinginan untuk memperbesar dan mempersolek mesjid. Pembangunan mesjid, konon bisa berlanjut 10-20 tahun.


Tebaran masjid juga bisa tampak jelas kalau kita berada di ketinggian seperti rooftop hotel atau perbukitan. Menara yang menjulang dan kubah yang indah dapat kita saksikan. Di malam hari, mesjid-mesjid itu berwarna-warni gemerlap dalam gelap.


Tercatat ada lima mesjid terindah di Pulau Lombok, yaitu: Mesjid Islamic Center, Mataram; Mesjid Al Akbar, Masbagik, Lombok Timur; Mesjid Kopang, Lombok Tengah; Mesjid Agung Praya, Lombok Tengah; dan Mesjid Jamiq, Selong, Lombok Timur.

Selain itu, ada juga mesjid tertua yang dibangun pada tahun 1600an, yaitu Mesjid Kuno Bayan Beleq, yang terletak di suatu bukit di Kecamatan Bayan, Lombok Utara, sebagai saksi bisu masuknya agama Islam di Pulau Lombok.


Konon pula, untuk melaksanakan sholat Jumat, kadang mesjidnya digilir. Misalnya Jumat ini di kampung A, lalu Jumat berikutnya di masjid sebelahnya. Wallahu'alam.


Minggu, 17 September 2017

Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia,

Erna Maria Lokollo (Editor), Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia, IPB Press, Bogor, Juni 2016 (Cetakan Ke-2); (viii + 302 halaman). ISBN 978-979-493-463-0.


Gonjang-ganjing penggerebegan PT IBU (PT Indo Beras Unggul) belakangan ini telah menjadi perbincangan yang intens di media massa, lengkap dengan pro-kontranya, yang bahkan cenderung emosional, disertai sindir-menyindir dari para pendukungnya.
Itulah implementasi pembangunan pertanian di lapangan, yang tidak semudah kajian akademis. Nyatanya, dari doeloe hingga kini, Indonesia belum bisa beranjak dari persoalan beras. Halnya, dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, maka kebutuhannya telah melampaui 35 juta ton beras per tahun. Tak pelak, beras adalah komoditas yang sangat strategis bahkan politis. Tak heran, peristiwa penggerebegan di atas melibatkan para petinggi dari kementrian, kepolisian, dan beberapa lembaga terkait.

----

Buku ini dapat dijadikan pegangan untuk memetakan permasalahan, sekaligus mencari solusinya. Buku ini mengawali pemaparan dengan landasan teoritis tentang definisi manajemen rantai pasok (Supply Chain Management, SCM), dilanjutkan dengan penerapan konsepnya dalam pembangunan pertanian Indonesia. Secara teknis kemudian menjadi menarik ketika para kontributor membahas delapan studi kasus komoditas, yaitu beras (Dewa K. S. Swastika dan Sumaryanto), kentang (Muchjidin Rachmat, Mardiah Hayati, dan Desi Rahmaniar), cabai merah besar (Saptana), melon dan semangka (Saptana, Adang Agustian, dan Sunarsih), kopi (Reni Kustiari), tembakau (Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti), broiler (Saptana dan Arief Daryanto), serta ternak dan daging sapi (Prajogo U. Hadi). Daerah penelitian pun menyebar di wilayah Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Buku ini juga memberi petunjuk, bahwa komoditas beras memang menjadi prioritas khusus, karena ada satu lagi tambahan studi kasus beras di daerah Aceh (Erna Maria Lokollo, DewaKetut Sadra Swastia, dan Wahida). 
Ternyata, rumus kunci dalam penerapan SCMterletak pada pemenuhan terhadap persyaratannya, yakni: (a) Aktivitas yang dilakukan sepanjang rantai pasok harus menghasilkan nilai tambah, (2) Ada peranan jasa di setiap simpul, (3) Harus ada “penentu” harga, baik apa maupun siapa, (4) Ada hubungan kesepadanan antar-pelaku, (5) Bagaimana “terciptanya” nilai tambah di setiap simpul, dan (6) Harus teridentifikasi penentu dan pengambilan keputusan.
Dalam konteks keberlanjutan pembangunan pertanian, perubahan lingkungan strategis seperti liberalisasi perdangangan, pesatnya pertumbunan pasar modern, dinamika permintaan pasar, dan perubahan preferensi konsumen menuntut adanya perbaikan dalam sistem SCM. Dengan penerapan SCM secara konsisten dan berkesinambungan diharapkan terjadi peningkatan produktivitas, efisiensi usaha, serta efektivitas distribusi, sehingga dapat memenuhi sekaligus memuaskan kebutuhan konsumen.

----

Kembali ke kasus PT IBU, menurut pengalaman saya sangat mungkin pengusaha swasta mengambil rente dari sistem komoditas beras yang sedang berlangsung, karena sebagai entitas bisnis pasti mereka ingin mendapat margin. Ketika saya menjadi Tim Bantuan Tenaga Mahasiswa IPB dalam Satgas Pengadaan Pangan Dalam Negeri pada tahun 198081, pembelian gabah dari petani ditetapkan dengan harga yang berbeda antara penjualan melalui KUD dengan swasta, sehingga terjadi kongkalingkong rente ekonomi dalam bentuk “kerjasama” antara pihak swasta dengan koperasi untuk menikmati rente tersebut bersama-sama.
Karena itu, dalam kasus PT IBU belakangan ini, sebaiknya kasus tersebut dibawa ke meja hijau saja, agar jelas siapa yang bersalah dan di mana letask salahnya. Dalam persidangan di pengadilan nanti, kiranya dapat diperoleh pencerahan bagaimana komoditas yang sangat vital ini seharusnya dikelola. Mungkin Editor dan/atau Kontributor penulis buku ini dapat dihadirkan sebagai Saksi Ahli, dalam pemenuhan persyaratan atau prakondisi manajemen SCM.
Kalaupun sejak awal kita ingin menarik hikmah dari kasus PT IBU, dengan berbekal pengetahuan dari buku in, maka hal itu tertuju terutama ke soal optimalisasi peran Bulog di daerah (Dolog dan Subdolog). Atau, perlu juga dipertimbangkan keberadaan BUMD (Badan Usaha Milik Desa) yang telah berhasil di Kabupaten Kulonprogo. Hal yang juga perlu dikaji adalah efektivitas subsidi di hulu (subsistem usahatani). 

DARI PERGURUAN TINGGI, MEMBANGUN NEGERI


ASEP SAEFUDDIN, Dari Perguruan Tinggi Bangun Negeri, Rajawali Press, Jakarta, Maret 2017, 242 halaman.
ISBN 978-602-425-145-1.

___
Penulis buku ini, Prof Dr. Ir. Asep Saefuddin, adalah anak saintifik Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion. Betapa tidak. Saya mengenal Kang Asep sejak sama-sama kuliah di Insitut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1976. Saya tahu bahwa sejak awal Kang Asep menjadi “anak emas” Pak Andi Hakim, antara lain karena merupakan sedikit dari mahasiswa IPB yang IPK-nya selalu tinggi.



Dari biografi singkat di bagian akhir buku ini (Bagian Delapan, halaman 194-240), segera tampak, bahwa perjalanan hidup, keilmuan dan karir Kang Asep banyak diwarnai dan tak lepas dari peran Pak Andi. Tak heran kalau dua tahun terakhir Kang Asep menjadi anggota Tim Pengusul Pemberian nama Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion, -- jalan menuju Kampus IPB Baranangsiang yang dulu disebut Jl. Rumah Sakit II.

Sekalipun berbeda latar belakang antara Batak dan Sunda, ada kesamaan antara Pak Andi dengan Kang Asep: Keduanya sama-sama Guru Besar IPB bergelar Prof Dr Ir, berkeahlian di bidang statistika, menjadi administartor perguruan tinggi, aktivis kampus, ... dan suka menulis dalam berbagai denominasi pemikiran.

Buku ini contohnya. Buku ini bukan buku ilmiah kepakaran Kang Asep sebagai ahli statistika, melainkan penuangan gagasannya yang terkait dengan pengalamannya menjadi administrator perguruan tinggi, tepatnya sebagai Rektor Universitas Trilogi sejak 3 Oktober 2013 hingga sekarang. Luar biasa, dalam rentang yang pendek itu, terkumpul 49 tulisan yang sebagian besar pernah dimuat di media massa. Karena Universitas Trilogi berpilarkan Teknopreneur, Kolaborasi, dan Kemandirian, maka salahsatu Bagian dari kumpulan tulisan ini fokus pada ketiga pilar tersebut.

Sebagai rampaian tulisan yang serba singkat, tak terhindarkan bahwa uraiannya tak sampai final untuk jadi sebuah proposal kegiatan yang rinci, tetapi sejumlah gagasannya kiranya akan menjadi tongkat penunjuk ke arah ketidaktahuan yang harus dielaborasi kemudian.

Buku ini dibagi menjadi tujuh Bagian, yang ketujuhnya diberi judul awal “Perguruan Tinggi”, baru diikuti dengan pokok bahasannya, yaitu: (1) Generasi Teknopreneur, (2) Ilmu Pengetahuan, (3) Etika dan Sosial Politik, (4) Gagasan dan Riset, (5) Kolaborasi dan Kemandirian, (6) Revolusi Mental dan Pendidikan, serta (7) Sistem Pendidikan Nasional.

Itulah garis besar gagasan Prof Dr Ir. Asep Saefuddin untuk membangun negeri dari perguruan tinggi. Peran yang menjadi obsesinya agar perguruan tinggi menjadi lumbung ide sebagai jalan penyelesaian masalah bangsa, ... sebagai tambahan khazanah urgensi perguruan tinggi.

Perguruan tinggi memang bukan segalanya, namun segalanya bisa lahir dan diselesaikan di sini. “Dari Perguruan Tinggi, Mari Kita Membangun Negeri”, katanya (halaman ix).