Jumat, 15 Mei 2015

Think New ASEAN !



Penulis: Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, Hooi den Huan

Judul Buku: Think New ASEAN !

Penerbit: McGraw Hill Education.

Cetakan Pertama: 2015

Tebal: 247 halaman.


Melalui Megratends 2000 (terbit tahun 1996), John Naisbitt meramalkan bahwa Asia akan menjadi raksasa dunia. Kendati beberapa tahun kemudian ramalan tersebut mendapat kritik karena terjadinya krisis Asia, belakangan ramalan tersebut  banyak yang menjadi kenyataan.

Optimisme semacam itu kini lebih mengerucut, yakni di kawasan ASEAN.  Buku Think New ASEAN ! karya Philip Kotler, Hermawan Kartajaya dan Hooi Den Huan ini memaparkannya melalui pendekatan pemasaran dan perkembangan teknologi. Sejumlah perusahaan nasional (Indonesia) dijadikan contoh keberhasilan itu, antara lain Bank BRI, Telkomsel, Sosro, Kalbe farma, PT Semen Indonesia, Telkom Indonesia, dan Garuda Indonesia. 

Secara otoritatif, Philip Kotler akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ASEAN adalah mesin pertumbuhan baru bagi Asia dan Dunia.

Buku ini amat penting bagi Indonesia yang akan segera memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjelang akhir tahun ini.

Kamis, 14 Mei 2015

Mengangkat Pengusaha Kecil Perlu Penggalangan

Mengangkat Pengusaha Kecil Perlu Penggalangan

Oleh Tika Noorjaya

JAKARTA. Kabinet Pembangunan VI tampaknya memberikan angin segar bagi pengusaha kecil. Paling tidak, pembinaan terhadap pengusaha kecil secara struktural kini berada dalam satu wadah, yakni Departemen Koperasi. Memang benar, selama ini telah banyak upaya pembinaan yang ditempuh pemerintah dan lembaga lain yang bergerak untuk memajukan mereka.
Tapi di masa lalu pembinaan tersebut seringkali didasarkan pada selera tertentu dan terkesan “rebutan kavling” dari berbagai departemen/lembaga. Sehingga koordinasinya pun sering tercecer di balik kepentingan masing-masing pihak untuk lebih menonjolkan perannya. Karena itu, masih menjadi pertanyaan, apakah angin segar itu benar-benar mampu menembus “ruang pengap” para pengusaha kecil, ataukah mereka akan tetap diselimuti kepengapan yang selama ini begitu setia mengukung mereka.
Dengan demikian tantangan utama bagi Departemen Koperasi dalam membina pengusaha kecil adalah bagaimana menggalang berbagai kekuatan yang selama ini telah ada. Selain itu juga mengarahkan pengusaha kecil pada tujuan utama, yakni membina mereka melalui koordinasi yang efektif. Berbarengan dengan itu diharapkan terjadi integrasi dan sinkronisasi. Adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS) sebagai suatu tim, tentu, tidak berhenti hingga tingkat menteri, seperti diamanatkan Presiden Soeharto saat melantik menteri Kabinet Pembangunan VI. Justru di tingkat lapanganlah – di tingkat pelaksana – kata kunci ini akan mendapatkan ujian. Sebagai bidang ”baru”, KIS dalam era pembinaan pengusaha kecil di Departemen Koperasi akan diuji keandalannya atau justru kegagalannya.
Sinergi
Peran usaha kecil dalam perekonomian Indonesia tidaklah diragukan, baik dalam hal keusahaan maupun kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja. Posisi strategis dan potensi ekonomi yang terkandung di dalamnya juga telah berhasil mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi, perdagangan, khususnya kebijakan fiskal seperti kelahiran Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), serta dibentuknya beberapa badan pemerintah yang khusus terkait dengan usaha kecil.
Perhatian khusus ini terlihat dalam Paket Januari 1990, yang salah satu tujuannya adalah menyempurnakan program kredit bagi usaha kecil agar lebih mantap, terarah dan dilakukan secara luas oleh semua bank. Sebagai pengganti KIK dan KMKP, bank pemberi kredit diwajibkan menyalurkan 20% dari portofolio kreditnya untuk usaha kecil berupa Kredit Usaha Kecil (KUK).
Belakangan, muncul juga kebijakan pemerintah yang mengharuskan setiap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalokasikan 1% - 5% labanya untuk membina pengusaha kecil (dan koperasi). Beberapa BUMN, kini memiliki badan (yayasan) tersendiri untuk menangani tugas tersebut. Beberapa proyek percontohan pun telah banyak dilaksanakan antara lain bekerjasama dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sementara itu, Bank Indonesia kini juga mengembangkan sektor di luar perbankan yang berkaitan dengan usaha kecil, yakni Unit Pengembangan Usaha Kecil (UPUK).
Di luar itu, berbagai departemen melakukan upaya sejenis, kendati dengan nama dan sasaran yang lebih spesifik. Beberapa Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) juga menggarap bidang yang sama, baik melalui dana bantuan luar negeri maupun kerjasama dengan berbagai departemen.
Berbagai pembinaan itu tampaknya memang diperlukan. Seperti diketahui, kemampuan pengusaha kecil sangat terbatas, baik karena perkembangan usahanya yang masih awal, maupun prospek usahanya yang kadang belum jelas karena belum memiliki pandangan ke depan serta perencanaan yang baik. Bahkan, tidak jarang sistem pembukuan pun belum teratur. Rendahnya pendidikan pun menyebabkan keterbatasan informasi mengenai perbankan, sehingga pengetahuan tentang aspek perbankan pun terbatas. Sejumlah kekurangan lain di bidang manajemen, dapat ditambahkan.
Menghadapi kekurangan yang demikian ”banyak”, tidak terelakan diperlukan upaya pembinaan dari berbagai pihak. Namun, pembinaan yang kurang terkoordinasi kiranya hanya akan menghamburkan sumberdaya – baik materil maupun nonmateril. Padahal, kalau saja segenap sumber daya pembinaan pengusaha kecil dapat dikoordinasikan dengan baik, bukan mustahil akan menghasilkan efek sinergi. Untuk itu, perlu ada persepsi yang sama terhadap tujuan pembinaan pengusaha kecil, yang kemudian diwujudkan dalam strategi dan perencanaan yang matang, menyangkut sasaran (target group), sumber dana, serta organisasi dan perangkatnya.
Sebagai Sasaran
Kata ”kecil”, bagaimanapun, sangatlah subyektif, termasuk dalam memahami arti pengusaha kecil. Akibatnya, setiap pihak akan mendefinisikannya berdasarkan subyektivitas yang dimiliki. Lebih celaka lagi, kalau diselewengkan pihak tertentu, sehingga ada upaya dari yang bersangkutan untuk mendefinisikan dirinya sebagai pengusaha kecil, mengingat berbagai kemudahan dan fasilitas yang mungkin akan diterimanya. Kolusi dengan pembuat keputusan, bukan mustahil kalau ide besar untuk membina pengusaha kecil melenceng ke sasaran di luarnya. Sebagai contoh, bagaimana pengusaha besar berusaha mendapatkan KUK dengan cara memecahkan kredit yang diajukannya, sehingga sesuai dengan kriteria KUK.
Kalau kita memiliki definisi yang berbeda mengenai pengusaha kecil, tentunya strategi, perencanaan, dan programnya pun berbeda. Karena itu, agar tidak terjadi kerancuan, kiranya perlu ada penegasan, bagaimanakah kriteria pengusaha kecil itu. Mengacu pada pendapat Marjanto Danusaputro (Seri Kajian Fiskal dan Moneter No.5/VIII/1992), obyek pengusaha kecil dapat digolongkan dalam lima klasifikasi.
Pertama, golongan pengusaha dengan aset Rp 201 juta-Rp 600 juta (aset maksimal Rp 600 juta sama dengan kriteria KUK). Kedua, golongan pengusaha dengan aset Rp 101 juta-Rp 200 juta. Ketiga, golongan pengusaha dengan aset lebih kecil dari Rp 100 juta, biasanya golongan pengusaha ini mempunyai usaha pokok dan tempat usaha yang tetap, tapi tidak mempunyai perusahaan yang berbentuk badan usaha dan tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan.
Keempat, jenis usaha terkecil yang biasanya disebut pengusaha informal, asongan dan sebagainya. Yaitu yang usahanya tidak tetap dengan tempat usaha yang sering berpindah, tapi mempunyai penghasilan cukup. Kelima, golongan rakyat termiskin dari yang miskin (the poorest of the poor). Golongan ini terdiri dari mereka yang tidak memiliki tanah atau memiliki tanah, kebun/sawah tapi kurang dari 0,1 ha; pendapatan rumah tangga tidak lebih dari Rp 40.000,- per bulan; memiliki jumlah harta yang bergerak yang bernilai kurang dari Rp 150.000,- tapi memiliki ketrampilan dalam suatu usaha.
Jenis pembinaan untuk masing-masing klasifikasi, tentu saja, berbeda-beda sesuai masalah yang dihadapi dan urgensinya. Hanya saja, menyangkut pembinaan yang melibatkan pendanaan – sesuai kemampuan – dan kemendesakannya, prioritas penanganannya perlu dibalik. Yakni dimulai dari klasifikasi kelima, keempat dan seterusnya (putting the last first), tanpa harus terlalu kaku, mengingat juga bisa diarahkan, agar pembinaan terhadap klasifikasi yang lebih tinggi (dengan jenis pembinaan yang berbeda) dimaksudkan agar mampu mengangkat dan membina pengusaha yang klasifikasinya berada di bawahnya.
“Peta” pengusaha kecil, dengan demikian, perlu disusun untuk melihat magnitude masalah, sekaligus sebagai acuan perumusan alternatif pembinaannya. Pengusaha mana yang perlu pembinaan materil dan mana yang nonmateril serta instansi/lembaga mana yang selama ini telah membinanya. Adakah LSM di daerah, yang memungkinkan dapat dijadikan kelompok masyarakat binaan. Dapatkan pengusaha yang homogen (masalahnya) dibina secara bersama (yang semula hanya dibina oleh lembaga/instansi tertentu). Pengusaha mana (yang telah berhasil dibina) yang dapat membina pengusaha lain di daerahnya dan sebagainya. Dalam hal ini, masukan dari para pembina selama ini sungguh sangat diperlukan, selain peransertanya dalam melakukan tindak lanjut.
Kegiatan yang diarahkan bagi pengusaha kecil seyogyanya lebih banyak berupa pembinaan peningkatan penguasaan aset nonfisik berupa pengetahuan dan ketrampilan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan aset fisik dan pendapatannya.
Sumber Dana
Dengan adanya wadah khusus pembinaan pengusaha kecil di Departemen Koperasi, tentunya tersedia anggarannya, selain sumber daya pelaksanaannya, termasuk organisasi dan kelengkapan perangkatnya. Namun, sumber dana dan daya pembinaan sesungguhnya akan menjadi jauh lebih besar seandainya berbagai anggaran di setiap departemen dan lembaga yang selama ini telah melakukan pembinaan dapat diintegrasikan ke dalamnya, dan penggunaannya berada dalam satu koordinasi.
Kecuali dana dari departemen, termasuk dalam sumber dana adalah dana dari lembaga lain serta bagian 5% laba BUMN yang dialokasikan untuk pembinaan usaha kecil. Mungkin perlu juga dipikirkan kehadiran semacam dana Inpres atau dana khusus lain untuk pembinaan usaha kecil – meski tidak harus berbentuk subsidi. Sementara itu, dana dari laba BUMN tidak lagi dialokasikan oleh masing-masing BUMN melainkan ditampung dan dikelola secara terpusat – yang karenanya penggunaannya bisa lebih berwawasan makro. Hal ini penting, karena masih cukup banyak daerah lain yang membutuhkan, terutama daerah terpencil.
Menyangkut organisasi dan perangkatnya, mungkin masih terlalu dini untuk sampai pada bentuk yang ”pas”. Karena merupakan reorientasi (dan mungkin juga reorganisasi) dari sejumlah komponen yang selama ini tersebar (baik di pusat maupun daerah), dengan penekanan perlunya koordinasi yang matang.
Hanya saja, secara prinsip seyogyanya ada upaya struktural khusus dan terarah untuk menjangkau pengusaha kecil. Mereka perlu dibantu dan ditangani sebaik-baiknya secara terpadu dan lintas sektoral, mengikutsertakan pembina yang ada selama ini, serta pemerintah daerah dan masyarakat setempat, termasuk pengusaha yang telah berhasil dibina. 

Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 26 Juni 1993.

The Greatness Guide



Judul Buku:  The Greatness Guide Penulis: Robin SharmaPenerbit: HarperCollins Book, New YorkISBN 978-0-06-122988-6Cetakan Pertama: 2008Tebal: 226 halaman.The Greatness Guide adalah buku pegangan praktis yang akan menginspirasi anda untuk mencapai kebesaran dalam pekerjaan dan kehidupanThe Greatness Guide menunjukkan bagaimana mencapai keseimbangan kehidupan-kerja” hingga ke potensi tertinggi. Buku langka ini akan menggali potensi terbaik anda, yang disajikan secara provokatif dan penuh ide-ide besar yang menantang melalui 101 artikel pendek yang dijaring dari hidup keseharian para tokoh terkenal.“Buku-buku karya Robin Sharma membantu orang-orang di seluruh dunia untuk mencapai kebesaran dalam hidupnya”, kata Sang Maestro, Paulo Culho.

Rupanya buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan halaman yang lebih tebal, yaitu 258 halaman. Begitulah ... bahasa Indonesia perlu 14% lebih banyak kata dibanding buku aslinya.


Rabu, 13 Mei 2015

A New Era in Banking. The Landscape After the Battle

 

Penulis: Angel Berges, Mauro F. Guille, Juan Pedro Moreno and Emilio Ontriveros

Judul Buku: A New Era in Banking. The Landscape After the Battle

Penerbit: Bibliomotion Inc., Brooklin, USA

Cetakan Pertama: 2014.
Tebal: 186 halaman.


Buku ini wajib dibaca oleh orang-orang yang berkiprah dalam dunia perbankan.  Buku ini menelusuri peta baru dunia perbankan dari aspek kecenderungan makro, regulasi, kompetisi, legitimasi, transformasi digital, dan diakhiri dengan petunjuk operasional dalam lanskap baru dunia perbankan.

Berbekal penelitian yang solid dan keahlian penulis, buku ini menawarkan wawasan pragmatis mengenai tantangan dan peluang yang berdampak besar terhadap lembaga keuangan saat ini. Sebuah gambaran yang sangat baik tentang tantangan yang dihadapi sektor perbankan di masa depan.

Kelapa vs Kelapa Sawit: Melerai Persaingan Antarsaudara



Kelapa vs Kelapa Sawit: Melerai Persaingan Antarsaudara
Oleh Tika Noorjaya

BELUM lama ini diberitakan produsen kelapa/kopra mengeluh karena rendahnya harga yang mereka terima, seperti laporan yang disampaikan kepada Menteri Muda UPPTK, Ir. Hasjrul Harahap ketika berkunjung ke Buleleng (Bali) akhir Oktober lalu.

Karena itu, diperlukan upaya untuk menanggulangi efek negatif persaingan antara kelapa (Cocos mucifera) dan kelapa sawit (Elaestica guinensis).

Dari sekian banyak tumbuhan yang tersebar di negeri ini, rasanya tidak ada tumbuhan lain selain kelapa yang setiap komponennya tanpa kecuali dapat dimanfaatkan.
Pucuk daunnya yang disebut janur kuning, dapat digunakan sebagai hiasan atau dekorasi pesta-pesta. Daunnya yang sedikit tua dapat digunakan sebagai pembungkus ketupat yang menambah semaraknya suasana lebaran. Lepas dari daunnya, lidi dapat disusun menjadi sapu atau dipotong menjadi tusuk sate atau tusuk daun.

Ketika pohon telah berbunga, dari batang bunga dapat dideres (dihisap) airnya untuk dimasak menjadi gula jawa, sedangkan dari bunganya sendiri (manggar) dapat diolah menjadi bahan gudeg.

Kelapa muda yang disebut cengkir, dahulu digunakan untuk bahan sesaji dalam upacara adat tertentu. Air kelapa muda? Siapa yang belum pernah merasakan nikmatnya ketika diminum pada siang hari yang panas. Buahnya? Tentu saja, bahkan lebih banyak lagi manfaatnya. Selagi muda, dagingnya dapat dimakan mentah, misalnya sebagai campuran air bersih menjadi air santan sebagai bumbu masak yang lezat. Parutan kelapa dapat juga dibuat serundeng, galendo atau campuran penganan lain. Bahkan, daging buah kelapa tua dapat diolah menjadi minyak kelapa, untuk menggoreng, dan sebagainya. Kalau tidak, dapat juga dikeringkan sebagai kopra, agar tahan lama.

Di luar daging, ada tempurung dan sabut. Tempurung dapat dibuat menjadi alat minum, gayung, bahan hiasan, kancing dan sebagainya, bahkan alat bunyi bagi tarian Minangkabau. Arangnya mempunyai kalori yang tinggi, di samping dapat bertahan lama karena kerasnya. Sabutnya dapat dibuat alat-alat rumah tangga seperti kesed, sapu, tali dan sebagainya.
Batang pohonnya yang panjang dan lurus serta kuat, antara lain dapat digunakan sebagai jembatan atau saluran air.
Tampaknya tidak berlebihan andaikata kelapa disebut budidaya multiguna. Tetapi mengapa tidak primadona?

Kelapa Sawit: Primadona
Bebarapa tahun lalu, kelapa sawit telah lebih dahulu diproklamasikan sebagai primadona sektor pertanian, khususnya sub-sektor perkebunan, dengan berbagai alasan. Rendahnya biaya produksi, kesempatan kerja; prospek pemasaran, dan sebagainya. Sehingga, dengan baiknya posisi kelapa sawit pada masa lalu maka budidaya ini telah dipacu sedemikian rupa dalam bentuk perluasan tanaman yang melibatkan PNP/PTP, perkebunan swasta dan petani/rakyat. Akibatnya, jatuhnya harga minyak sawit beberapa bulan yang lalu, tak pelak lagi ”memukul” mereka.

Tetapi, barangkali seperti primadona sungguhan; banyak tingkahnya yang aneh-aneh. Seperti kita ketahui, harga jual minyak sawit dibedakan antara harga jual lokal dan harga ekspor (terakhir, harga jual lokal adalah Rp 425,-/kg). Ketika harga ekspor lebih tinggi daripada harga jual lokal, konon terjadi ”kucing-kucingan”, dan diantara ”kucing-kucing” tersebut ada yang berhasil mengekspor minyak sawit jatah pasar lokal.

Beberapa bulan lalu, ketika harga ekspor lebih rendah dibanding kelapa sawit, konon pula ada ”kucing” yang memanfaatkan jatah ekspor untuk dipasarkan lokal, sehingga ”membanjiri” pasar lokal dan menekan harga kelapa. Padahal, alasan penetapan harga jual lokal cukup kuat, yaitu melindungi petani kelapa agar tetap bergairah menghasilkan kelapa.

Kebijakan ini tampaknya wajar, karena kita ketahui pula bahwa luas areal kelapa dalam sub-sektor perkebunan menempati peringkat pertama, yang kiranya dapat diartikan sebagai banyaknya orang yang berkepentingan dengan tanaman ini, apalagi kalau diingat bahwa berdasarkan data tahun 1985, lebih dari 98% areal tanaman kelapa adalah kelapa rakyat, yang mungkin pemiliknya menggantungkan sebagian hidupnya dari tanaman ini.

Memang, antara kelapa dan kelapa sawit terdapat hubungan saudara yang cukup erat. Selain sama-sama keluarga palma, keduanya merupakan penghasil minyak nabati di samping bunga matahari, kedele, minyak zaitun dan beberapa jenis lainnya, yang dalam beberapa hal dapat saling menggantikan. Satu hal yang membedakannya adalah biaya produksi minyak sawit yang lebih rendah daripada minyak kelapa, sehingga persaingannya di pasar cenderung memukul (petani) kelapa.

Namun, seperti dipaparkan di muka, fungsi sosial kelapa lebih menonjol daripada kelapa sawit, sehingga cukup alasan andaikata ada perlakuan khusus (persus) bagi para petani kelapa; apalagi kalau diingat beberapa waktu yang lalu petani kelapa pernah dibebani pungutan-pungutan tertentu; pernah ada Cess Kopra; Dana Rehabilitasi Kopra, dan sebagainya.

Perlakuan Khusus
Mari kita melihat permasalahan kelapa secara umum, yakni konsumsi yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita; tanpa diimbangi peningkatan produksi.

Menurut Sensus Sosial Ekonomi Nasional tahun 1976, konsumsi kelapa per kapita per tahun mencapai 11,12 kg setara kopra. Tetapi, data ini belum mempertimbangkan konsumsi kelapa segar sebagai kelapa muda, sehingga konsumsi sebesar 11,12 kg per kapita per tahun tampaknya terlalu rendah, dan dengan meningkatnya taraf kemakmuran maka konsumsi kelapa sekarang diperkirakan mencapai 14-16 kg setara kopra per kapita per tahun.

Peningkatan konsumsi ini antara lain tercermin dengan meningkatnya penggunaan minyak sawit untuk kebutuhan minyak goreng di dalam negeri, di mana kalau pada tahun 1978 minyak goreng yang berasal dari minyak sawit baru 100 ribu ton, pada awal tahun 1984 sudah mencapai 750 ribu ton; meski waktu itu harga minyak sawit di pasar internasional sangat baik.

Memang, kebijakan pengalokasian sebagian minyak sawit untuk konsumsi minyak goreng dalam negeri ini telah dapat ”menolong” konsumen di dalam negeri, tetapi itu berarti menekan petani kelapa dan melepas pangsa pasar (market share) minyak sawit di pasar internasional, yang dengan sigap dimanfaatkan, terutama oleh negara tetangga kita, Malaysia, sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia (padahal menurut sejarahnya, kelapa sawit Malaysia berasal dari Indonesia).

Lain lagi dengan permasalahan rendahnya produktivitas. Keragaan yang kurang menggembirakan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; banyaknya tanaman tua, yang berdasarkan data tahun 1985 dengan luas areal 3.059.710 hektar, 27,2% diantaranya merupakan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), 6,8% tanaman tua/rusak (berumur lebih dari 60 tahun) dan sisanya (66,0%) merupakan Tanaman Menghasilkan (TM). Tetapi, dari areal TM tersebut sekitar 40% diantaranya berumur lebih dari 50 tahun.

Kedua, terlambatnya peremajaan bagi tanaman tua/rusak dan tanaman yang berumur lebih dari 50 tahun (lihat penjelasan pertama), karena (terutama) peremajaan perkebunan rakyat mengalami berbagai hambatan antara lain kesukaran memperoleh bibit, pengadaan pupuk dan sarana produksi lain, disamping kurangnya kemampuan dan kemauan petani.

Ketiga, seringnya terserang hama/penyakit tanaman serta adanya musim kering, seperti halnya pada tahun 1982-1983 di mana menyebabkan turunnya produksi secara drastis. (Mengenai musim kering ini, tampaknya perlu ada perhatian khusus, sehubungan dengan ramalan beberapa pakar yang mengingatkan kemungkinan terjadinya siklus musim lima-tahunan yang berarti diramalkan akan terjadi musim kering pada tahun 1987-1988).

Keempat, masalah pemasaran yang meliputi harga kopra yang kurang merangsang petani untuk berproduksi dan rantai pemasaran yang panjang, termasuk kurang terjaminnya pengangkutan antarpulau. Padahal, seperti kita maklumi, meskipun tanaman kelapa hampir tersebar di seluruh Indonesia, hanya beberapa daerah saja yang potensi kelapa dan kopranya cukup besar, antara lain Sulawesi, Maluku, Riau dan beberapa pulau lainnya; sedangkan daerah konsumen terbesar berada di Pulau Jawa.

Salah satu akibat dari rendahnya produktivitas adalah tingginya biaya produksi per satuan hasil. Sedangkan apabila digabungkan dengan masalah peningkatan konsumsi per kapita per tahun dapat menyebabkan kelebihan permintaan, yang secara teoritis dapat mengangkat harga. Tetapi, karena komoditi ini dapat digantikan dengan bahan minyak nabati lain (termasuk minyak sawit) yang biaya produksinya lebih rendah, maka di pasar kelapa kurang dapat bersaing.

Karena itulah, diperlukan perlakuan khusus untuk merangsang petani kelapa agar bergairah untuk berproduksi, dengan meningkatkan produktivitas dan mutunya. Upaya tersebut dapat berupa perangsang harga maupun perangsang bukan harga, agar mampu menjawab secara positif permasalahan seperti dipaparkan di muka.

Untuk itu, pengaitan kelapa dengan kelapa sawit yang cenderung merugikan petani-petani kiranya perlu ditinjau kembali, antara lain dengan mempertajam pasar bagi masing-masing, sehingga tidak lagi terjadi ”persaingan” antara keduanya. Kelapa dengan fungsi sosial yang lebih besar lebih diarahkan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dengan melakukan upaya lanjutan, antara lain peningkatan produktivitas, efisiensi serta penataan distribusi pemasarannya, sehingga konsumen dapat membeli dengan harga yang wajar, sementara para petani kelapa tidak dirugikan.

Sedangkan minyak sawit, baik dalam bentuk CPO (Crude Palm Oil) maupun dalam bentuk produksi industri hilir, diarahkan pada pasar luar negeri, dengan upaya lanjutan antara lain perlunya peningkatan daya saing dengan menurunkan harga pokok maupun perbaikan mutu, termasuk penataan administrasi ekspor agar memudahkan proses pengeksporan itu sendiri. Upaya terakhir ini, tampaknya sekarang memperoleh peluang, karena konon Malaysia mengurangi ekspor CPO dan mengarahkannya menjadi produk lanjutan; dengan demikian kekosongan pasar CPO yang ditinggalkan Malaysia dapat kita ”isi”.

Sementara itu, dengan membaiknya harga CPO akhir-akhir ini di pasar internasional (pada akhir Oktober 1986 mencapai 340 dollar AS metrik ton), kiranya tidak terjadi lagi main ”kucing-kucingan” yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Selain itu, ketahanan masing-masing komoditi terhadap gejolak perekonomian dunia tampaknya perlu terus dimantapkan, apalagi kalau benar ramalan yang berkembang belakangan ini, bahwa harga-harga komoditi primer seperti CPO tidak akan banyak bergerak dari tingkat yang sekarang.


Artikel ini dimuat di Harian Prioritas, 25 Februari 1987.