Minggu, 17 September 2017

Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia,

Erna Maria Lokollo (Editor), Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia, IPB Press, Bogor, Juni 2016 (Cetakan Ke-2); (viii + 302 halaman). ISBN 978-979-493-463-0.


Gonjang-ganjing penggerebegan PT IBU (PT Indo Beras Unggul) belakangan ini telah menjadi perbincangan yang intens di media massa, lengkap dengan pro-kontranya, yang bahkan cenderung emosional, disertai sindir-menyindir dari para pendukungnya.
Itulah implementasi pembangunan pertanian di lapangan, yang tidak semudah kajian akademis. Nyatanya, dari doeloe hingga kini, Indonesia belum bisa beranjak dari persoalan beras. Halnya, dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, maka kebutuhannya telah melampaui 35 juta ton beras per tahun. Tak pelak, beras adalah komoditas yang sangat strategis bahkan politis. Tak heran, peristiwa penggerebegan di atas melibatkan para petinggi dari kementrian, kepolisian, dan beberapa lembaga terkait.

----

Buku ini dapat dijadikan pegangan untuk memetakan permasalahan, sekaligus mencari solusinya. Buku ini mengawali pemaparan dengan landasan teoritis tentang definisi manajemen rantai pasok (Supply Chain Management, SCM), dilanjutkan dengan penerapan konsepnya dalam pembangunan pertanian Indonesia. Secara teknis kemudian menjadi menarik ketika para kontributor membahas delapan studi kasus komoditas, yaitu beras (Dewa K. S. Swastika dan Sumaryanto), kentang (Muchjidin Rachmat, Mardiah Hayati, dan Desi Rahmaniar), cabai merah besar (Saptana), melon dan semangka (Saptana, Adang Agustian, dan Sunarsih), kopi (Reni Kustiari), tembakau (Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti), broiler (Saptana dan Arief Daryanto), serta ternak dan daging sapi (Prajogo U. Hadi). Daerah penelitian pun menyebar di wilayah Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Buku ini juga memberi petunjuk, bahwa komoditas beras memang menjadi prioritas khusus, karena ada satu lagi tambahan studi kasus beras di daerah Aceh (Erna Maria Lokollo, DewaKetut Sadra Swastia, dan Wahida). 
Ternyata, rumus kunci dalam penerapan SCMterletak pada pemenuhan terhadap persyaratannya, yakni: (a) Aktivitas yang dilakukan sepanjang rantai pasok harus menghasilkan nilai tambah, (2) Ada peranan jasa di setiap simpul, (3) Harus ada “penentu” harga, baik apa maupun siapa, (4) Ada hubungan kesepadanan antar-pelaku, (5) Bagaimana “terciptanya” nilai tambah di setiap simpul, dan (6) Harus teridentifikasi penentu dan pengambilan keputusan.
Dalam konteks keberlanjutan pembangunan pertanian, perubahan lingkungan strategis seperti liberalisasi perdangangan, pesatnya pertumbunan pasar modern, dinamika permintaan pasar, dan perubahan preferensi konsumen menuntut adanya perbaikan dalam sistem SCM. Dengan penerapan SCM secara konsisten dan berkesinambungan diharapkan terjadi peningkatan produktivitas, efisiensi usaha, serta efektivitas distribusi, sehingga dapat memenuhi sekaligus memuaskan kebutuhan konsumen.

----

Kembali ke kasus PT IBU, menurut pengalaman saya sangat mungkin pengusaha swasta mengambil rente dari sistem komoditas beras yang sedang berlangsung, karena sebagai entitas bisnis pasti mereka ingin mendapat margin. Ketika saya menjadi Tim Bantuan Tenaga Mahasiswa IPB dalam Satgas Pengadaan Pangan Dalam Negeri pada tahun 198081, pembelian gabah dari petani ditetapkan dengan harga yang berbeda antara penjualan melalui KUD dengan swasta, sehingga terjadi kongkalingkong rente ekonomi dalam bentuk “kerjasama” antara pihak swasta dengan koperasi untuk menikmati rente tersebut bersama-sama.
Karena itu, dalam kasus PT IBU belakangan ini, sebaiknya kasus tersebut dibawa ke meja hijau saja, agar jelas siapa yang bersalah dan di mana letask salahnya. Dalam persidangan di pengadilan nanti, kiranya dapat diperoleh pencerahan bagaimana komoditas yang sangat vital ini seharusnya dikelola. Mungkin Editor dan/atau Kontributor penulis buku ini dapat dihadirkan sebagai Saksi Ahli, dalam pemenuhan persyaratan atau prakondisi manajemen SCM.
Kalaupun sejak awal kita ingin menarik hikmah dari kasus PT IBU, dengan berbekal pengetahuan dari buku in, maka hal itu tertuju terutama ke soal optimalisasi peran Bulog di daerah (Dolog dan Subdolog). Atau, perlu juga dipertimbangkan keberadaan BUMD (Badan Usaha Milik Desa) yang telah berhasil di Kabupaten Kulonprogo. Hal yang juga perlu dikaji adalah efektivitas subsidi di hulu (subsistem usahatani). 

DARI PERGURUAN TINGGI, MEMBANGUN NEGERI


ASEP SAEFUDDIN, Dari Perguruan Tinggi Bangun Negeri, Rajawali Press, Jakarta, Maret 2017, 242 halaman.
ISBN 978-602-425-145-1.

___
Penulis buku ini, Prof Dr. Ir. Asep Saefuddin, adalah anak saintifik Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion. Betapa tidak. Saya mengenal Kang Asep sejak sama-sama kuliah di Insitut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1976. Saya tahu bahwa sejak awal Kang Asep menjadi “anak emas” Pak Andi Hakim, antara lain karena merupakan sedikit dari mahasiswa IPB yang IPK-nya selalu tinggi.



Dari biografi singkat di bagian akhir buku ini (Bagian Delapan, halaman 194-240), segera tampak, bahwa perjalanan hidup, keilmuan dan karir Kang Asep banyak diwarnai dan tak lepas dari peran Pak Andi. Tak heran kalau dua tahun terakhir Kang Asep menjadi anggota Tim Pengusul Pemberian nama Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion, -- jalan menuju Kampus IPB Baranangsiang yang dulu disebut Jl. Rumah Sakit II.

Sekalipun berbeda latar belakang antara Batak dan Sunda, ada kesamaan antara Pak Andi dengan Kang Asep: Keduanya sama-sama Guru Besar IPB bergelar Prof Dr Ir, berkeahlian di bidang statistika, menjadi administartor perguruan tinggi, aktivis kampus, ... dan suka menulis dalam berbagai denominasi pemikiran.

Buku ini contohnya. Buku ini bukan buku ilmiah kepakaran Kang Asep sebagai ahli statistika, melainkan penuangan gagasannya yang terkait dengan pengalamannya menjadi administrator perguruan tinggi, tepatnya sebagai Rektor Universitas Trilogi sejak 3 Oktober 2013 hingga sekarang. Luar biasa, dalam rentang yang pendek itu, terkumpul 49 tulisan yang sebagian besar pernah dimuat di media massa. Karena Universitas Trilogi berpilarkan Teknopreneur, Kolaborasi, dan Kemandirian, maka salahsatu Bagian dari kumpulan tulisan ini fokus pada ketiga pilar tersebut.

Sebagai rampaian tulisan yang serba singkat, tak terhindarkan bahwa uraiannya tak sampai final untuk jadi sebuah proposal kegiatan yang rinci, tetapi sejumlah gagasannya kiranya akan menjadi tongkat penunjuk ke arah ketidaktahuan yang harus dielaborasi kemudian.

Buku ini dibagi menjadi tujuh Bagian, yang ketujuhnya diberi judul awal “Perguruan Tinggi”, baru diikuti dengan pokok bahasannya, yaitu: (1) Generasi Teknopreneur, (2) Ilmu Pengetahuan, (3) Etika dan Sosial Politik, (4) Gagasan dan Riset, (5) Kolaborasi dan Kemandirian, (6) Revolusi Mental dan Pendidikan, serta (7) Sistem Pendidikan Nasional.

Itulah garis besar gagasan Prof Dr Ir. Asep Saefuddin untuk membangun negeri dari perguruan tinggi. Peran yang menjadi obsesinya agar perguruan tinggi menjadi lumbung ide sebagai jalan penyelesaian masalah bangsa, ... sebagai tambahan khazanah urgensi perguruan tinggi.

Perguruan tinggi memang bukan segalanya, namun segalanya bisa lahir dan diselesaikan di sini. “Dari Perguruan Tinggi, Mari Kita Membangun Negeri”, katanya (halaman ix).

Sabtu, 24 Juni 2017

ULAMA dan GULMA


Tadi siang, Kang Kasep (nama samaran) japri ke WA saya. Postingannya berjudul "Imam Bukhary, The Untold Story", di mana dikisahkan bahwa baginda Imam Bukhary difitnah oleh penguasa, lalu dipenjarakan sebelum datang pertolongan Tuhan.

Gaya berceritanya berupa perbincangan antara ayah dan anak. Di akhir kisah, sang ayah berpesan begini: "Oleh karena itu kalau ada seorang ulama sedang dilanda fitnah, Kakak jangan sampai ikut-ikutan menyebarkannya. Karena Allah pasti marah".
______
Entah apa maksud Kang Kasep mengirimi saya nasihat seperti kepada anak kecil itu. Tapi saya tak peduli soal itu.

Hal yang menjadi perhatian saya adalah sikapnya yang menyamakan ulama besar sekelas Imam Bukhary dengan ulama liar yang dimaksudkannya dalam kisah itu.

Cara berpikir seperti itu jelas memutarbalikkan fakta. Bagaimana bisa fakta-fakta yang bejibun dan kasat mata dimanipulasi sebagai fitnah. Karena itu, saya membalas WA tersebut. Begini:
_______
Hatur nuhun Kang Kasep. Renungan yang sungguh menarik bagi kita sebagai Muslim penghuni negeri mayoritas di negeri ini.

Memang sejarah Islam punya banyak masa kegemilangan, termasuk memiliki ulama sang pencerah almukarom Imam Bukhary.

Di Indonesia pun kita mengenal sejumlah nama besar yang menampilkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin seperti yang dicontohkan sang junjunan, Nabi Besar Muhammad SAW. 

Contohnya adalah para wali, yang menyuburkan Islam di Nusantara. Belakangan kita juga mengenal K. H. Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama dan K. H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Keduanya betul-betul mewakili kaum mayoritas Islam Indonesia, dan telah menggerakkan ummatnya di akar rumput sebagai warga negara yang Islami. Para pemimpin dan para ulama pelanjutnya juga menjaga amanah para pendahulunya dengan sebaik-baiknya. Tak sedikit di antaranya yang berhasil jadi umara.

Meskipun ada perbedaan pandangan dalam berbagai hal di antara NU dan Muhammadiyah, seperti yang dapat kita amati hingga sekarang, tapi keduanya tetap saling menghormati dan senantiasa menjaga keutuhan negara kita tercinta. Belum pernah ada perbedaan pandangan yang meruncing dan mengancam keutuhan bangsa. Bahkan, dalam takaran tertentu, di komunitas tertentu, perbedaan tersebut menjadi lahan yang subur untuk menjadi bahan candaan, ... bukan menjadi sarana perpecahan. Termasuk kategori ini misalnya telunjukyang diutek-utek, pakai usholi atau tidak, pakai qunut atau tidak, taraweh dalam berbagai versi banyaknya rakaat, dan lain-lain. Bahkan, cara menentukan hilal dalam penetapan ramadhan, idul fitri, idul adha, ... semuanya berakhir hepi ending, jauh dari pemicu perpecahan.

Kita juga sempat mengalami perbedaan pendapat dalam perjalanan sejarah bangsa karena perbedaan ideologi. Namun semuanya diproses sesuai hukum yang berlaku, ... dan terbukti aturan dan hukum positif yang ada di negeri ini, selama ini, sudah dapat menjaga keutuhan negara hingga 72 tahun sekarang ini.

Karena itu, yang harus disikapi dengan cermat dan teliti sekarang ini adalah kelompok minoritas pendatang baru yang mengatasnamakan mayoritas Islam. 

Seperti gulma yang mengganggu tanaman utama, kelompok minoritas ini dipimpin oleh ulama liar, dengan perilaku non-Islami yang memecah belah persatuan bangsa, menghina Pancasila, menghina lambang negara, menghina agama lain, menyebarkan hoax yang insinuatif provokatif, dan lain-lain. Dan sebagai orang Sunda tentu saja kita juga merasa terhina ketika sapaan silaturahmi "sampurasun" dilecehkannya menjadi "campur racun".



Lebih celaka lagi, setelah beberapa kelakuannya itu memanen tuntutan di pengadilan (termasuk 2 tindak pidana yang sudah berstatus Tersangka), ... ehhh dia malahan kabur. 

Sungguh nyata perbedaan sikap antara ulama liar itu dengan Almukarom Imam Bukhary. Bagaimana manusia macam begituan mau disetarakan dengan almukarom Imam Bukhary? Mungkin ada baiknya kalau hasil renungan Kang Kasep itu dikirimkan juga ke ulama liar itu. Kasihan para pengikutnya yang ternyata dipimpin oleh ulama liar yang tidak Islami.

Karena itu, semoga kita "teu kabawa ku sakaba-kaba", oleh ulama liar dan aliran Islam baru yang sangat minoritas itu, tetapi dalam gerakannya senantiasa mengatasnamakan mayoritas Islam.

Mari kita menghormati para ulama Islam kita sebagai pewaris para nabi, dengan menyianginya dari ulama liar, ulama abal-abal, yang menggunakan simbol-simbol keislaman untuk mengadu-domba; yang dalam  terminologi Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, disebut sebagai ulama palsu.

Mari kita bergandengan tangan dalam wadah organisasi Islam yang sudah terbukti selama puluhan tahun dapat menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Aamiin.

Rabu, 03 Mei 2017

The Living Legend: Rachmat Saleh


“Bekerjalah dengan jujur, … kerjakan dengan sepenuh kemampuan untuk mencapai yang terbaik. Dan, .. kalau jadi pemimpin berlakulah sebagai pemimpin yang adil”. Itulah nasihat Bapak Lodan Djojowinoto kepada sang anak yang baru diterima kerja di Bank Indonesia awal 1956. Sang anak tak lain adalah Rachmat Saleh (RS), yang dalam perjalanan karirnya kemudian mencapai puncak sebagai Gubernur Bank Indonesia selama dua periode dan Menteri Perdagangan.
Itulah sepenggal tanggapan RS dalam acara Bedah Buku “Rachmat Saleh: Legacy Sang Legenda” (xxxvii + 444 halaman) di Ruang Serbaguna Kampus Bumi LPPI, Jakarta, sekaligus merayakan ulang tahun RS, 4 Mei 2015.



Sebelumnya, DR. C. Harinowo (Komisaris Bank BCA), Ir. Hartarto (mantan Menteri Perdagangan), dan DR. Achwan (mantan Deputi Gubernur BI) menyampaikan pandangannya tentang buku ini, dipandu oleh moderator DR. Subarjo Joyosumarto (mantan Deputi Gubernur BI, mantan Ketua LPPI, dan kini Rektor Indonesia Banking School). Tentu saja semuanya memuji-muji.
Selain itu, dalam buku ini ada juga beberapa testimoni dari sejumlah tokoh nasional antara lain Wapres Jusuf Kalla yang menyebutnya sebagai “Dirigen Keberpihakan Kepada Pribumi” dan Burhanuddin Abdullah, yang menyebut RS sebagai “Legenda Hidup Perbankan”, atau The Living Legend. Memang kualitas kepemimpinannya luar biasa.
Dalam usianya yang sudah melewati 85 tahun, suara RS masih mantap dan berwibawa untuk menjawab berbagai pertanyaan, termasuk alasan kenapa dalam proses penyusunan buku itu dia sama sekali tak terlibat, bahkan untuk sekadar diwawancarai. Seperti diketahui, biografi ini memang tampil istimewa karena seluruhnya merupakan penuturan orang lain, bukan dari sang tokoh.
Pernah saya dengar dari para pendukung proses penulisan buku ini, bahwa RS menolak ketika sampul bukunya itu akan menampilkan foto dirinya yang cukup besar, seperti kebanyakan buku biografi. Hasil kompromi, akhirnya foto RS dipasang minimal, dan bendera merah putih yang berkibar diu belakangnya.
Semoga kehadiran buku ini memberi manfaat, khususnya contoh keteladanan dari sang pemimpin, Bapak Rachmat Saleh. Aamiin.

Minggu, 30 April 2017

SUMATERA BARAT: Istana Pagaruyung


Istana Pagaruyung dan sekitarnya merupakan wisata spesial yang bersentuhan dengan sejarah dan kerajaan masa lalu, dalam kemasan budaya khas Bukittinggi, yang byukti-buktinya masih dapat dijumpai di kiri-kanan jalan. Tak lupa suguhan cerita tentang asal-usul nama "Minangkabau", yakni tentang kemenangan gudel setempat melawan kerbau besar dari Jawa. 

Istana Pagaruyung terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Diukur dari Padang (Ibukota Sumatera Barat), istana ini berjarak sekitar 108 kilometer, atau sekitar 45 kilometer dari Bukittinggi.
Keindahan Pagaruyung tidak hanya memperlihatkan keindahan istana, tetapi juga lingkungan di sekitarnya, sehingga menjadi destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Harga tiket masuknya yang terjangkau membuat istana ini diminati para pelancong. Bisa jalan sendiri, atau dipandu berbagai travel biro, yang banyak menawarkan jasa paket perjalanan saja maupun dilengkapi dengan paket kesenian tradisional Minang.

Menurut sejarah, Istana Pagaruyuang atau Istano Basa merupakan replika dari bangunan asli, yang terletak di atas bukit Batu Patah dan terbakar habis dalam kerusuhan berdarah tahun 1804. Istana tersebut kemudian didirikan kembali, namun kembali terbakar pada tahun 1966.
Proses pembangunan kembali Istano Basa dilakukan dengan peletakan tunggak tuo (tiang utama) pada 27 Desember 1976. Bangunan baru ini tidak didirikan di tapak istana lama, melainkan di lokasi baru di sebelah selatannya.
Pada 27 Februari 2007, Istano Basa kembali mengalami kebakaran akibat petir yang menyambar puncak istana, sehingga bangunan tiga tingkat ini hangus terbakar. Ikut terbakar juga sebagian dokumen serta kain-kain hiasan. Diperkirakan hanya sekitar 15% barang berharga yang selamat. Barang-barang yang lolos dari kebakaran tersebut sekarang disimpan di Balai Benda Purbakala Kabupaten Tanah Datar. Adapun harta pusaka Kerajaan Pagaruyung sendiri disimpan di Istano Silinduang Bulan, 2 kilometer dari Istano Basa.




Kini bangunan Istana Pagaruyung berdiri megah, memancarkan kemewahan Tanah Minang yang kaya. Inilah istana dengan bangunan rumah adat berbentuk rumah gadang. Di dalam istana terdapat museum yang memamerkan beberapa peninggalan dari perlengkapan dan perabotan raja, singgasana raja, juga bilik putri raja dengan warna-warni yang cerah dan indah.
Apabila ingin berfotoria dengan lebih spesial, di lantai bawah istana tersebut terdapat penyewaan baju adat Minangkabau lengkap dengan aksesorisnya, cukup Rp35.000 bisa pakai sepuasnya di area istana. Saya juga melakukannya, dan dengan begitu, saya bisa berkhayal menjadi Bagindo Datuk Nugaya.

 

Sabtu, 29 April 2017

Nemu TAS


Sekitar pkl 16:30 WIB barusan, tak sengaja saya menemukan tas di samping mesin ATM BCA.
Tasnya terbuka. Saya lihat ada dompet berisi KTP yang alamatnya tak terlalu jauh dari lokasi ATM, ... karena itu saya langsung mencari alamatnya. Tak sampai setengah jam, rumahnya ketemu, ... rumah yang sungguh mewah di komplek itu.
Bukan main senangnya pemilik tas itu, seorang ibu paruh baya yang cantik dan tampaknya ada gurat-gurat keturunan ningrat.
Dibukanya tas itu. Selain dompet berisi KTP, rupanya tas itu berisi kartu kredit, surat-surat penting, power bank, dan uang, yang masih terkemas dalam amplop besar. "Alhadulillah uangnya tak berkurang, tetap limapuluhjuta", katanya.
Setelah itu, saya pamitan. Namun tiba-tiba ibu itu mengambil amplop besar itu, dan disodorkan ke saya. "Ini, sebagai ucapan terima kasih", katanya.
Antara malu dan gengsi saya bilang: "Nggak usah Bu, saya ikhlas kok", lalu saya pun berlalu.
Tapi ibu cantik itu mengejar saya dan memasukkan amplop besar tersebut ke dalam tas saya sambil menepuk pundak saya. "Nggak perlu uangnya Mas, ... yang penting surat-suratnya kembali", katanya.
Akhirnya, saya pun menerima uang itu dengan senang.
=====
Duh.... Seandainya ini cerita beneran, pasti bisa buat traktir pembaca tulisan ini.

SUMATERA BARAT: Kelok-9


"KELOK-9", merupakan salahsatu tempat wisata yang indah dan paling mengesankan, sekalipun jumlah kelokannya kini tak lagi sembilan.



Jembatan Kelok-9 ini, kini menjadi kebanggan dan Landmark Provinsi Sumatera Barat. Dengan adanya Jembatan Kelok-9, Sumatera Barat semakin dikenal dan menjadi destinasi wisata yang menyajikan sensasi menyeberangi jembatan dengan dikelilingi oleh lembah dan hutan.

Sayang sekali, karena dalam perjalanan dari Pekanbaru kami banyak singgah di beberapa tempat, maka kedatangan ke lokasi itu sudah agak sore, dan senja pun mulai merayap, sehingga keindahan alam yang mempesona itu terpaksa kami tinggalkan, dengan masih menyisakan kepenasaran.



Meskipun demikian, dalam waktu yang singkat itu kami masih sempat menikmati jagung bakar yang dijajakan di beberapa warung.



Tentu saja kami tak melewatkan untuk berfoto ria. Kalau kita tak puas dengan hasil dari kamera atau HP sendiri, kita bisa minta para fotografer yang banyak berkeliaran di situ; -- sayangnya para fotografer tersebut kurang terorganisasi sehingga harganya tidak standar.
Secara geografis, Kelok-9  terletak di Payakumbuh Kabupaten Limapuluh Koto, sebagai jalan penghubung antara Provinsi Sumatera Barat dengan Riau. Konon, di masa lalu, Kelok-9 merupakan jalan yang menyeramkan bagi para pengendara karena bentuk jalannya yang curam dan berbatasan langsung dengan jurang. Namun, kini Kelok-9 tak lagi menyeramkan karena ditopang oleh 30 pilar yang kokoh dengan ketinggian 10-15 meter dan dapat menampung 14.000 kendaraan setiap harinya. Kelok-9 memiliki jembatan penghubung yang membentang meliuk-liuk dan menjadi ciri khas dari Kelok-9 itu sendiri dengan panjang 2,5 KM. Kini, orang dengan sengaja akan lebih memilih untuk melewati Kelok-9 agar dapat menikmati keindahan dan kemegahan arsitektur jalan lintas ini.



Menurut sejarah, Kelok-9 dibangun pada masa Kolonial Belanda, tepatnya tahun 1910. Namun usianya yang tua bukan berarti konstruksi bangunannya juga tua. Pembangunan ulang Kelok-9 pada tahun 2013 semakin memperkokoh keberadaan Kelok-sebagai destinasi wisata Sumatera Barat yang layak disinggahi.