Selasa, 09 Agustus 2016

Masalah Perkebunan: Harga Turun, Muncul PHK

Masalah Perkebunan:
Harga Turun, Muncul PHK

Oleh Tika Noorjaya

MENURUNNYA harga mata dagangan hasil perkebunan tertentu kiranya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelesuan perekonomian dunia sekarang ini, apalagi karena pembudidayaan tanaman perkebunan lebih banyak diorientasikan untuk ekspor. Bahkan mata dagangan perkebunan diharapkan menghasilkan devisa sebagai pengganti pendapatan devisa dari minyak bumi yang harganya semakin tidak menentu.
Sebagai mata dagangan ekspor, gejolak perdagangan dunia secara langsung terkait dengannya. Gejolak yang baik cenderung membawa pengaruh yang baik, tetapi gejolak yang buruk tak pelak lagi membawa pengaruh yang cenderung memburuk pula.
Terakhir, yang banyak dirasakan subsektor perkebunan adalah menurunnya harga mata dagangan tertentu, seperti minyak sawit, teh, karet, dan yang lainnya. Akibatnya terjadi penurunan pendapatan, yang pada gilirannya banyak mengganggu likuiditas perusahaan termasuk tersiarnya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di lingkungan perkebunan negara, serta adanya perkebunan terlantar.

Cadangan Penyangga
Masalahnya, bagaimana para pekebun (termasuk pengelola perkebunan milik negara) pada saat harga-harga mata dagangan kurang menggembirakan, mampu tetap bertahan, bahkan mampu terus melanjutkan investasinya sesuai dengan harapan.
Satu hal lagi, dari pengalaman selama ini, maka pada masa mendatang bukan hal yang mustahil terjadi gejolak harga yang kurang menguntungkan, meskipun mungkin secara rata-rata (dalam jangka panjang) cukup menguntungkan. Hal ini menjadi lebih penting mengingat keberhasilan pembangunan perkebunan rakyat selama kurang lebih dua periode Pelita, yang melibatkan ratusan ribu atau mungkin jutaan petani pesertanya. Tentu, kita tidak mengharapkan para pekebun meninggalkan atau menelantarkan kebunnya lantaran pendapatan mereka dari kebunnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kita juga tidak mengharapkan apabila misalnya para pekebun karet “memperkosa” kulit karet dengan melakukan sadapan berat.
Semua itu tidak kita harapkan, karena kita sadar bahwa hal itu akan berpengaruh dalam jangka panjang, sementara investasinya kita biayai dengan susah payah karena kondisi keuangan yang sulit. Bahkan sebaliknya, investasi itu kita harapkan memberikan hasil yang semaksimal mungkin dalam waktu selama mungkin.
Berdasarkan keyakinan bahwa budidaya tertentu dalam jangka panjang akan cukup menguntungkan, mungkin sudah saatnya dipikirkan adanya sistem sejenis cadangan penyangga, di mana terjadinya gejolak harga tidak terlalu “memukul” pekebun.
Dalam sistem ini, pendapatan minimum para pekebun setiap bulannya diupayakan tidak di bawah kebutuhan hidup keluarganya. Misalnya, pada saat harga turun seperti sekarang, mungkin perlu dilakukan”subsidi” (yang diperhitungkan sebagai tambahan kredit). Sebaliknya, pada saat harga baik, ditempuh upaya yang memungkinkan para pekebun “menabung” di samping mencicil kredit.

PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sekarang seakan-akan menjadi momok yang setiap saat mengincar karyawan, tidak terkecuali karyawan perkebunan.
Meskipun seringkali diungkapkan bahwa perusahaan perkebunan tidak akan melakukan PHK mengingat kegiatannya yang padat karya, berita yang mengaitkan perkebunan dengan PHK sempat muncul juga, bahkan dengan “bumbu” penyedap. Hari ini dikabarkan ada PHK di kebun “anu”, besoknya dibantah pejabat. Hari lain dikabarkan ada PHK di kebun “itu”, besoknya dibantah pejabat yang menyatakan bahwa yang terjadi bukan PHK melainkan “peremajaan” karyawan. Kemudian disusul tanggapan pejabat lain yang meragukan “peremajaan” karyawan tersebut. Semakin ramai, sekaligus membingungkan! Meskipun demikian, terkesan “adanya” PHK, walaupun jumlahnya mungkin sulit diketahui. Seperti dipaparkan di muka, dari penjelasan yang muncul ke permukaan, tak salah lagi hal tersebut antara lain disebabkan menurunnya pendapatan. Atau, kalau memang PHK di lingkungan perusahaan perkebunan baru merupakan gejala, uraian di bawah ini kiranya akan membatalkan atau setidak-tidaknya menangguhkannya.
Penurunan pendapatan telah mengubah keseimbangan perusahaan, di mana untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan pertimbangan yang tidak hanya teknis dan ekonomis, tapi juga sosial dan bahkan politis.
Kedudukan perusahaan perkebunan sebagai penerima harga di pasaran internasional menyebabkan upaya yang ditempuh untuk mencapai keseimbangan baru lebih bersifat ke dalam, yakni dengan melakukan upaya menurunkan harga pokok dengan berbagai peningkatan efisiensi, meskipun barangkali masih ada celah-celah untuk menembus pasar.
Dalam hal ini, kita mengenal tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi teknis, efisiensi ekonomis, dan efisiensi sosial. Sayang, dalam rangka efisiensi, kita seringkali terjebak pada pengertian teknis dan ekonomi saja, sehingga penyelesaiannya pun bersifat teknis dan ekonomis. Tenaga kerja yang biasanya mendapat proritas dikorbankan, melalui PHK atau cara lain. Padahal beberapa pustaka menilai tenaga kerja sebagai aset utama perusahaan, kalau dapat memanfaatkannya secara optimal. Dari sisi ini, mengembangkan sumberdaya manusia kiranya merupakan keharusan.
Kalau memang karena kondisinya sudah sedemikian sulit sehingga rasionalisasi tenaga kerja terpaksa perlu dilakukan, masih dapat diajukan pertanyaan, apakah tidak lebih baik apabila PHK diberi arti lain selain pemutusan hubungan kerja? PHK dapat merupakan kependekan dari pengurangan hari kerja, artinya jumlah tenaga tetap, hanya diadakan pengaturan hari kerja, dengan konsekuensi penurunan pendapatan bagi karyawan harian. Atau barangkali ada benarnya juga saran sumber Kompas di Departemen Pertanian yang mengatakan kalau perlu gaji direksi, staf dan karyawan bulanan dikurangi untuk dikompensasikan kepada karyawan harian (tetap). Dapat juga PHK diartikan sebagai peningkatan hasil kerja, yaitu dengan meningkatkan produktivitas seluruh faktor produksi, termasuk tenaga kerja, dengan implikasi lanjutan perlunya peningkatan pemasaran untuk memperoleh pasar baru, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Mungkin dapat digali dan dilaksanakan akronim lain di luar pemutusan hubungan kerja, dengan memperhatikan aspek teknis, ekonomis, sosial dan politis secara menyeluruh. Dalam hal ini, untuk melakukan perubahan tersebut seyogyanya dilakukan pendekatan yang luwes, sehingga karyawan tidak resah karena dibayangi PHK yang sewaktu-waktu menghempaskannya. Hal ini sekaligus menumbuhkan semangat efisiensi dan kebersamaan yang menciptakan ruang kerja yang nyaman dengan membukanya jendela alasan kemanusiaan.

Perkappen
Dalam perusahaan perkebunan negara, sesungguhnya pembuka jendela alasan kemanusiaan semacam itu telah ada dengan terbentuknya Persatuan Karyawan Perusahaan Perkebunan Negara (Perkappen) yang antara lain bertujuan memperjuangkan perbaikan nasib dan mempertinggi taraf hidup karyawan dan purnakaryawan, dengan peningkatan dan pengembangan perusahaan.
Dalam menanggapi isyu PHK di lingkungan perusahaan perkebunan negara, seyogyanya Perkappen tampil sebagai penyelamat dengan memperjuangkan kepentingan anggotanya. Dalam jangka panjang, Perkappen seyogyanya menyadari pentingnya mengadakan perjanjian kerja bersama dengan berbagai upaya, di mana persyaratan kerja tidak ditentukan secara sepihak (oleh perusahaan saja), melainkan ditentukan bersama. Hal ini akan lebih menjamin terciptanya hubungan kerja yang serasi, selaras, dan seimbang dalam kewajiban, tanggung jawab, dan hak masing-masing pihak.

·          Tika Noorjaya, lulusan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi IPB, Bogor, dan pernah bekerja di sebuah perusahaan perkebunan milik negara.


Artikel ini dimuat HU Kompas, 18 Agustus 1986.