Sabtu, 28 Agustus 2021

Grup Calung ASTAGA-IPB

Kenangan Masa Kuliah di IPB (7):

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)

 

Pembentukan Grup Calung ASTAGA tak lepas dari upaya Panitia OSMA yang dimulai sejak 16 Februari 1976.

Waktu itu, di hari kedua, di halaman depan PKM, kami "dijemur" dengan kepala yang sudah plontos, begitu pula topi kuncung yang terbuat dari koran harus ditanggalkan. Rambut rekan-rekan mahasiswi dikucir kepang dua dengan menggunakan karet gelang ...



Setelah Pengantar ala kadarnya, beberapa orang kakak Panitia membagikan formulir semacam Biodata. Rupanya mereka sedang melakukan penyaringan potensi bakat para Mahasiswa baru antara lain dengan menanyakan kegiatan ekstrakurikuler selama di SMA.

Di hari berikutnya, saya dipanggil ke salah satu ruangan DM-IPB bersama Agus D. Gozali, Radhar Eko Laksono (Eko) dan Mursyid (alm). Itulah awal pembicaraan tentang niat untuk membentuk Grup Calung Astaga-IPB.

_____
Bersaing dengan jadwal kuliah dan praktikum yang amat sangat padat, kami mulai menyisihkan waktu untuk berlatih. Saya menjadi dalang, Agus D. Gozali (calung kedua: panepas), Eko Radhar Laksono (calung ketiga: jongjrong), dan Mursyid (calung keempat: gonggong).


 
Salahsatu tampilan yang berkesan adalah mengisi acara Parade Seni Fatemeta-IPB pada 8 Mei 1976 di Gedung Merdeka Bogor sebelum penampilan Konser Rakyat Leo Kristi. (Gedung Merdeka waktu itu merupakan tempat terbesar dan bergengsi untuk pagelaran seni. Sekarang disulap menjadi Pusat Grosir Bogor Merdeka).

Waktu itu, selepas manggung, ada wartawan yang menanyai saya tentang nama Astaga, apakah ada hubungannya dengan "Majalah Astaga", majalah humor yang dipimpin oleh Arwah Setiawan (Alm). Saya bilang, tidak ada hubungan sama sekali dengan majalah itu. Grup calung ini semata-mata merupakan bagian dari kegiatan mahasiswa IPB yang ingin melestarikan kesenian tradisional, khususnya kesenian Sunda.

(Waktu itu memang ada juga berbagai grup kesenian lain, seperti tari, drama, vocal group, dll. Juga ada berbagai tim olah raga, seperti sepak bola, catur, softball, dll). 

_____
Setelah penampilan tersebut, karena didera kesibukan jadwal akademis, maka Grup Calung Astaga-IPB cuma tampil beberapa kali lagi, dengan formasi yang berganti-ganti. Hanya saya dan Kang Agus Gozali yang tetap bertahan, mungkin karena kami sudah membentuk Tim Calung sejak di SMAN 2 Bogor.

Untuk mengganti Kang Mursyid dan Kang Eko yang tak melanjutkan kiprahnya, sempat hadir Kang Hayani Suprahman (yang lebih dikenal dengan nama Kang Cecep) dan orang Brebes (yang lupa lagi namanya). Salah satu tampilan yang masih ingat bersama mereka adalah pada acara yang diselenggarakan Faperta di Kampus Baranangsiang, tapi saya lupa lagi dalam kegiatan apa.

_____
Berbeda dengan calung yang belakangan menjadi semacam pengiring biduan layaknya arumba, calung kami lebih mengutamakan gerak (koreografi) yang energik dan lagu-lagu “Kaulinan Urang Lembur” yang lyriknya penuh canda.

Untuk tampil sekitar 30 menit, kami harus menghapal sekitar 20 lagu plus menata gerak (semacam tari) agar serasi. Butuh tenaga ekstra dan ingatan yang kuat, -- yang agaknya amat repot kalau harus diulang di usia senja sekarang. 

_____
Bagi teman-teman yang kurang mengenal kesenian Sunda, mungkin perlu dijelaskan bahwa Calung adalah salahsatu seni tradisional Sunda, yang terbuat dari bambu. Dimainkan dengan cara dipukul, minimal oleh empat orang pemain, dengan nada yang berbeda. Pemain yang bertindak sebagai dalang menggunakan calung dari bambu yang kecil sehingga suaranya nyaring, berirama, dan dapat memainkan lagu-lagu dengan lengkap.

Adapun calung yang lain bernada lebih besar (calung panepas, calung jongjrong, dan calung gonggong) sebagai pengiring.

Kadang-kadang ada tetabuhan lain untuk menyemarakkan suasana semacam kecrek, marwas, atau apa saja. Biasanya pembawa alat tersebut dieksploitasi kemampuan dagelan atau humornya.

Untuk menghidupkan suasana, enerjik, kesenian ini diiringi dengan kendang dan gong.

Pada awalnya irama calung mengikuti notasi Sunda yang pentatonis (Da Mi Na Ti La Da), dengan laras Pelog dan Salendro. Belakangan ada juga calung diatonis (Do Re Mi Fa Sol La Si Do), sehingga dapat memainkan lagu-lagu pop dan dangdut, seperti layaknya arumba.

_____
Calung paling banyak mewarnai kehidupan saya. Bapak Adung Priatna Noer (alm), guru dan wali kelas saya, adalah orang pertama yang mengajarkan calung pada tahun 1967, saat saya menjadi murid kelas 4 di SDN-I Pangalengan. Dengan keterampilan ini, maka bermain calung berlanjut ketika di SMP Negeri Pangalengan, kemudian di SMA Negeri 2 Bogor.

Patut dicatat, bahwa pada tahun 1972 grup calung saya menjadi Juara I tingkat Kabupaten Bandung, lalu tingkat Provinsi Jawa Barat.

_____
ASTAGA, Ayo Santai Tapi Awas Gagal.

Kamis, 26 Agustus 2021

AULA GUNUNGGEDE DAN GEDUNG ANTIK

Kenangan Masa Kuliah di IPB (6):

Oleh Tika Noorjaya (A13.405)

Aula Gununggede waktu itu termasuk gedung besar yang dapat menampung mahasiswa lebih banyak, baik untuk perkuliahan, quiz/ujian, atau kegiatan ekstra kurikuler dan hiburan.



Bagi saya, sebagai mahasiswa Faperta, kesempatan terbanyak di ruangan ini adalah waktu kuliah Agama Islam selama satu semester. Pernah juga 1-2 kali kuliah Kewiraan dan Pengantar Ilmu Pertanian (PIP), yang entah kenapa waktu itu dialihkan ke sana, karena biasanya di Kampus Baranangsiang.

Kegiatan yang agak sering di Aula ini adalah quiz/ujian. Karena jaraknya lebih jauh dari rumah saya (dibanding ke Baranangsiang), maka saya harus berangkat lebih awal.

Ada suatu kenangan buruk ketika Ujian Bahasa Indonesia. Saya telat ujian hampir setengah jam karena jaket Korea saya ditahan oleh Polisi Miiliter di Jembatan Merah. Katanya, saya sebagai orang sipil dilarang memakai pakaian militer. Padahal, waktu itu banyak orang yang suka dengan kegagahan jaket Korea itu, meskipun harus didapatkan dengan susah payah.

Walaupun demikian, alhamdulillah saya bisa menyelesaikan ujian dengan lengkap pada waktunya, dan nilai akhirnya pun lumayan.


_____
Tahun 1977, untuk pertama kalinya saya menyaksikan Bimbo Group berqasidah di Aula Gunung Gede.

Menurut Kang Asep Saefuddin dan Kang Widiyanto, waktu itu HMI IPB sedang menyiapkan pembentukan BKI (Badan Kerohanian Islam) dan mengundang Bimbo dalam rangka Isra'Miraj 1397 H.

Saya heran, Kang Sam Bimbo, kakak tertua dari tujuh bersaudara itu, yang sekaligus menjadi pimpinan Bimbo Group dan penulis lagu Bimbo yang produktif, ternyata sering lupa lyrik lagu. Teh Yani, adiknya, ketawa-ketiwi melihat kakaknya menyanyi salah lyrik, hi hi hi. (Waktu itu, Iin Parlina tak ikutan, katanya sedang sakit).


_____
Ketika Tingkat II, saya bersama Kang Agus D. Gozali menjadi Mentor Unit Kegiatan Paduan Suara, yang bertempat di Aula Gunung Gede.

Tak lain, karena pelatihnya adalah Ibu Nani Gozali, perwakilan Sanggar Seni Suara Pranajaya, yang waktu itu sangat populer. (Beliau saya kenal sejak lama, sebagai guru yang aktif mengembangkan kesenian di SMP4 Bogor dan SMAN2 Bogor).


____
Satu atau dua tahun kemudian, saya mengikuti pelatihan yang juga bertempat di Aula Gunung Gede, hanya saya lupa, apakah itu Pelatihan Sekretaris atau Pelatihan Jurnalistik.

Kesan paling mendalam adalah materi dari DR. F. G. Winarno (sekarang sudah profesor sepuh). Di luar dugaan, sarjana kedokteran hewan ini ternyata membawakan materi tentang pembuatan Bar-chart, Net Work Planing (NWP), Critical Path Method (CPM), dan lain-lain, yang waktu itu sedang “in”.

Beliau membuka presentasinya dengan kutipan tentang kemampuan yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, yang katanya hanya perlu "Tiga Sen".

Wow. Ternyata, yang dimaksud adalah Three Senses, yaitu Competense, Integrity, dan ... Humour.
______
Di sebelah kiri Aula Gunung Gede ada gedung antik yang kini menjadi Sekolah Vokasi IPB. Gedung tersebut tak lain adalah "Lembaga 2: Ilmu fa'al dan chasiat obat. Kimia fa'ali dan Ilmu hewan".

Saya tertarik dengan Ejaan Van Ophuysen yang dipertahankan sebagai heritage. Semoga demikian untuk seterusnya.

(Masih teringat, tulisan itu sudah ada sejak saya menginjakkan kaki pertama kali di Bogor awal Semester 2-1973, ketika saya pindah dari SMAN4 Bandung ke SMAN2 Bogor).
_____
Untuk mengunggah kenangan, dua tahun lalu saya mengajak Tim Editor Buku Kenangan Astagian-IPB13 untuk bernostalgia di sana. 

Rabu, 25 Agustus 2021

QUIZ: QUO VADIZ ?

 Kenangan Masa Kuliah di IPB (5)

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)


Quiz adalah peristiwa yang menyebalkan bagi mahasiswa TPB-IPB waktu itu. Setelah pontang-panting Senin hingga Jumat untuk kuliah, praktikum dan responsi, ... malam Sabtu hidup seakan dicekam setan bernama Quiz yang bikin meringis.

Belajar digegaskan dengan Sistem Kebut Semalaman (SKS). Tak lupa bikin kepekan di kertas dengan huruf-huruf mini untuk dibaca ulang sebelum masuk ruangan. (Konon, he he he, ada rekan mahasiswi yang membuat kepekan di paha kiri-kanan agar terbebas dari pengawas !!! Wallahu'alam bissawab).

Oh ya, setelah begadang semalaman, makan pagi biasanya agak istimewa, dilengkapi dengan telur rebus, tak lupa minum Cerebrovit agar otak encer. He he he. Percaya ajah ...

Selain itu, untuk menghormati perjuangan belajar semalaman, khusus untuk menghadapi Quiz saya memaksakan diri untuk naik bemo dua kali: Dari rumah di Jl. Juanda menuju stanplat bemo di bawah Pasar Bogor, dilanjut route Pasar Bogor - Jl Rumah Sakit II, atau Kampus Gunung Gede (sesuai jadwal).

Naik bemo di pagi hari biasanya berhimpitan dengan penumpang lain. Dengkul ketemu dengkul. Kesempatan ini segera digunakan untuk buka kepekan yang disiapkan semalam. (Kepekan tersebut saya kumpulkan untuk bekal Ujian Akhir).

Di bemo, ada kalanya saya bertemu rekan senasib dalam memikul beban derita menghadapi Si Quiz.

Sampai di ruangan, kita celingukan mencari tempat strategis, ... yaitu tempat yang tak mudah dilihat, sedikit tersembunyi dari pengawas, baik dosen maupun asisten yang seringkali pasang muka keras supaya tampak berwibawa.

Dan, ... Quiz pun dimulai. Keheningan melanda seluruh ruangan, sementara pikiran menimbang-nimbang jawaban yang paling betul untuk pertanyaan pilihan (multiple choice); menggunakan kalkulator Casio (di-kasih orang) untuk hitungan, dan mereka-reka kata untuk jawaban esai, yang seringkali lebih memusingkan karena ada dosen yang bahkan mengharapkan jawaban persis seperti aslinya di buku pegangan. Huh.

Jelang Quiz usai, pengawas menuliskan waktu mundur (counting down) di papan tulis dengan bilangan angka sisa waktu yang semakin mengecil menit per menit. Sungguh hitungan waktu yang sangat menyiksa, ketika kertas jawaban harus segera dikumpulkan ke depan, atau diambil paksa oleh pengawas.

Dan, gemuruh sukacita pun membahana tatkala pengawas quiz memberi kelonggaran tambahan waktu barang 10-15 menit. Horeeee !!!

Selesai Quiz, kita bergerombol di luar ruangan, membahas jawaban masing-masing, yang seringkali menjadi sumber kekecewaan baru begitu tahu jawaban kita melenceng dari jawaban yang seharusnya.

Dan, akhirnya, ... 1-2 minggu kemudian nilai hasil Quiz terpampang di papan pengumuman. Perasaan tak karuan.

Spontan berteriak girang ketika angka yang terpampang tinggi menjulang. Sebaliknya, hanya kita yang bisa merasakan betapa keras detak jantung di dada, ketika nilai yang kita dapat jauh dari harapan.

Quiz oh Quiz, Quo vadiz ?

____
ILUSTRASI:
Aula Kantor Pusat (AKP) IPB, ruangan terbesar yang biasa digunakan untuk Quiz waktu itu. Pengawasnya pun lebih banyak dibanding RK Kimia, Botani, dan Fisika.




Selasa, 24 Agustus 2021

Bus Roti

 Kenangan Masa Kuliah (4)

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)

Bus Roti menjadi awal dari kenangan saya di IPB.

Entah siapa yang memulai menyebutnya Bus Roti. Barangkali ada orang yang membayangkan roti dari bentuk bus yang memanjang dan kaku, tanpa lekukan. He he he.

Sebagai mahasiswa yang direkrut melalui testing, pada tanggal 10 Januari 1976 saya menumpang Bus Roti milik IPB dari Kampus Baranangsiang untuk menjalani test di Kampus Darmaga, yang berjarak sekitar 11-12 kilometer.

 



Entah berapa bus yang digunakan untuk mengangkut calon mahasiswa tersebut, karena Aula Fahutan waktu itu dipenuhi calon mahasiswa yang sedang berjuang untuk menjadi mahasiswa IPB. Mereka datang dari seluruh SLA yang ada di Bogor, dan banyak juga yang berasal dari luar daerah. Oh ya, di antara mereka banyak juga yang menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi.

Bus itu jalannya pelan, tapi tenaganya mantap. Tanjakan Gunungbatu yang cukup terjal dapat dilalui tanpa mogok. Tanpa AC tentu saja, tapi kami tak kepanasan karena Bogor waktu itu masih berudara segar. Jalanan pun masih lengang, sehingga tak sampai satu jam kami sudah tiba di tempat tujuan.

Materi test kalau tak salah Matematika (Aljabar, Ilmu Ukuŕ Ruang, dan Ilmu Ukur Sudut), Fisika (termasuk Mekanika), Kimia, dan Biologi. Para pengawas test bukan main banyaknya !!! Jangan harap bisa nyontek. Bahkan kalau tak salah diumumkan bahwa yang ketahuan nyontek akan didiskualifikasi.

Sempat diseling untuk makan siang sebelum memulai test tahap kedua. Santapannya makanan Padang dan air teh dalam plastik yang diikat dengan simpul mati ala pramuka.

Selesai testing, kami diantar pulang kembali ke Kampus Baranangsiang dengan Bus Roti yang sama.

Alhamdulillah, pada tanggal 22 Januari 1976 Harian Pikiran Rakyat memberitakan, bahwa saya termasuk di antara 198 orang yang lulus, dari 612 orang peserta testing.




Sempat beberapa kali lagi menikmati Bus Roti sesudah menjadi mahasiswa, antara lain untuk praktikum Agronomi (di Biotrop) dan Ekologi Tanaman Pertanian (di Sukamantri), serta Field Trip. Saya lupa lagi apakah waktu KKN diantar-jemput oleh Bus Roti itu juga atau kendaraan lain.

Beberapa fakultas dan jurusan lain konon sering menggunakan Bus Roti ini untuk melakukan praktik lapang atau keperluan lain ke lokasi yang jauh dari kampus.




Senin, 23 Agustus 2021

NAIK BEMO ATAU JALAN KAKI ?

Kenangan Masa Kuliah di IPB (3):


Pertanyaan di atas senantiasa muncul setiap kali saya mau berangkat ke kampus. Alasan utama tentu saja optimalisasi sumber daya finansial yang terbatas.

Alasan kedua, rumah saya di Jl. Juanda, di belakang Kantor PMI, atau di antara Kantor Pos dan Gedung Herbarium Bogoriensis, yang kini menjadi MUNASAIN. Jaraknya sekitar 1,8-1,9 km dari Kampus Baranangsiang.





____
Kalau saya memutuskan untuk naik bemo, maka saya harus naik dua kali untuk tiba di Kampus Baranangsiang, atau sekali-sekali di Kampus Gunung Gede.

Waktu itu di Bogor masih banyak bemo. Kendaraan buatan Jepang ini menjadi penghias kesepian kota Bogor yang kerap kali diguyur hujan; namanya juga Kota Hujan. Waktu itu rute kendaraan (termasuk bemo) masih dua arah.




Dengan suaranya yang agak memekakkan telinga, bemo menjadi ciri khas Kota Bogor. Bentuknya yang lucu dan penumpangnya yang harus adu dengkul, menjadi pilihan sebagai alat transportasi yang terjangkau oleh masyarakat, termasuk saya. Bemolah yang menjadi dewa penolong untuk mengantar ke kampus pergi-pulang.

Dari Jl. Juanda saya mencegat bemo yang menuju ke stanplat bemo di bawah Pasar Bogor, lalu disambung dengan bemo yang rutenya menuju Jl. Rumah Sakit II, atau sampai Kampus Gununggede. Ongkosnya sama saja, yaitu Rp30/orang, sehingga untuk pergi pulang saya harus ke luar uang Rp120, jumlah yang lumayan besar waktu itu. SPP saja cuma Rp12.000 per semester.




Karena itu, saya akali agar naik bemo cukup dua kali sehari, sisanya untuk jajan di Mahatani atau di kantin DM-IPB.

Yang dua kalinya bagaimana? Jalan kaki. Beruntung, saya bukan satu-satunya mahasiswa pejalan kaki yang harus mengirit ongkos, karena dalam perjalanan ke kampus, biasanya bertemu dengan teman-teman mahasiswa IPB, baik seangkatan maupun angkatan lain. Ha ha ha.




Nah kalau kebetulan jalan kaki, ada kenangan khusus terkait kelelawar, yaitu bau busuk kotoran kelelawar yang tercecer di trotoar di seberang Asrama Wisma Raya IPB, atau seberang Hotel Royal sekarang. Karena jumlah kelelawarnya amat banyak, maka kotorannya cukup banyak dan mengganggu.

Karena saya tinggal di sekitar situ, saya tahu bahwa kelelawar yang jumlahnya banyak itu mengeluarkan suara yang berisik. Mereka mulai muncul sore hari. Sering kali menjadi tontonan pejalan kaki yang kebetulan lewat di situ. Pagi hingga siang hari mereka bergelantungan di dahan-dahan di sekitar itu juga. Malam hari banyak di antaranya yang terbang ke pemukiman sekitar Jl. Juanda.


Lagu "Kelelawar" ciptaan Tonny Koeswoyo (Koes Plus), yang populer tahun 1970an, boleh jadi terinspirasi dari sini.

Kelelawar sayapnya hitam. Terbang rendah di tengah malam. Pagi-pagi mereka pulang. Di dahan-dahan bergelantungan. Hitam. Hitam. Hitam.

Sekarang, gerombolan kelelawar itu sudah tak nampak lagi di sekitar itu karena pindah ke bagian dalam Kebun Raya Bogor. Mereka sering nampak terbang di atas areal palmae, sedikit di atas Taman Aquatik. Mereka beterbangan sejak siang hari. Jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding dulu.

Mereka menyingkir ke bagian dalam barangkali karena bertambahnya populasi penduduk dan polusi udara dari kendaraan yang bertambah dengan cepat, termasuk angkot, "Sang Lalat Hijau", yang bikin macet jalanan Bogor hingga sekarang. 
 

RUANG KULIAH DI BARANANGSIANG

Kenangan Masa Kuliah di IPB (2)

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)

Sewaktu Tingkat Persiapan Bersama (TPB), sebagian besar kegiatan perkuliahan dan praktikum diselenggarakan di Kampus Baranangsiang. Ada tiga ruang kuliah (RK) legendaris, yaitu RK Kimia, RK Botani, dan RK Fisika. Kesemuanya dapat menampung sekitar 450an mahasiswa, yang dipilah menjadi empat kelompok. 

Sebagai anggota Kelompok III yang berjumlah sekitar 90an orang, kami menempati Ruang Kuliah Botani. Hanya dalam hal khusus kami pindah ruangan.



 Ruang Kuliah Kimia (kiri atas); Ruang Kuliah Botani (kanan atas); Ruang Kuliah Fisika (bawah).

_____ 
Di ruangan itu bor atau papan tulis hitam memanjang di depan kelas, cukup luas untuk menjadi pusat perhatian dan mencatat kuliah para dosen, dengan segala gayanya. Ketika mengajar, para dosen itu masih menggunakan kapur tulis, tentu saja.  

Ada dosen yang lembut hingga suaranya nyaris tak terdengar; ada pula dosen yang menghentak-hentak walaupun bukan orang Batak. Pak Andi Hakim Nasoetion, tentu saja orang Batak kekecualian, karena suaranya yang pelan dan menggeram, cadel pula. 

Oh ya, di meja depan itu ada juga keran untuk cuci tangan, meskipun seringkali airnya mampet. _____ 
RK Botani berada di bagian tengah, strategis, di antara RK Kimia dan RK Fisika. Di seberangnya ada Menhetten (Mahatani), yang di bagian belakangnya ada "kantor" Senat Mahasiswa Faperta. 

Posisi ini menguntungkan karena sebelum kuliah/praktikum kita bisa nongkrong di Mahatani dulu sambil memandang teman-teman yang lalu-lalang, siapa tahu ada yang bisa diajak kerjasama sebagai "pembanding" dalam penyusunan laporan praktikum atau laporan responsi. Kalau pas lagi ada uang, kita juga bisa pesan teh manis, kopi atau mi rebus made-in Dayat (kalau tak salah), penjaga kios Mahatani, yang logat Sundanya kentel banget. 

Di sini kita bisa juga mengincar barang baru berupa kaos, jaket, topi, tas, stiker, gantungan kunci, dll. Pemasok barang-barang tersebut antara lain Rachman Effendi, sesama Astagian, sekaligus teman akrab saya sejak di Alamanda’75 SMAN 2 Bogor, yang punya sense of business yang terbawa hingga sekarang. Kadang-kadang saya juga ikut-ikutan bisnis dengannya, kalau ada yang pesen vandel, plakat, atau kaos dari institusi/perguruan tinggi lain. Di sela-sela kebersamaan dengan Rachman, sejak masih di SMA 2, kami sering berkunjung ke rumah Lily Siti Nuramaliati di Jl. Bangka 25, yang bunganya cantik-cantik dan banyak disambangi kumbang-kumbang. Waktu itu, saya menangkap “ada pelangi” yang bersinar di mata Rachman kalau sedang menatap Lily. Alhamdulillah, akhirnya mereka berjodoh beberapa puluh tahun kemudian. 
______ 
Hal yang mengherankan, ruang kuliah kami sering didatangi mahasiswa/i dari kelompok lain, entah apa sebabnya. Sedemikian seringnya mereka bergabung, sampai lupa bahwa mereka adalah pengungsi, yang tak terdaftar di Kelompok III. Itulah sebabnya, banyak rekan Kelompok III yang booking tempat duduk sebelum kuliah dengan menyimpan tas/buku lebih dulu, sebelum para pengungsi itu datang. 

Saya sendiri lebih memilih duduk di barisan tiga atau yang lebih belakang, kuatir ditanya dosen, he he he. 
_____ 
Ruang Kuliah Botani memang mengesankan dengan bangku-bangku kokoh memanjang, yang menanjak ala theater bioskop atau tontonan gladiator di negeri Yunani. Bangunan ini memang nyaman tanpa AC sekalipun. Sistem pencahayaannya juga cukup memadai. 

Ruangan ini terbagi tiga, satu di tengah, satu di sayap kiri dan satu lagi di sayap kanan. Pembagian "sayap" dipisahkan oleh dua tangga yang bergradasi menaik ke belakang. Nah, di lantai barisan belakang itulah seringkali saya melihat teman-teman yang tiduran sambil menunggu praktikum atau responsi di sore hari. 

Ventilasi udara yang berada di sebelah kiri selain meniupkan angin semilir, juga cukup nyaman untuk melihat lapangan hijau di bagian depan kampus. Kadang rerumputan hijau itu diselimuti bunga randu yang berguguran dan beterbangan menutup halaman. Indah nian, ... seakan tebaran salju. 
______ 
Di bagian luar sebelah kanan, ada papan pengumuman, yang seringkali membuat saya degdegan, menanti pengumuman hasil quiz atau ujian. 

Belakangan saya bisa menebak, sehabis melihat papan pengumuman itu siapa yang mukanya berseri-seri, namun banyak pula yang mengelus dada. Mereka yang berseri-seri itu umumnya mahasiswa yang biasa duduk di baris satu atau baris dua, ... Willy, Nora, Komarsa (alm), misalnya. 

Adapun yang merana atau mengelus dada kebanyakan yang duduk di bagian belakang, ... untuk itu saya tak perlu menyebutkan contohnya. He he he. 
______ 
Oh ya, di Kelompok III juga banyak kaum residivis, RCD ... Para senior yang galak-galak sewaktu OSMA, ternyata terdampar di “kapal yang sama” di kelompok kami, hi hi hi. 

Meskipun sekelas, kami tetap menyebut mereka kakak, mas, akang, teteh, embak, abang, dll. Di antara mereka, ada seorang mahasiswi cantik yang berangkat dan pulang kuliah dengan mengendarai sedan Corona oranye tua, suatu kemewahan kala itu, di antara sebagian besar mahasiswa/i IPB yang naik bemo atau bahkan jalan kaki, sambil berpayung fantasi menyusuri trotoar dengan harap-harap cemas karena wesel dari orang tua tak kunjung tiba. 
_____ 
Saya termasuk mahasiswa yang sering pakai payung sambil berfantasi ...

“Salju” di Kampus Baranangsiang

Kenangan Masa Kuliah (1)

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)

Kampus Baranangsiang selalu indah untuk dikenang. Halamannya, bangunannya, tanamannya, tempat parkirnya, ... dan terutama orang-orangnya. Keindahan ini sudah saya rasakan sejak masih sekolah di SMA. Waktu itu, kalau pas melintas di Jl. Pajajaran dan melihat gedung itu, sering terbersit keinginan untuk menjadi penghuninya. Alhamdulillah, akhirnya terlaksana.

Halaman depan Kampus Baranangsiang ditutupi hamparan rumput hijau yang terawat rapi. Biasa digunakan untuk upacara-upacara, termasuk pelantikan sarjana. Latihan Resimen Mahasiswa (Menwa), Latihan Beladiri, Baris-berbaris, biasa juga dilakukan di sana. Oh ya, waktu perjuangan mahasiswa tahun 1997/1978 juga banyak kegiatan dilaksanakan di sana.

Tapi yang cukup mengesankan di halaman Kampus Baranangsiang adalah “hujan salju”. Memang bukan salju sungguhan, melainkan salju dalam angan-angan. Ya, dulu di situ banyak pohon kapuk randu. Ketika musimnya tiba, serat-serat kapuk randu terlepas dan ditiup angin beterbangan. Udara penuh dengan serat-serat putih, yang akhirnya terdampar di rerumputan sebagai “salju”. Embun pagi menambah indahnya suasana. Itulah keindahan yang sering saya nikmati dari ventilasi Ruang Kuliah Botani.

Begitu memasuki pintu gerbang, dulu tak ada pos Satpam. Kita bisa langsung memasukkan sepeda atau sepeda motor ke tempat parkir di sebelah kiri. Parkir mobil? Harus jalan terus ke arah kanan. Tetapi, waktu itu pemilik mobil amat langka, dosen sekalipun masih banyak yang naik bemo atau jalan kaki, apalagi mahasiswa.

Bangunan yang dirancang oleh F. Silaban itu diawali dengan Ruang Kimia. Tapi sebelumnya harus melewati prasasti pendirian IPB yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 27 April 1952. Di halaman depan Ruang Kimia sejak dulu dipenuhi dengan spandoek, seperti sekarang, yang kerap kali terasa merusak pemandangan.

Bangunan kedua adalah Ruang Botani, di situlah saya banyak menghabiskan waktu untuk kuliah. Ke sebelah kanan lagi ada Ruang Fisika. Di halaman depan kedua ruang kuliah itu relatif bersih, karena di depannya ada plang “Institut Pertanian Bogor” yang cukup besar. Banyak mahasiswa-mahasiswi yang suka nampang di sana.




Jalan terus ke arah kanan kita akan bertemu dengan Kantor Pusat IPB, tempat pimpinan IPB berkantor. Seingat saya, tak banyak ruangan di situ yang menggunakan AC. Oh ya, di dalamnya ada Perpustakaan Pusat, yang koleksi bukunya cukup banyak termasuk thesis dan disertasi Mahasiswa Pasca Sarjana. Tempat yang nyaman untuk mencari referensi, apalagi petugas perpustakaannya, Euis Sartika, adalah teman saya, sesama Alumni SMAN2 Bogor.

Lebih ke kanan lagi adalah Aula Kantor Pusat (AKP), yang selain menjadi tempat seremonial juga tempat quiz/ujian.

Kampus Baranangsiang areanya cukup luas, yang memanjang hingga ke belakang. Sebagian besar ditempati berbagai jurusan Fakultar Pertanian, yaitu: Departemen Statistika & Komputasi (STK); Departemen Ilmu Tanah; Departemen Hama & Penyakit Tanaman (HPT); Departemen Ilmu Gizi & Keluarga (IGK), Departemen Sosial Ekonomi (SOSEK), dan Departemen Agronomi. Bahkan ada Fakultas Perikanan di bawah PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa), bersebelahan dengan Departemen Sosek.

Sebenarnya kompleks Kampus Baranangsiang lebih luas lagi karena dulu terdapat Ruang Kuliah P1-P6 dan Asrama Putri IPB (APIP-IPB) di sebelah Utara. Di sana ada dinamika dan perjuangan para mahasiswi untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu. Tentu saja, di sana juga ada cinta dan romantika, ... he he he.

Wisma Raya Doeloe, Hotel Royal Kini

 

Wisma Raya, adalah masa lalu Hotel Royal sekarang, yang terletak di Jl. Ir. H. Juanda nomor 16, Bogor. Dengan berada di pusat kota, dan dilalui kendaraan umum, maka asrama ini amat strategis, dekat dengan pasar dan pusat keramaian, juga tak terlalu jauh dari kampus IPB. Selain bemo yang lalu-lalang dua arah, sampai dengan tahun 1978, Jl. Juanda juga masih dilewati bus menuju ke Stanplat di Jl. Kapten Muslihat, depan Toko Dezon.





Berbeda dengan perannya sebagai hotel sekarang yang menyediakan 98 kamar, penghuni asrama Wisma Raya cuma dapat menampung sekitar 35 orang. Dengan jumlah penghuni yang sedikit, maka suasana kekeluargaan sangat erat. Banyak mahasiswa IPB yang ingin tinggal di sini karena dekat dengan kantor pos tempat mengambil wesel bulanan dari orang tua. Karena itu, untuk dapat menjadi penghuni asrama ini, mahasiswa harus sabar menunggu hingga ada alumni yang keluar dari asrama ini.

Selain memiliki kelebihannya yang strategis, Wisma Raya juga memiliki kekurangan, antara lain tidak mempunyai aula atau tempat yang cukup luas untuk menyelenggarakan suatu acara. Ruang tamu dan ruang rekreasi sewaktu-waktu bisa menjadi ruang rapat pengurus dan atau rapat penghuni, dan bisa juga disulap menjadi tempat menyelenggarakan pesta, dilengkapi dengan pesta dansa. Peristiwa apa pun bisa dijadikan dalih untuk mengadakan pesta.

Ada hal yang  patut diacungi jempol. Penghuni asrama ini setiap tahun memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Begitu matahari muncul di ufuk Timur, para penghuni telah berpakaian rapi, siap mengikuti acara pengibaran bendera sang saka merah putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Acara dilanjutkan dengan pembacaan teks Proklamasi, sambutan ketua Asrama, pembacaan do’a dan lain-lainnya. Setelah upacara selesai sebagian penghuni duduk-duduk santai di halaman, dinaungi oleh tiga pohon cemara, menyanyikan lagu-lagu perjuangan diiringi petikan gitar salah seorang penghuni.

Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion

 

Sejak tiga tahun yang lalu, di Bogor ada jalan baru, namanya Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion. Doeloe, jalan ini dikenal sebagai Jl. Rumah Sakit II (RS II), yang letaknya pas di sebelah kampus Baranangsiang IPB, yang memanjang hingga ke Jl. Malabar bagian belakang. Itulah route jalan yang dilewati oleh bemo dari Pasar Bogor ke Jl. Gunung Gede atau Jl. Pajajaran.




Proses pemberian nama jalan tersebut melalui perjalanan panjang. Di antara tiga orang pengusul, salah satunya adalah Asep Saefuddin, mahasiswa IPB Angkatan 13 ASTAGA, yang kini Guru Besar IPB dan Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia.

Jalan ini diresmikan 3 Juni 2017, bertepatan dengan ulang tahun kota Bogor yang ke-535. Acara dimeriahkan dengan drum band Sekolah Tinggi Teknik Pertanian (d/h Sekolah Pertanian Menengah Atas), di mana Pak Andi pernah sekolah. Ada juga paduan suara Sekolah Kesatuan, di mana Pak AHN pernah menjadi ketua yayasannya. Ada paduan suara Agriaswara IPB yang telah mendunia, dan ada pula penyanyi seriosa dan keroncong IPB yang menggetarkan hati penonton dengan lagu-lagu yang dibawakannya. Puisi juga dipersembahkan kepada Pak AHN oleh anak-anak Sekolah Kesatuan.

Meskipun kegiatan administratif dan perkuliahan IPB sebagian besar dipusatkan di Kampus Darmaga, namun Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim masih tetap ramai, karena masih ada sejumlah lembaga yang berkantor di Kampus Baranangsiang. Ada juga Cafe Taman Koleksi, yang seringkali menjadi ajang nostalgia dan pertemuan para alumni. Bahkan, masyarakat pun biasa memanfaatkan Cafe Taman Koleksi untuk berbagai keperluan.

Di bagian kanan jalan, yang dulu merupakan perumahan dosen dan tempat kost para mahasiswa, kini telah beralih fungsi menjadi tempat kuliner. Misalnya, persis di sebrang gerbang masuk, ada The Third Wave Coffee Company. Selain nyaman, cafe ini juga menyediakan mushola.

Dengan keberadaan jalan ini, semoga menjadi pengingat kenangan atas jasa dan pelajaran dari Pak Andi. Aamiin.