Senin, 17 Oktober 2016

MALANG: Kisah Air yang Memanjat Bukit

Ternyata akal manusia bisa melawan gravitasi. Air mengalir sekitar 1,25 kilometer dengan memanjat bukit sekitar 60 meter, melewati kebun, pematang, hutan dan sungai. Itulah produk dari sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), yang menciptakan cara hidup baru bagi sekitar 300 KK penduduk di Desa Rembun, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. 





Air sungai yang deras digunakan untuk menghidupkan turbin. Tenaga listrik dari turbin digunakan antara lain untuk memompa air melalui pipa-pipa. Pipa air menyeberangi kebun dan sungai. Pipa air mulai menurun setelah menempuh perjalanan sekitar 1,25 kilometer dan mendaki sekitar 60 meter. Pipa air berakhir di bak penampung air (kapasitas 40.000 liter). Menampung air di tempat distribusi (16 titik) untuk diangkut ke rumah-rumah penduduk. Setelah mendaki sekitar 60 meter sepanjang kira-kira 1,25 kilometer, air menyembur di depan rumah penduduk.




Sebuah pencapaian yang patut disyukuri, karena dari perjalanan panjang yang sempat mengecewakan, kini mereka tak perlu lagi bersusah-payah mengambil air dari sungai yang jauh di bawah bukit sana. 


Alhamdulillah, wasyukurillah. Semoga dapat dipelihara, dan ditingkatkan manfaat dan maslahatnya bagi masyarakat.

Minggu, 16 Oktober 2016

SULAWESI TENGAH: Palu dan Sekitarnya

Sulawes Tengah yang beribukota di Palu banyak menyimpan destinasi wisata yang indah. Di pusat kota, ada ANJUNGAN NUSANTARA yang terletak di pinggir Teluk Palu, yang merupakan ikon baru di kota ini. Ke depan boleh jadi akan sepopuler Pantai Losari di Makassar.

Di sekitar anjungan ini terdapat patung kuda di sebelah kanan, lapangan gateball di tengah, dan di sebelah kiri membentang jembatan lengkung Ponolele yang bercat kuning. Jembatan ini panjangnya sekitar 250m dan membentang di atas Teluk Palu Pantai Talise.


Panorama bukit sebagai latar belakang dengan keindahan Teluk Talise menjadi kombinasi yang menakjubkan ketika memandangi jembatan ini. Jembatan lengkung ini konon menyimpan mitos tentang tiga ekor buaya yang suka berjemur di bawah perairan sekitarnya. Kendati demikian, waktu saya berkunjung ke sana, yang tampak hanya seekor buaya di kejauhan, itu pun berada di bagian timur, jauh dari jembatan lengkung bercat kuning yang dimitoskan.

Untuk kuliner, jangan lupa nikmati KALEDO, yang terdapat di kota Palu. Sensasi sedot sumsum dan pisau pengiris kikil. Kaledo termasuk ikon kota Palu, karena banyak warung dan rumah makan yang menyajikannya. Padahal, Kaledo singkatan dari Kaki Lembu Donggala, ha ha ha.



Keluar dari kota, kita akan sampai di dataran tinggi Salubay, Kebonkopi yang menghasilkan berbagai jenis sayuran segar. Daerah pegunungan ini terletak di antara Kota Palu dan Kabupaten Parigi Moutoung. Bersuhu dingin dan pemandangan indah seperti di Puncak. 


Di Parigi Moutong, berhadapan dengan pantai, ada Taman Songu Lara dengan keindahan sejumlah bunga dan menaranya yang menjulang tinggi. Ada juga Pantai Kayu Bura. Di pantai ini ada Rumah Kayu di dekat Pantai Kayu Bura, pernah disinggahi Presiden Jokowi waktu pembukaan acara Tomini Sail. Pantai Kayu Bura, artinya kayu berbusa. Konon, di daerah sini seorang pak tua pernah menebang kayu yang berbusa.







Dengan basis pantai yang panjang dan luas, kita juga dapat melakukan MANCING MANIA, misalnya di belakang RM Itfar, Molui Indah, Tambu, Balaesang, Donggala. Dihitung dari Palu (ibukota Sulteng), tempat ini sekitar 115 km atau 2,5jam perjalanan darat roda empat. Sebagian besar melalui jalan di pinggir pantai Selat Makassar.



Sepanjang pantai, kita akan menikmati keindahan alam, antara lain di Pantai Enu.




EBONY
Komoditas yang terkenal di Sulawesi Tengah antara lain adalah Kayu-hitam ebony (Diospyros celebica), tumbuhan asli Sulawesi (Celebes). Kayunya sangat keras, berwarna coklat gelap, kehitaman, atau hitam berbelang-belang kemerahan. Harganya sangat mahal, terutama kalau sudah jadi furniture, ukir-ukiran dan patung, alat musik (misalnya gitar dan piano), tongkat, dan kotak perhiasan. 


Karena populasi di alam menurun drastis, maka sejak 1990 kayu ebony dinyatakan sebagai jenis kayu yang dilindungi, eksploitasinya harus atas persetujuan dan ijin khusus dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Di Sulawesi Tengah, selain di Poso, kayu ini juga tumbuh dalam jumlah terbatas di daerah Enu, Tambu Sabora, menghadap Teluk Palu.


Produk berbahan baku kayu ebony antara lain dapat dibeli di toko Sumber Urip Ebony, Kota Palu. Harganya mulai puluhan ribu hingga puluhan juta rupiah.

JAMBI dan Batanghari

Tak jauh dari pusat kota Jambi, melintas Sungai Batanghari. Di malam hari, Batanghari penuh pesona warna-warni. Dipandang dari Jembatan Gentala Arasy, di sebelah kiri terpampang tulisan Jambi Kota Seberang, dan di sebelah kanan ada tulisan Gentala Arasy. Baik ke kanan maupun ke kiri, kita akan disuguhi pemandangan yang indah.

Batanghari adalah sungai yang spesial, karena merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera, yang punya nilai sejarah tinggi, sebagai sentral perdagangan bagi Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Dharmasraya. Mata air sungai ini berasal dari Gunung Rasan, dan yang menjadi hulu dari sungai ini adalah Danau Di Atas (Sumatera Barat), yang setelah menempuh perjalanan jauh bermuara di Laut Cina Selatan.



Jambi Kota Seberang adalah wajah Kota Jambi sebenarnya, tempat warga asli melayu jambi tinggal beserta adat istiadatnya, serta tempat peninggalan benda bersejarah yang masih bertahan dan terjaga dari gerusan zaman.

Sejak tahun lalu di sini diresmikan jembatan pedestrian tempat orang berlalu-lalang, tanpa gangguan roda dua atau empat. Jembatan sepanjang 503m ini menghubungkan Kota Jambi dengan Kampung Seberang, yang dulu harus menyebrang dengan getek (perahu) atau kendaraan darat tapi harus melingkar jauh ke barat dulu, sebelum berputar ke arah jembatan. 

Di ujung seberang jembatan pedestrian, ada jam gadang Jambi atau dikenal dengan menara Gentala Arasy. Di dalam Menara Gentala Arasy itulah terdapat museum mini tentang Islam dan melayu Jambi. Inilah salah satu ikon wisata baru yang menarik di Kota Jambi. Menara ini menggambarkan sejarah penyebaran Agama Islam di Kota Jambi. Bentuknya menyerupai bangunan masjid yang dilengkapi dengan menara. 



Menara ini dimanfaatkan sebagai museum islami. Di museum ini, kita dapat melihat berbagai macam bukti dan sejarah perkembangan Islam di Kota Jambi. Di antaranya ada mushaf Al-Qur’an terbesar di Sumatera berukuran 1,25m x 1,80m. Ada juga Al-Qur’an peninggalan abad ke-19 yang terbuat dari kertas Eropa, tinta Cina merah dan hitam yang tidak memiliki sampul. Selain itu ada Kitab Ilmu Albayan, Kitab Fiqih, dan Tafsir Al-Quran (302 halaman) yang ditulis abad ke-16 dalam bahasa Arab, tinta Cina dan kertas Eropa.

Masih di bagian dalam bangunan, ada ruangan teater yang menayangkan film perkembangan Islam di Jambi dan beberapa cerita rakyat; -- saat saya berkunjung sedang ditayangkan “Rumah untuk Nyai” (Nyai dalam bahasa Jambi berarti Nenek). Kisah sedih tentang kemiskinan penduduk, yang dikemas dengan penuh canda.


Di luar keindahan sekitar jembatan, ada juga Danau Sipin dan tempat yang monumental, seperti Mesjid Seribu Tiang, dan patung Pahlawan Sultan Thaha di pelataran gubernuran.