Kamis, 30 April 2015

UUPA: Masalah yang Sulit Tuntas




26 tahun UUPA: MASALAH YANG SULIT TUNTAS
Oleh Tika Noorjaya

A.T. Mosher pernah mengatakan: "Masalah manusia dan lahan akan  tetap timbul dan terus menerus menjadi hangat dalam semua sistem ekonomi" dan ternyata memang benar.

Seperti tahun-tahun lalu, berita-berita dan tulisan-tulisan mengenai masalah lahan banyak hadir ke permukaan, terlebih pada saat-saat yang berdekatan dengan peringatan hari kelahiran Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan Pokok-pokok Agraria (UUPA), seperti  halnya hari-hari terakhir ini.
Kelahiran UUPA 26 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 24 September 1960, tampaknya banyak mengilhami masyarakat dan pemerintah, wartawan, para akar dan politisi untuk menonjolkan masalah lahan, meskipun seringkali kita dapati masalah tersebut menghangat pada satu saat untuk kemudian tenggelam dalam pelukan masalah lain.

 LAHAN YANG LANGKA

Dengan perkembangan pembangunan dan di lain pihak pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, maka lahan menjadi  sesuatu yang langka, baik ditinjau dari segi kuantitas (dalam arti lahan  = land) maupun kualitas kesuburannya (dalam arti tanah = soil).  Agar  lebih memudahkan, dalam uraian selajutnya istilah lahan dan tanah diganti dengan tanah saja, yang pengertiannya disesuaikan dengan konteks permasalahannya.
Ditinjau dari segi kuantitas, tanah menjadi langka antara lain  karena tingginya tingkat kelahiran dan sulitnya mengadakan perluasan,  sehingga man-land ratio, yaitu nisbah antara jumlah penduduk  terhadap luas tanah, semakin tinggi misalnya kepadatan penduduk di  Pulau Jawa dan Madura yang pada tahun 1975 baru sekitar 630 jiwa/km2, pada tahun 1983 meningkat menjadi menjadi sekitar 730  jiwa/km2. Sedangkan kemunduran kualitas dan kesuburan tanah antara lain disebabkan oleh tekanan ekologis yang berlebihan, seperti intensifnya pengolahan tanah tanpa mengusahakan perbaikannya, adanya efek sampingan dari pembuangan material sisa industri yang sulit terurai, dan sebagainya.
Akibat kelangkaan tersebut, permintaan terhadap tanah semakin meningkat dengan harga yang semakin tinggi. Sementara itu, kemampuan membeli cenderung dilakukan oleh golongan masyarakat dengan pendapatan tinggi (petani berdasi ?). Hal itu ditunjang dengan  adanya anggapan umum pada masyarakat negara berkembang, bahwa  sebagian kelebihan daya beli pada golongan pendapatan tinggi disalurkan sebagai investasi pada tanah.
Pola demikian menyebabkan pemilikan tanah cenderung semakin dikuasai oleh sebagian kecil orang kaya, sedangkan petani/penduduk miskin terdesak; ada yang ke pedalaman/pegunungan, mengerogoti hutan-hutan yang secara ekologis sangat rawan dan mengkhawatirkan;  ada yang tersingkir dari kehiduan pedesaan mencari  tumpuan harapan di  kota-kota besar;  ada yang memanfaatkan anjuran pemerintah untuk bertransmigrasi; dan ada juga yang tetap tinggal di desa, ... membagi kemiskinan!!!

TANAH TERLANTAR

Dalam kondisi kelangkaan sedemikian, munculnya berita tentang  areal perkebunan terlantar yang sebagian besar terdapat di Jawa Barat bagian Selatan, memang mengejutkan, meskipun luas sesungguhnya  yang dinyatakan pejabat tertentu tidak saling mendukung. Terlepas dari luasnya yang agaknya masih simpang-siur, menelantarkan tanah di Pulau Jawa yang sumpek ini adalah sebuah ironi yang barangkali  dapat digolongkan sebagai pemborosan sumberdaya.
Karena itu kiranya tidak berlebihan andaikata tanah terlantar  tersebut didistribusikan saja kepada para penggarap tanah/petani yang tidak memiliki tanah. Dalam hal ini, apa tidak sebaiknya Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuat program transmigrasi lokal, yakni memindahkan penduduk yang padat di sebelah Utara/Tengah ke daerah-daerah yang jarang penduduknya (termasuk di tempat lahan perkebunan terlantar) di Jawa Barat bagian Selatan ?
Program yang sama juga berlaku bagi provinsi lain yang pola penyebaran penduduknya timpang, seperti halnya di Provinsi Lampung yang tampaknya berhasil memindahkan sebagian penduduk dari Kabupaten Lampung Selatan ke Kabupaten Lampung Utara.

PERLU REFORMASI ATAU TIDAK?
Kalau  kita menengok sejarah, sejak manusia mempertahankan hidupnya dengan perburuan di hutan atau menangkap ikan di sungai atau mengumpulkan hasil hutan, kemudian perladangan berpindah-pindah, sampai sistem bercocok tanam menetap dengan penggunaan teknologi yang canggih, tanah seringkali menimbulkan persengketaan,  yang melalui sejarah panjang menyadarkan manusia tentang perlunya reformasi penguasaan tanah. Karena itu, kita mengenal reformasi tanah sejak berabad-abad yang lalu, misalnya di Yunani sejak enam abad sebelum Masehi dan di Roma sejak dua abad sebelum Masehi.
Akan tetapi, karena hubungan manussia dengan suatu sumberdaya (dalam hal ini: tanah) hanya mempunyai arti jika merupakan hubungan aktivitas, maka tentu saja masalah penguasaan tanah bukan masalah yang sederhana; bukan hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah, tapi juga terlebih-lebih merupakan hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Sehingga, adanya ketentuan yuridis dan teknis saja dalam pelaksanaan reformasi tanah belum merupakan sarana yang tepat, tanpa pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut aspek sosial, ekonoomis maupun psikologis.
Barangkali, itulah antara lain penyebab mengapa UUPA yang sudah diundangkan sejak 26 tahun yang lalu dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan harapan. Dan, land-reform (Undang-undang nomor 56 Prp. tahun 1960) sebagai pelaksanaan dari Pasal UUPA selalu hangat dibicarakan.
Dari "kehangatan" para pakar dan politisi dalam memasalahkan land-reform, secara tajam dapat dipilah menjadi dua kelompok, yakni   pendukung land-reform di satu pihak dan kelompok penolaknya di pihak lain, yang masing-masimg mempunyai alasan.
Para penolak land-reform beranggapan bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di satu sisi dan jumlah areal tanah yang relatif tidak berubah di sisi lainnya, maka pembagian tanah akan  menciptakan petani-petani yang tanahnya sempit (petani gurem) yang mungkin tidak efisien lagi sebagai unit usahatani; bahkan pada suatu saat tidak mungkin lagi dilakukan pembagian tanah. Sedangkan para pendukung land-reform menilai bahwa land-reform adalah masalah  struktural yang bukan hanya sekedar membagikan tanah semata-mata melainkan merombak penguasaan tanah yang lebih adil sehubungan adanya berbagai ketimpangan dalam masyarakat; lagi pula model land-reform yang diterapkan dapat disesuaikan dengan keadaan maing-masing negara (bahkkan daerah ?).
Alasan kedua yang dikemukakan para penolak adalah bahwa dengan semakin meningkatnya penguasaan teknologi maka potensi sumberdaya alam bukan tanah dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan, sehingga tanah dianggap tidak penting. Pendukung land-reform memang mengakui kemajuan-kemajuan teknologi tersebut, tetapi selama manusia belum mampu membebaskan diri  dari bahan makanan yang berasal dari bumi maka selama itu pula tanah tetap mempunyai arti penting. Bahkan Dr. Burton Onate, seorang pakar dari Filipina belum lama ini menyatakan bahwa teknologi pertanian yang dikenal dengan Revolui Hijau hanya membuat petani miskin di Dunia Ketiga menjadi lebih miskin lagi, karena penguasaan teknologi tidak merata, yang cenderung lebih menguntungkan negara maju.
Alasan ketiga yang dikemukakan para penolak bahwa land-reform "harganya" mahal sekali, di mana diperlukan pemerintahan yang kuat,  organisasi kerja panitia land-reform yang rapi, jujur dan tidak vested interest, memerlukan persiapan lama, biayanya mahal, bahkan harus mampu mengendalikan gejolak yang mungkin berkembang setelah   pelaksanaan land-reform, karena betapa pun dalam pelaksanaan   program tersebut ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Namun, bagi para pendukung land-reform yang optimistis menilai bahwa alasan-alasan itu hanya dibbuat-buat untuk mengukuhkan pendapatnya, karena kalau memang menyadari pentingnya land-reform dikaitkkan dengan masalah struktural maka semua keberatan tersebut akan dapat diselesaikan.
Kalau kita perhatikan keberatan kelompok yang menolak  land-reform, maka kondisi Indonesia saat ini tampaknya menyokong kelompok ini, setidak-tidaknya dalam jangka pendek.
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun1987 jelas meminta stabilitas baik  pra maupun paska. Menghangatkan isyu land-reform mungkin hanya akan mengeruhkan suasana, apalagi kalau diingat bahwa pada masa lalu isyu ini secara vokal dilancarkan organisasi terlarang.
Dalam situasi perekonomian yang  lesu, yang diperkirakan masih  akan berlangsung beberapa tahun lagi, dalam jangka pendek barangkali lebih relevan melaksanakan capital reform daripada land-reform, khususnya kalau tanah dan modal dipandang sebagai aset nasional. Sebagai contoh, tanpa melaksanakan land-reform pun, tanah dapat dikenakan pajak yang berarti merupakan pendapatan bagi negara; sedangkan menyimpan uang deposito tidak dikenakan pajak. Masih untung kalau uang tersebut didepositokan di dalam negeri, dapat memutar roda perekonomian negara kita; bagaimana kalau uang tersebut mengendap di luar negeri? Kalau orang memiliki tanah  lebih dari 5 hektar (batas maksimum pemilikan tanah) dihadapkan dengan reformasi tanah, mengapa orang memiliki puluhan, ratusan atau milyaran rupiah tidak dihadapkan dengan reformasi uang? Dan sebagainya.
Lagi pula, apakah masyarakat (Lembaga Swadaya Masyarakat  = LSM) kita sudah siap untuk menghadapi tugas berat tersebut? Apa artinya ketergesaan kalau melahirkan kerumitan di belakang hari!
Meskipun demikian, sesuai dengan yang dirumuskan dalam GBHN,
yaitu "penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan rakyat," maka upaya-upaya untuk mempersiapkan pelaksanaan UUPA secara konsekuen dan konsisten seyogianya terus dimantapkan; tidak hanya sekedar kesepakatan dalam pembicaraan, melainkan yang terutama adalah tindak lanjutnya. Pengalaman beberapa negara lain tampaknya ada baiknya juga dijadikan sebagai bahan perbandingan.
Keberhasilan Nederland dalam melaksanakan land-reform antara lain disebbabkan persiapan yang matang sekali, yang didasarkan pada  penelitian ilmiah yang memakan waktu lama. Selain itu, pelaksanaan   land-reform dilakukan setelah paling sedikit duapertiga dari penduduk suatu desa meminta kepada kepala negara agar didesanya diadakan land-reform.
Taiwan memulai pelaksanaan land-reform dengan penurunan sewa tanah pada akhir tahun 1949 dan redistribusi tanah baru diselesaikan pada tahun 1953, dengan prinsip "tanah untuk tani-penggarap. Kondisi ini berhasil menjadikan pendapatan lebih merata dan peningkatan produktivitas pertanian. Keberhasilan ini antara lain  disebutkan adanya stabilitas dalam seluruh aspek kehidupan, penelitian (termasuk pengukuran dan pendaftaran tanah) yang cermat, penyuluhan yang baik, pengembangan sarana perkreditan yang cepat, dan yang terpenting adanya peran-serta rakyat setempat yang tahu persis tentang penguasaan tanah di daerahnya.
Memang, Indonesia bukan Nederland atau Taiwan, atau negara-negara lain  yang  melaksanakan land-reform dengan berhasil. Tetapi,   tampaknya ada kesamaan permasalahan pokok, yakni kemampuan  dan kebulatan tekad pemerintah yang dijabarkan dalam tindak lanjut operasional didukung dengan peran-serta masyarakat.
Adakah kesiapan kitta (pemerintah dan masyarakat) untuk melaksanakan land-reform, atau lebih luas lagi UUPA, secara konsekuen dan konsisten ?
Pernyataan A.T. Mosher seperti dalam pembuka tulisan ini tampaknya menunjukkan kebenarannya. Tantangnnya, bagaimana  kita menguasai masalah, dan tidak malahan kita yang dikuasai oleh masalah.
 Ayo, siapa berani ? Ngacung!!


Artikel ini dimuat HU PRIORITAS, 23 September 1986.

Rabu, 29 April 2015

Siapa Menguasai Siapa ?



                   
SIAPA MENGUASAI SIAPA ?
Oleh Tika Noorjaya

Judul: Manusia, Ilmu dan Teknologi (kumpulan karangan).
Pengarang: Prof. Dr. T. Jacob.
Penerbit: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988.
Tebal isi : (xiii + 201) halaman.    
    
Dibandingkan mahluk hidup lain, manusia itu sempurna, yang nilai  kesempurnaannya justru menjadi genap karena ia dilengkapi dengan kekurangannya. Itulah ungkapan tua yang agaknya tak lekang dimakan zaman. Namun, karena kekurangan itulah pengembangan ilmu dan  teknologi yang semula dimaksudkan untuk lebih memanusiakan manusia justru bisa berbalik menundukkannya tak lebih dari sebuah sekrup dalam perputaran roda kehidupan; yang pada gilirannya tidak mengherankan kalau ada yang beranggapan bahwa evolusi manusia adalah ciptaan teknologi -- dan bukan sebaliknya. Ilmu dikaitkan dengan kekuasaan; demikian pula dikultuskan sebagai azimat dan paspor satu-satunya menuju kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan. Bahkan, "dalam perkembangan lebih lanjut dari interaksi antara manusia, ilmu dan teknologi serta segala implementasinya, tak pelak telah mendorong peradaban ini pada situasi yang menyerempet-nyerempet bahaya" (hal.vii).
Benarkah demikian? Sudah sedemikian jauhkah kaitan antara manusia, ilmu dan teknologi ?
Sampai pada pertanyaan ini terasalah betapa sesungguhnya keluasan, kedalamman dan kerumitan kaitan antara manusia, ilmu dan teknologi, sehingga buku dengan judul besar ini seakan menanggung beban yang sedemikian beratnya, apalagi kalau dimaksudkan sebagai refreshing bagi pelajar dan mahasiswa yang jenuh dengan bacaan-bacaan teks di bidangnya -- seperti kata penerbitnya.
Karena itu, agakna perlu dipujikan upaya penulis untuk menjawab pertanyaan di atas dengan merakit gagasan besar tersebut lewat  bahasa yang enak dibaca dan sarat informasi, sekalipun agaknya penulis kesulitan juga untuk tidak menyodorkan bermacam-macam terminologi, yang selain belum akrab juga untuk memahaminya tampaknya memerlukan penjelasan yang tidak sesederhana itu. Gagasan yang dirakitnya sendiri kebanyakan tidak baru, karena memang demikianlah sifatnya ilmu: ia bertumpu pada gagasan yang terdahulu, tak peduli akhirnya didukung atau dipentung.
Selain kaitan antara manusia, ilmu dan  teknologi, agaknya tema  lain yang membersit dari kumpulan karangan ini adalah bagaimana menyelamatkan dunia yang sudah banyak dikuasai perkembangan yang mengarah pada kehancuran, karena selain membawa nilai-nilai positif, perkembangan teknologi juga membawa serta nilai-nilai yang berdampak negatif, baik fisik maupun psikis. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau imbauan tentang perlunya upaya-upaya perdamaian mengalir deras dari buku ini, yang terutama bermuara pada perlunya penggalakan nilai-nilai agama dan etika. "Pendidikan budi pekerti pada jenjang bawah dan menengah, dan pendidikan etika ilmiah pada jenjang tinggi, sangat penting di samping nilai-nilai agama",  katanya (hal.16).
Kearifan pun muncul ketika penulis mengutip pepatah Kenya: "Dunia tidak kita warisi dari nenek moyang kita, tetapi kita pinjam dari  anak cucu kita," yang kemudian dilajutkan dengan imbauan: "Hendaknya jangan di tangan generasi kita dunia hancur-luluh oleh keserakahan kita dan ketidakpedulian kita" (hal.140).
Kelebihan lain buku ini adalah uraiannya yang tidak sekedar merakit gagasan pendahulu, tapi juga mengungkapkan proyeksi ke depan serta memberikan alternatif pemecahan dan jalan keluarnya, sekalipun untuk itu berkali-kali beberapa nama besar diusung untuk menambah bobot otoritatifnya. Demikianlah misalya kata-kata Einstein yang menyatakan bahwa "abad kita ini merupakan perpalingan ke arah era baru yang membutuhkan cara pandang dan sikap baru" berkali-kali diungkapkan meskipun tidak dalam format yang seragam.
Dan, itulah antara lain kelemahan buku rampaian semacam ini --  satu hal yag sedag trendy bagi penerbitan Indoesia -- yakni tidak terhindarkannya pengulangan gagasan. Namun demikian, kemauan  dan kegairahan Prof. T. Yacob -- dan banyak pakar lain untuk membukukan gagasannya, cukup menggembirakan. Tentu saja, kita dapat mengharapkannya untuk menulis buku yang tidak sekedar rampaian  seperti  ini. Tetapi, yang ini pun sudah lebih baik daripada banyak pakar lain yang hanya mereguk ilmu untuk dirinya sendiri, atau paling banter lingkungan kecil di sekitarnya. (Tika Noorjaya)


Tinjauan Buku ini dimuat PIKIRAN RAKYAT, 5 Agustus 1988.

Mampukah Indonesia Menjadi Naga Kelima di Asia?




        
MAMPUKAH INDONESIA MENJADI NAGA KELIMA DI ASIA?
Oleh Tika Noorjaya

Setelah dengan panjang lebar menguraikan kehebatan "Empat Naga Kecil Asia" dalam harian ini pada 24 Januari 1987, H. Darwanto menutup tulisan itu dengan kalimat: "Bagaimana mereka berusaha  mencapai maksud ini dalam situasi perekonomian dunia yang sedang  lesu dengan segala akibatnyya, mungkin merupakan tontonan yang  menarik. Akan tetapi, bijaksanakah kita, kalau hanya menonton dan tidak mengikuti jalan yang mereka rintis  ?
"Pertanyaan yang menarik, sekaligus menantang!
Tulisan berikut ini mencoba menjawab pertanyaan di atas, sekaligus mencoba mmenelusuri; mampukah Indonesia menjadi  Naga kelima di Asia ?

PERLU AKTIF
     Jawaban terhadap pertanyaan Darwanto sebenarnyya cukup jelas: "Tidak!". Ya, tentu saja kita tidak bijaksana dengan hanya  menonton belaka. Sebab, pertumbuhan ekonomi berbeda dengan, misalnya, pertandingan sepak bola atau adu jotos di ring tinju yang  dapat bernilai ratusan juta itu. Menonton dua pertandingan yang  disebut belakangan ini agaknya merupakan hiburan yang menyenangkan bagi penonton (penggemarnya), apalagi kalau jagoannya menang. Demikian pula, kekalahan sang jagoan merupakan  kekecewaan penonton (pengemarnya). Lain halnya  dengan menonton keberhasilan keempat Naga Kecil di Asia itu (Singapura, Korea,  Selatan, Taiwan dan Hongkong). Menonton keberhasilan mereka mengandung konotasi pasif. Padahal, seperti kita maklumi, Indonesia  juga merupakan pemeran dalam percaturan perekonomian dunia  yang semakin penuh persaingan dan proteksi ini. Dengan hanya  menonton, bukan mustahil kalau keempat Naga Kecil itu menelan  kita. Sudah banyak terbukti bahwa keberhasilan negara-negara besar  dalam banyak hal tidaklah menetes dari mereka ke negara-negara yang masih terbelakang; justru sebaliknyalah yang terjadi. Kemacetan pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) yang antara lain ingin mewujudkan keadilan dalam tata ekonomi antarnegara, kiranya   mendukung sinyalemen ini.
Bahwa kemacetan pembentukan TEIB juga ada yang menilai bukan hanya disebabkan keengganan negara maju tetapi juga karena kelemahan di negara terbelakang, kiranya menjadi analogi yang penting juga dalam kajian kita sekarang ini kalau ingin meraih keberhasilan.  Yakni, kita perlu aktif menata perekonomian kita sendiri, sehingga kita  bukan hanya pasif menjadi penonton keberhasilan keempat Naga Kecil itu (dan negara lain), melainkan menjadi Naga kelima; yang secara potensial mungkin bukan hanya menjadi Naga Kecil, tapi Naga Besar.
     
MENGIKUTI, ATAU ...
     Untuk menjadi Naga kelima di Asia, agaknya kita tidak dapat hanya sekedar "mengikuti jalan yang mereka rintis" seperti yang diungkapkan Darwanto. Jalan yang mereka rintis, barangkali baik. Tetapi, mengikutinya ?
Memang Indonesia dan keempat Naga tersebut sama-sama  bangsa "Timur";  tetapi,  berbagai perbedaannya pun tidak dapat kita abaikan, antara lain dalam hal budaya nasional masing-masing. Pidato  Prof. Budhi Paramita ketika dikukuhkan menjadi guru besar tetap  Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta pada tanggal 29 November 1986, barangkali dapat dijadikan sebagai salah satu contohnya, terutama ketika beliau mengutip hasil riset Hofstede yang  belakangan ini, selama enam tahun (1973-1978), melakukan riset besar-besaran yang meliputi tidak kurang dari 50 negara, beliau berhasil memperjelas konsep budaya nasional yang dicirikannya  menurut empat dimensi yang dapat diukur menurut skala ordinal, yakni (1) individualistis - berkelompok, (2) jarak kekuasaan tinggi - jarak kekuasaan rendah, (3) penghindaran ketidakpastian yang tinggi - penghindaran ketikpastin yang rendah, dan (4) maskulin - feminin; sehingga dengan mengukur "nilai" keempat dimensi tersebut, dapat  dibandingkan budaya nasional negara yang bersangkutan. Hasilnya ? Tidak saja antarorganisasi Barat dan Timur terdapat perbedaan tajam,  tetapi di antara organisasi Barat atau Timur sendiri juga dijumpai perbedaan-perbedaan. Padahal, menurut Prof. Budhi Paramita, "walaupun budaya sering tidak disadari secara tajam oleh anggota yang memilikinya, tetapi pengaruhya sangat kuat atas pemikiran, sikap, dan perilaku".
Apakah karena "ajaran Konfusius, ... menjadi benang merah yang mengantarkan keempat negara serumpun ini maju secara hampir bersamaan", lantas kita mengikutinya ?
Akrobatis kata-kata. Memang. Namun, saya (bukan ahli akrobat) pikir, kata yang barangkali tepat untuk mengganti kata “mengikuti” adalah “menyesuaikan”, terlepas dari polusi terhadap kata tersebut belakangan ini.
Jepang barangkali merupakan contoh beken dalam hal "penyesuaian". Misalnya, meski manajemen yang digunakan Jepang dalam mengelola perusahaan-perusahaan Jepang semula banyak diambil dari Barat, tetapi -- seperti diungkapkan William G. Ouchi (1981) -- perusahaan-perusahaan Jepang mencerminkan kondisi-kondisi homogenitas, stabilitas, dan kolektivisme, yang jelas berbeda dengan perusahaan-perusahaan Barat yang cenderung  memperlihatkan kekakuan, heterogenitas, mobilitas, dan individualisme yang congkak. Jepang juga menyesuaikan Total Quality Control (TQC) dari Barat menjadi Quality Control Circle (QCC). Kalau  kepustakaan manajeman Barat mengenal teori X dan Y dari McGregor, maka Jepang mengenal  teori Z dari William G.Ouchi. Dalam kaitan   ini, barangkali Indonesia mempunyai teori manajemen setara teori X, Y, dan Z ini; hanya saja, sampi saat ini belum muncul ke permukaan dengan tegas. Dan, itulah yang antara lain menjadi tugas cendekiawan kita;  bukan asal mengikuti manajemen orang lain, tetapi menggalinya  dari tatanan budaya kita sendiri.
Demikian pula, kalau ajaran Konfusius yang menurut Darwanto merupakan "benang merah", dan seterusnya, barangkali dalam hal Indonesia akan lebih afdol kesesuaiannya kalau didekati dari ajaran  yang banyak dipahami orang Indonesia. Kalau  Jepang juga mau  dijadikan contoh, barangkali ada baiknya juga. Sebab, Konfusiusisme yang mempengaruhi ciri-ciri dan struktur kekuasaan di Jepang juga diterapkan dalam struktur dan ciri-ciri manajemen Jepang (Prisma nomor 5, Mei 1983). Dalam hal ini, ungkapan yang hampir sama dengan ajaran Konfusius tersebut juga dapat kita gali dari ajaran-ajaran misalnya Islam, seperti pernah diungkapkan Dr. Nurcholis Madjid tahun yang lalu.
Dan, memang, selama ini pun agaknya penyesuaian itulah yang ditempuh pemerintah kita terhadap budaya luar yang tidak bertentangan dengan budaya kita (yang bertentangan jelas ditolak). Contoh mutakhir tentang hal ini adalah waitankung dan tai-chi. Senam dari China dan Korea yang mulai banyak digemari di Indonesia ini bukan hanya harus ganti  nama, tapi  juga falsafahnya harus disesuaikan dengan budaya Indonesia, seperti petunjuk kepala negara kepada Menmuda Abdul Gafur belum lama ini. Juga ternyata, bahwa senam sejenis waitankung dan tai-chi ada juga di Indonesia. Bahkan  katanya, lebih hebat lagi , yakni perkumpulan Sin Lam Ba (Saudara Lahir Bathin), di Depok, Jawa Barat (Mingguan "Bola", 30 Jauari 1987).

MENJADI NAGA KELIMA
Upaya pencarian sang Naga Kelima agaknya bukan merupakan khayalan atau karena terkait dengan riwayat leluhur, melainkan karena alasan yang realistis: kita punya potensi besar seperti ditunjukkan sebagai modal dasar pembangunan dalam GBHN dan cita-cita untuk menjadi negara yang selain mensejahterakan penduduk Indonesia juga ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia seperti kita simak dari UUD'45.


Artikel ini dimuat JAWA POS, Rabu WAGE, 11 Februari 1987.

CATATAN:
Jawa Pos hanya menyajikan artikel ini sampai di sini, dan tidak melanjutkan naskah asli dari saya yang menguraikan soal “tinggal landas” dan “koperasi” sebagai upaya menuju Indonesia sebagai Naga Kelima di Asia. (Waktu itu, saya kira tulisan ini akan bersambung esok harinya, tapi ternyata “menggantung” sampai di situ). Sayang sekali, naskah aslinya sampai sekarang belum saya temukan.

Selasa, 28 April 2015

"PR" Sebuah Peluang Baru



Judul       : Dasar-dasar Ilmu Sosial untuk Public Relations

Penulis    : Djamaludin Ancok, et al.

Penerbit : PT Bina Rena Pariwara, Jakarta, Mei 1992.

Tebal       : 268 halaman.



 
"PR” SEBUAH PELUANG BARU
Oleh Tika Noorjaya

Buku ini semula berjudul Panduan Materi Penunjang Penyuluhan Perpajakan, yang, tentu saja, hanya beredar terbatas di kalangan Direktorat Jenderal Pajak. Namun, seperti dapat kita lihat dari isinya, sebagian besar materi buku ini merupakan ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan public relations. Karena itu, materi buku ini akan  berguna tidak hanya di kalangan Direktorat Jenderal Pajak, tetapi juga  setiap orang yang ingin "... menguasai dan mampu menyusun suatu program pelatihan, menguasai teknik-teknik presentasi, evaluasi hasil pelatihan serta menguasai dasar-dasar psikologi sosial, psikologi belajar, komunikasi dan pemanfaatan media massa ...", seperti dikemukakan Kepala Pusat Penyuluhan Perpajakan dalam Kata Pengantar (hal. 7).
Dengan  materi seperti itu, kiranya tidak mengada-ada kalau buku  ini kemudian dipasarkan untuk khalayak yang lebih luas dengan berganti judul menjadi Dasar-dasar Ilmu Sosial untuk PublicRelations (DISPR).
Digarap oleh para ahli ilmu komunikasi, psikologi dan wartawan  senior, serta dibahas oleh sejumlah pakar yang ikut membidani kelahirannya, DISPR memang tidak menyajikan pembahasan yang  mendalam tentang public relations (PR), melainkan sebuah pengantar untuk memasuki dunia PR yang tidak saja mensyaratkan bakat tapi juga bisa "dipelajari". 

Masih Baru
Di Indonesia, padanan untuk public relations adalah hubungan masyarakat ("humas"), sekalipun padanan ini mengundang keberatan banyak orang, karena cenderung berkonotasi dengan pemerintahan resmi. Atau, bahkan orang menilai bahwa akronim "humas" hanya menyangkut sebagian kecil saja dari pengertian public relations.
Belum ditemukannya padanan yang tepat untuk istilah public relations (PR), kiranya juga berkaitan dengan perkembangan dan usia ilmu ini di Indonesia, yang relatif masih baru, yaitu sekitar tahun 1970-an. Karena itu, tidak mengherankan kalau beberapa waktu berselang, di Indonesia, hanya eksekutif tertentu saja yang memahami arti penting profesi ini.
Di Amerika Serikat saja, seperti kata Robert J. Wood dan Max Gunther, sebelum meledaknya profesi ini sekitar akhir 1970-an, PR agaknya masih misterius bagi banyak orang -- termasuk bagi Chief Executive Officer (CEO) beberapa perusahaan dengan staf PR yang banyak. Namun sekarang, eksekutif perusahaan agaknya lebih menyadari pentingnya komunikasi yang efektif dengan publik yang bermacam-ragam. Sekarang ini, perusahaan besar cenderung untuk mempekerjakan  pegawai  PR dari perusahaan luar -- dan bukannya memelihara sekian banyak staf PR di dalam perusahaannya sendiri.
Di Indonesia, belum ada data resmi berapa banyak orang yang menekuni profesi ini, dan berapa banyak orang yang mau menanamkan uangnya dalam perusahaan PR, meskipun beberapa perusahaan tampaknya telah mulai mengemuka. Namun, dengan makin meningkatnya pemahaman manajemen akan pentingnya PR, maka profesi ini dapat diandalkan sebagai ladang kerja baru – yang kalau melihat perkembangannya di luar negeri, tak pelak lagi akan  menjanjikan pendapatan yang menggiurkan.

Ladang Kerja
Orang-orang PR adalah spesialis di bidang informasi yang berusaha mencari ungkapan baik bagi kliennya, produk atau gagasan;  serta memberikan konsultasi kepada kliennya tentang bagaimana memelihara hubungan yang baik dengan publik.
Seperti dikatakan Ross dan Kathryn Petras, ada lima tugas pokok PR -- yang sekaligus dapat dijadikan ladang kerja. Pertama, Hubungan Kekaryaan (Employee Relations): orang PR bertugas membuat karyawan perusahaan klien menjadi senang dan betah bekerja. Kedua, Hubungan Kemasyarakatan (Community Relations): agen PR melakukan kegiatan yang di dalamnya melibatkan orang-orang di luar perusahaan, misalnya melalui kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kepentingan publik.
Ketiga, Hubungan Kepelangganan (Customer Relations), yang betul-betul merupakan tugas PR, dengan meneliti kecenderungan (trend) pelanggan. Dalam fungsi keempat,  yakni Penjualan dan Pemasaran (Sales and Marketing), agen PR melakukan pemasaran dengan cara mempublikasikan produk. Akhirnya, kelima, PR Keuangan (Financial Public Relations), yang merupakan bagian terpenting dari tugas PR. PR Wall Street, misalnya, bertugas menyusun laporan tahunan, triwulanan, menyelenggarakan rapat umum pemegang saham dan sebagainya.
Kalau demikian banyak yang bisa dilakukan, apa saja syarat-syarat untuk menjadi orang PR ? Ternyata, berbeda-beda. Di Carl Byoir,  misalnya, anda tidak perlu memiliki latar belakang PR, asalkan anda adalah tipe orang yang tepat. Sekalipun baru lulus dari sekolah, cerdas, bekerja cepat, bergairah belajar, dan mempunyai ego untuk berpikir baik tentang dirinya. Persyaratan lainnya, bisa bekerja tanpa disuruh-suruh, energetik, pemikir logis, dengan kemampuan menulis yang prima.
Jadi, PR tidak sekadar bicara. PR perlu kerja keras. Kegigihan  adalah kunci bagi seorang PR yang ingin berhasil. Kerja keras dan kegigihan adalah contoh dari agen-agen PR yang berhasil, seperti ditunjukan oleh Burson Marsteller, Carl  Byoir,  dan Hill & Konwlton.

Memahami Manusia
Dengan persyaratan seperti di atas, tak pelak lagi, menjadi orang  PR perlu memahami manusia. Dan di sinilah arti penting buku ini.
Dalam pembahasan mengenai Komunikasi (Bab II), ditunjukkan bahwa komunikasi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan komunikasi merupakan kebutuhan hakiki bagi kehidupan manusia.  Komunikasi mempengaruhi seluruh hidup manusia, di mana kerangka acuan untuk membentuk pendapat, menentukan sikap, dan memutuskan tindakan, sebagian terbesar didapat dari informasi melalui komunikasi.
Petugas PR adalah komunikator yang bertugas mengubah acuan dan sikap hidup masyarakat agar menyadari isi pesan yang ingin disampaikannya. Ia harus menguasai teknik-teknik komunikasi instruksional dan komunikasi persuasif. Ia juga perlu menguasai berbagai pengetahuan yang mendukung, seperti pemahaman tentang proses pembentukan pendapat, proses belajar, keterampilan menyampaikan presentasi, dan teknik menumbuhkan motivasi.    
Komunikasi massa dapat dilakukan melalui media yang dikembangkan untuk maksud itu, yaitu media komunikasi massa atau media massa. Untuk itu perlu diketahui tahap-tahap proses komunikasi efektif, karakteristik masing-masing jenis media massa, dan pola kerja media massa (Bab III).
Selain berkomunikasi dengan massa, dan memanfaatkan media massa, petugas PR juga melakukan hubungan pribadi atau hubungan interpersonal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan hubungan interpersonal antara lain adalah bagaimana persepsi dilakukan dan kemampuan menampilkan diri supaya menarik. Selain itu, harus dipegang prinsip saling memberi dan menerima (equity). Kemampuan berkomunikasi dan menyelesaikan konflik adalah perangkat lain yang harus dikuasai agar hubungan interpersonal dapat  berjalan dengan baik (Bab IV).
Untuk memahami seluk beluk dan penyebab perilaku individu di dalam situasi  sosial, Bab V secara khusus membahas Psikologi Sosial. Perilaku dalam situasi sosial yang dikaji antara lain bagaimana terjadinya rasa senang terhadap orang  lain; konflik, kompetisi, dan kerjasama antarindividu; perilaku kekerasan; serta bagaimana individu mempengaruhi dan terpengaruh oleh orang lain.

Belajar dan Mengajar
Mempelajari dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar adalah hal yang sangat penting bagi PR. Keberhasilan  menyampaikan informasi baru kepada hadirin, sangat ditentukan oleh pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar (Bab VI).
Petugas PR sebagai komunikator tidak terhindarkan untuk memberikan presentasi atau ceramah di depan umum. Dalam hal ini, masalah yang seringkali dihadapi adalah kepercayaan diri yang rendah atau berlebihan. Agar dapat membawakan presentasi secara baik, haruslah dikuasai teknik-teknik komunikasi yang dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi. Sebelum membawakan presentasi, perlu diketahui karakteristik para calon hadirin. Teknik presentasi ini secara luas dibahas dalam Bab VII, yang menyangkut persiapan presentasi, penyusunan presentasi, serta penyampaian presentasi.
Bagaimanapun, petugas PR suatu saat akan dihadapkan pada keperluan untuk menyelenggarakan pelatihan, yang programnya harus ditata secara cermat, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Namun, kegiatan pelatihan itu hanya dapat berdaya guna dan berhasil guna, kalau dirancang dan dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini dibahas dalam Bab IX.  
Pada setiap program pelatihan, kegiatan evaluasi diperlukan untuk  mengetahui apakah tujuan pelatihan yaitu peningkatan pengetahuan  (knowledge),  ketrampilan (skill), dan sikap kerja (attitude) tercapai. Evaluasi dapat dilakukan sebelum, selama, dan sesudah pelatihan dilakukan. Oleh karena itu kriteria evaluasi itu disusun dari penjabaran tujuan pelatihan (Bab X).

Penutup
Kalau kita merasakan kejanggalan karena dalam buku ini ada bab yang membicarakan aspek-aspek yang terkait dengan perpajakan (Bab VII), kiranya hal itu bisa kita maklumi dari latar belakang penyusunan buku ini yang semula dimaksudkan sebagai penunjang penyuluhan perpajakan.
Akhirnya, karena buku ini hanya merupakan "dasar-dasar", maka bagi  mereka yang ingin lebih mendalami public relations, perlu mempelajari buku-buku rujukan yang khusus mendalami masing-masing bidang. Daftar Bahan Bacaan dalam buku ini sedikit-banyak ikut membantu menemukan beberapa buku rujukan dimaksud. (TIKA NOORJAYA)

 


Resensi Buku ini dimuat SUARA KARYA, 9 Oktober 1992.