Rabu, 06 April 2016

Candi Mendut



Candi Mendut

Candi Mendut berlokasi tak jauh dari Candi Borobudur, barangkali sekitar tiga kilometeran. Kalau tak tergesa-gesa, wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur, pastilah menyempatkan datang ke sini. Tepatnya Candi Mendut berada di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar 38 km ke arah barat laut dari Yogyakarta. Tak sampai sejam, kita sudah bisa menikmati wisata sejarah eksistensi agama Budha di negeri tercinta.



J.G. de Casparis menduga bahwa Candi Mendut dibangun oleh raja pertama dari wangsa Syailendra pada tahun 824 M. Diperkirakan usia Candi Mendut lebih tua daripada usia Candi Borobudhur.


Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1836. Pada tahun 1897-1904, pemerintah Hindia Belanda melakukan pemugaran yang pertama. Kaki dan tubuh candi telah berhasil direkonstruksi. Pada tahun 1908, Van Erp memimpin rekonstruksi dan pemugaran kembali Candi Mendut, yaitu dengan menyempurnakan bentuk atap, memasang kembali stupa-stupa dan memperbaiki sebagian puncak atap. Pemugaran sempat terhenti karena ketidaktersediaan dana, namun dilanjutkan kembali pada tahun 1925.

Denah dasar Candi Mendut berbentuk segi empat. Tinggi bangunan seluruhnya 26,40 m. Tubuh candi Buddha ini berdiri di atas batu setinggi sekitar 2 m. Dinding kaki candi dihiasi dengan 31 buah panel yang memuat berbagai relief cerita, pahatan bunga dan sulur-suluran yang indah. Di ruangan yang cukup luas dalam tubuh Candi Mendut terdapat tiga buah Arca Buddha.



Di sudut selatan, di halaman samping Candi Mendut, terdapat batu-batu reruntuhan yang sedang diidentifikasi dan dicoba untuk direkonstruksi.


Candi Prambanan



CANDI PRAMBANAN


Seperti terbaca dalam legenda, kisah Bandung Bandawasa mirip dengan kisah Sangkuriang, yang gagal mempersunting sang putri jelita idaman. Akal-akalan kedua putri untuk menghindar dari pinangan juga sama, yakni membunyikan lesung yang mengundang kokok ayam sebagai penanda siang, sehingga batalah seluruh perjanjian untuk menuju pelaminan. Kalau kisah Sangkuriang memunculkan Legenda Gunung Tangkuban Parahu, kisah Roro Jonggrang menghadirkan Legenda Candi Prambanan. 




Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia. Belum dapat dipastikan kapan candi ini dibangun, namun kuat dugaan bahwa Candi Prambanan dibangun sekitar medio abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya. 

Setelah melalui pemugaran dalam rentang waktu yang panjang, sekarang Candi Prambanan terlihat anggun. Di depan komplek candi, dibangun panggung pentas Sendratari Ramayana dan Taman Wisata Prambanan yang dapat mempercantik wajah komplek Prambanan. Tahun 1998, saya pernah menyaksikan sendratari tersebut dalam lakon “Hanoman Obong”. Sungguh suatu atraksi seni tari yang penuh sensasi, karena pertunjukan dilangsungkan di bawah taburan sinar purnama, saat rembulan bulat penuh seluruh.


Dihitung dari pusat kota budaya Yogyakarta, Candi Prambanan terletak kurang lebih 17 km ke arah timur, tepatnya di Desa Prambanan Kecamatan Bokoharjo. Lokasinya sekitar 100 m dari jalan raya Yogya-Solo, sehingga tak sulit untuk menemukannya. Kawasan wisata yang yang terletak pada ketinggian 154 m dpl ini sebagian termasuk wilayah Kabupaten Sleman, dan sebagian lagi masuk dalam wilayah Kabupaten Klaten.

Selasa, 05 April 2016

Candi Borobudur, 1994-2016




BOROBUDUR, 1994-2016

Borobudur, jelaslah merupakan kebanggaan bangsa Indonesia. Sudah sejak sekolah dasar, saya mendapatkan pengetahuan tentang keberadaan candi ini yang disebut-sebut sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Borobudur, dimuat dalam pelajaran Sejarah, atau lebih luas disebut Ilmu Pengetahuan Umum, ketika itu.

Alhamdulillah, dua kali saya berkunjung ke candi ini. Pertama, tahun 1994, merupakan bagian dari perjalanan liburan dalam rangka Idul Fitri, menempuh perjlanan dari Malang pulang kampung ke Pangalengan, Bandung Selatan. Saat itu, kemegahan Borobudur sudah tampak, tapi pengelolaannya masih amat sederhana. Meskipun demikian, sudah tampak pula bahwa candi agung ini dapat menebarkan kemaslahatan bagi penduduk sekitar yang berdagang cindra mata, makanan, minuman, bahkan foto langsung jadi, sekaligus menawarkan sebagai pemandu wisata. Lokasi parkir dan pasar cindra mata amatlah dekat dengan lokasi candi, dapat dijangkau dengan jalan kaki begitu saja. Saat itu kebetulan keluarga saya bertemu dengan teman lama suami-istri Iyus Yusuf dan Lia, beserta keluarganya.

Kini, 22 tahun kemudian, rupanya Borobudur sudah banyak berubah, terutama di bagian luar dengan cara pengelolaan yang profesional pula, ... dan karenanya pengunjung harus merogoh kantong lebih dalam. Perjalanan pun menjadi lebih jauh dari pintu gerbang pembelian karcis hingga ke lokasi candi, sehingga disediakan andong bermesin dengan beberapa gerbong penumpang. Demikian pula, para penjaja jasa, penjual makanan dan cindra mata, kini sudah dilokalisasi dengan tertib, yang dapat dipastikan harus dilewati pengunjung karena jalurnya memang sudah diatur sedemikian. Yang mengherankan, harga-harga barang yang dijajakan sepertinya semakin murah menjelang keluar areal pasar. Jelasnya, begitu mau pulang, kita harus pandai-pandai menawar belanjaan, atau tunggulah belanja hingga menjelang keluar dari areal pasar. Secara umum, barang-barang yang ditawarkan tersebut relatif murah. Selain itu juga disediakan tontonan visualisasi Borobudur di Gedung Informasi; -- sayangnya pada waktu saya berkunjung tak sempat menikmati sajian tersebut.

Dengan perjalanan wisata di hari kerja, suasana jalan tidak terlalu ramai, sehingga saya dapat menjangkau Borobudur tak sampai sejam dari pusat kota Yogyakarta, dengan menggunakan kendaraan roda empat. Sayang sekali, dengan waktu yang sempit, serta terhalang cuaca mendung dan hujan, maka perjalanan seharian itu hanya bisa mengunjungi Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Prambanan. Keinginan untuk berkunjung ke Candi Ratu Boko, tampaknya harus diendapkan sebagai “hanca” untuk perjalanan kemudian.

Suatu hal yang merupakan pengetahuan “baru” bagi saya, adalah penjelasan dari petugas Museum, bahwa konstruksi Candi Borobudur ternyata dibentuk dengan menggunakan “kunci” yang berbeda untuk setiap tingkatan. Masih-masing bagian konstruksi tidak direkat dengan semen misalnya, melainkan “kunci” tersebut. Bentuk dan model “kunci” tersebut macam-macam. Sebagai contoh, ditunjukkan pada saya, bahwa untuk bisa membuka bagian bawah candi, terlebih dahulu harus membuka bagian yang lebih atas, karena sang “kunci” terdapat di bagian itu (di bagian atas); ... demikian seterusnya. Teknologi yang luar biasa untuk ukuran masa itu.

Candi Borobudur berada di Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, sekitar 15 km arah selatan kota Magelang. Candi ini berada di dataran berbukit yang hampir seluruhnya dikelilingi oleh gunung. Di baratnya ada Gunung Merbabu, sedangkan Gunung Merapi itu letaknya tepat di selatannya persis Gunung Merbabu. Tepat di Selatan agak ke Barat sedikit ada komplek pegunungan Menoreh dengan salah satu puncak tertingginya adalah Suroloyo. Juga sama halnya dengan Sumbing dan Sindoro, rupanya gunung serupa namun tak sama ini letaknya berjejer. kalau kita lewat arah Temanggung ke Wonosobo maka kita akan disuguhi pemandangan di kanan dan kiri jalan masing-masing berupa gunung, dan itulah Si Ndoro dan Mas Sumbing. dan letak jalur tersebut adalah di utara arah Barat Candi Borobudur.

Sir Thomas Stamford Rafless adalah orang pertama yang menemukan puing-puing bebatuan tua dalam jumlah banyak di sekitar wilayah Magelang. Gubernur Jendral Inggris inilah yang memimpin Indonesia pada masa peralihan penjajahan dari Belanda ke Inggris tahun 1811-1816. Dialah orang pertama yang menguak asal-usul Candi Borobudur yang awalnya tertimbun tanah.

Rafless kemudian memerintahkan anak buahnya untuk meneruskan pekerjaannya, tetapi karena kesibukan perang maka pekerjaan ini akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1835, proses pengangkatan Candi dilanjutkan oleh Hartman, Gubernur Jendral Belanda. Ia mengerahkan banyak pekerja untuk membongkar dan menghilangkan semua penghalang yang menutupi tumpukan bebatuan di sana. Ia mengusahakan pembersihan menyeluruh dari puing-puing yang mengotori candi. Namun demikian, saat itu Candi Borobudur belumlah berbentuk sempurna. Banyak bagian yang gompel, hilang, dan rusak karena ditelan zaman.

Pada tahun 1907-1911, di bawah pimpinan Van Erf, Belanda mulai melakukan pemugaran yang memang belum sempurna. Pemugaran dilakukan dengan teknologi konvensional, sehingga reliefnya belum terbentuk seperti aslinya. Pemugaran Candi Borobudur ini hanya sebatas menghindari kerusakan-kerusakan lebih lanjut dengan memindahkan batuan-batuan yang rentan runtuh. Dia berjasa bagi bangsa Indonesia karena menyelamatkan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia dari kerusakan yang lebih parah.

Dalam suasana negara yang diliputi dengan peperangan dan perjuangan kemerdekaan,  tak banyak upaya pemugaran yang berarti. Seiring berjalannya waktu, saat kondisi negara mulai membaik, pada 10 Agustus 1973 dilakukan pemugaran di masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemugaran dipimpin oleh Dr. Soekmono dibantu oleh sekitar 600 pekerja muda lulusan SMA dan STM bangunan yang sebelumnya sudah diberikan pendidikan dan keterampilan khusus tentang bidang Chemika Arkeologi (CA) dan Teknologi Arkeologi (TA). Mereka asli putra-putri Indonesiai, tak satu pun tenaga ahli dari luar negeri. Pemugaran diselesaikan pada 23 Februari 1983.

Saat Ini Candi Borobudur setiap tahunnya dikunjungi oleh lebih dari empat juta wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Borobudur jelaslah aset bangsa yang membuat bangga.

Bogor, 5 Maret 2016

Sabtu, 02 April 2016

Reorientasi PKBL-BUMN






Reorientasi PKBL-BUMN
Oleh Tika Noorjaya

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 3 Juli 2015 menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor PER-09/MBU/07/2015, tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN (PKBL-BUMN). Permen ini merupakan revisi dari peraturan-peraturan sebelumnya. Permen yang terakhir intinya menegaskan kembali bahwa program PKBL dikelola oleh BUMN yang bersangkutan, melalui Unit Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Tanpa upaya khusus untuk melakukan pengelolaannya, kita kuatir kebijakan tersebut akan mengulang masa lalu yang diwarnai dengan tingginya kredit bermasalah atau Non-Performing Loans (NPL).

Menyadari tingginya NPL yang terus berlanjut, pada era Menteri BUMN Dahlan Iskan, telah ada upaya untuk secara bertahap mengalihkan semua pengelolaan dana PKBL-BUMN kepada PT Permodalan Nasional Madani (PT PNM). Namun demikian, rencana pengalihan ini mangkrak sejak pergantian pemerintahan, hingga muncul Permen BUMN yang arah kebijakannya bertolakbelakang.

Adagium “ganti menteri, ganti kebijakan” tampaknya memperoleh pembenaran.

Tulisan ini mencoba menganalisis suatu kebutuhan untuk melakukan reorientasi dalam pengalokasian dana PKBL-BUMN.

Kredit Bermasalah
Tingginya NPL dalam penyaluran dana PKBL-BUMN selama ini bukan rahasia. Seperti dikatakan Dahlan Iskan saat menjadi Menteri BUMN, terdapat kelemahan dalam penyaluran PKBL BUMN, yang tercermin dari tingkat kegagalan pengembalian dana hingga 30% dari total alokasi. Pernyataan itu kiranya perlu mendapat stabilo merah, bahwa untuk sejumlah BUMN angka 30% itu boleh jadi jauh terlampaui. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa penyaluran PKBL-BUMN pada 2007-2013 telah mengurangi hak negara atas kekayaan BUMN minimal Rp9,13 triliun. BPK juga menyimpulan bahwa dana PKBL pada kurun tersebut memiliki risiko penyalahgunaan yang cukup tinggi karena pengelolaan dan pelaporan yang terpisah dari Laporan Keuangan  BUMN.

Penyebab NPL tinggi sesungguhnya sudah dapat diduga sejak semula. Pertama, keterbatasan kapasitas unit pengelola Program Kemitraan, yang umumnya tidak memiliki kemampuan untuk mengelola kredit. Kedua, adanya moral hazzard di pihak pemberi maupun penerima, karena berangkat dari persepsi sebagai program sosial. Ketiga, keragaman jenis usaha para mitra binaan, yang masing-masing memerlukan keahlian khusus. Keempat, kesulitan menjangkau lokasi karena usaha mikro dan usaha kecil yang ingin dibantu terpencar di tempat terpencil.

Gagasan Dahlan Iskan untuk mengalihkan pengelolaan dana PKBL-BUMN ke PT PNM sesungguhnya sejalan dengan keinginan sejumlah pihak di masa lalu untuk menjadikan PT PNM sebagai second-tier bank dalam pengembangan UMKM, seperti yang pernah dilaksanakan oleh Bank Indonesia di masa lalu. Lembaga ini menghimpun dana untuk disalurkan kepada perbankan dan lembaga keuangan bukan bank yang memberikan pembiayaan kepada UMKM, tetapi tidak langsung menyalurkannya kepada UMKM. Seandainya BUMN dikelompokkan menjadi BUMN Perbankan dan BUMN Non-Perbankan, maka dana PKBL-BUMN Non-Perbankan diprioritaskan sebagai sumber modal untuk pendirian second-tier bank dimaksud.

Pilihan ini akan bermanfaat tidak hanya dalam aspek akuntabilitas dana pembinaan yang disalurkan kepada UMKM, tetapi jauh lebih penting bahwa penyaluran dana kepada UMKM dilakukan melalui lembaga yang mempunyai pengalaman, jaringan kantor, sumberdaya manusia, yang lebih baik daripada BUMN.

Reorientasi Baru
Reorientasi pemanfaatan dana PKBL-BUMN mengacu pada optimalisasi pemanfaatan dana dengan melakukan rasionalisasi dalam pengelolaannya.

Program Bina Lingkungan, tetap dilanjutkan oleh BUMN yang bersangkutan. Sebagai bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR), layaklah kalau mereka menentukan pihak mana yang mendapat bantuan alokasi dana Bina Lingkungan, sesuai Pasal 9 butir (3) Permen BUMN. Sebagai hibah, dana ini dipertanggungjawabkan dalam bentuk ketepatan sasaran dan efektivitas penggunaannya.

Untuk Program Kemitraan, sebaiknya mengacu pada makna kemitraan yang ada keterkaitan bisnis dengan usaha BUMN, sehingga antara BUMN dengan mitra binaan memperoleh kemaslahatan bersama yang saling mendukung. BUMN Perkebunan, misalnya, bermitra dengan Koperasi Perkebunan, yang disiapkan untuk terlibat dalam proses produksi sejak hulu hingga hilir. Dengan pola kemitraan semacam itu, maka akan tercapai efisiensi, kontinuitas, penanganan risiko, manfaat sosial, dan ketahanan ekonomi.

Unsur kemitraan diawali dengan sosialisasi gagasan kepada pihak terkait, program pendampingan yang profesional dan kontinu, pembentukan kelompok usaha yang solid, administrasi yang transparan, pengaturan penggunaan dan penyaluran kredit yang baik, pola pengembalian kredit disesuaikan dengan arus kas, serta merintis simpan-pinjam dan mobilisasi tabungan. Pola kerjasamanya dituangkan ke dalam Nota Kesepakatan yang jelas, transparan, dan dalam bentuk tertulis.

Dengan melihat berbagai manfaat program kemitraan, BUMN sebaiknya bermitra dengan lembaga khusus, yang menyiapkan program kemitraan untuk dipromosikan ke BUMN-nya, melakukan pembinaan secara intens untuk meningkatkan kapasitas manajemen dan usaha UMKM (termasuk koperasi), hingga monitoring kreditnya. Selain aspek teknis dan pengembangan masyarakat, peranan lembaga dimaksud adalah melakukan koordinasi dengan para pihak untuk melaksanakan kegiatan dengan target dan batas waktu yang tegas.

Untuk semua peranannya, lembaga tersebut berhak memperoleh imbalan. Biaya-biaya pada tahap awal seyogianya disediakan oleh BUMN, melalui Beban Operasional seperti dimaksud Pasal 13, yang tidak bertentangan dengan Pasal 14 Permen BUMN di atas. Biaya lainnya, dapat dibebankan kepada mitra binaan sebandiing dengan manfaat yang diperolehnya.

Penutup
Melalui upaya ini diharapkan akan memperbaiki kinerja Direksi dan Komisaris BUMN, karena kinerja Program Kemitraan merupakan salah satu Indikator Kinerja Kunci (Pasal 25). 

Kinerja pertama adalah tingkat efektivitas, yakni persentase total penyaluran dana Program Kemitraan dibandingkan dengan dana yang tersedia dalam periode setahun. Untuk mencapai nilai baik, setiap tahun BUMN minimal harus mencapai nilai 90%. Ukuran kinerja kedua adalah kolektabilitas, yaitu persentase rata-rata tertimbang untuk masing-masing kategori piutang dibandingkan dengan total piutang. Suatu BUMN harus mendapatkan persentase minimal 80% untuk mendapatkan nilai baik.

Kedua kinerja tersebut kiranya dapat mengakomodasi harapan untuk bisa melakukan penyaluran dana PKBL-BUMN semaksimal mungkin dengan tingkat pengembalian yang tinggi.

Tika Noorjaya, adalah Sekretaris Jenderal Pusat Pengembangan Usaha Kecil (PPUK) Bakti Persada, tinggal di Bogor.

Artikel ini dimuat oleh Majalah KARSA Vol. 05.03.2016