Jumat, 29 Desember 2017

MADURA: Garam Asin, Bisakah Berbuah Manis?


Mengamati ribut-ribut soal kelangkaan garam belakangan ini, saya jadi teringat bahwa 4-5 tahun yang lalu saya pernah terlibat dalam suatu penelitian singkat tentang garam rakyat.
Pada 20 Juli 2012 saya berkunjung ke Sampang, Madura, untuk melihat peta permasalahan garam serta melihat langsung bagaimana proses produksinya di lapangan. Hasilnya? Seperti sekarang, saat itu ditengarai ada upaya untuk conditioning impor garam dengan menghembuskan isu kelangkaan garam. Petani garamnya sendiri tak kunjung menerima hasil yang layak atas kerja kerasnya.
Tahap berikutnya, melakukan uji coba aplikasi teknologi tepat guna Garam Solusi (Ramsol) di Cirebon (Maret 2013). Teknologi ini dapat meningkatkan produktivitas sekitar 80%, dari 100 ton/ha menjadi 180 ton/ha didukung teknologi Geomembrant yang dapat meningkatkan kualitas garam (lebih putih bersih dan mengkristal keras). Karena itu, hasil analisis usahanya pun sungguh berlipat.


Dengan performa awal seperti itu saya sampai pada kesimpulan optimistis. Begini: "Di masa depan yang dekat, membuat garam cukup di halaman rumah... Teknologi sederhana ... namun bisa jadi solusi konkrit bagi peningkatan pendapatan petani. Tataniaga garam yang temaram, boleh jadi akan terterangi. Semoga!!!" (Lihat link postingan Facebook 20 Maret 2013).
____
Semoga pemanfaatan teknologi Ramsol dan Geomembrant ke depan terus dikembangkan dan diperluas ke wilayah-wilayah produksi yang lain. Melalui teknologi itu, petak-petak garam bahkan bisa dipasang di halaman rumah. Karena terkontrol, boleh jadi masa produksinya juga tidak akan terlalu terkendala oleh musim seperti sekarang ini, sehingga fluktuasi produksi dan harga dapat diatasi.
Tentu saja, selain aspek teknis produksi tersebut, perlu membenahi sistem tataniaganya, agar jerih payah petani garam dapat dihargai selayaknya.
_____
Garam yang asin, siapa tahu suatu ketika akan berbuah manis. Semoga.

OPOSUM

Oposum layang (Petaurus breviceps) adalah sejenis mamalia berkantung asli Indonesia. Berbulu lebat, berwarna coklat keabu-abuan, serta bertubuh mungil (sekitar 12-32 cm dengan panjang ekor 15-48 cm). Bobotnya cuma 4-6 ons, dan terlihat unik dengan kantong yang berada di bagian perut.


Dalam beberapa tahun belakangan ini muncul tren pemeliharaan oposum layang di masyarakat perkotaan. Di pasaran, konon, harganya bisa mencapai Rp3-15 juta/ekor.
Guna melestarikan satwa berkantong asli Indonesia ini, Program Biovillage Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong sedang mengembangkan model budidaya oposum layang ini.

PONTIANAK: Kesultanan Kodriyah



Iniah kesultanan Melayu yang didirikan tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, di daerah muara Sungai Kapuas Pontianak.
Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I), sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran.
Setelah mukim di Pontianak, ia mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
Di ruangan dalam istana ini terkesan magis. Tamu hanya berfoto di depan kursi Sultan, tak bisa mendudukinya seperti di Istana Pagaruyung atau Istana Deli.

KELAPA MULTIGUNA



Di luar puja-puji tentang keindahan gemulai nyiur yang melambai di pinggir pantai, Nyiur atau Kelapa (Cocos mucifera) layak dimahkotai sebagai budidaya multiguna.
Dari sekian banyak tumbuhan yang tersebar di negeri ini, rasanya tidak ada tumbuhan lain selain Kelapa yang setiap komponennya tanpa kecuali dapat dimanfaatkan.
Pucuk daunnya yang disebut janur kuning, dapat digunakan sebagai hiasan atau dekorasi pesta-pesta. Daunnya yang sedikit tua dapat digunakan sebagai pembungkus ketupat yang menambah semaraknya suasana lebaran. Lepas dari daunnya, lidi dapat disusun menjadi sapu atau dipotong menjadi tusuk sate atau tusuk daun.
Ketika pohon telah berbunga, dari batang bunga dapat dideres (dihisap) airnya untuk dimasak menjadi gula jawa, sedangkan dari bunganya sendiri (manggar) dapat diolah menjadi bahan gudeg.
Kelapa muda yang disebut cengkir, dahulu digunakan untuk bahan sesaji dalam upacara adat tertentu. Air kelapa muda? Siapa yang belum pernah merasakan nikmatnya ketika diminum pada siang hari yang panas. Buahnya? Tentu saja, bahkan lebih banyak lagi manfaatnya. Selagi muda, dagingnya dapat dimakan mentah, misalnya sebagai campuran air bersih menjadi air santan sebagai bumbu masak yang lezat. Parutan kelapa dapat juga dibuat serundeng, galendo atau campuran penganan lain. Bahkan, daging buah kelapa tua dapat diolah menjadi minyak kelapa, untuk menggoreng, dan sebagainya. Kalau tidak, dapat juga dikeringkan sebagai kopra, agar tahan lama.
Di luar daging, ada tempurung dan sabut. Tempurung dapat dibuat menjadi alat minum, gayung, bahan hiasan, kancing dan sebagainya, bahkan alat bunyi bagi tarian Minangkabau. Arangnya mempunyai kalori yang tinggi, di samping dapat bertahan lama karena kerasnya. Sabutnya dapat dibuat alat-alat rumah tangga seperti kesed, sapu, tali dan sebagainya.
Batang pohonnya yang panjang dan lurus serta kuat, antara lain dapat digunakan sebagai jembatan atau saluran air.
Kelapa memang multiguna.

AMORPHOPHALLUS TITANUM



Meskipun beraroma busuk, bunga bangkai (Amorphophallus titanum) ini mengharumkan nama Indonesia.
Konon pemberian namanya yang aneh itu disebabkan bentuk bunganya yang mirip kelamin pria.
Bunga ini termasuk langka, bukan hanya karena baunya yang menyengat dan ukurannya yang super besar, tetapi juga masa berkembangnya sangat terbatas. Barusan saya lihat di Kebun Raya Bogor, bunganya sudah tak lagi tegak 100%, sekitar 40%nya sudah merunduk. Padahal, baru kemarin siang dikabarkan mulai mekar. Barangkali besok-lusa cuma tinggal batangnya saja. Konon, kita baru bisa melihatnya lagi 2-3 tahun yang akan datang. Bahkan, di beberapa tempat, konon bunganya baru berulang setiap 7-9 tahun.
Saya sendiri baru kali ini melihatnya, padahal sudah 44 tahun mukim di Bogor dan sudah puluhan kali masuk KRB. Beberapa kali ke Kebun Raya Cibodas pun tak sempat melihatnya. Begitu pula dua kali ke Bengkulu tak juga beruntung melihatnya.
Indonesia memang punya kekayaan flora yang luar biasa.

Srikandi

Heru HS, SRIKANDI, Ecosystem Publishing, Surabaya, November 2017, 144 halaman, ISBN 978-602-1527-44-3.
________


Tak percuma di bawah judul buku (Srikandi) tertulis "Novel wayang spiritual". Halnya, dalam novel singkat ini kita diajak berkelana spiritual menjelajah tragedi kehidupan manusia yang senantiasa berlumuran derita, dosa, amarah, cinta, dan asa. Wacana spiritual itu antara lain (sebagian besar) berupa monolog Srikandi yang tak bisa menerima kehadiran Dewi Manohara, yang merampas cinta Arjuna dari dirinya. (Meskipun Srikandi sendiri "merampas" cinta Sang Donyuan Arjuna dari Dewi Ulupi, Subadra, dan Larasati)
Ya, buku ini mengisahkan perjalanan Dewi Srikandi, sejak berbahagia menapaki lakon sebagai isteri Arjuna, hingga proses perubahan jati dirinya menjadi lelaki ksatriya atas bantuan Begawan Stuna. Peristiwa memalukan yang tentu saja melabrak tradisi, hukum, dan agama, sehingga Arjuna berketetapan hati bahwa Srikandi harus dihukum.
Namun demikian, di akhir kisah Arjuna, sang lelaki langit itu, memaafkan Srikandi berkat bisikan Kresna di menit-menit yang genting menjelang Arjuna melepaskan anak panahnya. Sesungguhnyalah nasehat yang sama juga disampaikan sebelumnya oleh Yudhistira dan Semar kepada Arjuna, namun tak diindahkannya karena kemarahannya yang luar biasa.
______
Tentu saja happy ending, ... cerita selanjutnya berlangsung sesuai skenario para dewa, bahwa di kemudian hari, di medan Kurusetra Srikandilah yang akan mengalahkan kehebatan Bisma di kancah Bharayudha sebagai perwujudan supata Dewi Amba di masa lalu, yang cintanya ditolak oleh Bisma.

In Memoriam: Kang INDRAJANA



Saya merasa amat berdosa sejak pertama jumpa Kang Indra. Awal September 2016, dalam rapat ILUNI SMANDA Bogor yang pertama kali saya ikuti di Jl. Taman Malabar 7, saya langsung “menyerang” kepemimpinanannya sebagai Ketua ILUNI SMANDA Bogor. Dengan terengah-engah, beliau merasa harus menjawab sendiri sejumlah pertanyaan yang saya ajukan. Cukup lama, dan tampaknya cukup menyita emosi dan energinya. Sebelum pulang, saya sempat mohon maaf ... Saya baru tahu belakangan, bahwa Kang Indra mengidap penyakit jantung ... Itulah perasaan berdosa yang hingga kini saya rasakan.
Sejak itu saya merasa harus membuktikan kepada beliau bahwa saya bukan hanya tukang kritik, tapi juga bisa bekerja. Karena itu, saya mulai terlibat dalam kegiatan KSB (Komunitas SMANDA Bogor), dimulai dengan senam irama di Taman Heulang pada 10 Desember 2016, yang dihadiri 80 orang alumni lintas angkatan.
Setelah itu, saya juga menerima tawaran Kang Remmy (Wakil Ketua ILUNI) untuk menjadi Ketua Panitia Gathering. Saya masih ingat pada waktu rapat panitia yang pertama, 2 Januari 2017, saya deklarasikan pada teman-teman KSB bahwa Gathering bukan kegiatan KSB melainkan persiapan untuk menggalang kebersamaan menuju Reuni Akbar ILUNI SMANDA Bogor. Rapat pun sepakat, bahwa tema gathering adalah “Menggalang Persahabatan Lintas Angkatan” menuju Reuni Akbar ILUNI SMANDA Bogor.
Kang Indra sangat mendukung langkah yang saya tempuh, bahkan suatu malam dari Papua New Guinea, Kang Indra mengirim WA dan menelepon saya tentang donasinya untuk mendukung acara Gathering. Saya pun berterima kasih atas dukungannya dan meminta beliau agar dapat hadir dan memberikan sambutan pada waktunya.
Alhamdulillah, pada saatnya beliau dapat menghadiri acara gathering di Grand Parahyangan Estate (GPE) pada 19 Februari 2017 itu. Meski sempat diguyur hujan, acara berlangsung cukup meriah, yang dihadiri sekitar 600 orang alumni, termasuk sejumlah alumni dari luar Bogor dan luar Jawa. Saya lihat beliau amat menikmati kebersamaan dalam nyanyian, senam, dan joget.
Ketika beliau bersama Teh Didit (Sekjen) minta izin akan pulang duluan, saya sengaja menahannya. Saya katakan, bahwa Kang Indra-lah yang harus menyerahkan Grandprize sepeda motor sebagai puncak acara. Beliau berkenan, dan itulah yang kemudian terjadi: Saya yang mengambilkan undian dan Kang Indra yang mengumumkan serta menyerahkan hadiahnya, ...
Menjelang pulang Gathering, Kang Indra memeluk saya sambil berbisik, ...
Pelukan dan bisikan yang sama beliau lakukan pada 4 April 2017, saat saya, Kang Remmy, Teh Didit, dan Kang Iman Haryatna bertemu dalam kegiatan “The Old Man Can Jump”, di suatu cafe dekat GOR Pajajaran. Itulah pertemuan saya yang terakhir, ...
Selamat jalan Kang Indra. Kami merasa sangat kehilangan. Undangan untuk bertemu Kang Indra pada 17 November 2017 rupanya tak kesampaian, karena Tuhan berkehendak lain.
Kang Indra yang baik, saya mohon maaf atas segala salah dan khilaf. Insya Allah Kang Indra mendapat tempat terbaik di alam sana. Aamiin.

Roda Pedati


Kembali terbukti, bahwa hidup bagaikan roda pedati, yang bergerak memutar, kadang ke depan, ada kalanya ke belakang. Suatu ketika berada di atas, kali lain terdampar di bawah.
Para haters kiri yang jadi pecundang pada tahun 2012 dan 2014 hingga kini tetap menjadi pembenci, pendengki dan penebar fitnah yang tak pernah lelah. Nggak move on. Deritanya tampaknya terus menggumpal bagai bola salju yang terus menggelinding entah sampai kapan.
Hari berganti, dan roda pun berputar. Mereka, para haters kiri itu, kini merasakan nikmatnya kemenangan dalam kontestasi di Pilkada DKI, berkat keberhasilan menjual ayat dan menolak mayat melalui demo berjilid-jilid JUTAAN ORANG (katanya) hanya untuk menjebloskan SATU ORANG SAJA yang dipaksakan didakwa sebagai penista agama. Karena baru merasakan kemenangan dan memendam bara yang tertahan hampir tiga tahunan maka kecenderungan euforianya jadi over dosis.
Dan perilaku pun berulang. Seperti pada kasus 2012 dan 2014, euforia kemenangan para haters kiri tersebut segera dibalas pihak haters kanan yang kini sedang jadi pecundang dan merasa dapat giliran untuk marah dan meradang.
Pidato Anies yang kesleo lidah seperti halnya "sang penista agama", segera diserang dengan berbagai cara, termasuk melaporkannya ke polisi. Selain soal (1) "pribumi" dan (2) "ahistoris kolonialisme hanya terjadi di Jakarta" yang konyol itu, kini bahkan hal remeh-temeh pun jadi sasaran olok-olok dan cercaan haters kanan, tak beda dengan kelakuan para haters kiri yang morang-maring paska Pilkada DKI tahun 2012 dan Pilpres tahun 2014.
Ditambah dengan banyolan Sandi yang gagap dalam berucap dan belepotan dalam berbahasa, maka genaplah sudah ketika ada hater yang tega-teganya mengganti sebutan untuk Gubernur jadi Gabener dan Wakil Gubernur jadi Wagabener. Ada-ada saja.
Musim hujan mulai tiba, dan perlahan namun pasti musim banjir pun akan melanda. Mengikuti contoh mada lalu, dapat dipastikan akan banyak canda dan cercaan tentang banjir tersebut, seperti yang dialami penguasa terdahulu.
______
Tanpa kesadaran untuk rekonsiliasi, boleh jadi ke depan negeri ini akan terus berisik. Haters kiri maupun haters kanan saling berbalas dan menghinakan. Keduanya nggak move-on move- on.
Karena itu, saya berharap, semoga fenomena balas-berbalas dendam ini dapat diredam agar tidak terus bergelora dan memaksakan kehendak menjadi demo balasan berjilid-jilid oleh para haters kanan. Selanjutnya biarlah ditangani aparat dan berakhir di pengadilan, tanpa pihak yang berusaha memaksakan kehendak. Kisah kelam akhir 2016 janganlah diulang karena hanya akan menguras energi bangsa, yang pada akhirnya hanya akan melanggengkan ketertinggalan dari negara tetangga yang sudah lebih dulu maju, melaju.
Semoga kutukan keris Empu Gandring dengan balas dendam yang berkepanjangan dapat diakhiri. Derita negeri cukupkan sampai di sini.
Harapan ini kiranya bukan utopia, karena beberapa pentolan ahli fitnah waljamaah sudah ada yang dikandangkan dan buron polisi.
Sebaliknya, untuk haters kanan tak perlu membalas dendam dengan serampangan, apalagi kalau sampai harus berhadapan dengan kepolisian dan pengadilan, karena hanya buang waktu dan menyusahkan keluarga seperti yang sudah dialami beberapa orang haters kiri. Marilah berdamai dengan diri sendiri.
Biduk lalu, kiambang bertaut. Pilkada berlalu, pendukung bersatu.
Semoga.

Kamis, 28 Desember 2017

Perbankan dalam Pusaran MEA dan VUCA

Perbankan dalam Pusaran MEA dan VUCA


Tahun 2020 tak lama lagi akan menjelang, dan masyarakat perbankan akan segera memasuki babak baru pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), di mana industri perbankan akan berintegrasi satu sama lain, khususnya di lingkup ASEAN. Pada saat yang sama, era Neo-Digital berhembus kian kencang, ditandai dengan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity), suatu perubahan yang sangat cepat, penuh ketidakpastian, semakin kompleks, dengan realita perekonomian yang semakin ambigu, tak menentu.
Jelaslah, sumber kerentanan perbankan akan datang dari segala penjuru, termasuk industri financial technology (FinTech) yang berpotensi memantik disrupsi di industri perbankan, perilaku nasabah (yang didominasi Gen Y dan Gen Z) yang akan semakin melek teknologi, serta iklim kompetisi yang amat keras. Di sisi lain, trauma krisis keuangan pada tahun 1998 dan 2008, selama ini telah mendorong Otoritas Keuangan untuk membuat regulasi yang semakin ketat, berlandaskan azas prudensialitas.
Dengan berada dalam tantangan dua pusaran tersebut, maka industri perbankan dituntut untuk dapat memanfaatkan berbagai peluang, sehingga industri ini tetap dapat berperan secara optimal dalam pembangunan nasional.
Dalam kondisi demikian, Krisna Wijaya, penulis buku ini, menyarankan perlunya berpikir secara berbeda. Kebiasaan berpikir secara linear dalam situasi krisis kerap mengecoh, katanya. Harus ada kemauan untuk thinking out of the box, dengan melakukan berbagai simulasi menggunakan data non-linear. Tak heran, kalau digital banking yang selama ini kita anggap sebagai jawaban, baginya justru menjadi sebuah pertanyaan. Penjabaran dari berbagai pemikirannya itu kemudian dituangkan secara ajeg dan telaten dalam Majalah Infobank, yang dalam buku ini dikelompokkan menjadi delapan Bab. Setiap Bab terdiri dari 5-8 artikel, sehingga total menjadi 41 artikel.
Inilah buku yang kaya informasi non-mainstream, untuk membekali para bankir masa depan agar lebih inovatif dan tangguh menghadapi dunia yang terus mengalami perubahan.
________
(KRISNA WIJAYA, Peluang & Tantangan Perbankan, Eko B. Supriyanto (Editor), Penerbit PT Infoarta Pratama, Jakarta, November 2017 (Cetakan I), (xii + 166) halaman. ISBN 978-979-8338-11-3).

Bambu yang Merunduk

BAMBU YANG MERUNDUK, NAMUN BANYAK MANFAAT
Bambu itu merunduk manakala angin bertiup. Semakin kencang angin bertiup, semakin rendah dia merunduk. Namun ia tidak patah, tak juga dia melawan. Ia meredam kebuasan sang angin menjadi ketenangan yang nyaman.


Batangnya tegak menjangkau langit, namun akar serabutnya menjulur kemana saja, untuk merekat dan memperkuat keberadaannya.
Bambu adalah contoh ajaran kebaikan dan kebajikan. Ia akur dalam kelompok, serta merekat persahabatan dan kekerabatan. Ia teguh, tabah dan sabar dalam situasi apa pun. Ia sangat berguna bagi siapa saja.
Beberapa waktu yang lalu saya melihat pameran karya Akademi Bambu Nusantara (ABN) di Jakarta. Saat itu, saya langsung teringat hutan bambu di Kebun Raya Bogor, sambil membayangkan bahwa rumpun bambu semacam di Kebun Raya itu banyak juga terdapat di kampung saya, dan juga bertebaran di seantero Nusantara, yang pernah saya kunjungi.


Ya, banyak sekali jenis bambu yang tumbuh di negeri ini, konon mencapai 159 spesies di antara 1.250 jenis bambu yang terdapat di dunia. Memang Indonesia adalah salah satu wilayah yang menjadi surga bagi jenis tanaman ini, yang di beberapa daerah mempunyai sebutan berbeda seperti buluh, aur, awi, dan eru.
Manfaat Bambu
Menurut Muqodas Syuhada, pendiri ABN, kegunaan pohon bambu lebih banyak dibanding dengan kelapa, misalnya. Bambu bisa dimanfaatkan untuk menjaga kedaulatan sandang, pangan dan papan, serta kedaulatan lingkungan," katanya.
Bambu bermanfaat dalam hal makanan. Misalnya, Lumpia Semarang tak nyaman jika tak dicampur bambu muda alias rebung. Bungkus bacang terbuat dari daun bambu. Lemang juga dibakar dengan menggunakan bambu berlubang. Terkait dengan makanan ini, jangan lupa menyebut sumpit, tusuk sate, dan tusuk gigi. Peralatan dapur pun banyak yang menggunakan bambu, seperti bakul, hihid, boboko.
Bambu juga digunakan untuk membuat jembatan, pagar, saluran air, bahan bangunan tempat tinggal.
Untuk alat musik juga bisa, seperti suling dan karinding. Bambu juga membantu Pak Daeng Sutigna dan Pak Udjo Ngalagena menjadi terkenal ke seantero negara dengan memperkenalkan angklung, arumba dan calung, yang semuanya terbuat dari bambu.
Bambu juga bisa digunakan untuk senjata dan permainan, seperti meriam bambu, galah, rakit/perahu, tongkat. Bambu runcing terkenal zaman kemerdekaan sebagai senjata. Ada juga meriam bambu, yang kalau di kampung saya disebut "lodong". Memang ada juga lodong terbuat dari batang pakis, tetapi susah nyarinya, sedangkan lodong bambu banyak tersedia di sekitar kampung. Lodong-lodong itu sangat digemari waktu bulan ramadhan, dengan gelegarnya yang membuat kami suka cita: anak-anak maupun orang dewasa.
Dari segi lingkungan, kalau tumbuh di tebing, bambu bisa menguatkan untuk menahan longsor, karena akar serabutnya yang bisa menjalar jauh.
Ternyata, yang harus ditiru bukan hanya "ilmu padi", dan “ilmu kelapa”, tapi juga "ilmu bambu".

Pemecah Belah Bangsa

PEMECAH BELAH BANGSA
Oleh Tika Noorjaya

Kelakuan para pemecah belah bangsa itu memang payah. Mereka menggembor-gemborkan bahwa Islam sekarang dipinggirkan, ... pokoknya seburuk-buruknya perlakuan. Padahal, Islam Mayoritas di Indonesia baik-baik saja, bahkan terjadi kemajuan dibanding puluhan tahun yang lalu secara kualitas maupun kuantitas, seperti pernah saya tulis dengan judul “Islam Mayoritas, Islam Minoritas”.

Dalam usia yang menjelang senja ini, kita menyaksikan bahwa dibanding masa lalu, Islam sekarang sudah amat jauh berkembang, termasuk perubahan model pendidikan pesantren yang sudah jauh meninggalkan ciri-ciri tradisionalitas.

Demikian pula fasilitas fisik keagamaan Islam seperti mushala, masjid, pesantren, dll, yang semakin banyak, besar, dan megah. Kemajuan dalam bidang fisik ini saya saksikan sendiri di hampir seluruh pelosok negeri, seluruh Nusantara, termasuk di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Non-Muslim.

Pengajian marak di mana-mana, acara radio, acara TV, WA dibanjiri tausiyah, bahkan demo-demo diakomodasi yang hingga berjilid-jilid itu. Apakah dulu seperti itu? Sebagai pembanding, coba tanya bagaimana derita simpatisan PPP sebagai satu-satunya Partai Islam pada Pemilu 1977, karena diberangus dari 4 partai Islam pada Pemilu 1971. Saya punya saudara dan teman di kampung, yang menjadi saksi hidup atas sikap represif Rezim Orde Baru terhadap Islam waktu itu, karena di kampung saya PPP memperoleh dukungan lumayan besar. Kalau kita buka buku-buku sejarah, maka sikap represif Pemerintah di tahun 1977 itu hanyalah contoh kecil saja.

Dulu, "Assalamualaikum" hanya merupakan pembuka pidato, dan amat sangat terbatas yang berani mengucapkannya dalam perbincangan sehari-hari.

Dulu, kaum wanita hanya kenal kerudung atau pasmina, sedangkan jilbab merupakan barang langka. (Karena itu, tak usaha heran kalau kebanyakan kaum wanita kita di masa lalu tidak memaki jilbab, seperti halnya Ibu Kartini atau Cut Nya Din; -- suatu isu yang pernah muncul seakan Pemerintah tidak pro-Islam dalam penerbitan uang rupiah emisi baru. Tanpa pemahaman sejarah sama sekali, isyu itu mereka umbar begitu hingar-bingar ... sungguh memalukan).

Kemudahan transportasi juga telah memungkinkan jumlah haji dan umrah yang terus meningkat setiap tahun. Dulu ? Haji bisa dihitung dengan jari, bahkan Umroh rasanya kurang dikenal. Hal ini tentu saja merupakan petunjuk juga bahwa banyak umat Islam yang penghidupannya lebih baik, sehingga mereka dapat pergi ke tanah suci, baik untuk berhaji maupun umrah.

Nikmat mana lagi yang tengah diingkari di negara dan era ini? Dari sudut mana Islam dipinggirkan? Yang sebenarnya terjadi, yang merasa dipinggirkan adalah kaum Islam Minoritas yang baru muncul beberapa tahun belakangan, termasuk Ormas semacam HTI yang secara resmi telah dibubarkan karena tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Mereka ini dipimpin oleh segelintir ulama yang memecah belah, bahasanya kasar dan mengghasut, mengkofar-kafirkan orang, memprovokasi, dan secara umum tidak menunjukkan sikap Islami yang rahmatan lil’alamin. Kalau menurut Jenderal Gatot Nurmantyo, mereka adalah “Ulama Palsu.” (Lihat tulisan saya berjudul “Menyiangi Rumput Liar, Menyiangi Ulama Liar”).

Berdasarkan pengalaman di kampung dulu dan dalam pemahaman saya selama ini, ... ulama, ustadz, atau kyai yang kami (saya) teladani senantiasa memberikan kenyamanan dan keteduhan dalam berucap dan berperilaku, suaranya lembut (nyaris tak terdengar seperti iklan Isuzu dulu), tidak menghina dan tidak menghujat ke sana-sini. Kata guru saya (alm) akhlak seseorang itu dapat dilihat dari cara berucap dan bertingkah laku, ... yang sama sekali tak nampak dari perilaku para ulama dimaksud.
___
Mengenai Abdul Somad, jujur saya menyukai ceramahnya dari beberapa video yang pernah saya lihat dan simak. Tampilannya sederhana, tapi isinya bernas, meyakinkan. (Sejauh ini saya tidak merasa punya kapasitas untuk memeriksa apakah hadis-hadis yang disampaikannya sahih atau tidak, karena konon setiap mazhab akan memilih dan memilah hadis-hadis yang cocok dengan pendiriannya). Ditambah dengan humornya yang pas, ceramahnya terasa enak, gayeng.

Meskipun demikian, sebagai anak muda, Somad masih harus banyak belajar rendah hati. Penghinaan fisik terhadap Rina Nose (yang katanya pesek dan buruk rupa) tak layak dibela dengan cara apa pun; demikian pula tentang pengkafiran terhadap Ucapan “Hari Ibu” dan “Hari Natal” yang ngawur itu.

Kenapa? Membandingkan ucapan “Selamat Hari Natal” dengan “Kalimat Syahadat”, sehingga dicap merusak aqidah, adalah logika yang belepotan karena tidak “apple to apple”, suatu standar etika dalam dunia akademis.

Pantasnya, ucapan “Selamat Hari Natal” itu dibandingkan dengan “Selamat Idul Fitri”, “Selamat Idul Adha” atau “Selamat Maulid”. Saya tak keberatan kalau dia bersama Felix Siauw berpendapat bahwa haram mengucapkan “Hari Natal”, tapi tak perlu didramatisir sebagai de-Islamisasi, apalagi dengan mengatasnamakan Islam.

“Natal” secara harfiah berarti “lahir” atau kelahiran. Tentang kelahiran Nabi Isa cukup banyak  ayat AlQuran yang memberitakannya, misalnya ada di Surat Maryam ayat 16-40. Bukan hanya itu, Nabi Isa tak sekadar nabi, beliau juga Rosul seperti halnya Kangjeng Nabi Muhammad SAW. Jadi, mengakui hari kelahirannya adalah sesuai dengan Rukun Iman kita.

Tentang kelahiran yang dibilang bukan 25 Desember, jangankan kelahiran Nabi Isa yang sudah melewati masa ribuan tahun, sedangkan hari kelahiran saya pada akhir 1950an saja amat tak jelas. Orang tua saya yang terbiasa dengan kalender Qomariah menyebutkan bahwa saya lahir 5 Syafar ...  Belakangan, setelah saya konversi ke kalender Syamsiah (Masehi) ternyata harinya nggak cocok, apalagi tanggalnya, ha ha ha. Saya yakin, di masa lalu sebagian besar umat Islam menggunakan kalender Qomariah dalam kehiduan sehari-harinya, bukan kalender Masehi seperti sekarang. Saya juga yakin, di masa lalu hanya sebagian kecil saja masyarakat yang sadar perlunya Akte Kelahiran. Meskipun begitu, ketika di rapor dan ijazah tertulis 19 November, maka saya fine-fine saja ketika teman-teman memberikan ucapan selamat ulang tahun pada tanggal 19 November itu.

OK, meskipun tak logis, anggaplah apa yang di-igaukan Somad dan Siauw itu betul, tapi ... kita ‘pan membaca kalimat syahadat dalam setiap solat kita, berarti pada saat itu kita memperbaiki lagi aqidah kita. So what gitu lho. Ha ha ha.
___
Mengenai Felix Siauw, saya tak ingin komentar banyak, karena sudah jelas dia pendukung HTI, ormas yang sudah jelas-jelas dilarang sebagaimana halnya PKI. Dia berkhayal bahwa penguasa takut akan kebangkitan Islam. Ini konspirasi basi, seperti Aming Bos CAI dalam Sinetron “Dunia Terbalik”, he he he. Kalau pemerintah takut Islam, kenapa Kementerian Agama mendapat porsi besar dalam APBN? Kenapa NU dan Muhammadiyah semakin membesar dari hari ke hari? Kenapa sampai di pelosok desa selalu ada masjid, musholla dan pesantren dibangun?

Jadi, yang sesungguhnya diberantas oleh negara adalah radikalisme dan anti Pancasila, para  "pemberontak" ideologi bangsa dan negara. Mereka para kaum Islam Minoritas, tetapi senantiasa mengatasnamakan Islam Mayoritas.

HANOMAN dalam Wiracarita Ramayana

ZULHAM FAROBI, Hanoman dalam Wiracarita Ramayana, Penerbit Pustaka Jawi, Yogyakarta, November 2017, (viii + 404 halaman). ISBN 978-602-5469-58-9.



Sebagai pengagum tokoh Hanoman, saya amat tergoda untuk menyelesaikan membaca buku ini hanya dalam dua hari karena Hanoman berkisah tentang dirinya sendiri secara memikat dengan menggunakan kata ganti orang pertama: AKU.
Novel ini terasa puitis sejak awal, ketika masa kecil Hanoman yang indah bersama Dewi Anjani, sang ibu, harus berakhir di suatu pagi, saat Hanoman bangun tidur dan sang ibu tak lagi ada di sisinya. Menarik sekali bahwa kenangan tentang sang ibu (dalam bentuk nyanyian dan puisi) berkali-kali mengemuka kala Hanoman menyikapi suatu keadaan, termasuk di penutup kisah. Buku ini memang sangat kental menonjolkan hubungan cinta kasih ibu dan anak.
_____
Meskipun demikian, saya merasa ada hal yang berbeda ketika membaca novel wayang ini dibandingkan dengan wiracarita Ramayana yang selama ini saya ketahui. Secara umum, plot dasar cerita dalam novel ini sama dengan pakem, tetapi ada beberapa rekaan "baru".
Dewi Swayempraba, misalnya, tampil sebagai penolong dalam perjalanan pasukan Kiskenda menuju Alengka (halaman 155-172), bukannya sebagai pihak yang licik dan mencelakakan.
Episode "Rama Tambak" (Jembatan Rama, halaman 267-272) terasa datar, terasa mudah, karena ada pertolongan Dewa Wisnu, sehingga meniadakan berbagai gangguan dari anak-anak dan saudara Rahwana yang selama ini digambarkan amat seram dan membahayakan, sehingga pekerjaan harus diulang berkali-kali. Dalam buku ini, karena tanpa gangguan maka jembatan penyeberang lautan untuk mencapai Alengka itu dapat diselesaikan hanya dalam empat hari.
Hal yang tak diceritakan adalah khasiat daun Latamaosandi (sandilata) dari Gunung Mangliawan untuk menghidupkan kembali Rama, Laksmana, serta prajurit wanara yang mati karena kesaktian aji penyirep dan gigitan ular berbisa panah Nagapasa yang dilepaskan Indrajit.
Demikian juga, tak ada kisah lucu ketika panah Kyai Dangu milik Rama yang menyakiti dan membuntuti Rahwana ke mana pun dia sembunyi. Karena itu, tak ada juga kisah tentang Gunung Sondara-Sondari yang menjepit Rahwana di akhir hidupnya. Kematian Rahwana digambarkan "biasa saja", wajar tanpa penderitaan.
Akhirnya, episode "Sinta Labuh Geni" (Api Dewi Sinta, halaman 381-391) menjelang penghujung kisah berlangsung happy-ending dalam narasi singkat, bukannya penuh dengan pergulatan batin yang intens tentang arti kesetiaan.

Rabu, 18 Oktober 2017

LOMBOK: Pantai Senggigi

Kembali menelusuri Pantai Senggigi adalah suatu nostalgia tentang keindahan panorama pantai, dengan air yang jernih dan bersih, serta semilir angin yang menyegarkan.


Senggigi terletak di sebelah barat pesisir Pulau Lombok, tetapi suasananya serasa berada di Pantai Kuta, Bali. Tak heran kalau wisatawan domestik dan mancanegara banyak lalu lalang di sana.



Pantainya memang menjadi daya tarik dengan pemandangan garis pantainya yang panjang, sehingga tampak indah dipandang dari kejauhan dan ketinggian. Kontur jalannya naik turun antara pantai dan perbukitan yang tak begitu tinggi namun cukup memadai untuk menikmati keindahan pantainya, seperti bisa kita saksikan dari lokasi sekitar Villa Hantu, Pantai Stangi. Demikian pula pemndangan di sekitar Malimbu, yang dapat melihat ke arah tiga pulau terkenal: Gili Trawangah, Gili Mano, dan Gili Air.

 

Sementara dari pantai kita bisa melihat keindahan panorama perbukitan. Sayangnya, cuaca sudah mulai hujan, sehingga beberapa tempat yang indah tak sempat dikunjungi. 

 

Dengan garis pantai yang panjang, Pantai Senggigi menyuguhkan gradasi warna pasir pantai dari hitam hingga putih, meski tak putih-putih amat. Air lautnya jernih dan bersih dengan riak ombak yang kecil. Pantai Senggigi adalah objek wisata menarik bagi orang-orang yang menyukai laut sebagai pilihan destinasi untuk rekreasi. 

Senggigi hanya berjarak sekitar 16 km dari pusat kota Mataram sebagai ibokota Provinsi NTB. Kalau dihitung dari bandara internasional Lombok Praya sekitar 50 km, dengan perjalanan darat yang lancar sekitar satu jam.

Tak pelak, perjalanan ke Senggigi menghadirkan pengalaman wisata pantai yang mengundang rindu untuk mengulangnya.

  

Senggigi 1999 (kiri) dan 2017 (kanan)

LOMBOK: Pulau Seribu Mesjid

Dikenal sebagai "Pulau Seribu Mesjid", nyatanya di Pulau Lombok terdapat sekitar 5.400 mesjid. Dengan luas pulau mencapai 4.725 km2, berarti setiap 0.88 km2 ada satu mesjid. Ini angka rata-rata dari tempat kosong hingga padat penduduk. Karena itu tak mengherankan kalau di perkotaan yang padat penduduk, bisa kita temukan mesjid dalam jarak yang berdekatan.


Hal itu bisa kita saksikan sejak perjalanan dari Bandara Internasional Lombok menuju pusat kota Mataram. Di kiri-kanan jalan, di tepi jalan yang dekat maupun di kejauhan, mesjid demi mesjid berdiri megah dan indah. Umumnya berukuran besar dengan kapasitas tampung yang cukup banyak, konon karena setiap komunitas selalu berkeinginan untuk memperbesar dan mempersolek mesjid. Pembangunan mesjid, konon bisa berlanjut 10-20 tahun.


Tebaran masjid juga bisa tampak jelas kalau kita berada di ketinggian seperti rooftop hotel atau perbukitan. Menara yang menjulang dan kubah yang indah dapat kita saksikan. Di malam hari, mesjid-mesjid itu berwarna-warni gemerlap dalam gelap.


Tercatat ada lima mesjid terindah di Pulau Lombok, yaitu: Mesjid Islamic Center, Mataram; Mesjid Al Akbar, Masbagik, Lombok Timur; Mesjid Kopang, Lombok Tengah; Mesjid Agung Praya, Lombok Tengah; dan Mesjid Jamiq, Selong, Lombok Timur.

Selain itu, ada juga mesjid tertua yang dibangun pada tahun 1600an, yaitu Mesjid Kuno Bayan Beleq, yang terletak di suatu bukit di Kecamatan Bayan, Lombok Utara, sebagai saksi bisu masuknya agama Islam di Pulau Lombok.


Konon pula, untuk melaksanakan sholat Jumat, kadang mesjidnya digilir. Misalnya Jumat ini di kampung A, lalu Jumat berikutnya di masjid sebelahnya. Wallahu'alam.


Minggu, 17 September 2017

Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia,

Erna Maria Lokollo (Editor), Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia, IPB Press, Bogor, Juni 2016 (Cetakan Ke-2); (viii + 302 halaman). ISBN 978-979-493-463-0.


Gonjang-ganjing penggerebegan PT IBU (PT Indo Beras Unggul) belakangan ini telah menjadi perbincangan yang intens di media massa, lengkap dengan pro-kontranya, yang bahkan cenderung emosional, disertai sindir-menyindir dari para pendukungnya.
Itulah implementasi pembangunan pertanian di lapangan, yang tidak semudah kajian akademis. Nyatanya, dari doeloe hingga kini, Indonesia belum bisa beranjak dari persoalan beras. Halnya, dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, maka kebutuhannya telah melampaui 35 juta ton beras per tahun. Tak pelak, beras adalah komoditas yang sangat strategis bahkan politis. Tak heran, peristiwa penggerebegan di atas melibatkan para petinggi dari kementrian, kepolisian, dan beberapa lembaga terkait.

----

Buku ini dapat dijadikan pegangan untuk memetakan permasalahan, sekaligus mencari solusinya. Buku ini mengawali pemaparan dengan landasan teoritis tentang definisi manajemen rantai pasok (Supply Chain Management, SCM), dilanjutkan dengan penerapan konsepnya dalam pembangunan pertanian Indonesia. Secara teknis kemudian menjadi menarik ketika para kontributor membahas delapan studi kasus komoditas, yaitu beras (Dewa K. S. Swastika dan Sumaryanto), kentang (Muchjidin Rachmat, Mardiah Hayati, dan Desi Rahmaniar), cabai merah besar (Saptana), melon dan semangka (Saptana, Adang Agustian, dan Sunarsih), kopi (Reni Kustiari), tembakau (Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti), broiler (Saptana dan Arief Daryanto), serta ternak dan daging sapi (Prajogo U. Hadi). Daerah penelitian pun menyebar di wilayah Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Buku ini juga memberi petunjuk, bahwa komoditas beras memang menjadi prioritas khusus, karena ada satu lagi tambahan studi kasus beras di daerah Aceh (Erna Maria Lokollo, DewaKetut Sadra Swastia, dan Wahida). 
Ternyata, rumus kunci dalam penerapan SCMterletak pada pemenuhan terhadap persyaratannya, yakni: (a) Aktivitas yang dilakukan sepanjang rantai pasok harus menghasilkan nilai tambah, (2) Ada peranan jasa di setiap simpul, (3) Harus ada “penentu” harga, baik apa maupun siapa, (4) Ada hubungan kesepadanan antar-pelaku, (5) Bagaimana “terciptanya” nilai tambah di setiap simpul, dan (6) Harus teridentifikasi penentu dan pengambilan keputusan.
Dalam konteks keberlanjutan pembangunan pertanian, perubahan lingkungan strategis seperti liberalisasi perdangangan, pesatnya pertumbunan pasar modern, dinamika permintaan pasar, dan perubahan preferensi konsumen menuntut adanya perbaikan dalam sistem SCM. Dengan penerapan SCM secara konsisten dan berkesinambungan diharapkan terjadi peningkatan produktivitas, efisiensi usaha, serta efektivitas distribusi, sehingga dapat memenuhi sekaligus memuaskan kebutuhan konsumen.

----

Kembali ke kasus PT IBU, menurut pengalaman saya sangat mungkin pengusaha swasta mengambil rente dari sistem komoditas beras yang sedang berlangsung, karena sebagai entitas bisnis pasti mereka ingin mendapat margin. Ketika saya menjadi Tim Bantuan Tenaga Mahasiswa IPB dalam Satgas Pengadaan Pangan Dalam Negeri pada tahun 198081, pembelian gabah dari petani ditetapkan dengan harga yang berbeda antara penjualan melalui KUD dengan swasta, sehingga terjadi kongkalingkong rente ekonomi dalam bentuk “kerjasama” antara pihak swasta dengan koperasi untuk menikmati rente tersebut bersama-sama.
Karena itu, dalam kasus PT IBU belakangan ini, sebaiknya kasus tersebut dibawa ke meja hijau saja, agar jelas siapa yang bersalah dan di mana letask salahnya. Dalam persidangan di pengadilan nanti, kiranya dapat diperoleh pencerahan bagaimana komoditas yang sangat vital ini seharusnya dikelola. Mungkin Editor dan/atau Kontributor penulis buku ini dapat dihadirkan sebagai Saksi Ahli, dalam pemenuhan persyaratan atau prakondisi manajemen SCM.
Kalaupun sejak awal kita ingin menarik hikmah dari kasus PT IBU, dengan berbekal pengetahuan dari buku in, maka hal itu tertuju terutama ke soal optimalisasi peran Bulog di daerah (Dolog dan Subdolog). Atau, perlu juga dipertimbangkan keberadaan BUMD (Badan Usaha Milik Desa) yang telah berhasil di Kabupaten Kulonprogo. Hal yang juga perlu dikaji adalah efektivitas subsidi di hulu (subsistem usahatani). 

DARI PERGURUAN TINGGI, MEMBANGUN NEGERI


ASEP SAEFUDDIN, Dari Perguruan Tinggi Bangun Negeri, Rajawali Press, Jakarta, Maret 2017, 242 halaman.
ISBN 978-602-425-145-1.

___
Penulis buku ini, Prof Dr. Ir. Asep Saefuddin, adalah anak saintifik Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion. Betapa tidak. Saya mengenal Kang Asep sejak sama-sama kuliah di Insitut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1976. Saya tahu bahwa sejak awal Kang Asep menjadi “anak emas” Pak Andi Hakim, antara lain karena merupakan sedikit dari mahasiswa IPB yang IPK-nya selalu tinggi.



Dari biografi singkat di bagian akhir buku ini (Bagian Delapan, halaman 194-240), segera tampak, bahwa perjalanan hidup, keilmuan dan karir Kang Asep banyak diwarnai dan tak lepas dari peran Pak Andi. Tak heran kalau dua tahun terakhir Kang Asep menjadi anggota Tim Pengusul Pemberian nama Jl. Prof. Dr. H. Andi Hakim Nasoetion, -- jalan menuju Kampus IPB Baranangsiang yang dulu disebut Jl. Rumah Sakit II.

Sekalipun berbeda latar belakang antara Batak dan Sunda, ada kesamaan antara Pak Andi dengan Kang Asep: Keduanya sama-sama Guru Besar IPB bergelar Prof Dr Ir, berkeahlian di bidang statistika, menjadi administartor perguruan tinggi, aktivis kampus, ... dan suka menulis dalam berbagai denominasi pemikiran.

Buku ini contohnya. Buku ini bukan buku ilmiah kepakaran Kang Asep sebagai ahli statistika, melainkan penuangan gagasannya yang terkait dengan pengalamannya menjadi administrator perguruan tinggi, tepatnya sebagai Rektor Universitas Trilogi sejak 3 Oktober 2013 hingga sekarang. Luar biasa, dalam rentang yang pendek itu, terkumpul 49 tulisan yang sebagian besar pernah dimuat di media massa. Karena Universitas Trilogi berpilarkan Teknopreneur, Kolaborasi, dan Kemandirian, maka salahsatu Bagian dari kumpulan tulisan ini fokus pada ketiga pilar tersebut.

Sebagai rampaian tulisan yang serba singkat, tak terhindarkan bahwa uraiannya tak sampai final untuk jadi sebuah proposal kegiatan yang rinci, tetapi sejumlah gagasannya kiranya akan menjadi tongkat penunjuk ke arah ketidaktahuan yang harus dielaborasi kemudian.

Buku ini dibagi menjadi tujuh Bagian, yang ketujuhnya diberi judul awal “Perguruan Tinggi”, baru diikuti dengan pokok bahasannya, yaitu: (1) Generasi Teknopreneur, (2) Ilmu Pengetahuan, (3) Etika dan Sosial Politik, (4) Gagasan dan Riset, (5) Kolaborasi dan Kemandirian, (6) Revolusi Mental dan Pendidikan, serta (7) Sistem Pendidikan Nasional.

Itulah garis besar gagasan Prof Dr Ir. Asep Saefuddin untuk membangun negeri dari perguruan tinggi. Peran yang menjadi obsesinya agar perguruan tinggi menjadi lumbung ide sebagai jalan penyelesaian masalah bangsa, ... sebagai tambahan khazanah urgensi perguruan tinggi.

Perguruan tinggi memang bukan segalanya, namun segalanya bisa lahir dan diselesaikan di sini. “Dari Perguruan Tinggi, Mari Kita Membangun Negeri”, katanya (halaman ix).

Sabtu, 24 Juni 2017

ULAMA dan GULMA


Tadi siang, Kang Kasep (nama samaran) japri ke WA saya. Postingannya berjudul "Imam Bukhary, The Untold Story", di mana dikisahkan bahwa baginda Imam Bukhary difitnah oleh penguasa, lalu dipenjarakan sebelum datang pertolongan Tuhan.

Gaya berceritanya berupa perbincangan antara ayah dan anak. Di akhir kisah, sang ayah berpesan begini: "Oleh karena itu kalau ada seorang ulama sedang dilanda fitnah, Kakak jangan sampai ikut-ikutan menyebarkannya. Karena Allah pasti marah".
______
Entah apa maksud Kang Kasep mengirimi saya nasihat seperti kepada anak kecil itu. Tapi saya tak peduli soal itu.

Hal yang menjadi perhatian saya adalah sikapnya yang menyamakan ulama besar sekelas Imam Bukhary dengan ulama liar yang dimaksudkannya dalam kisah itu.

Cara berpikir seperti itu jelas memutarbalikkan fakta. Bagaimana bisa fakta-fakta yang bejibun dan kasat mata dimanipulasi sebagai fitnah. Karena itu, saya membalas WA tersebut. Begini:
_______
Hatur nuhun Kang Kasep. Renungan yang sungguh menarik bagi kita sebagai Muslim penghuni negeri mayoritas di negeri ini.

Memang sejarah Islam punya banyak masa kegemilangan, termasuk memiliki ulama sang pencerah almukarom Imam Bukhary.

Di Indonesia pun kita mengenal sejumlah nama besar yang menampilkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin seperti yang dicontohkan sang junjunan, Nabi Besar Muhammad SAW. 

Contohnya adalah para wali, yang menyuburkan Islam di Nusantara. Belakangan kita juga mengenal K. H. Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama dan K. H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Keduanya betul-betul mewakili kaum mayoritas Islam Indonesia, dan telah menggerakkan ummatnya di akar rumput sebagai warga negara yang Islami. Para pemimpin dan para ulama pelanjutnya juga menjaga amanah para pendahulunya dengan sebaik-baiknya. Tak sedikit di antaranya yang berhasil jadi umara.

Meskipun ada perbedaan pandangan dalam berbagai hal di antara NU dan Muhammadiyah, seperti yang dapat kita amati hingga sekarang, tapi keduanya tetap saling menghormati dan senantiasa menjaga keutuhan negara kita tercinta. Belum pernah ada perbedaan pandangan yang meruncing dan mengancam keutuhan bangsa. Bahkan, dalam takaran tertentu, di komunitas tertentu, perbedaan tersebut menjadi lahan yang subur untuk menjadi bahan candaan, ... bukan menjadi sarana perpecahan. Termasuk kategori ini misalnya telunjukyang diutek-utek, pakai usholi atau tidak, pakai qunut atau tidak, taraweh dalam berbagai versi banyaknya rakaat, dan lain-lain. Bahkan, cara menentukan hilal dalam penetapan ramadhan, idul fitri, idul adha, ... semuanya berakhir hepi ending, jauh dari pemicu perpecahan.

Kita juga sempat mengalami perbedaan pendapat dalam perjalanan sejarah bangsa karena perbedaan ideologi. Namun semuanya diproses sesuai hukum yang berlaku, ... dan terbukti aturan dan hukum positif yang ada di negeri ini, selama ini, sudah dapat menjaga keutuhan negara hingga 72 tahun sekarang ini.

Karena itu, yang harus disikapi dengan cermat dan teliti sekarang ini adalah kelompok minoritas pendatang baru yang mengatasnamakan mayoritas Islam. 

Seperti gulma yang mengganggu tanaman utama, kelompok minoritas ini dipimpin oleh ulama liar, dengan perilaku non-Islami yang memecah belah persatuan bangsa, menghina Pancasila, menghina lambang negara, menghina agama lain, menyebarkan hoax yang insinuatif provokatif, dan lain-lain. Dan sebagai orang Sunda tentu saja kita juga merasa terhina ketika sapaan silaturahmi "sampurasun" dilecehkannya menjadi "campur racun".



Lebih celaka lagi, setelah beberapa kelakuannya itu memanen tuntutan di pengadilan (termasuk 2 tindak pidana yang sudah berstatus Tersangka), ... ehhh dia malahan kabur. 

Sungguh nyata perbedaan sikap antara ulama liar itu dengan Almukarom Imam Bukhary. Bagaimana manusia macam begituan mau disetarakan dengan almukarom Imam Bukhary? Mungkin ada baiknya kalau hasil renungan Kang Kasep itu dikirimkan juga ke ulama liar itu. Kasihan para pengikutnya yang ternyata dipimpin oleh ulama liar yang tidak Islami.

Karena itu, semoga kita "teu kabawa ku sakaba-kaba", oleh ulama liar dan aliran Islam baru yang sangat minoritas itu, tetapi dalam gerakannya senantiasa mengatasnamakan mayoritas Islam.

Mari kita menghormati para ulama Islam kita sebagai pewaris para nabi, dengan menyianginya dari ulama liar, ulama abal-abal, yang menggunakan simbol-simbol keislaman untuk mengadu-domba; yang dalam  terminologi Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, disebut sebagai ulama palsu.

Mari kita bergandengan tangan dalam wadah organisasi Islam yang sudah terbukti selama puluhan tahun dapat menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Aamiin.

Rabu, 03 Mei 2017

The Living Legend: Rachmat Saleh


“Bekerjalah dengan jujur, … kerjakan dengan sepenuh kemampuan untuk mencapai yang terbaik. Dan, .. kalau jadi pemimpin berlakulah sebagai pemimpin yang adil”. Itulah nasihat Bapak Lodan Djojowinoto kepada sang anak yang baru diterima kerja di Bank Indonesia awal 1956. Sang anak tak lain adalah Rachmat Saleh (RS), yang dalam perjalanan karirnya kemudian mencapai puncak sebagai Gubernur Bank Indonesia selama dua periode dan Menteri Perdagangan.
Itulah sepenggal tanggapan RS dalam acara Bedah Buku “Rachmat Saleh: Legacy Sang Legenda” (xxxvii + 444 halaman) di Ruang Serbaguna Kampus Bumi LPPI, Jakarta, sekaligus merayakan ulang tahun RS, 4 Mei 2015.



Sebelumnya, DR. C. Harinowo (Komisaris Bank BCA), Ir. Hartarto (mantan Menteri Perdagangan), dan DR. Achwan (mantan Deputi Gubernur BI) menyampaikan pandangannya tentang buku ini, dipandu oleh moderator DR. Subarjo Joyosumarto (mantan Deputi Gubernur BI, mantan Ketua LPPI, dan kini Rektor Indonesia Banking School). Tentu saja semuanya memuji-muji.
Selain itu, dalam buku ini ada juga beberapa testimoni dari sejumlah tokoh nasional antara lain Wapres Jusuf Kalla yang menyebutnya sebagai “Dirigen Keberpihakan Kepada Pribumi” dan Burhanuddin Abdullah, yang menyebut RS sebagai “Legenda Hidup Perbankan”, atau The Living Legend. Memang kualitas kepemimpinannya luar biasa.
Dalam usianya yang sudah melewati 85 tahun, suara RS masih mantap dan berwibawa untuk menjawab berbagai pertanyaan, termasuk alasan kenapa dalam proses penyusunan buku itu dia sama sekali tak terlibat, bahkan untuk sekadar diwawancarai. Seperti diketahui, biografi ini memang tampil istimewa karena seluruhnya merupakan penuturan orang lain, bukan dari sang tokoh.
Pernah saya dengar dari para pendukung proses penulisan buku ini, bahwa RS menolak ketika sampul bukunya itu akan menampilkan foto dirinya yang cukup besar, seperti kebanyakan buku biografi. Hasil kompromi, akhirnya foto RS dipasang minimal, dan bendera merah putih yang berkibar diu belakangnya.
Semoga kehadiran buku ini memberi manfaat, khususnya contoh keteladanan dari sang pemimpin, Bapak Rachmat Saleh. Aamiin.