Sabtu, 30 Januari 2016

KHO PING HOO: Suling Emas dan Naga Siluman




“Daun-daun pohon yang lebat seperti baru bangkit dari tidur, nyenyak dibuai kegelapan malam tadi, nampak segar bermandikan embun yang membentuk mutiara-mutiara indah di setiap ujung daun dan rumput hijau. Cahaya matahari menciptakan jalan emas memanjang di atas air Sungai Yalu Cangpo yang mengalir tenang, seolah-olah masih malas dan kedinginan.

Sukarlah menggambarkan keindahan alam di Pegunungan Himalaya ini di pagi hari itu. Pagi yang cerah dan amat indah. Kata-kata tidak ada artinya lagi untuk menggambarkan keindahan. Kata-kata adalah kosong, penggambaran yang mati, sedangkan kenyataan adalah hidup, seperti hidupnya setiap helai daun di antara jutaan daun yang bergerak lembut dihembus angin pagi.”

Itulah penggalan kalimat pembuka buku Asmaraman S. Kho Ping Hoo dalam seri Suling Emas dan Naga Siluman (CV Gema, Surakarta, Cetakan VI, 2002). Sungguh suatu pengantar yang nikmat untuk memulai membaca sebuah cerita silat, yang selengkapnya terdiri dari 51 jilid yang rata-rata mencapai 64 halaman setiap jilidnya. Dengan format buku saku yang relatif kecil (13,5 x 10 cm2), maka buku ini bisa dibawa ke mana saja.

Menurut catatan pengamat, selama 30 tahun Kho Ping Hoo telah menulis lebih dari 120 judul cerita silat bersambung semacam ini. Lupa, berapa banyak cerita yang pernah saya baca, tapi Bukek Siansu, Istana Pulau Es, Pendekar Bongkok, Pendekar Super Sakti, Kisah Para Pendekar Pulau Es,  Si Tangan Sakti, ... adalah contoh-contoh judul yang pernah menemani saya mengisi waktu luang, khususnya di bulan puasa.

Mengagumkan. Padahal, Kho Ping Hoo, konon, tidak memiliki akses ke sumber-sumber sejarah negeri Tiongkok berbahasa Cina, sehingga banyak fakta historis dan geografis Tiongkok dalam ceritanya yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Walaupun demikian, Cerita Silat ala Kho Ping Hoo sungguh berkesan. Karyanya yang penuh fantasi membangkitkan rasa ingin keingintahuan untuk menuntaskan jalan ceritanya. Padahal, di akhir cerita, biasanya Kho Ping Hoo akan membuat narasi yang mengundang kepenasaran semacam ini: “Bagaimana perjalanan Cin Liong selanjutnya akan diceritakan oleh pengarang dalam cerita lain. ... Cerita tentang para pendekar Pulau Es akan disusun dalam kesempatan mendatang”.  Ya, ... begitulah selanjutnya.

Kamis, 28 Januari 2016

SUMATERA UTARA: Contoh Paradoks Itu



Sumatera Utara: Contoh Paradoks Itu
Oleh Tika Noorjaya

RESENSI BUKU:
Judul Buku: The North Sumatran Regional Economy, Growth with Unbalanced Development.
Penulis: Colin Barlow dan Thee Kian Wie.
Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, 1988.
Tebal: (xi + 98 halaman).

SEBAGAIMANA  dikatakan Prof. Mubyarto, masalah perekonomian daerah tampaknya bukan hanya belum kita pelajari secara mendalam dan sungguh-sungguh, tetapi juga kebanyakan data statistik yang diterbitkan BPS dan kantor-kantor cabangnya di daerah serta BAPPEDA, belum mampu menerangkan berbagai paradoks sosial ekonomi yang tampak (BIES, April 1987). Padahal, mengkaji masalah perekonomian daerah agaknya bukan hanya bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan daerah yang dikaji, tetapi juga dapat merupakan pembanding bagi daerah lain, terutama daerah yang karakteristiknya mirip. Penguasaan permasalahan daerah ini akan memungkinkan perbaikan dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran, yang pada gilirannya akan mampu meyakinkan Pusat.
Demikianlah, buku yang memusatkan perhatian pada ketimpangan pertumbuhan di Sumatera Utara ini agaknya tidak hanya patut menjadi perhatian Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan pihak-pihak terkait dengannya, termasuk Pusat, tetapi juga provinsi-provinsi lain yang memiliki kecenderungan serupa. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Di manakah letak ketimpangannya? Apakah penyebabnya? Dan, lebih penting lagi, kalau mungkin, bagaimana upaya untuk menanggulanginya? Dalam kaitan inilah kehadiran buku The North Sumatran Regional Economy cukup bermakna.
***
Selama ini, kita mengenal Sumut sebagai provinsi yang demikian potensial, dengan kekayaan sumberdaya alamdan sumberdaya manusiany. Posisi geografisnya memungkinkan keterkaitan secara luas baik dengan pusat pasar dalam negeri maupun dengan pasar internasional. Latar belakang sejarahnya, yang sudah lebih awal ditangani secara intensif – terutama dalam bidang perkebunan yang berorientasi ekspor – juga semakin memantapkan provinsi ini sebagai salah satu provinsi dengan perekonomian terbesar di luar Jawa.
Dari berbagai kondisi plus ini, tidak mengherankan kalau sejak tahun 1970-an perekonomiannya telah tumbuh demikian cepat dan telah mengantarnya sebagai salah satu provinsi yang peetumbuhan produk domestik rata-rata tahuanannya tertinggi di Indonesia (hal. 1), dengan rata-rata pertumbuhan 7,9% per tahun selama periode 1974-1984 (hal. 9). Memang, karena melemahnya pasaran minyak bumi dan harga-harga berbagai mata dagangan yang banyak dihasilkan provinsi ini – seperti karet, minyak sawit dan aluminium – sejak tahun 1982 pertumbuhannya mengalami penurunan; tetapi kalau kita simak perjalanan selama empat tahun Pelita IV, pertumbuhan ekonomi Sumut mencapai 5,6%, jauh di atas tingkat rata-rata nasional yang hanya mencapai 3,7% (Suara Karya, 29 Desember 1987). Dan, seperti kebanyakan provinsi lain, penyumbang terbesar terhadap produk domestik Sumut adalah sektor pertanian, sekalipun peranannya menurun dari 41,0% pada tahun 1975 menjadi 37,7% pada tahun 1984 (hal. 8).
Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang demikian baik, pada dirinya mengandung ketimpangan yang serius dalam berbagai aspek, di mana terjadi kontras antara sektor moderen yang maju dengan perkembangan yang baik dibanding keragaan produsen tradisional yang perkembangannya semakin seret. Terutama dalam bidang pertanian, gejala dualisme yang diwariskan sejarah, dengan pembagian yang kontras antar segmen-segmen masyarakat – seperti yang telah dikaji oleh Boeke (1953) – ternyata tidak menunjukkan perubahan (hal. 4). Demikian pula halnya dengan ketimpangan antar subsektor dalam sektor manufaktur, sekalipun tidak semenonjol dalam bidang pertanian.
Dualisme dalam pertanian, misalnya, dapat ditunjukkan dengan perbandingan kembalian kotor (gross return) yang mencapai Rp 3,54 juta per pekerja bagi karyawan perkebunan besar, sedangkan petani perkebunan rakyat (dalam hal ini karet, kelapa, kopi, dan cengkeh) hanya mendapat Rp 0,47 juta per keluarga (hal. 43); suatu perbandingan yang sungguh terpaut jauh kalau angka terakhir ini dikonversi dengan jumlah orang dalam keluarga pekebun (smallholders) dimaksud, sekaipun untuk yang terakhir ini mungkin saja ada hasil dari usaha lain yang dalam analisanya tidak ikut dibahas. Untuk beberapa budidaya, tentu saja ketimpangan ini dapat dijelaskan dengan rendahnya produktivitas dan sempitnya pemilikan lahan, di samping kurangnya akses petani kecil terhadap berbagai input (terutama modal), informasi, dan kurang menguntungkannya struktur tataniaga hasil budidayanya, karena jauhnya transportasi serta kurang baiknya prasarana (misalnya bagi petani kecil karet di wilayah pantai timur).
Di lain pihak, dualisme dalam sektor manufaktur, misalnya, dapat ditunjukkan dengan nilai tambah per tenaga kerja yang mencapai Rp 9,02 juta untuk sektor moderen, dan Rp 299 ribu untuk sektor tradisional. Lagi-lagi perbandingan yang mencolok. Kalau informasi ini dibandingkan dengan data sensus industri nasional tahun 1974/1975, yang merupakan survey lengkap terhadap semua subsektor industri, tampaklah bahwa dualisme di Sumut lebih nyata dibanding Indonesia secara keseluruhan.
Dalam kaitan dengan keunggulan sektor moderen ini (baik dalam bidang pertanian maupun manufaktur), menarik untuk menyimak peringatan pengarang bahwa sektor moderen di Sumatera Utara mempunyai masalah internalnya sendiri ... yaitu rendahnya efisiensi pada kebanyakan perusahaan, terutama bila dibandingkan dengan usaha yang sama di luar negeri (hal. 5).
Ketimpangan lainnya adalah sehubungan dengan pembagian wilayah, di mana dataran sebelah timur yang subur dan mempunyai potensi alam yang lebih banyak, berkembang jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan wilayah bagian barat dan wilayah pegunungan. Dalam hal produk domestik tahun 1982 (dengan harga konstan), misalnya, sementara wilayah pantai barat mencapai Rp 247 ribu/kapita dan wilayah pegunungan mencapai Rp 276 ribu/kapita, maka wilayah pantai timur bagian selatan mencapai Rp 309 ribu/kapita dan wilayah pantai timur bagian utara mencapai Rp 349 ribu/kapita (hal. 22). Sebagai tambahan terhadap keragaan ini, adalah sangat substansialnya perbedaan pendapatan per kapita antara wilayah kerja kabupaten dengan kotamadya, di mana yang disebut belakangan cenderung mempunyai produk domestik yang lebih tinggi dibanding yang disebut pertama, dengan perbandingan yang bahkan dapat mencapai dua kali lipat (kecuali bagi Kotamadya Sibolga yang di bawah rata-rata produk domestik per kapita wilayah pantai barat).
Lagi pula, walapun pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki jalan-jalan serta berbagai prasarana lainnya, namun sebagian besar pengeluaran tersebut menguntungkan wilayah sekitar Medan, tempat berlokasinya sebagian besar sektor moderen. Di sisi lain, investasi yang sangat mahal di Sumut – proyek hydroelektrik raksasa Asahan dan Inalum (PT Indonesia Asahan Aluminium) yang nilai investasinya mencapai 411 milyar yen misalnya, juga merupakan unit ekonomi enclave, yang pengaruhnya terhadap perekonomian setempat kecil sekali.
***
Tentu saja, Pemda Sumut dan Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi berbagai ketimpangan yang ada, antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya perbaikan prasarana, seperti sekolah, jalan, pembangkit tenaga listrik, moderenisasi pelabuhan dan lain-lain, yang telah meningkatkan potensi dan daya saing provinsi ini, sekalipun masih tetap perlu ada upaya untuk lebih memperbaiki prasarana, terutama jalan di luar wilayah pantai timur (hal. 83). Saran klasik, yang telah diungkapkan A. T. Mosher lebih du dasawarsa yang lalu ketika membahas lima faktor mutlak dalam pembangunan pertanian.
Keberhasilan program BIMASdan INMAS telah mengurangi (fragmentasi) pasar. Demikian juga pembangunan proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBUN) antara lain juga dimaksudkan pada arah penyeimbangan dan mengubah pola dualisme, sekalipun hanya meliput sebagian kecil penduduk saja dan tidak besar pengaruhnya dalam mengubah kendala utama, yang karenanya pengarang menyarankan untuk lebih memperluas pasokan kredit dan informasi seperti halnya yang terjadi di Muangthai untuk program yang sama (hal. 86).
Sementara itu, kegiatan yang lebih mengarah pada upaya penyeimbangan wilayah seperti halnya operasi khusus terpadu Maduma telah pula menampakkan hasilnya, terutama dalam menggugah etos kerja dan komitmen pembangunan pada masyarakat desa di kelima kabupaten yang dicakup dalam program ini, yang empat di antaranya tak lain adalah wilayah pantai barat Sumut yang, konon, dahulu merupakan “peta kemiskinan”.
***
Itu semua hanya sebagai contoh dari berbagai  upaya dalam menanggapi permasalahan ketimpangan pertumbuhan yang dialami Sumut.
Namun perlu juga diingat, seperti diungkapkan pengarang, masalah pertumbuhan sama sekali bukan hal yang unik, dan fenomena ketimpangan perkembangan dapat dilihat sebagai karakteristik kebanyakan provinsi di Indonesia, juga dalam perekonomian negara berkembang lainnya (hal. 87). Dalam buku ini, memang, pernyataan di atas tidak diikuti dengan rincian lebih lanjut, provinsi mana saja yang dimaksud; tetapi dalam hal ini kita dapat merujuk kembali penyataan Mubyarto (BIES, April 1987). Dikatakannya bahwa salah satu gambaran umum yang sangat menarik dari survey perekonomian daerah adalah banyaknya “paradoks” dalam pembangunan daerah, terutama yang tersaji dalam laporan dari Jawa Barat, Jawa Tengah (termasuk DI Yogyakarta), Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur. Meskipun laporan dari wilayah lain tidak secara eksplisit menyajikannya, namun cerita tentang paradoks yang sama juga ditemukan. Uraian ini dialnjutkan dengan pertanyaan manis: Apakah hal ini juga tidak berlaku bagi negara secara keseluruhan? Tak pelak, suatu pertanyaan yang menarik kalau diingat betapa sejak Pelita III komitmen nasional demikian gencar menekankan aspek pemerataan dalam trilogi pembangunan kita.
Kalau paradoks pembangunan yang tercermin dari contoh Sumut serta yang didukung oleh pengamatan Mubyarto ini ditarik “ke atas”, seyogyanya ada pengkajian ulang untuk merumuskan kembali hakikat pembangunan itu sendiri. Kalau pada tahun 1970-an banyak cerdik pandai yang mempermasalahkan merentannya kemiskinan dan terabaikannya pemerataan dalam hubungan dengan perekonomian yang sedang tumbuh pada waktu itu, maka sekarang pun tampaknya issue paradoks tersebut masih relevan untuk dikemukakan – sekalipun pertumbuhan ekonomi tidak secemerlang dasawarsa 1970-an. Agaknya dapat kita sepakati bahwa pembangunan tidak cukup hanya sekadar menjawab pertanyaan “untuk apa”, tetapi juga “bagi siapa”. Bahkan David Korten (1988) dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan dengan pendekatan yang berorientasi kepada masyarakat (people oriented) pun perlu diubah menjadi pembangunan yang berpusat pada masyarakat (people centered development). Tentu saja,  itu semua jangan sampai menjadi sekadar permainan kata-kata atau slogan politik, karena yang paling penting adalah realitanya.
Kurang jelas, apakah penerbitan buku yang menarik ini akan mampu mengundang para ilmuwan kita untuk mengkaji wilayah lainnya sertamenjawab pertanyaan Mubyarto seperti yang telah dikutip di atas. Sebagai peminat yang tidak dilahirkan di Sumut dan belum pernah berkunjung ke sana, ketertarikan saya pada buku ini, misalnya, bukanlah karena judul besarnya, melainkan karena judul kecilnya yang merangsang: sekalipun setelah selesai membaca buku ini serta merta terungkap refleksi: Barangkali provinsi tempat saya dilahirkan juga begitu. Kalau anda membaca buku ini, saya kira anda juga akan merasakannya.
TIKA NOORJAYA*
* Penulis adalah dosen Fakultas Pertanian Universitas Borobudur, Jakarta.

 




Resensi buku ini dimuat dalam Majalah Prisma 5, 1989, halaman 95-96.

Jumat, 22 Januari 2016

AMBON: Jembatan Merah Putih

 Jembatan Merah-Putih Ambon


Jembatan Merah-Putih yang membelah Teluk Ambon ini, digadang-gadang akan menjadi jembatan terpanjang di Indonesia Timur, panjangnya lebih dari 1km. Digarap sejak 2011, sempat mangkrak di tahun 2014, padahal hanya menyisakan bentang tengahnya saja. Konon, pekerjaan ini akan diselesaikan Januari 2016.

 


Kalau jembatan ini sudah terhubung, maka kita tak perlu memutari teluk itu untuk perjalanan dari kota menuju bandara Pattimura. Banyak waktu dihemat, dan tak perlu stress karena terhambat jalanan macet. (Oh ya, kemacetan bukan hanya milik Jakarta dan kota-kota besar di Jawa, di kota Ambon yang sempit itu pun kemacetan telah menjadi langganan setiap hari).



Tentu saja, bagi pendatang baru, jalan lama masih tetap bisa dilalui untuk menikmati keindahan kota Ambon, terutama di malam hari. Kalau mau nyebrang pakai ferry juga bisa; sama-sama indahnya koq.

Calung: Seni Tradisional Sunda

CALUNG: Memori 1967-1977

Calung adalah kesenian tradisional Sunda yang paling banyak mewarnai kehidupan saya. Bapak Adung Priatna Noer (almarhum), guru dan wali kelas saya, adalah orang pertama yang mengajar calung pada tahun 1967, saat saya menjadi murid kelas 4 di SDN-I Pangalengan.

Saya menjadi dalang diiringi Agung (kakak saya), Undang dan Ade. Adapun pemegang gendang adalah Pak Adung sendiri, sedangkan pemegang gong Odang. Setelah belajar sekali seminggu selama 2bulan, manggung pertama adalah di Cipinang dalam rangka imtihan di sebuah pesantren.

Sejak itu, setiap ada acara kesenian di desa/kecamatan Pangalengan, kami senantiasa diundang untuk tampil. Selain itu, pernah juga tampil di Radio Cilember Cimahi yang kala itu banyak menampilkan acara siaran langsung kesenian Sunda. Demikian pula sempat tampil di Buahbatu Bandung dalam acara khitanan keluarga. Ade Ratna, Dedeh dan Iis adalah tiga orang "biduan" yang menyertai kami.

Tahun 1972, ketika saya menjadi siswa SMPN Pangalengan, bersama grup Lawang Gintung bahkan kami menjuarai pasanggiri calung tingkat Kabupaten Bandung kemudian tingkat Provinsi Jabar. Kali ini saya bermain calung bersama Agung, Nana dan Aep. Pernah juga membentuk Tim Calung Pramuka Penggalang (lupa lagi nama gugus depannya) bersama Agung, Aan Hasanudin, Gugun dan Franklin Delani Sariwaring. Kadang-kadang saya juga bergabung dengan Tim Senior yang didalangi oleh Aa Nandang Ruhimat. Tukang gendang Engkos, sedangkan pemukul gong tak pernah tetap.



Berkat jasa calung, pada tahun 1973 saya bisa sekolah di SMA Negeri 2 Bogor. Piagam kejuaraan calung membebaskan saya dan kakak saya dari kewajiban membayar uang pangkal yang cukup besar waktu itu (terima kasih disampaikan untuk alm Pak Gozali dan almh Ibu Nani Gozali). Pada masa ini saya mulai mendapat honor "profesional" untuk membantu bayar SPP dan tambahan uang jajan, karena bersama Kandaga Group kami sering tampil di luar kota, terutama beberapa hotel di Puncak. Selain dengan Agung, kami main bersama Agus D Gozali dan Pepep Ferry Atmakusuma. Saya juga dapat honor tambahan kalau melatih murid SMPN 4 Bogor, antara lain Yudi Gozali dan Yana, -- yang kemudian tenar sebagai penyanyi Yana Julio.

Bercalung ria terus berlanjut ketika menjadi Mahasiswa IPB pada tahun 1976 bersama Agus D Gozali, Eko dan Mursyid. Salahsatu tampilan yang berkesan adalah mengisi acara Parade Seni Fatemeta-IPB sebelum penampilan Konser Rakyat Leo Kristi.



Di luar kampus, saya juga melanjutkan bergabung dengan Kandaga Group kemudian grup Patri Asih, baik untuk bermain calung, kaulinan urang lembur maupun gondang. Banyak tampil di berbagai tempat, dan yang tak terlupakan ketika menjadi figuran film "Anggrek Merah" (1977 kalau tak salah), yang dibintangi Clipp Sangra dan Dewi Arimbi. Wallahu'alam, hingga sekarang saya belum pernah menyaksikan film tersebut.


Catatan:
Calung adalah salahsatu seni tradisional Sunda, yang terbuat dari bambu. Dimainkan dengan cara dipukul, minimal oleh empat orang pemain, dengan nada yang berbeda. Pemain yang bertindak sebagai Dalang menggunakan calung dari bambu yang kecil sehingga suaranya nyaring, dan dapat memainkan lagu-lagu dengan lengkap. Adapun calung yang lain bernada lebih besar sebagai pengiring. Kadang-kadang ada tetabuhan lain untuk menyemarakkan suasana semacam kecrek, atau apa saja. Biasanya pembawa alat tersebut dieksploitasi kemampuan dagelan atau humornya. Kesenian ini diiringi dengan kendang dan gong.

Pada awalnya irama calung mengikuti notasi Sunda yang pentatonis (Da Mi Na Ti La Da), tetapi belakangan ada juga calung diatonis (Do Re Mi Fa Sol La Si Do), sehingga dapat memainkan lagu-lagu pop dan dangdut, seperti layaknya arumba.

FIKSIMINI: Doa Pedagang Bunga

DOA PEDAGANG BUNGA

Suatu sore setelah lelah keliling pasar, di perjalanan menuju parkiran mobil, saya didekati seorang sepuh yang menawarkan tanaman bunga.

Pedagang: “Neng, tolong beli bibit bunga ini. Murah koq, cuma Rp25.000 per pot”.

Saya cuek, tapi tiba-tiba teringat pekarangan mungil di rumah yang kosong. 
Saya: “Ah mahal banget Pak, bagaimana kalau 10.000/pot,” tanya saya dengan gaya cuek.

Pedagang: “Jangan Neng, ini bibit bagus. Bapak jual udah murah, Rp15.000 aja, gimana Neng bapak udah sore mau pulang.”

Saya ragu sejenak, memang murah sih. Di toko, bibit bunga semacam itu paling murah Rp45.000/pot.
Saya: “Udah Pak, Rp 10.000 saja, nanti saya beli semuanya", saya berlagak hendak pergi, sambil melirik di sana ada 5 pot.

Pedagang: “Eh Neng…,” dia ragu sejenak dan menghela nafas. “Ya sudah Neng gak apa-apa, tapi Neng ambil semuanya ya.”

Saya: “Oke Pak, jadi Rp 50.000 ya untuk 5 pot itu. Bawain sekalian ke mobil saya, tuh yang di ujung parkiran.”

Dengan girang, saya pun melenggang pergi menyusul suami yang rupanya sejak tadi sudah duluan masuk ke mobil. Si bapak pedagang mengikuti di belakang. Sesampai di parkiran, si bapak membantu menaruh pot-pot tadi ke dalam mobil. Saya membayar Rp50.000, dan si bapak pun berlalu. Di mobil terjadilah percakapan berikut dengan suami.

Saya: “Bagus kan 'yang, aku dapet 5 pot bibit bunga harga murah.”

Suami: “Oohh... berapa tuh ?”

Saya: “50 ribu.”

Suami: “Hah…!!! Itu semua 5 pot ?” dia kaget.

Saya: “Iya dong… hebat 'kan aku nawarnya. Si jago tawar, namanya juga. Tadi Dia nawarinnya Rp25.000 per pot,” saya tersenyum lebar dan bangga.

Suami: “Gila kamu, sadis amat. Pokoknya aku nggak mau tahu. Kamu susul itu si bapak sekarang, kamu bayar dia Rp125.000 tambah upah bawain ke mobil Rp25.000 lagi. Nih, kamu kejar, kamu kasih dia Rp150.000 !” Suami membentak keras dan marah, saya kaget dan bingung.

Saya: “Emang kenapa?”

Suami (Makin kencang ngomongnya): “Cepetan susul sana, tunggu apa lagi.”

Tidak ingin dibentak lagi, saya langsung turun dari mobil dan berlari mengejar si bapak tua. Saya lihat dia hendak naik angkot di pinggir jalan.
Saya: “Pak, tunggu pak ...”.

Pedagang: “Eh, ... Neng kenapa?”

Saya: “Pak, ini uang Rp150.000 dari suami saya, katanya buat bapak. Bapak terima ya, saya nggak mau dibentak suami, saya takut.”

Pedagang: “Lho, Neng 'kan tadi udah bayar Rp50.000, bener kok uangnya,” si bapak keheranan.

Saya: “Udah bapak terima aja. Ini dari suami saya. Katanya harga bunga bapak pantesnya dihargain segini,” sambil saya serahkan uang Rp150.000 ke tangannya.

Pedagang (Tiba-tiba menangis dan berkata):
“Ya Allah Neng … makasih banyak Neng… Ini jawaban do'a bapak sedari pagi, seharian dagangan bapak nggak ada yang beli, yang noleh pun nggak ada. Anak istri bapak lagi sakit di rumah nggak ada uang buat berobat. Pas Neng nawar bapak pikir nggak apa-apa harga segitu asal ada uang buat beli beras aja buat makan. Ini bapak mau buru-buru pulang kasihan mereka nunggu. Makasih ya Neng… suami Neng orang baik. Neng juga baik jadi istri nurut sama suami, Alhamdulillah ya Allah. Bapak pamit Neng mau pulang…,” dan si bapak pun berlalu.

Saya: (speechless dan kembali ke mobil).
Sepanjang perjalanan saya diam dan menangis. Benar kata suami, tidak pantas menghargai jerih payah orang dengan harga semurah mungkin hanya karena kita pelit. Berapa banyak usaha si bapak sampai bibit itu siap dijual, tidak terpikirkan oleh saya. Sejak itu, saya berubah dan tak pernah lagi menawar sadis kepada pedagang kecil mana pun. Percaya saja bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan.

FIKSI MINI: Balada Simin dan Simon

BALADA SIMIN DAN SIMON

SIMIN: “Mister, ... hidupmu enak. Berapa sih gajimu dan digunakan untuk apa saja?”

SIMON: “Gaji saya 3.500 Euro. 1.000 untuk tempat tinggal, 1.000 untuk makan, 500 untuk tabungan, dan 500 untuk hiburan.”

SIMIN: “Lalu sisa 500 Euro untuk apa?”

SIMON: “Oh.. it's my privacy, Anda tak berhak bertanya! Anda sendiri bagaimana?”

SIMIN: "Gaji saya Rp3,5 juta. Rp1,5 juta untuk makan, Rp1 juta untuk transport, Rp1 juta untuk sekolah anak, Rp1juta untuk bayar cicilan pinjaman, Rp1 juta untuk ngasih keluarga di kampung, Rp500ribu untuk hiburan, …”.

SIMON: Stop... stop. Pengeluan anda sudah melampaui gaji Anda. Sisanya anda dapat dari mana?”

SIMIN: “Soal uang yang melampaui gaji ... , it's my privacy. Anda tak berhak bertanya Mister!”

REFLEKSI:
Itulah fenomena keindonesiaan: Gaji yang rendah, tapi pendapatan secara keseluruhan bisa berlipat ganda, sehingga bukan hanya orang lain yang heran, tapi juga diri sendiri.

Rezeki tampaknya punya jalannya sendiri-sendiri.

Sabtu, 16 Januari 2016

KARANGANYAR: Rumah Teh Ndoro Donker




Rumah Teh Ndoro Donker berlokasi di Jl. Afdeling, Kemuning, Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasinya mencolok di tengah hamparan kebun teh yang menghijau, dengan latar belakangan Gunung Lawu.

Sebagai hamba Allah yang terlahir di Pangalengan, dengan suasana yang mirip dengan di wilayah ini daerah, saya langsung terbayang sejumlah perkebunan di belahan selatan kota Bandung itu.

Boleh jadi nama Ndoro Donker dalam percaturan nasional tak seterkenal Junghuhn atau Karl Boscha di Jawa Barat yang punya sejarah panjang dan menebar maslahat hingga sekarang, namun pesona nama Ndoro Donker-lah yang konon menyebabkan Rumah Teh ini dinamai demikian.

Memasuki Rumah ini, kita dibawa pada suasana perkebunan teh di masa lalu yang menghiasi dinding rumah ini, dengan arsitektur yang kental suasana kolonial Belanda-nya. Beragam sajian teh disajikan dalam berbagai pilihan varian rasa: Premium Lady Gray Tea, White Tea, Jasmine Tea, Donker Black Tea, Radja Tea, dan varian teh lainnya. Tapi kalau anda mau kopi, coklat ataupun susu tersedia juga.

Saya yang datang ke sana agak sorean dalam suasana mendung, tak kuasa menahan perut yang lapar. Rumah Teh ini memang menyajikan camilan unik dan makan utama. Akhirnya saya memilih Lady Gray Tea, Ubi Donker dan Pisang Panggang, -- sebagai penawar dingin yang muzarab.

Pahlawan Pilihan Kresna




ARDIAN KRESNA, "Pahlawan Pilihan KRESNA", Diva Press Jogjakarta, November 2009, 208 halaman. 

Sepintas judul buku ini mengesankan KRESNA sedang melakukan pemilihan pahlawan, dan ARJUNA yang dipilihnya untuk dibela. Itu pun janggal, karena hampir 75% buku ini bercerita tentang BAMBANG EKALAYA yang tekun belajar ilmu memanah dan bijaksana memimpin negara (setara Yudistira). Padahal, teknik belajarnya hanya semata-mata dari patung Durna yang dipujanya. Barangkali semacam Long Distance Learning, Sistem Belajar Jarak jauh (SBJJ), kalau dalam terminologi sekarang.

Meskipun kemahiran EKALAYA ternyata setara Arjuna, ... akhirnya dia diperdaya oleh Durna, ... lalu Arjuna dan Kresna bersekongkol membunuhnya. TRAGIS. IRONIS.

Cerita wayang memang sudah diplot para dewa sedemikian rupa, ... sehingga tokoh di luar mainstream (yang taqdirnya telah ditetapkan) harus tersingkir. Tokoh semacam Ekalaya harus disingkirkan. Hasil jerih payah Ekalaya dengan SBJJ berakhir di rekaperdaya Durna.

Sebagai refleksi, di zaman kini, tatkala Avatar merebut pasar, atau superhero yang berjaya dalam berbagai versi, saya malah terkenang bahwa di dunia wayang ada nilai-nilai yang bisa digali. Karena itulah saya senantiasa tergoda membeli buku wayang tatkala menyambangi toko buku di mana saja, termasuk di toko buku online atau buku loakan.