Selasa, 15 Desember 2015

YOGYAKARTA: Penyapu Jalan



PENYAPU JALAN

Dijalaninya titahnya sebagai penyapu jalan,
Tanpa keluh, ... walau tubuhnya yang rapuh tertinggal di rumah kumuh.
Sepenuh daya jalanan kota dibersihkan dari sampah dan kotoran,
Sementara hatinya tertambat pada tangisan sang anak yang lemas di pembaringan.
Dengan tubuh yang terbelah, dengan hati yang terpisah, dijalaninya titahnya sebagai penyapu jalan.

Bogor, 6 Desember 2015
(Interpretasi atas karya Harry Susanto, The Cleaning)

BANDUNG: Ciater



PIKNIK CIATER

Namanya juga Piknik Ciater, maka Ciaterlah destinasi utama rombongan alumni SMAN2-Bogor 1975.

Kami menginap di Villa Pondok Putri I, menyanyi lagu jadoel dan berjoget yang tak beraturan. Setelah itu, berendam air panas menjelang tengah malam.

Ciater terletak di Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang. Tepatnya di perbatasan antara kota Bandung dan Subang, yang juga bersebelahan dengan kota Lembang.

Konon, di tahun 1960-an seorang kakek sakti bernama Mbah Ebos berusaha membuka hutan di kawasan tersebut. Daerah hutan yang semula dianggap angker diubah menjadi perkampungan dan diberi nama Ciater yang berarti “air yang memancar”. Itulah asal usul nama Ciater.

Selain pemandangan yang indah daya tarik lokasi ini adalah sensasi berendam di air panas berbelerang dan mineral lainnya, yang konon berkhasiat untuk kesehatan. Siang-malam, selama 24jam kolam renang air panas ini didatangi pengunjung. Semakin malam, semakin ramai.
Tak hanya untuk berendam, Pemandian Air Panas Ciater juga menyajikan pemandangan yang cantik dan arena bermain, termasuk outbond.

Kebohongan Burung Unta



KEBOHONGAN BURUNG UNTA

"Kebohongan Burung Unta" adalah Editorial Media Indonesia hari ini (8 Desember 2015), yang menyoroti Sidang Etika Setya Novanto di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

"Sidang itu, ... mirip kisah burung unta, sembunyi kepala, tapi menampakkan ekor", simpulnya.

Kalau benar seperti burung unta, tentu kita harus waspada sebab burung unta berpostur paling besar di antara famili aves. Meskipun tak bisa terbang, burung ini mampu berlari cepat hingga 70 km/jam. Selain itu, burung ini juga pendendam dan mampu mengingat musuhnya meski waktu telah lama berlalu.

Yang juga jangan dilupakan, ... dari penelusuran masa lalu, ia tak sebodoh burung unta yang volume otaknya tak melebihi biji matanya. Tak heran, kalau harta dan kuasanya tak terhingga. Ia adalah semacam Dursasana dalam mitologi wayang, yang mampu berkelit ke sana-sini berkat ajian belut putihnya.

Syukurlah, Sang Bima kini sudah marah, ... dan petualangan Dursasana kiranya hanya tinggal sepenggal babak di ujung kisah.


Bogor, 8 Desember 2015

BANDUNG: Sindang Reret


SINDANG RERET

Sindang Reret merupakan destinasi terakhir perjalanan dua hari kami, rombongan alumni SMAN-2 Bogor 1975.

Di Resto Sindang Reret Cikole Lembang kami santap siang sekaligus syukuran 7 orang yang lahir November dan Desember (dari kiri ke kanan: Rachman Effendi, Wawan Mulyawan, Tika Noorjaya, Herry Buchron, Toni Manurung, Tri Prasetyo, dan Tri Sulistio).

Selesai bersantap, alhamdulilah kami sempat solat berjamaah di masjid yang resik dan apik di komplek itu.

Sindang Reret terletak di areal perkebunan daerah Cikole Lembang yang merupakan kawasan wisata alam di Bandung.

Berada di kaki gunung Tangkuban Perahu, lokasi ini menawarkan sensasi wisata di kawasan berudara dingin dan panorama indah dengan background hutan pinus yang tinggi serta kabut tebal yang siap menghampiri.

YOGYAKARTA: Amarilis






AMARILIS

Kebun bunga amarilis di Desa Salam, Patuk, Gunung Kidul, Yoyakarta, tiba-tiba saja menjadi terkenal, diberitakan media lokal dan nasional. Secara provokatif, media massa membandingkannya dengan musim bunga di Belanda. Bunga ini memang hanya mekar sekali dalam setahun setiap awal musim hujan, itu pun tak lebih dari 3 minggu.

Sayangnya, karena tanpa penataan yang baik maka bunga indah itu kini banyak yang rontok, pohonnya banyak yang tumbang terinjak-injak, karena banyak orang yang selfie di tempat pohon itu berdiri. 


Memang wisata ini bersifat dadakan. Tak ada aturan selain imbauan agar jangan menginjak pohon, ... tapi tanpa sanksi, siapa yang peduli. Begitu pula dengan imbauan "Ambil gambar bayar seikhlasnya", karena memang tak ada karcis khusus untuk berkunjung ke sana. Sementara itu, jalanan menjadi macet, dan tukang parkir mendapat siraman rezeki karena antusiasme pengunjung.
 
Agaknya, tahun-tahun mendatang perlu lebih ditata, karena terbukti dapat menjadi destinasi wisata, bukan hanya penduduk Yogya, tapi juga dari luar kota.

BANDUNG: Gunung Tangkuban Parahu




GUNUNG TANGKUBAN PARAHU

Siang itu, kami, lelaki dan perempuan masa lalu, alumni SMAN-2 Bogor Angkatan 75, menikmati panorama indah Gunung Tangkuban Parahu yang terletak di Cikole, Lembang, atau sekitar 20 km dari pusat kota Bandung. 
Dengan ketinggian 2.084 di atas permukaan laut, suhunya amat dingin, sekitar 17 derajat Celcius. Beruntung kami datang tak terlalu siang sehingga ketika hujan mulai gerimis, kami sudah beranjak pergi.

Tak seperti gunung berapi lainnya, puncak Gunung Tangkuban Perahu berbentuk memanjang dan mirip sebuah perahu terbalik. Sebuah legenda memang menyertai kehadirannya tentang Sangkuriang yang karena kemarahannya menendang perahu buatannya semalam suntuk, namun tak bisa memenuhi janjinya kepada Dayang Sumbi, karena mentari keburu datang menjelang.Dan, sang perahu terdampar secara terbalik. Dewata memang tak merestui niat Sangkuriang untuk menyunting perempuan cantik bernama Dayang Sumbi itu, yang tak lain adalah ibunya sendiri.

BANDUNG: Saung Angklung Mang Udjo



SAUNG ANGKLUNG UDJO:

Untuk ketiga kalinya saya menyaksikan pagelaran seni di Saung Angklung Udjo di Jalan Padasuka No. 118, Bandung. Terakhir, bersama-sama dengan teman-teman alumni SMAN2-Bogor angkatan 1975. Setiap kali berkunjung tetap menarik. Tak ada kata bosan. Dan sekarang pun tetap berharap, suatu saat akan kembali lagi ke sana.

Dua kali kunjungan sebelumnya adalah sewaktu mengantar Duta Besar Swiss, dan kedua mengantar teman dari Jerman. Saya meyakini bahwa mereka tertarik dengan pagelaran tersebut, karena beberapa tahun kemudian, topik tentang Saung Angklung Mang Ujo menjadi bahan pembicaraan.

Pada kunjungan saya yang terakhir, dari delapan atraksi, saya sangat mengapresiasi sajian lagu "Bohamian Rapsodhy" karya band legendaris The Queen, -- yang disajikan dengan cara yang berbeda oleh para empu angklung yang sangat piawai. Peralihan nada sekaligus menjadi peralihan lokasi bunyi angklung. Telinga kita benar-benar terbuai dan termanjakan oleh alunan nada dan peralihan bunyi yang saling bersahutan. Kehalusan nadanya begitu mempesona.

"Bermain Angklung Bersama" adalah sajian yang sungguh  mengherankan, bagaimana dalam waktu singkat kita secara individual bisa memainkan sejumlah lagu bersama hampir 500 orang penonton lain yang antusias, termasuk sejumlah bule. Setiap selesai membawakan sebuah lagu, tak henti kami bertepuk tangan, dan merasa menjadi bagian dari atraksi.

Akhirnya, acara "Menari Bersama" adalah ujung dari pertunjukan. Anisa, anak perempuan berusia tujuh tahun, mengajak saya menari dengan penuh sukacita dan riang gembira.

Senin, 05 Oktober 2015

Menggugat Kemapanan Dunia Pewayangan

Sejak Ir. Sri Mulyono mengupas seputar dunia wayang di Harian Buana Minggu pada akhir 1970-an, ternyata kupasannnya mendapat perhatian yang antuasias dan meluas dari para pembaca setia, yang kemudian dibukukan oleh Penerbit CV Haji Masagung, sedikitnya, dalam empat terbitan. Masing-masing: Wayang dan Karakter Manusia (1976), Wayang dan Karakter Manusia 2 (1977), Apa & Siapa Semar (1978), dan Tripama Watak Satria dan Sastra Jendra (1978).

Dalam keempat buku itu telah muncul berbagai pemikiran yang keluar dari kemapanan, baik  karakter sejumlah wayang, atau bahkan filsafat dari cerita yang lazim difahami kala itu.

Minat terhadap dunia wayang, ternyata belum hilang. Kini, setidaknya ada dua buku, yang berada pada jalur itu. Keduanya mengambil setting babad Ramayana.  

Yang pertama adalah RAHWANA PUTIH, karya Sri Teddy Rusdy, yang diterbitkan Yayasan Ketagama tahun 2013. Ini adalah novel wayang beraroma filsafat. Rahwana yang selama ini dikenal sebagai raja Alengka yang angkara murka penuh kegelapan yang hitam kelam; kini tampil dari sisi putihnya yang mempertanyakan eksistensi dirinya yang telah diatur secara licik oleh para dewa. Karena itu, Rahwana tampil sebagai satria gagah perkasa. Terkait dengan Dewi Sinta, bahkan Rahwana digambarkan sebagai Sang Kegelapan Pemeram Keagungan Cinta. Dengan setting seperti itu, maka Ramayana-lah justru yang dipertanyakan.



Yang kedua adalah SINTA OBONG, karya Ardian Kresna, yang direbitkan Diva Press tahun 2012, yang bercerita tentang SINTA DAN CINTA. Novel ini merupakan lanjutan dari epos Ramayana, yang kadung memunculkan stigma hitam-putih antara Rahwana yang raja raksasa angkara dan Ramayana yang satria bijaksana. Melalui novel ini, Stigma tersebut coba dibantah lewat pledoi Rahwana soal cintanya yang suci terhadap Sinta. Sementara Sinta bicara soal kesetiaan dan mempertanyakan kesatriaan Rama. 

 
 
Rame, seru, dan dalam beberapa hal menggugat kemapanan cara berpikir yang -- terlanjur -- sudah lama tertanam.

Menggugat Perang Bubat

PERANG BUBAT ditafsir-ulang dalam empat novel dengan empat penulis berbeda: Langit Kresnahadi (dalam buku Gajah Mada); Hermawan Aksa (dalam buku Dyah Pitaloka. Senja di Langit Majapahit); Eddy D. Iskandar (dalam buku Citraresmi); dan Tasaro (dalam buku Pitaloka. Cahaya).

Ternyata, alur ceritanya banyak yang tak sejalan, bahkan untuk hal yang seharusnya sepadan. Masih amat kental dikotomi dari perspektif Jawa (Majapahit) dan Sunda (Galuh). Sejarah, ... apakah merupakan catatan tentang kenyataan, atau pesanan pemangku kepentingan? Sejarah, yang seharusnya merupakan history, bisa berubah fungsi menjadi His-story.

Raja Galuh datang ke Majapahit untuk menikahkan Dyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk. Tapi, prahara dan intrik politik terjadi. Rencana besanan antara Galuh dan Majapahit berubah jadi pertumpahan darah. Rombongan raja Galuh dan Dyah Pitaloka terbunuh di Bubat.

Misteri seputar Bubat itulah yang sedang dikaji oleh sejarawan dan budayawan Sunda dan Jawa. Mengapa rencana besanan berubah jadi pertumpahan darah? Mengapa raja Hayam Wuruk marah kepada Mahapatih Gajahmada atas terbunuhnya raja Galuh dan Dyah Pitaloka? Siapa aktor politik di balik intrik ''Perang Bubat'' sehingga Gajah Mada memerintahkan pasukan Majapahit menumpas rombongan Galuh yang mau besanan?  

Meskipun demikian, tentang Dyah Pitaloka (atau Citraresmi), kelima buku di bawah ini bersepakat: Bahwa putri Sunda ini cantik, molek dan rupawan. Selain itu, ia juga punya ilmu olah kanuragan yang menakjubkan, layaknya senapati ing ngalaga.


 Ieu versi lain "Perang Bubat" dina basa Sunda, karya Yoseph Iskandar. Lalakonna asa leuwih rongkah jeung rohaka sok sanajan ukur 85 kaca. 

Melepas Perangkap Impor Pangan


Judul Buku      : Melepas Perangkap Impor Pangan
Penulis             : DR. Ir. Hermen Malik, MSc.
Penerbit           : LP3ES, Jakarta, Juni 2014.
Tebal                : (xxiv+336 halaman). 
ISBN                : 978-602-7984-09-7

Buku ini bermakna bagi pembangunan pertanian ke depan, karena membahas isyu perangkap impor pangan, sekaligus memberi jalan keluarnya untuk mencapai kedaulatan pangan. 

Meskipun buku ini hadir dari hasil kontemplasi seorang akademisi, paparan buku ini sarat kedalaman pengalaman lapangan, karena sang penulis, Hermen Malik, adalah mantan pejabat nasional, dan kini Bupati Kabupaten Kaur, Bengkulu sejak empat tahun lalu.   

Ditinjau dari sisi pertanian secara lebih luas, kebutuhan untuk memberdayakan sektor pertanian terutama karena produksi sejumlah komoditas belum memenuhi kebutuhan, sehingga harus mengimpor. Laju pertumbuhan impor pertanian pada 2004-2013 mencapai 16,8%/ tahun. Untuk komoditas pangan utama Indonesia masih menjadi negara net importer. Komoditas pangan yang menyumbang impor terbesar adalah kedelai, jagung, beras, serta subsektor hortikultura. Subsektor peternakan juga masih defisit neraca perdagangannya, yang terbesar adalah impor susu, ternak sapi dan daging sapi.[1] 

Sektor pertanian juga belum menarik pihak perbankan untuk membiayainya. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Triwulan II-2015, kredit sektor pertanian, perburuan dan kehutanan hanya 5,83%.[2]


[1] Source: http://old.setkab.go.id/artikel-13835-posisi-pertanian-yang-tetap-strategis-masa-kini-dan-masa-depan.html.
[2] Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, Laporan Triwulan II-2015.

Senin, 21 September 2015

Peduli Andil Koperasi





PEDULI ANDIL KOPERASI
Oleh Tika Noorjaya

Benarkah kita peduli koperasi?

Secara emosional saya ingin menjawab “ya”. Tetapi, secara faktual rasanya masih banyak hal yang menjadi pertanyaan. Misalnya, ... pernahkah ada pencatatan yang rapi, semacam statistik yang siap-saji, ketika ditanyakan berapa persen andil (terkini) koperasi dalam membentuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia ?

Catatan yang pernah ditemukan adalah perkiraan Prof Mubyarto (1979), yang menyatakan bahwa andil koperasi di Indonesia diperkirakan baru sekitar 2% dari PDB. Ada pula perkiraan belakangan ini, bahwa sumbangan koperasi terhadap PDB sekitar 5% (?). Kalaupun perkiraan terakhir itu benar, prestasi itu rasanya belum sebanding dengan kesepaka­tan kita untuk menjadikan koperasi sebagai soko-guru perekonomian nasional.

Ketiadaan data, dan masih belum "jelasnya" perkiraan-perkiraan yang muncul, kiranya mengisyaratkan tentang perlunya statistik tersendiri yang memisahkan sumbangan koperasi, swasta dan Badan Usaha Milik Negara, sehingga tidak lagi "meraba-raba".

Kondisi demikian kiranya bukan tanpa sebab. Kalau kita napak-tilas kebijakan negara terhadap pembangunan koperasi rasanya tak segemebyar retorikanya, yang bahkan terpatri dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.  

Pertama, ketidakpedulian sudah tampak tatkala terjadi nasionalisasi perusahaan Belanda tahun 1957, yang diformalkan dengan Peraturan  Pemerintah (PP)  Nomor 23/1958  tentang nasionalisasi perusahaan Belanda menjadi milik pemerintah RI. Sejak 1957 hingga 1960, sekitar 700-an perusahaan Belanda di Indonesia berhasil dinasionalisasi. Jumlah itu mencakup 70% perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia zaman itu. Menurut Prof. Dr. R. Z. Leirissa, sejak terjadi gelombang nasionalisasi, kepemilikan 90% produksi perkebunan beralih ke tangan pemerintah. Demikian juga halnya dengan 60% nilai perdagangan luar negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalan dan sektor jasa. Pertanyaannya, dari begitu banyak perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, adakah yang dialokasikan untuk koperasi?

Kedua, tatkala terjadi peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Seberapa besar koperasi dilibatkan untuk bermitra dalam kegiatan penanaman modal asing (PMA) dan penanaman dalam negeri (PMDN). Padahal, Undang-undang Koperasi Nomor 12 lahir pada tahun 1967, hampir bersamaan dengan terbitnya Undang-undang PMA dan PMDN.

Ketiga, hal yang sama berulang tatkala krisis ekonomi melanda negeri ini. Sejak pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) melalui Keputusan Presiden 27/1998, lembaga ini telah menjual murah sejumlah aset negara, yang nilainya ratusan triliun. Ketika BPPN dibubarkan, uang negara yang telah dikucurkan kepada perbankan senilai Rp 699,9 triliun menyusut menjadi Rp 449,03 triliun, karena sebagian asset merupakan aset busuk yang nilainya digelembungkan para debitur. Pertanyaan yang sama, berapa dari aset murah tersebut yang jatuh ke “tangan” Koperasi?

Dari ketiga contoh tersebut, agaknya selama ini kita terlalu terbuai dengan retorika, puja-puji dan sanjungan tentang peranan koperasi dalam bernegara, tetapi tak terdukung dalam wujud konkretnya berupa keberpihakan atau kepedulian Pemerintah untuk membangun dan membesarkannya. Atau, kalaupun sudah dilakukan berbagai upaya, hasilnya belum tergambar dalam wujud andilnya terhadap PDB.

Karena itu, ke depan barangkali kita harus mulai memikirkan-ulang keberpihakan pemilik negeri ini terhadap koperasi. Sebuah kilas balik perlu ditelusuri. Barangkali ada baiknya kalau para petinggi negeri bergandengan tangan dengan penggerak koperasi,  membahasnya secara intens dalam sebuah perhelatan besar nasional. Selama ini, gelora dan wacana koperasi hanya muncul ketika upacara seremonial menyambut dan merayakan Hari Koperasi setiap 12 Juli.

Padahal, ada perhelatan lain yang sudah lama tak diselenggarakan, yakni Kongres Koperasi. Sejak negeri ini berdiri, baru dilaksanakan dua kali Kongres Koperasi, yakni 12 juli 1947 di Tasikmalaya dan 17 Juli 1953 di Bandung. Setelah itu, lupa.

Semoga kerisauan atas peranan koperasi ini dapat terjawab dalam Kongres Koperasi Ketiga, yang entah kapan, dan mau diselenggarakan di mana.

Dalam perhelatan tersebut, barangkali bisa kita petakan pangsa koperasi dalam PDB hingga 17% (angka keramat) pada saat negeri ini berusia 100 tahun. Kalau itu terjadi, rasanya kita boleh berbangga diri kalau diingat bahwa Swedia yang dikenal sebagai "top"nya koperasi saja butuh 80 tahun untuk memberikan sumbangan 17% terhadap PDB yang bersumber dari koperasi.

Semoga.


Artikel ini dimuat Majalah Mikropreneur Edisi Khusus, September 2015.

Sabtu, 05 September 2015

PONOROGO: Sepeda Kumbang





Saya menemukan sepeda ini di suatu rumah kecil terpencil, jauh di pedalaman Ponorogo, tepatnya di Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. Di rumah itu, sepedah ini tentu saja menjadi kebanggaan pemiliknya, -- di antara penduduk yang rata-rata IPM-nya di bawah rerata nasional.


Sepeda Phoenix ini mengundang ingatan saya ke masa silam sekitar 50 tahun lalu di tempat kelahiran saya, Pangalengan (Bandung Selatan). Tipe sepedanya sama, yang beda cuma warnanya: yang ini warna hijau, sedangkan "sepeda kumbang" saya (begitu kami menyebutnya) berwarna biru. Sampai kini, saya masih teringat saat-saat awal belajar naik "sepeda kumbang" di lapang Pangalengan atau di depan Masjid Agung: ... terjatuh karena kesulitan menjaga keseimbangan, ... menabrak sepeda teman (ada kalanya ditabrak teman juga), ... abring-abringan kesana-kemari, sekadar bergaya bahwa kami sudah punya sepedah kumbang... Hemm, masa lalu yang indah.

Naik sepeda memang harus terus mengayuh untuk bisa menjaga keseimbangan. Kalaupun mau berhenti harus teramat hati-hati.

PONOROGO: Kampung Marjinal yang Bergerak Maju




Saya senang tatkala mendengar kabar kemajuan di Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. Eko Mulyadi, yang dulu Ketua Kelompok "Karangpatihan Bangkit", kini sudah jadi Kepala Desa, ... mendapat berbagai award, dan menjadi selebriti di berbagai media massa. Sekalipun demikian, dia tetap melanjutkan pengembangan kelompok binaanya, yang antara lain beranggotakan kaum tungrahita. Semoga semakin banyak orang atau instansi yang memberikan perhatian lebih terhadap masyarakat marjinal.


   

Pengembangan usaha kelompok, yang semula hanya ternak lele, kambing dan ayam, kini sudah bertambah dengan kelinci dan sapi. Selain itu, kaum tuna grahita itu juga sudah bisa membuat bata, dan keset dari kain perca.



Saya jadi ingat tiga tahun yang lalu: 

Obsesi mengubah citra Kampung Idiot menjadi Kampung Lele, adalah perjalanan panjang berliku, namun memberikan janji untuk penyempurnaannya di belakang hari, karena perubahan yang diharapkan telah memasuki jalurnya. Setelah berhasil dibudidayakan Kelompok Masyarakat, panen perdana kolam lele milik individu para Tunagrahita ini, memberi secercah harap. Ke depan, secara harfiah, titian justru akan terjal dan mendaki: Menghijaukan gunung gundul yang kekayaannya telah terjarah dalam sejarah kampung miskin itu.

Di tempat yang gersang ini, di bagian selatan Jawa Timur, sumber air memang susah didapat, sehingga perlu regulasi yang jelas untuk kemaslahatan bersama, termasuk optimalisasi sumber air untuk pemeliharaan rumput sebagai pendukung budidaya kambing. Tak lupa, pesan moral untuk selalu berusaha.

Alhamdulillah saya sempat menjadi bagian dari wahana pengembangan masyarakat marginal, sehingga bantuan atau dorongan yang kecil sekalipun cukup berarti bagi mereka. Semoga semakin banyak pihak yang tergerak mempedulikan mereka. Aamiin.