Selasa, 19 Mei 2015

Selamat Jalan Kang Her Suganda

Semasa mahasiswa saya suka meng-klipping tulisan Kang Her Suganda, yang dimuat Harian Kompas dan media lainnya. Belakangan saya juga membeli beberapa bukunya.
Tapi, baru akhir 2011 saya bisa bertatap muka dengannya, tepatnya dalam perhelatan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS-2) di Bandung. Saat itu saya menjadi moderator untuk pemaparan makalah beliau berjudul "Robohnya Lumbung Kami", -- suatu kajian singkat, namun padat, tentang pembangunan pertanian, khususnya padi, di Jawa Barat, yang ditarik surut jauh ke belakang, ketika Pemerintah Belanda meluncurkan program Verbeterde Cultuur Technieken hingga di zaman kemerdekaan.

 Saat menyimak pemaparannya, saya langsung terbayang kumpulan cerpen “Robohnya Surau Kami” yang tragis, karya A. A. Navis beberapa puluh tahun yang lalu. Benar saja, kisah tragis terjadi dalam hasil kajian Kang Her Suganda itu: “Lumbung Kami” tak berdaya menghadapi gempuran teknologi dan liberalisasi pangan yang menyertainya.

Sebagai moderator, saya mencoba mengonfirmasikan hasil temuan tersebut kepada peserta lokakarya; dan ternyata pendapat yang muncul semakin menegaskan bahwa tragedi yang sama hampir terjadi di mana saja, di wilayah yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi. Demikianlah, budaya bertani secara bertahap terdegradasi hampir di seluruh pelosok negeri. Bukan hanya lumbung padi yang roboh secara harfiah, melainkan budaya bertani secara keseluruhan, sejak cara bercocok tanam hingga perilaku di meja makan. Kini, Sang Dewi Sri, tak lebih dari sekadar komoditi. Konversi lahan pertanian padi ke industri dan permukiman, semakin menegaskan ketercerabutan petani dari akar kehidupannya sebagai pewaris negeri agraris.

Kini, wartawan senior yang sangat peduli dengan perkembangan Jawa Barat dan pembangunan pertanian ini telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Innalillahi wainnailaihi rajiun.Selamat jalan Kang Hers Suganda. Wilujeng mulang ka kalanggengan Kang Hers Suganda. Aamiin.

Sabtu, 16 Mei 2015

Lintah Darat Sbg ”Perpanjangan Tangan” Bank



Berantas? Jangan.  Malah Sebaiknya Dimanfaatkan
Lintah Darat Sbg ”Perpanjangan Tangan” Bank
Oleh Tika Noorjaya

Lintah adalah binatang yang tampaknya lemah, dengan tubuh lunak dan berlendir. Tapi dari kelemahannya itu mampu menghisap darah, yang menurut cerita orang-tua, baru berhenti bila ditetesi air tembakau dan ada geledek!.
Bayangan tentang lintah, rupanya masih kalah seram dibandingkan dengan bayangan tentang lintah darat (rentenir). Dalam diskusi panel yang diselenggarakan di Jakarta baru-baru ini, yang bertemakan “Pemberantasan Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan”, Ketua Mahkamah Agung, Ali Said menilai bahwa praktek rentenir yang telah merajalela dalam kehidupan masyarakat kita, tidaklah kalah ganasnya dari penyakit kanker. Bahkan, dalam kesempatan lain Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Cabang Bandung menyarankan agar rentenir diberantas saja dengan jalan disudutkan ke undang-undang perbankan (“Pikiran Rakyat”, 29 November 1985).
Sedemikian jelekkah citra kita terhadap lintah darat ? Untuk memeriksanya, barangkali kita perlu menjernihkan pikiran dahulu, dan menempatkannya dalam kerangka logika dan pemahaman secara konsepsional, agar tidak terjerumus ke dalam pembahasan yang emosional.
Mengapa Ada Lintah Darat ?
Kita tidak tahu persis, kapan lintah darat mulai ada di Indonesia, tetapi keberadaannya ternyata dapat terus bertahan. Apakah hal ini bukan merupakan petunjuk bahwa mereka diperlukan? Kalau demikian, apakah masalahnya, sehingga banyak dicaci-maki?.
Permasalahannya adalah ketidak-seimbangan antara permintaan dengan penawaran; dalam arti permintaan melebihi penawaran, sehingga tidak dapat dihindari adanya kelebihan permintaan, yang menyebabkan suku bunga menjadi sangat tinggi. Berapa besar kesenjangan tersebut, sepengetuhan penulis belum pernah ada penelitian. Tetapi kalau diingat pengaruhnya yang ”mencekik leher”, maka penanganannya secara tuntas tentu merupakan hal yang mendesak.
Itu pada satu sisi. Sisi lain adalah sikap mental yang mendukung dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Amro Munsyi Bemban dalam ”Harian AB”, 2 Desember 1985 secara menarik membahas hal ini. Ia antara lain menyatakan, jangankan mengurbankan harta benda, bagi pemenuhan kebutuhannya orang sanggup mempertaruhkan nyawa.
Untuk mengurangi/meniadakan kelebihan permintaan tersebut, pada prinsipnya dapat ditempuh dua cara, yaitu mengurangi permintaan dan/atau menambah penawaran. Tetapi keduanya bukanlah cara yang mudah, karena di dalamnya menyangkut berbagai aspek kehidupan, tidak hanya pendekatan dari segi ekonomi semata-mata.
Permintaan dan Penawaran
Banyaknya permintaan terhadap likuiditas, baik dalam hal konsumsi ataupun produksi tentu merupakan hal yang logis, dalam rangka peningkatan kepuasan masyarakat, apalagi dengan gencarnya pembangunan sekarang ini. Hanya saja, kiranya perlu dicatat bahwa sementara ini kepuasan masyarakat yang hakiki diukur dengan tingkat konsumsi, dan untuk beberapa sektor informal bahkan konsumsi merupakan bekal untuk berproduksi.
Karena itu, pemisahan kredit produksi dengan kredit konsumsi mungkin baik dalam kaitan administratif, tetapi membuat pemisahannya dengan memberikan prioritas yang tinggi pada kredit produksi tanpa ada alokasi yang memadai untuk kredit konsumsi, tampaknya perlu dipertanyakan kembali. Hal ini disebabkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah peminjaman kredit bukan hanya untuk investasi dalam rangka berproduksi (misalnya membeli pupuk, obat-obatan hama dan penyakit, dan sebagainya), tapi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok mereka yang mendesak akan makanan dan pakaian, yang selanjutnya dimaksudkan untuk berproduksi. Bagi sektor ini, produksi dan konsumsi merupakan keping uang bermata ganda, yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya.
Masalahnya, sampai seberapa jauh kredit konsumsi itu akan menjadi efektif untuk berproduksi?.
Sementara hal itu belum dapat terjawab, marilah kita melihat dari sisi lain, yaitu penawaran.
Ditinjau dari sudut penawaran, maka kita mengenal berbagai sumber kredit, baik kelembagaan formal maupun non formal. Termasuk ke dalam kelembagaan formal adalah Bank Pemerintah, Bank Daerah, Bank Swasta, Koperasi, Pegadaian dan lain-lain. Sedangkan kelembagaan non formal antara lain keluarga, kawan, pedagang besar, tuan tanah, arisan dan pelepas uang, termasuk lintah darat yang sedang kita perbincangkan. Yang perlu diberikan catatan khusus dalam hal ini adalah bahwa sampai saat ini sumber kredit dari kelembagaan non formal masih merupakan komplemen bagi sumber kredit dari kelembagaan formal, yang karenanya peranan mereka masih sangat diperlukan.
Barangkali, kita perlu mengakui kenyataan bahwa perbankan belum mampu sepenuhnya untuk memenuhi harapan kebutuhan masyarakat akan kredit dalam jumlah dan waktu yang tepat. Hal inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya kelembagaan keuangan non formal.
Kenyataan menunjukkan bahwa untuk merealisasikan sebuah ajuan kredit kepada bank memerlukan waktu dan biaya (?) yang tidak sedikit, untuk mengurus persyaratan administratif, untuk menganalisa kelayakan, untuk membubuhkan paraf, untuk membubuhkan tanda tangan, dan sebagainya. Khabarnya, jangankan untuk mendapatkan kredit, untuk menabung saja masih memerlukan banyak waktu. Birokrasi? Barangkali!.
Koperasi sebagai bangun usaha yang dijadikan sokoguru perekonomian Indonesia telah tampak kemajuannya dalam beberapa kegiatan ekonomi, antara lain dalam keterlibatannya menyalurkan kredit dan adanya unit usaha simpan-pinjam. Tapi apa yang terjadi?. Khabarnya, lebih banyak anggota/pengurus yang meminjam daripada yang menyimpan, tak lupa sebagian menunggak. Demikian juga, kekurangan modal koperasi untuk menjalankan usahanya telah merupakan alasan klise, yang kembali menunjukkan tentang masih kurangnya pelayanan untuk memenuhi kebutuhan kredit. Ada memang Kredit Candak Kulak (KCK) yang disalurkan lewat Koperasi, tetapi jenis yang satu ini jumlahnya “tidak seberapa”, dan untuk mendapatkannya, khabarnya perlu antrian …
Walaupun begitu, diakui pula bahwa KCK dan kredit yang disalurkan koperasi lainnya telah banyak menyentuh dan membantu masyarakat lapisan bawah, yang karenanya, seyogyanya mendapat perhatian yang lebih besar, serta besarnya plafond juga mungkin dapat ditingkatkan, sebanding dengan penurunan nilai uang dan besarnya permintaan.
Lain halnya dengan kelembagaan non formal, yang untuk hal ini lebih kita arahkan pada lintah darat. Mereka memiliki keunggulan dibandingkan kelembagaan formal, dengan sikapnya yang ”ramah”, selalu bersedia membantu nasabahnya kapan saja (yang mempunyai jaminan, tentu), dan sebagainya. Mereka berkeliling dari satu pelosok ke pelosok lain untuk mencari nasabah yang ”akan ditolongnya”. Mereka ada di kantor pos tempat pembayaran tunjangan pensiun, mereka ada di kantor pegadaian dan lepas jam kerja beroperasi di warung-warung; ada juga yang seharian beroperasi di pasar-pasar. Barangkali, intinya adalah mereka yang aktif mencari nasabah, dan bukan sebaliknya. Persyaratan pun dipermudah: ada jaminan, buat perjanjian, uang diserahkan, selesai. Itu yang sudah moderen. Dalam hal khusus, bahkan tanpa jaminan, dan hanya perjanjian lisan saja!.
Harus kita akui, mereka adalah wiraswastawan unggul!. Dengan kemudahan, dengan kecepatan, dengan hubungan dekat dan berbagai cara lainnya di satu sisi, serta kebutuhan peminjam yang mendesak di sisi lain, maka mereka menentukan suku bunga yang sangat tinggi, yaitu sekitar 150-200 persen setahun, bahkan dapat lebih tinggi lagi. Betapa kejamnya apabila dibandingkan dengan suku bunga resmi sekitar 18 persen setahun.
Tapi mereka tidak bekerja sendirian. Ada ijon, panjar, tumblegan dan tengkulak yang mempunyai spesialisasi berbeda dan tidak sekejam itu.
Ijon berasal dari bahasa Jawa ’ijo’, yang berarti hijau. Padi yang masih hijau sebelum berbuah dijual oleh petani karena butuh uang. Demikian juga buah-buahan seperti mangga atau kedondong yang masih kecil dijual di pohon; atau sayur-sayuran seperti kubis, kentang dan sebagainya dijual sebelum masa panen dengan harga yang sangat rendah, karena butuh uang.
Panjar dan tumblegan bekerja dengan cara mengikat petani agar tidak menjual hasilnya kepada pihak lain. Juga karena petani butuh uang.
Tengkulak dapat membeli hasil panen dari petani dengan harga rendah juga karena petani butuh uang.
Karena praktek mereka menimpa kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak mempunyai banyak alternatif, maka tak heran andaikata para peminjam uang itu jatuh pada kemiskinan yang semakin miskin, ... dan diam. Mereka terdiam dielus kemiskinan.
Karena itulah, mengharapkan perbaikan tingkat hidup mereka atas usaha mereka sendiri mungkin merupakan penantian yang sia-sia, atau kalaupun mau ditunggu rasanya terlalu lama. Pada pihak lain, komitmen politik sudah sedemikian jelasnya, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang perlu dilakukan adalah tindakan-tindakan nyata dan terarah bagi mereka yang kurang beruntung tersebut. Tindakan-tindakan termaksud seyogyanya bukan merupakan sesuatu yang sifatnya temporer, melainkan harus dalam kerangka suatu sistem yang berjalan sendiri.
Manfaatkan
Untuk menyusun suatu sistem yang menjamin akses para petani miskin dan sektor informal lainnya terhadap sumber-sumber keuangan, mungkin kita perlu mempelajari cara kerja lintah darat dan kawan-kawannya secermat mungkin, sehingga kita dapat memanfaatkannya di dalam sistem yang akan kita buat.
Apabila kita menyimak berbagai pendapat yang muncul ke permukaan belakangan ini, terdapat kecenderungan untuk melakukan upaya penyelesaiannya lewat berbagai peraturan, lengkap dengan sanksi yang berat bagi para lintah darat.
Diduga peraturan yang sedemikian tidak akan efektif, karena masalahnya bukan terletak di sana, melainkan tidak tertampungnya permintaan terhadap kebutuhan uang oleh sektor perbankan dan kelembagaan formal lainnya.
Rasanya, masih ada alternatif lain, yang juga memerlukan pengujian, yaitu pemanfaatan lintah darat dalam sistem perbankan, dengan menjadikannya sebagai aparat ”perpanjangan tangan” dari Bank. Lintah darat dikoordinir dan diberikan pinjaman/kredit dari Bank, dengan berbagai ketentuan. Mereka tetap menanggung resiko atas para nasabahnya, diberikan ketentuan pengenaan suku bunga maksimal yang rendah, dan mendapatkan premi untuk setiap penyaluran kredit, seperti halnya petugas asuransi.
Sementara itu, pemberian status sebagai karyawan bank pembantu mungkin secara psikologis akan memberikan kebanggaan tersendiri. Bagi yang prestasinya baik, apa salahnya kalau statusnya ditingkatkan menjadi karyawan bank sungguhan!.
Alternatif lain adalah pemanfaatan pos keliling untuk penyaluran kredit, dengan ketentuan seperti halnya karyawan Bank pembantu di atas.
Dalam hal ini, jangan dilupakan adanya sistem dan lembaga pengawasan. Kepada para pembantu bank tersebut dikenakan geledek (baca: sanksi) bagi yang menyalahi ketentuan. Dengan memanfaatkan mereka, maka gagasan Bank Masuk Kampung (bukan lagi Bank Masuk Desa) dapat direalisasikan, karena sesungguhnya di sinilah letak permasalahannya, yakni belum mampunya perbankan menjangkau orang yang membutuhkan kredit pada jumlah dan waktu yang tepat.
Barangkali cara ini merupakan salah satu upaya untuk membentuk instrumen yang cocok dengan keadaan pedesaan kita dalam rangka mengurangi hambatan pelaksanaan capital reform, seperti dinyatakan Bambang Ismawan (“Kompas”, 2 Desember 1985), bahwa meskipun berbagai program perkreditan sudah diupayakan pemerintah ke pedesaan, namun capital reform menghadapi kesulitan akibat program-program termaksud instrumennya sering tak sesuai dengan milik masyarakat desa, sehingga masyarakat kecil akhirnya tetap lari kepada pelepas uang, walaupun mereka merasakan beban bunga yang sangat tinggi.
Dengan upaya seperti dipaparkan dimuka, tentu saja tidak berarti bahwa koperasi simpan-pinjam, KCK dan semacamnya dihapuskan, melainkan kelembagaan tersebut seyogyanya terus ditingkatkan peranannya, sehingga pasar uang di desa-desa/kampung, lebih banyak tersedia dan bervariasi. Dengan demikian, suku bunga di pasar uang non formal dapat diharapkan menurun sampai pada tingkat yang wajar.
Kalau demikian, sang lintah darat diharapkan melepaskan diri dari hisapannya, karena cairan tembakau telah diteteskan dan geledek pun siap menggelegar.

Artikel ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jumat, 3 Januari 1986; halaman 6.

The Ten Golden Rules of Leadership



Penulis: M.A. Soupios dan Panos Mourdoukoutas

Judul Buku: The Ten Golden Rules of Leadership 

Penerbt: American Management Association, New York

Cetakan Pertama: 2014.

Alih-alih menguraikan manajemen mutakhir, The Ten Golden Rules of Leadership justeru mengeksplorasi pemikiran yang provokatif dari para pemikir klasik, seperti Aristoteles, Heraclitus, Sophocles, Hesiod, dan lain-laina. 

Buku ini juga mengenalkan pentingnya  kepemimpinan, termasuk: (1) Hidup dengan standar yang lebih tinggi; (2) Jangan membuang energi pada hal-hal yang tidak dapat diubah; (3) Memahami bahwa karakter adalah takdir; (4) Selalu mengevaluasi informasi secara kritis; dan (5) Jangan meremehkan kekuatan integritas pribadi.

Jumat, 15 Mei 2015

Jawa Barat Seyogyanya Memacu Pemekaran Desa

Pemekaran Desa dan Beberapa Implikasinya

Jawa Barat Seyogyanya Memacu Pemekaran Desa
Oleh Tika Noorjaya
DESA. Demikian lekat kata ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Sedemikian lekatnya, hingga kadang-kadang kita lupa bahwa banyak masalah yang tersembunyi ataupun yang muncul ke permukaan, lewat begitu saja, tanpa penyelesaian yang tuntas. Pembangunan yang terus mengalir ke desa-desa seakan meninabobokan kita dengan alunan lagu-lagu merdu yang menjanjikan indahnya masa depan. Dan kita tertidur lelap, sambil mimpi indah.

Di luar mimpi, kita dapati kenyataan bahwa sesungguhnya desa yang indah hanya tinggal kenangan yang ada dalam album lukisan, prosa, puisi atau lagu-lagu merdu seniman tempo doeloe. Demikianlah, gencarnya pembangunan yang tertuju ke pedesaan selain memberikan harapan dan kenyataan yang membaik, juga berdampingan dengan semakin rumitnya permasalahan di pedesaan, karena perubahan ekologis, sosial-budaya manusia, serta aspirasi material dan spiritualnya. Wajar memang; bukankah pembangunan itu sendiri intinya adalah perubahan?.

Ya, perubahan itu tidak hanya berbentuk fisik seperti banyaknya bangunan, perbaikan irigasi dan pengairan, perbaikan sarana komunikasi, perbaikan sarana peribadatan, perbaikan sarana hiburan, dan sebagainya, tapi juga menyangkut perubahan sikap dan perilaku masyarakat desa, termasuk melunturnya berbagai nilai dan tradisi. Salah satu hal yang mengalami perubahan adalah semakin meningkatnya tugas dan pekerjaan aparat desa, karena betapapun perkembangan pembangunan pedesaan harus dapat dimonitor oleh yang lebih tinggi. Kini, aparat desa lebih akrab dengan berbagai jenis daftar isian dan laporan untuk instansi A, B, C, ... lebih akrab dengan berbagai juklak, lebih akrab dengan perencanaan dan evaluasi, lebih sering rapat ”ini”, pengarahan ”anu”, dan sebagainya. Sudah dapat diduga, semakin sedikit waktu yang tersedia untuk melayani masyarakatnya, apalagi dengan semakin berdesakannya penduduk di pedesaan. Bagi desa yang penduduknya padat, hubungan ”bapak-anak” antara kepala desa/aparatnya dengan masyarakatnya tampaknya sudah memudar, seperti halnya dengan sebuah desa di Kabupaten Bandung, yang mempunyai penduduk lebih dari 12.000 jiwa, sedangkan di sebuah desa di bilangan Kabupaten Kuningan, dengan penduduk sekitar 2.500 jiwa, keakraban antara ”bapak-anak” masih tampak menonjol, meskipun diakui oleh Kepala Desanya bahwa masalah administrasi memerlukan waktu yang cukup banyak, sebagian tugas bahkan dikerjakan di rumah, padahal permintaan masyarakat untuk menghadiri selamatan, khitanan, perkawinan, pengajian, dan sebagainya cukup banyak juga.

Salah satu upaya yang telah ditempuh pemerintah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna pemerintahan desa adalah pemekaran desa, yaitu pembagian wilayah kerja sebuah desa menjadi dua atau lebih desa baru.

Pemekaran Desa
DALAM Undang-Undang nomor 5 tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa, antara lain dinyatakan “Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain yang ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, demikian juga mengenai pembentukan nama, batas kewenangan Desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri”. Karena itu, tentunya pertimbangan pemekaran desa pun berdasarkan hal yang sama.

Kecuali luas wilayah yang relatif tetap, jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan sifatnya dinamis, sehingga pemekaran desa adalah satu hal yang pada tingkat tertentu tidak dapat dihindari, agar dicapai daya guna dan hasil guna yang maksimal.

Bahwa pemekaran desa dipandang sebagai masalah yang strategis dalam pembangunan nasional, kiranya tampak dari perkembangan jumlah desa di seluruh Indonesia, yang pada tahun 1973/1974 ada 45.587 buah, pada tahun 1984/1985 menjadi 67.448 buah, bertambah 21.861 buah desa, atau rata-rata bertambah 2.186 buah desa setiap tahunnya.

Yang menarik adalah perbandingan antara Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Jawa Timur (selanjutnya disebut dengan Jabar dan Jatim saja). Kedua provinsi yang sama-sama berada di pulau Jawa ini mempunyai luas wilayah yang tidak jauh berbeda, yaitu 46.300 km2 untuk Jabar dan 47.922 km2 untuk Jatim, tetapi jumlah desanya terpaut jauh. Pada akhir Pelita I, di Jabar ada 3.920 desa, sedangkan di Jatim 8.315 desa (lebih dari dua kali lipat), yang tetap berlangsung sampai akhir Pelita II, dimana di Jabar ada 4.039 desa, sedang di Jatim 8.339 desa. Pada tahun terakhir mungkin desa di Jabar sudah bertambah lagi, tapi saya kira masih sekitar 7.000-an.

Dari kenyataan itu, tampak bahwa Jabar tertinggal jauh dalam upaya pemekaran desa.
Apabila luas wilayah dan jumlah penduduk dijadikan dasar pertimbangan pemekaran desa, maka hal itu dapat ditelusuri dari man-land ratio-nya (perimbangan antara jumlah penduduk untuk satuan luas tertentu, biasanya per km2), yang pada tahun 1984 perbandingannya adalah 657 orang/km2 untuk Jabar dan 644 orang/km2 untuk Jatim. Kedua angka ini diperoleh berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia untuk masing-masing daerah pada tahun 1980-2000 (oleh Biro Pusat Statistik).
Perbandingan jumlah desa yang lebih banyak di Jatim pada ”masa lalu” mungkin dipengaruhi man-land ratio periode yang bersangkutan, karena memang berdasarkan sensus tahun 1971 dan tahun 1980, mand-lan ratio di Jabar 440 orang/km2 (1971) dan 593 orang/km2 (1980); sedang di Jatim masing-masing adalah 539 orang/km2 dan 609 orang/km2 (1980). Berdasarkan keadaan beberapa tahun terakhir, maka dalam tahun-tahun mendatang Jabar seyogyanya memacu pemekaran desa, sekurang-kurangnya sama dengan Jatim, karena meskipun luas wilayahnya berbeda sekitar 1.600 km2 (3,3%), tetapi pertumbuhan penduduk di Jabar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Jatim. Kalau dalam periode 1961-1971 penduduk di Jabar mengalami pertumbuhan 2,09%/tahun, maka pada periode 1971-1980 meningkat menjadi 2,66%/tahun; sedangkan untuk periode yang sama tingkat pertumbuhan penduduk Jatim menurun dari 1,69%/tahun menjadi 1,49%/tahun.
Setelah membandingkan mand-land ratio seperti dipaparkan di muka, barangkali masalah distribusi penduduk merupakan pertimbangan lainnya, sehingga sebuah desa menjadi tanggung; dimekarkan menjadi dua belum mencukupi, sedangkan apabila dipertahankan tetap, sudah kelebihan. Hal ini, tentu selesai dengan perjalanan waktu. Lagi pula, apa benar distribusi penduduk Jabar tidak sebaik distribusi penduduk Jatim?.

Saya kurang tahu persis, karena kesulitan data pendukung untuk menganalisa hal tersebut, mungkin pihak-pihak yang berhubungan dengan hal itu lebih memahami. Tapi, barangkali benar, kalau kita bayangkan sepintas bahwa ada daerah-daerah tertentu di Jabar seperti Kabupaten Lebak, Cianjur, Pandeglang, Sukabumi dan Ciamis, yang rasa-rasanya penduduknya masih jarang. Tapi, apakah di Jatim pun tidak terjadi hal yang semacam itu?.

Terlepas dari pertanyaan terakhir itu, kalau benar distribusi penduduk Jabar tidak merata, maka kiranya diperlukan upaya untuk lebih menggali potensi daerah-daerah yang jarang penduduknya, sehingga dapat merangsang peralihan penduduk dari daerah yang padat penduduk ke daerah yang jarang penduduk. Transmigrasi lokal? Mungkin demikian namanya. Di Provinsi Lampung hal ini sudah dilaksanakan, dan tampaknya berhasil memindahkan sebagian penduduk Kabupaten Lampung Selatan ke Kabupaten Lampung Utara.

Sejalan dengan adanya pemekaran desa, maka besarnya bantuan pembangunan desa untuk tingkat nasional pun terus meningkat, dari Rp 4,6 miliar, saat dimulainya bantuan pembangunan desa pada tahun 1969/1970, menjadi Rp 98,1 miliar pada tahun 1985/1986, meningkat lebih dari 21 kali lipat dalam selang waktu 17 tahun. Hal ini selain disebabkan bertambahnya jumlah desa, juga karena peningkatan besarnya bantuan desa dari Rp 100.000,-/desa pada tahun 1969/1970 menjadi Rp 1.250.000,-/desa pada tahun 1984/1985. Perbandingan besarnya jumlah bantuan desa untuk Jabar dan Jatim tentunya berbanding lurus dengan banyaknya desa di masing-masing provinsi.

Pemekaran desa, tampaknya mempunyai implikasi yang lebih jauh dalam peningkatan pertumbuhan kemajuan desa, paling tidak ada tiga hal yang ingin diungkapkan di sini. Pertama, bertambahnya penampungan tenaga kerja, karena dimungkinkan adanya tambahan aparat desa dan kelengkapan lainnya; kedua, dengan pemekaran desa, maka luas wilayah kerja menjadi kecil, sehingga pengelolaannya dapat diharapkan lebih baik, dan ketiga, adanya tambahan dana pembangunan desa, seperti yang diungkapkan di muka, yang diharapkan dapat meningkatkan laju perkembangan perekonomian khususnya, dan laju pembangunan pada umumnya, karena dana dimaksud akan mendorong, menggerakkan, mengarahkan serta membina dan memanfaatkan kegiatan-kegiatan swadaya gotong-royong masyarakat desa. Hanya saja, perlu diingat bahwa dana pembangunan tersebutnya tidak semestinya mengikuti “perintah” dari atas, melainkan diarahkan untuk pembangunan yang sesuai dengan aspirasi dan potensi masing-masing desa, yang telah dimusyawaratkan terlebih dahulu, tanpa mengabaikan keserasiannya dengan desa-desa di sekitarnya.
Kalau di atas dipaparkan perbandingan jumlah desa dan beberapa implikasinya, maka hal yang sama juga terjadi untuk tingkat yang lebih tinggi, yaitu kecamatan dan kabupaten/kotamadya. Dalam tahun 1980, Jabar memiliki 429 kecamatan dan 24 kabupaten/kotamadya, sedangkan pada tahun yang sama, Jatim mempunyai 554 kecamatan dan 37 kabupaten/kotamadya. Implikasi dari perbedaan jumlah kecamatan dan kabupaten/kotamadya ini hampir mirip dengan implikasi pemekaran desa, seperti yang telah dipaparkan di muka, yakni bertambahnya kesempatan kerja, kemungkinan pengelolaan yang lebih baik dan adanya tambahan dana pembangunan.

Pemilihan Kepala Desa
PEMEKARAN desa tidak terlepas dari pemilihan Kepala Desa. ”Jabatan Kepala Desa Masih Tetap Diburu Orang”, demikian judul sebuah laporan harian ini pada tanggal 20 Januari 1986. Dan, nampaknya memang demikian, terutama bagi desa-desa yang memiliki potensi cukup baik.
Menjadi Kepala Desa tampaknya masih banyak diminati orang, meskipun pengorbanannya tidaklah kecil; untuk biaya pendaftaran, biaya kampanye, biaya pemilihan, ..., dan tidak lupa meminta bantuan ”orang-orang yang tahu”. Barangkali, di dalamnya ada pertimbangan ekonomis, karena Kepala Desa mendapat jatah tanah carik atau gaji tertentu, dan tidak tertutup juga adanya orang-orang yang mencalonkan diri menjadi Kepala Desa karena idealismenya untuk membangun desa, tapi untuk sebagian tampaknya Kepala Desa adalah jabatan kehormatan. Karena itu, program pemekaran desa tampaknya hanya tinggal menunggu Pemerintah saja.

Namun ada beberapa hal yang sekiranya dijadikan pelajaran dari pengalaman proses pemilihan Kepala Desa selama ini. Pertama, dengan banyaknya peminat, maka penyaringan dan persyaratan seyogyanya diperketat, sehingga tidak ada lagi calon Kepala Desa yang ”diragukan” setelah yang bersangkutan terpilih, atau sebaliknya, calon yang semula ”diragukan” malah ikut pemilihan. Kedua, pengajuan program kerja sebagai salah satu persyaratan, seyogyanya mendapat perhatian yang lebih memadai, sebagai batu uji daya tanggap calon terhadap permasalahan (sekaligus upaya pemecahannya) di desanya. Ketiga, kelambatan dari jadwal yang telah ditentukan, baik karena kelalaian calon memenuhi persyaratan, cara kerja panitia lokal yang ”santai”, atau ”ketenangan” penanganan instansi yang di atasnya, kiranya dapat dihindari, apalagi kalau karena keterlambatan salah satu desa mengakibatkan penangguhan untuk tingkat wilayah yang lebih luas (kecamatan/kewedanaan). Keempat, menghindari adanya ”wasit yang ikut main”, sehingga memerlukan pengawasan yang lebih intensif, baik sebelum masa kampanye, pada masa kampanye, dan terutama pada hari ”H”-nya, sejak jam 00.00 WIB sampai dengan selesai penghitungan hasil suara, agar penyelewengan oleh figur-figur tertentu dapat dihindari. Kelima, besarnya dana pencalonan yang telah ditetapkan pemerintah seyogyanya mendapat pengawasan, untuk menghindari pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, karena calon biasanya menanggung beban biaya yang cukup besar untuk biaya-biaya lainnya. Keenam, mengurangi /meniadakan keterlibatan penjudi, karena peranan yang satu ini dapat mempengaruhi opini massa. Dan mungkin hal lain, yang belum terungkap di sini.

Akan halnya pemekaran desa itu sendiri, tentu memerlukan pemikiran, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Tetapi, kalau kita telah sepakat untuk menjadikan desa sebagai sasaran utama pembangunan, seyogyanya kita menerima konsekuensi logis berikutnya, yakni mendudukkan kepentingan desa pada prioritas yang tinggi.

Bahwa prioritas kita sekarang tertuju dalam mempersiapkan suksesnya Pemilu tahun 1987, mungkin pemantapan dari pemekaran desa yang lalu merupakan salah-satu upayanya, kalau dipandang bahwa pemekaran desa baru belum memungkinkan. Atau, siapa tahu dengan pemekaran desa baru yang diselenggarakan secepatnya justru akan menyambut Pemilu tahun 1987 dengan sebaik-baiknya.



Artikel ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Senin, 3 Maret 1986; halaman 6.