Senin, 05 Oktober 2015

Menggugat Kemapanan Dunia Pewayangan

Sejak Ir. Sri Mulyono mengupas seputar dunia wayang di Harian Buana Minggu pada akhir 1970-an, ternyata kupasannnya mendapat perhatian yang antuasias dan meluas dari para pembaca setia, yang kemudian dibukukan oleh Penerbit CV Haji Masagung, sedikitnya, dalam empat terbitan. Masing-masing: Wayang dan Karakter Manusia (1976), Wayang dan Karakter Manusia 2 (1977), Apa & Siapa Semar (1978), dan Tripama Watak Satria dan Sastra Jendra (1978).

Dalam keempat buku itu telah muncul berbagai pemikiran yang keluar dari kemapanan, baik  karakter sejumlah wayang, atau bahkan filsafat dari cerita yang lazim difahami kala itu.

Minat terhadap dunia wayang, ternyata belum hilang. Kini, setidaknya ada dua buku, yang berada pada jalur itu. Keduanya mengambil setting babad Ramayana.  

Yang pertama adalah RAHWANA PUTIH, karya Sri Teddy Rusdy, yang diterbitkan Yayasan Ketagama tahun 2013. Ini adalah novel wayang beraroma filsafat. Rahwana yang selama ini dikenal sebagai raja Alengka yang angkara murka penuh kegelapan yang hitam kelam; kini tampil dari sisi putihnya yang mempertanyakan eksistensi dirinya yang telah diatur secara licik oleh para dewa. Karena itu, Rahwana tampil sebagai satria gagah perkasa. Terkait dengan Dewi Sinta, bahkan Rahwana digambarkan sebagai Sang Kegelapan Pemeram Keagungan Cinta. Dengan setting seperti itu, maka Ramayana-lah justru yang dipertanyakan.



Yang kedua adalah SINTA OBONG, karya Ardian Kresna, yang direbitkan Diva Press tahun 2012, yang bercerita tentang SINTA DAN CINTA. Novel ini merupakan lanjutan dari epos Ramayana, yang kadung memunculkan stigma hitam-putih antara Rahwana yang raja raksasa angkara dan Ramayana yang satria bijaksana. Melalui novel ini, Stigma tersebut coba dibantah lewat pledoi Rahwana soal cintanya yang suci terhadap Sinta. Sementara Sinta bicara soal kesetiaan dan mempertanyakan kesatriaan Rama. 

 
 
Rame, seru, dan dalam beberapa hal menggugat kemapanan cara berpikir yang -- terlanjur -- sudah lama tertanam.

Menggugat Perang Bubat

PERANG BUBAT ditafsir-ulang dalam empat novel dengan empat penulis berbeda: Langit Kresnahadi (dalam buku Gajah Mada); Hermawan Aksa (dalam buku Dyah Pitaloka. Senja di Langit Majapahit); Eddy D. Iskandar (dalam buku Citraresmi); dan Tasaro (dalam buku Pitaloka. Cahaya).

Ternyata, alur ceritanya banyak yang tak sejalan, bahkan untuk hal yang seharusnya sepadan. Masih amat kental dikotomi dari perspektif Jawa (Majapahit) dan Sunda (Galuh). Sejarah, ... apakah merupakan catatan tentang kenyataan, atau pesanan pemangku kepentingan? Sejarah, yang seharusnya merupakan history, bisa berubah fungsi menjadi His-story.

Raja Galuh datang ke Majapahit untuk menikahkan Dyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk. Tapi, prahara dan intrik politik terjadi. Rencana besanan antara Galuh dan Majapahit berubah jadi pertumpahan darah. Rombongan raja Galuh dan Dyah Pitaloka terbunuh di Bubat.

Misteri seputar Bubat itulah yang sedang dikaji oleh sejarawan dan budayawan Sunda dan Jawa. Mengapa rencana besanan berubah jadi pertumpahan darah? Mengapa raja Hayam Wuruk marah kepada Mahapatih Gajahmada atas terbunuhnya raja Galuh dan Dyah Pitaloka? Siapa aktor politik di balik intrik ''Perang Bubat'' sehingga Gajah Mada memerintahkan pasukan Majapahit menumpas rombongan Galuh yang mau besanan?  

Meskipun demikian, tentang Dyah Pitaloka (atau Citraresmi), kelima buku di bawah ini bersepakat: Bahwa putri Sunda ini cantik, molek dan rupawan. Selain itu, ia juga punya ilmu olah kanuragan yang menakjubkan, layaknya senapati ing ngalaga.


 Ieu versi lain "Perang Bubat" dina basa Sunda, karya Yoseph Iskandar. Lalakonna asa leuwih rongkah jeung rohaka sok sanajan ukur 85 kaca. 

Melepas Perangkap Impor Pangan


Judul Buku      : Melepas Perangkap Impor Pangan
Penulis             : DR. Ir. Hermen Malik, MSc.
Penerbit           : LP3ES, Jakarta, Juni 2014.
Tebal                : (xxiv+336 halaman). 
ISBN                : 978-602-7984-09-7

Buku ini bermakna bagi pembangunan pertanian ke depan, karena membahas isyu perangkap impor pangan, sekaligus memberi jalan keluarnya untuk mencapai kedaulatan pangan. 

Meskipun buku ini hadir dari hasil kontemplasi seorang akademisi, paparan buku ini sarat kedalaman pengalaman lapangan, karena sang penulis, Hermen Malik, adalah mantan pejabat nasional, dan kini Bupati Kabupaten Kaur, Bengkulu sejak empat tahun lalu.   

Ditinjau dari sisi pertanian secara lebih luas, kebutuhan untuk memberdayakan sektor pertanian terutama karena produksi sejumlah komoditas belum memenuhi kebutuhan, sehingga harus mengimpor. Laju pertumbuhan impor pertanian pada 2004-2013 mencapai 16,8%/ tahun. Untuk komoditas pangan utama Indonesia masih menjadi negara net importer. Komoditas pangan yang menyumbang impor terbesar adalah kedelai, jagung, beras, serta subsektor hortikultura. Subsektor peternakan juga masih defisit neraca perdagangannya, yang terbesar adalah impor susu, ternak sapi dan daging sapi.[1] 

Sektor pertanian juga belum menarik pihak perbankan untuk membiayainya. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Triwulan II-2015, kredit sektor pertanian, perburuan dan kehutanan hanya 5,83%.[2]


[1] Source: http://old.setkab.go.id/artikel-13835-posisi-pertanian-yang-tetap-strategis-masa-kini-dan-masa-depan.html.
[2] Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, Laporan Triwulan II-2015.