Kamis, 23 Juli 2015

Pembiayaan Syariah untuk Mendukung Perkebunan



PEMBIAYAAN SYARIAH

UNTUK MENDUKUNG PERKEBUNAN


Oleh Tika Noorjaya


Sepanjang tahun 2010, perbankan syariah Indonesia tumbuh dengan volume usaha yang tinggi, antara lain ditunjukkan dengan pertumbuhan asset 43,99% dan Dana Pihak Ketiga (DPK) 39,16%. Kalau ditelusuri perjalanan historisnya, selama satu dasawarsa ini perkembangan perbankan syariah menggambarkan perluasan yang menggembirakan. Kinerja tersebut tampaknya masih akan dapat dipertahankan pada tahun ini, dan amat mungkin sampai beberapa tahun ke depan. Sayangnya, portofolio pertumbuhan perbankan syariah masih dikuasai oleh sektor kelistrikan, retail dan manufaktur.
Perkembangan lembaga pembiayaan syariah yang pesat dalam dasawarsa ini serta komitmen Bank Indonesia untuk memposisikan perbankan syariah sebagai salah satu pilar ekonomi nasional yang kokoh di masyarakat, merupakan peluang bagi komunitas perbankan syariah untuk bersama-sama dengan pelaku usaha  merumuskan berbagai kebijakan yang kondusif sehingga terdapat sinergi antara perkembangan sistem pembiayaan syariah dengan usaha di sektor riil, khususnya di bidang pertanian.
Pengembangan pembiayaan syariah untuk sektor pertanian merupakan pilihan strategis. Seperti dikatakan Ashari dan Sapta (2005), tiga penciri pembiayaan berbasis syariah adalah: (1) bebas bunga, (2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan (3) perhitungan bagi hasil dilakukan setelah periode transaksi berakhir. Selain itu, terdapat beberapa jenis produk pembiayaan syariah yang berpeluang besar untuk diimplementasikan pada sektor pertanian, antara lain: mudharabah, musyarakah, muzara’ah, bai’ al murabahah, bai’ as-salam, bai’ al ishtina dan rahn (gadai). Banyaknya alternatif pembiayaan syariah ini memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha pertanian untuk memilih skim pembiayaan yang sesuai dengan jenis kegiatan dan skala ekonominya.
Salahsatu subsektor pertanian yang berprospek untuk diajak kerjasama adalah subsektor perkebunan. Subsektor ini mempunyai keunggulan karena peranannya dalam menciptakan lapangan kerja, pemanfaatan potensi alam dan menjaga kelestarian linkungan, serta penghasil devisa dan penyedia kebutuhan dalam negeri. Namun, berdasarkan pengalaman, pengembangannya haruslah selektif mengingat subsektor ini rentan terhadap kegagalan pengembalian kredit/pembiayaan, baik akibat kegagalan produksi maupun pemasaran.
Untuk mengurangi risiko usaha atau meningkatkan peluang keberhasilan dalam implementasi pembiayaan syariah di subsektor perkebunan, salah satu faktor kunci adalah model kemitraan usaha yang terintegrasi antara pelaku usaha perkebunan dan pihak perbankan syariah. Secara empiris pola kemitraan yang saling menguntungkan telah dapat memberikan manfaat baik bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) maupun bagi Usaha Menengah dan Besar (UMB) dalam upaya meningkatkan volume usahanya. Selain itu, pola kemitraan juga dapat memberikan solusi untuk mengatasi masalah permodalan yang kerap menjadi handycap bagi sebagian UMK. Sinergitas yang apik dan terjalin kokoh ini diyakini akan dapat memberikan solusi bagi masalah kualitas kredit (pembiayaan), mengurangi pengangguran, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, pihak perbankan syariah perlu melakukan penjajagan kerjasama dan pembahasan yang intensif dengan komunitas perkebunan dalam rangka pengembangan komoditas unggulan berbasis kemitraan usaha sebagai langkah strategis pengamanan kualitas pembiayaan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan para petani plasma.
Melalui pertemuan semacam itu, diharapkan terjadi kesamaan persepsi di antara para pelaku dan pemadu sistem bisnis komoditas perkebunan dengan komunitas perbankan syariah, sehingga diperoleh pola pembiayaan yang cocok untuk mendukung pengembangan komoditas perkebunan sebagai wahana peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini Bank Indonesia kiranya dapat memberikan penguatan, misalnya dengan menyusun model pembiayaan komoditas perkebunan berbasis syariah.

Tika Noorjaya, adalah mantan pegawai sebuah perusahaan perkebunan negara dan pengamat perbankan syariah.

Artikel ini dimuat Majalah KARSA, Vol. 1, No. 03, September 2011, halaman 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar