PEMBIAYAAN SYARIAH
UNTUK MENDUKUNG PERKEBUNAN
Oleh Tika Noorjaya
Sepanjang tahun 2010, perbankan syariah Indonesia tumbuh dengan volume
usaha yang tinggi, antara lain ditunjukkan dengan pertumbuhan asset 43,99% dan
Dana Pihak Ketiga (DPK) 39,16%. Kalau ditelusuri perjalanan historisnya, selama
satu dasawarsa ini perkembangan perbankan syariah menggambarkan perluasan yang menggembirakan. Kinerja tersebut tampaknya masih akan
dapat dipertahankan pada tahun ini, dan amat mungkin sampai beberapa tahun ke
depan. Sayangnya, portofolio
pertumbuhan perbankan syariah masih dikuasai oleh sektor kelistrikan, retail dan manufaktur.
Perkembangan lembaga pembiayaan
syariah yang pesat dalam dasawarsa ini serta komitmen Bank Indonesia untuk memposisikan perbankan syariah sebagai salah satu pilar ekonomi nasional yang kokoh di masyarakat, merupakan peluang bagi komunitas perbankan syariah untuk bersama-sama dengan pelaku usaha merumuskan berbagai kebijakan yang kondusif
sehingga terdapat sinergi antara perkembangan sistem pembiayaan syariah
dengan usaha di sektor riil,
khususnya di bidang pertanian.
Pengembangan pembiayaan syariah untuk sektor pertanian merupakan pilihan strategis. Seperti dikatakan Ashari dan Sapta (2005), tiga penciri pembiayaan berbasis syariah
adalah: (1) bebas bunga, (2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan (3)
perhitungan bagi hasil dilakukan setelah periode transaksi berakhir. Selain itu, terdapat beberapa jenis produk
pembiayaan syariah yang berpeluang besar untuk diimplementasikan pada sektor
pertanian, antara lain: mudharabah,
musyarakah, muzara’ah, bai’ al murabahah, bai’ as-salam, bai’ al ishtina dan rahn (gadai). Banyaknya
alternatif pembiayaan syariah ini memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha
pertanian untuk memilih skim pembiayaan yang sesuai dengan jenis kegiatan dan
skala ekonominya.
Salahsatu subsektor pertanian yang berprospek untuk
diajak kerjasama adalah subsektor perkebunan. Subsektor ini mempunyai keunggulan
karena peranannya dalam menciptakan lapangan kerja, pemanfaatan potensi alam dan
menjaga kelestarian linkungan, serta penghasil devisa dan penyedia kebutuhan
dalam negeri. Namun, berdasarkan pengalaman, pengembangannya haruslah
selektif mengingat subsektor ini rentan terhadap kegagalan pengembalian
kredit/pembiayaan, baik akibat kegagalan produksi maupun pemasaran.
Untuk mengurangi risiko usaha atau
meningkatkan peluang keberhasilan dalam implementasi pembiayaan
syariah di subsektor perkebunan, salah satu faktor
kunci adalah model
kemitraan usaha yang terintegrasi antara pelaku usaha perkebunan
dan pihak perbankan syariah. Secara empiris pola kemitraan yang saling menguntungkan telah dapat
memberikan manfaat baik bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) maupun bagi
Usaha Menengah dan Besar (UMB) dalam upaya meningkatkan volume usahanya. Selain
itu, pola kemitraan juga dapat memberikan solusi untuk mengatasi masalah
permodalan yang kerap menjadi handycap
bagi sebagian UMK. Sinergitas yang apik dan terjalin kokoh ini diyakini akan
dapat memberikan solusi bagi masalah kualitas kredit (pembiayaan), mengurangi pengangguran,
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, pihak perbankan syariah perlu melakukan penjajagan
kerjasama dan pembahasan yang intensif dengan komunitas perkebunan dalam rangka
pengembangan komoditas unggulan berbasis kemitraan usaha sebagai langkah strategis
pengamanan kualitas pembiayaan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan para
petani plasma.
Melalui pertemuan semacam itu, diharapkan terjadi kesamaan
persepsi di antara para pelaku dan pemadu
sistem bisnis komoditas
perkebunan dengan komunitas perbankan
syariah, sehingga diperoleh pola pembiayaan yang cocok untuk mendukung pengembangan komoditas perkebunan sebagai wahana
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini Bank Indonesia kiranya
dapat memberikan penguatan, misalnya dengan menyusun model pembiayaan komoditas
perkebunan berbasis syariah.
Tika
Noorjaya, adalah mantan pegawai sebuah
perusahaan perkebunan negara dan pengamat perbankan syariah.
Artikel ini dimuat Majalah KARSA, Vol. 1, No. 03, September 2011, halaman 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar