Tapi, baru akhir 2011 saya bisa bertatap muka dengannya, tepatnya dalam perhelatan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS-2) di Bandung. Saat itu saya menjadi moderator untuk pemaparan makalah beliau berjudul "Robohnya Lumbung Kami", -- suatu kajian singkat, namun padat, tentang pembangunan pertanian, khususnya padi, di Jawa Barat, yang ditarik surut jauh ke belakang, ketika Pemerintah Belanda meluncurkan program Verbeterde Cultuur Technieken hingga di zaman kemerdekaan.
Saat menyimak pemaparannya, saya langsung terbayang kumpulan cerpen “Robohnya Surau Kami” yang tragis, karya A. A. Navis beberapa puluh tahun yang lalu. Benar saja, kisah tragis terjadi dalam hasil kajian Kang Her Suganda itu: “Lumbung Kami” tak berdaya menghadapi gempuran teknologi dan liberalisasi pangan yang menyertainya.
Sebagai moderator, saya mencoba mengonfirmasikan hasil temuan tersebut kepada peserta lokakarya; dan ternyata pendapat yang muncul semakin menegaskan bahwa tragedi yang sama hampir terjadi di mana saja, di wilayah yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi. Demikianlah, budaya bertani secara bertahap terdegradasi hampir di seluruh pelosok negeri. Bukan hanya lumbung padi yang roboh secara harfiah, melainkan budaya bertani secara keseluruhan, sejak cara bercocok tanam hingga perilaku di meja makan. Kini, Sang Dewi Sri, tak lebih dari sekadar komoditi. Konversi lahan pertanian padi ke industri dan permukiman, semakin menegaskan ketercerabutan petani dari akar kehidupannya sebagai pewaris negeri agraris.
Kini, wartawan senior yang sangat peduli dengan perkembangan Jawa Barat dan pembangunan pertanian ini telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Innalillahi wainnailaihi rajiun.Selamat jalan Kang Hers Suganda. Wilujeng mulang ka kalanggengan Kang Hers Suganda. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar