Sejak Ir. Sri Mulyono mengupas seputar dunia wayang di Harian Buana Minggu pada akhir 1970-an, ternyata kupasannnya mendapat perhatian yang antuasias dan meluas dari para pembaca setia, yang kemudian dibukukan oleh Penerbit CV Haji Masagung, sedikitnya, dalam empat terbitan. Masing-masing: Wayang dan Karakter Manusia (1976), Wayang dan Karakter Manusia 2 (1977), Apa & Siapa Semar (1978), dan Tripama Watak Satria dan Sastra Jendra (1978).
Dalam keempat buku itu telah muncul berbagai pemikiran yang keluar dari kemapanan, baik karakter sejumlah wayang, atau bahkan filsafat dari cerita yang lazim difahami kala itu.
Minat terhadap dunia wayang, ternyata belum hilang. Kini, setidaknya ada dua buku, yang berada pada jalur itu. Keduanya mengambil setting babad Ramayana.
Yang pertama adalah RAHWANA
PUTIH, karya Sri Teddy Rusdy, yang diterbitkan Yayasan Ketagama tahun 2013. Ini adalah novel wayang beraroma filsafat. Rahwana yang selama ini
dikenal sebagai raja Alengka yang angkara murka penuh kegelapan yang
hitam kelam; kini tampil dari sisi putihnya yang mempertanyakan
eksistensi dirinya yang telah diatur secara licik oleh para dewa. Karena
itu, Rahwana tampil sebagai satria gagah perkasa. Terkait dengan Dewi
Sinta, bahkan Rahwana digambarkan sebagai Sang Kegelapan Pemeram
Keagungan Cinta. Dengan setting seperti itu, maka Ramayana-lah justru
yang dipertanyakan.
Yang kedua adalah SINTA OBONG, karya Ardian Kresna, yang direbitkan Diva Press tahun 2012, yang bercerita tentang SINTA
DAN CINTA. Novel ini merupakan lanjutan dari epos Ramayana, yang
kadung memunculkan stigma hitam-putih antara Rahwana yang raja raksasa
angkara dan Ramayana yang satria bijaksana. Melalui novel ini, Stigma
tersebut coba dibantah lewat pledoi Rahwana soal cintanya yang suci
terhadap Sinta. Sementara Sinta bicara soal kesetiaan dan mempertanyakan
kesatriaan Rama.
Rame, seru, dan dalam beberapa hal menggugat kemapanan cara berpikir yang -- terlanjur -- sudah lama tertanam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar