Judul : Benang Merah Muda: Garis-garis Refleksi Sehari-hari
Penulis : Burhanuddin Abdullah
Editor : Tika Noorjaya & Inayati Ashriyah
Penerbit: MQS Publishing
Cetakan: Ke-1, Juli 2011
BERCANDA DENGAN KATA PENUH MAKNA
Pengantar Editor: Tika Noorjaya
Di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Burhanuddin Abdullah (BA) tetap bisa bercanda.
Tempat mukimnya selama hampir enam bulan itu, diplesetkannya menjadi “Pesantren
Sukakaya”. Kenapa suka-miskin; bukankah lebih baik suka-kaya, gugatnya, sambil
tertawa. Itulah salah satu kelakarnya, ketika pertama kali saya mengunjunginya
di “pesantren” itu. Lalu, BA beragumen tentang perlunya optimisme, berpikir
besar, bercita-cita tinggi dan berjangka panjang melampaui usia fisikal,
kalimat positif, dan lain-lain. Sungguh pertemuan yang mengasyikan. Dan,
suasana semacam itu agaknya tetap berlangsung, siapa pun penjenguk yang datang
berkunjung, yang membuat BA hampir tanpa kesepian, dan pendatang merasa tercerahkan.
Bercanda
dengan kata-kata penuh makna, memang merupakan keseharian BA, tak peduli dalam
suasana apa. Bahkan, tatkala pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, 29 Oktober
2008 yang memberatkannya pun, BA masih bisa bercanda dan membuat ketawa kerabat,
sahabat dan handai taulannya[1], padahal
mereka hadir dengan wajah getir; menepuk punggung dengan wajah murung.
Bercanda
dengan menertawakan diri sendiri adalah cara yang rasional untuk menjaga
kewarasan, dan melanggengkan harapan, katanya suatu ketika. Karena itu, tak
usah heran kalau canda-demi-canda, adalah bagian yang menarik dari jawabannya
yang penuh makna dalam perbincangan keseharian, maupun dalam menjawab
pertanyaan peserta seminar[2] yang bertanya
tentang pengalamannya di “pesantren”, sekalipun pada akhirnya, biasanya,
ditutup dengan menarik hikmah dari segalanya.
***
Dalam buku ini
pun, anda akan menemukan sejumlah canda penuh makna, yang instan ataupun
terselubung, karena secara keseluruhan buku ini merupakan kumpulan renungan
hariannya yang sangat bernas dengan berbagai gagasan serius: Dari soal
“Klakson” mobil kebanggaannya yang suara tidid-nya
nyaris tak terdengar sampai “Tiga Kekuatan Dahsyat” yang menggelegar. Dari soal
“Makan Siang” di warung kaki-lima sampai “Membagikan Nikmat Kemerdekaan” bagi
seluruh penjuru negeri, bahkan penghuni bumi.
Dikemas dalam
lima bab, secara keseluruhan buku ini menampilkan 42 artikel, yang penulisannya
merentang dari Maret 1992 hingga Januari 2011. Jangan khawatir. Sekalipun artikel
tertua telah berusia hampir dua dasawarsa, relevansinya dengan suasana kekinian
tetap terasa; bukan hanya karena tema yang diusung sangat universal, tetapi
juga karena telah melalui proses tulis-ulang. Beberapa di antaranya, bahkan
terasa sebagai gagasan “yang ditulis barusan”. Demikian pula, beberapa artikel
yang mulanya diedarkan di lingkungan BI, dalam banyak hal dapat diperluas
jangkauannya ke tataran masyarakat awam.
Dalam Bab “The Power of Hope”, paparan diawali
dengan “Biduk Lalu, Kiambang Bertaut” yang menggambarkan optimisme di tengah
kegalauan karena dampak krisis multidimensi yang berkepanjangan. Selanjutnya,
harapan-demi-harapan terlontar antara lain melalui keinginan untuk “Menjadi Matahari di Seluruh Negeri”; “Bekerja Lebih Keras, Cerdas, dan Ikhlas”; “Adil”; dan “Merdeka”.
Suasana yang
sama juga terasa dalam Bab “The Spririt
of Change and Success” yang dimulai dengan “Optimisme dan Kebebasan”. Di
bab inilah, kita akan menemukan “Anak Penyamun di Sarang Perawan”, plesetan
dari novel Marah Roesli, Anak Perawan di
Sarang Penyamun. Tulisan ini, tak lain, adalah pidato sambutan BA sebagai
wakil karyawan Bank Indonesia (BI) atas pengangkatan Prof Dr. Anwar Nasution
yang resmi menjadi keluarga BI sebagai Deputi Gubernur Senior. Pada saat
disampaikan, pidato ini, tak pelak, menjadi bahan gergeran, karena – seperti populer waktu itu – Anwar Nasution-lah
yang mencap BI sebagai “sarang penyamun”. Selebihnya, bab ini bernuansa serius
di bawah topik disiplin dan kreativitas, profesionalisme, karakter bangsa,
perubahan dan transisi, membangun struktur dan kultur, serta wisdom and leadership.
Bab The Spirit of Happiness, lebih banyak
membahas tentang nilai-nilai, yang terutama berangkat dari kesadaran beragama,
antara lain: “Kebahagiaan, Etos Memberi, dan Integritas”; “Kaaffah”; “Iman dan Kerja Besar Pembangunan”; serta “Bersyukur”.
“The
Power of Us” adalah bab yang membahas kekuatan kita sebagai bangsa yang
penuh wibawa, berjaya, dan berbudaya. Sekalipun di sana-sini masih diselingi
canda, secara umum inilah gagasan orisinal BA yang diungkapkan dengan frasa
yang penuh makna dan estetika. Meskipun demikian, tak terhindarkan di bab ini
kita temukan paparan yang betul-betul serius, misalnya “Bank Sentral dalam
Sistem Keuangan yang Terintegrasi Secara Global” dan “Menuju Pembangunan Berbasis Industri Pangan”, yang memang
merupakan ringkasan dari orasi ilmiahnya sewaktu menerima penghargaan Doctor Honoris Causa dari Universitas
Diponegoro dan Universitas Padjadjaran.
Akhirnya, bab “Just How to Be Creative”, adalah tulisan ringan yang menggambarkan
kefasihan BA dalam berbahasa untuk menuliskan karya-karyanya.
***
Rencana
penerbitan buku ini sebenarnya telah dirancang jauh hari, karena naskah sudah lama
tersedia. Penyelesaiannya menjadi tertangguhkan karena BA selalu merasa “belum
waktunya”. Entah kenapa, semangatnya untuk menulis yang membara sewaktu bermukim
di Bareskrim, tiba-tiba saja mendingin di Sukamiskin.
***
Konvoy itu begitu
panjang. Jalan yang memang sempit, terasa menyesakkan karena tepian jalan diparkiri
ratusan mobil dan sepeda motor penjemput yang menyemut menambah panjang
antrian. Ya, itulah konvoy yang
mengantarkan Burhanuddin Abdullah (BA) menuju rumahnya di Cihanjuang, selepas
pidato pembebasannya dari “Pesantren Sukamiskin”, 6 Maret 2010.
Saya mengira,
inilah saat yang tepat untuk mengingatkannya tentang garapannya yang belum
tuntas: menerbitkan buku yang telah lama menjadi obsesinya. Namun, hampir
tengah malam, dalam roman BA yang kecapaian menerima kunjungan tamu yang tak
berkesudahan, saya tak kuasa untuk menyampaikannya.
Teman-teman
dari MQ-Publishing-lah, yang berhasil menggegaskan penerbitan ini beberapa
bulan kemudian, sehingga melalui upayanya dapat tampil seperti apa adanya saat
ini. Dan, kepada mereka selayaknya diberikan penghargaan, terutama atas pemilihan
dan pemilahan naskah, serta kesabaran menunggu penyelesaian penulisan ulang
yang ternyata membutuhkan waktu panjang.
Semoga kita
bisa menarik manfaat dan maslahat dari karya ini. Semoga kita bisa bercanda
dengan penuh.
Bogor, 3 Juli
2011
Tika Noorjaya
[1] Lihat Pengantar saya dalam buku Mengadili
Dewan Gubernur Bank Indonesia: Catatan Akhir Perjalanan Karir, hal. xviii.
[2] Tak lama setelah kebebasannya hingga belakangan ini, BA seringkali diundang
untuk menjadi pembicara di beberapa seminar. Meskipun seminar-seminar tersebut
tak terkait dengan masalah hukum yang menderanya, ada saja di antara peserta
yang menanyakan pengalamannya. Jawabannya, sungguh elegan, tak ada pembelaan
frontal, melainkan canda-canda yang menebar tawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar