Senin, 26 September 2011

Benang Merah Muda: Garis-garis Refleksi Sehari-hari


Judul : Benang Merah Muda: Garis-garis Refleksi Sehari-hari
Penulis : Burhanuddin Abdullah
Editor : Tika Noorjaya & Inayati Ashriyah
Penerbit: MQS Publishing
Cetakan: Ke-1, Juli 2011















BERCANDA DENGAN KATA PENUH MAKNA
Pengantar Editor: Tika Noorjaya

Di dalam Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Burhanuddin Abdullah (BA) tetap bisa bercanda. Tempat mukimnya selama hampir enam bulan itu, diplesetkannya menjadi “Pesantren Sukakaya”. Kenapa suka-miskin; bukankah lebih baik suka-kaya, gugatnya, sambil tertawa. Itulah salah satu kelakarnya, ketika pertama kali saya mengunjunginya di “pesantren” itu. Lalu, BA beragumen tentang perlunya optimisme, berpikir besar, bercita-cita tinggi dan berjangka panjang melampaui usia fisikal, kalimat positif, dan lain-lain. Sungguh pertemuan yang mengasyikan. Dan, suasana semacam itu agaknya tetap berlangsung, siapa pun penjenguk yang datang berkunjung, yang membuat BA hampir tanpa kesepian, dan pendatang merasa tercerahkan.
Bercanda dengan kata-kata penuh makna, memang merupakan keseharian BA, tak peduli dalam suasana apa. Bahkan, tatkala pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, 29 Oktober 2008 yang memberatkannya pun, BA masih bisa bercanda dan membuat ketawa kerabat, sahabat dan handai taulannya[1], padahal mereka hadir dengan wajah getir; menepuk punggung dengan wajah murung.
Bercanda dengan menertawakan diri sendiri adalah cara yang rasional untuk menjaga kewarasan, dan melanggengkan harapan, katanya suatu ketika. Karena itu, tak usah heran kalau canda-demi-canda, adalah bagian yang menarik dari jawabannya yang penuh makna dalam perbincangan keseharian, maupun dalam menjawab pertanyaan peserta seminar[2] yang bertanya tentang pengalamannya di “pesantren”, sekalipun pada akhirnya, biasanya, ditutup dengan menarik hikmah dari segalanya.
***
Dalam buku ini pun, anda akan menemukan sejumlah canda penuh makna, yang instan ataupun terselubung, karena secara keseluruhan buku ini merupakan kumpulan renungan hariannya yang sangat bernas dengan berbagai gagasan serius: Dari soal “Klakson” mobil kebanggaannya yang suara tidid-nya nyaris tak terdengar sampai “Tiga Kekuatan Dahsyat” yang menggelegar. Dari soal “Makan Siang” di warung kaki-lima sampai “Membagikan Nikmat Kemerdekaan” bagi seluruh penjuru negeri, bahkan penghuni bumi.
Dikemas dalam lima bab, secara keseluruhan buku ini menampilkan 42 artikel, yang penulisannya merentang dari Maret 1992 hingga Januari 2011. Jangan khawatir. Sekalipun artikel tertua telah berusia hampir dua dasawarsa, relevansinya dengan suasana kekinian tetap terasa; bukan hanya karena tema yang diusung sangat universal, tetapi juga karena telah melalui proses tulis-ulang. Beberapa di antaranya, bahkan terasa sebagai gagasan “yang ditulis barusan”. Demikian pula, beberapa artikel yang mulanya diedarkan di lingkungan BI, dalam banyak hal dapat diperluas jangkauannya ke tataran masyarakat awam.
Dalam Bab “The Power of Hope”, paparan diawali dengan “Biduk Lalu, Kiambang Bertaut” yang menggambarkan optimisme di tengah kegalauan karena dampak krisis multidimensi yang berkepanjangan. Selanjutnya, harapan-demi-harapan terlontar antara lain melalui keinginan untuk “Menjadi Matahari di Seluruh Negeri”; “Bekerja Lebih Keras, Cerdas, dan Ikhlas”; “Adil”; dan “Merdeka”.
Suasana yang sama juga terasa dalam Bab “The Spririt of Change and Success” yang dimulai dengan “Optimisme dan Kebebasan”. Di bab inilah, kita akan menemukan “Anak Penyamun di Sarang Perawan”, plesetan dari novel Marah Roesli, Anak Perawan di Sarang Penyamun. Tulisan ini, tak lain, adalah pidato sambutan BA sebagai wakil karyawan Bank Indonesia (BI) atas pengangkatan Prof Dr. Anwar Nasution yang resmi menjadi keluarga BI sebagai Deputi Gubernur Senior. Pada saat disampaikan, pidato ini, tak pelak, menjadi bahan gergeran, karena – seperti populer waktu itu – Anwar Nasution-lah yang mencap BI sebagai “sarang penyamun”. Selebihnya, bab ini bernuansa serius di bawah topik disiplin dan kreativitas, profesionalisme, karakter bangsa, perubahan dan transisi, membangun struktur dan kultur, serta wisdom and leadership.
Bab The Spirit of Happiness, lebih banyak membahas tentang nilai-nilai, yang terutama berangkat dari kesadaran beragama, antara lain: “Kebahagiaan, Etos Memberi, dan Integritas”; “Kaaffah”; “Iman dan Kerja Besar Pembangunan”; serta “Bersyukur”.
The Power of Us” adalah bab yang membahas kekuatan kita sebagai bangsa yang penuh wibawa, berjaya, dan berbudaya. Sekalipun di sana-sini masih diselingi canda, secara umum inilah gagasan orisinal BA yang diungkapkan dengan frasa yang penuh makna dan estetika. Meskipun demikian, tak terhindarkan di bab ini kita temukan paparan yang betul-betul serius, misalnya “Bank Sentral dalam Sistem Keuangan yang Terintegrasi Secara Global” dan  Menuju Pembangunan Berbasis Industri Pangan”, yang memang merupakan ringkasan dari orasi ilmiahnya sewaktu menerima penghargaan Doctor Honoris Causa dari Universitas Diponegoro dan Universitas Padjadjaran.
Akhirnya, bab “Just How to Be Creative”, adalah tulisan ringan yang menggambarkan kefasihan BA dalam berbahasa untuk menuliskan karya-karyanya.
***
Rencana penerbitan buku ini sebenarnya telah dirancang jauh hari, karena naskah sudah lama tersedia. Penyelesaiannya menjadi tertangguhkan karena BA selalu merasa “belum waktunya”. Entah kenapa, semangatnya untuk menulis yang membara sewaktu bermukim di Bareskrim, tiba-tiba saja mendingin di Sukamiskin.
***
Konvoy itu begitu panjang. Jalan yang memang sempit, terasa menyesakkan karena tepian jalan diparkiri ratusan mobil dan sepeda motor penjemput yang menyemut menambah panjang antrian. Ya, itulah konvoy yang mengantarkan Burhanuddin Abdullah (BA) menuju rumahnya di Cihanjuang, selepas pidato pembebasannya dari “Pesantren Sukamiskin”, 6 Maret 2010.
Saya mengira, inilah saat yang tepat untuk mengingatkannya tentang garapannya yang belum tuntas: menerbitkan buku yang telah lama menjadi obsesinya. Namun, hampir tengah malam, dalam roman BA yang kecapaian menerima kunjungan tamu yang tak berkesudahan, saya tak kuasa untuk menyampaikannya.
Teman-teman dari MQ-Publishing-lah, yang berhasil menggegaskan penerbitan ini beberapa bulan kemudian, sehingga melalui upayanya dapat tampil seperti apa adanya saat ini. Dan, kepada mereka selayaknya diberikan penghargaan, terutama atas pemilihan dan pemilahan naskah, serta kesabaran menunggu penyelesaian penulisan ulang yang ternyata membutuhkan waktu panjang.
Semoga kita bisa menarik manfaat dan maslahat dari karya ini. Semoga kita bisa bercanda dengan penuh.

Bogor, 3 Juli 2011


Tika Noorjaya


[1] Lihat Pengantar saya dalam buku Mengadili Dewan Gubernur Bank Indonesia: Catatan Akhir Perjalanan Karir, hal. xviii.
[2] Tak lama setelah kebebasannya hingga belakangan ini, BA seringkali diundang untuk menjadi pembicara di beberapa seminar. Meskipun seminar-seminar tersebut tak terkait dengan masalah hukum yang menderanya, ada saja di antara peserta yang menanyakan pengalamannya. Jawabannya, sungguh elegan, tak ada pembelaan frontal, melainkan canda-canda yang menebar tawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar