Mengadili Dewan Gubernur Bank Indonesia:
catatan akhir perjalanan karir
Penulis: Burhanuddin Abdullah
Penyunting: Tika Noorjaya
Penerbit: Pustaka Jaya, 2009
ISBN: 9794193593, 9789794193594
Tebal: 419 halaman
catatan akhir perjalanan karir
Penulis: Burhanuddin Abdullah
Penyunting: Tika Noorjaya
Penerbit: Pustaka Jaya, 2009
ISBN: 9794193593, 9789794193594
Tebal: 419 halaman
MERAJUT BENANG KUSUT
Pengantar Tika Noorjaya (Penyunting)
Hari itu saya tengah merampungkan naskah
“buku putih” Membongkar Mitos Aliran Dana BI.1 Namun, sebuah
warta membuat saya terpana. Ya, Kamis, 10 April 2008 sore itu saya mendapat
berita duka bahwa Gubernur Bank Indonesia (GBI), Burhanuddin
Abdullah (BA), memulai kehidupan barunya di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Mabes
POLRI terkait kasus “Aliran Dana BI”. Padahal penulisan “buku
putih” itu tak lain dimaksudkan untuk mengurai benang kusut sekaligus
membongkar mitos “Aliran Dana BI”, sehingga pembaca diharapkan paham apa yang
sebenarnya terjadi. Dengan penahanan BA, agaknya benang yang kusut semakin
kusut.
Namun, kini di hadapan pembaca hadir buku
yang akan mengurai, lalu merajut kembali benang-benang kusut tersebut.
Pemintalnya tak lain adalah BA yang sejak 28 Januari 2008 dituduh sebagai
tersangka tindak pidana korupsi “Aliran Dana BI” sebesar Rp 100 miliar rupiah,
lalu menjalani status tahanan 77 hari kemudian. Ya, BA yang sejak awal penetapannya
sebagai Tersangka ingin turut mengurai benang kusut “Aliran Dana BI”,2 nyatanya
terbelit oleh kekusutan kasus itu sendiri. Demikianlah, pada 29 Oktober 2008,
dengan diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari
salah seorang anggota Majelis Hakim (yakni: Murdiyono), akhirnya BA divonis hukuman 5
(lima) tahun penjara, denda Rp 250 juta, serta diharuskan membayar uang perkara
Rp 10.000,00; putusan yang dengan serta-merta ditampik BA dan mengajukan
banding ke tataran pengadilan yang lebih tinggi.
*
Saya merasakan kegundahan dan kegalauan BA
atas keputusan Majelis Hakim tersebut, meski tak lama berselang setelah
penetapan vonis itu, BA berkali-kali menyelimutinya dengan melepas canda di
hadapan hampir 50 orang kerabat, sahabat, dan orang-orang dekatnya yang
menyesaki ruang tunggu berukuran tak lebih dari 20 meter persegi di Gedung Tipikor itu.3
Namun, saya juga menengarai kebangkitan BA
tatkala beberapa hari kemudian BA merencanakan untuk merajut benang kusut
tersebut melalui penerbitan buku ini. Agaknya, meski raganya terpenjara,
jiwanya tetap berkelana, ke mana-mana. Hasil pemikirannya yang meloncat dari
satu ide ke gagasan lain dalam selang waktu yang tak begitu panjang,
menggambarkan kembali semangat kerja kerasnya. Saya mencoba mengimbanginya,
meski agak kepayahan karena keterbatasan masa dan ruang. Betapa tidak. Belum
lagi naskah buku ini selesai, BA bersemangat untuk melanjutkan penjelajahannya
dalam dunia penulisan dengan rencana penerbitan tiga buku lainnya: Demi
Stabilitas. Biografi Sebuah Jabatan, metamorfosa dari Laporan
Pertanggungjawaban BA sebagai Gubernur BI, 2003-2008 yang sudah lama disiapkan
namun belum dirampungkannya; Recollection of Thoughts yang merupakan
kumpulan percikan renungannya berupa artikel atau opininya tentang berbagai
masalah kehidupan; serta (semacam) otobiografi. Saya jadi terbayang—meski
mungkin terasa berlebihan—sang maestro Pramoedya Ananta Toer, dengan
tetralogi novel Pulau Buru-nya yang amat menawan itu. Saya juga terbayang
Soekarno, Putra Sang Fajar, lewat Indonesia
Menggugat serta tulisan lainnya yang mengalir dari tahanan.
Saya menyambut gembira gagasan itu, dan
memang sudah lama dinantikan, karena—dengan demikian—naskah-naskah yang selama
ini sudah terkumpul, yakni: catatan harian BA, draft perjalanan hidup dan
catatan karirnya di Bank Indonesia, sekumpulan artikel yang belum dibukukan,
sekumpulan puisi, transkripsi rekaman “Suara dari Penjara”, serta kliping media
massa tentang BA, tampaknya akan cukup kontributif untuk merealisasikan
obsesinya.
Melalui upayanya untuk merealisasikan
penerbitan buku lanjutan setelah buku ini, saya merasa bahwa BA sedang berusaha
untuk melengkapi dua bukunya yang terdahulu, yang kebetulan melibatkan saya
dalam penyuntingannya.4 Kalau buku ini ingin mengurai lalu merajut
benang kusut terbatas di seputar “Aliran Dana BI”, maka Biografi Sebuah
Jabatan agaknya berpeluang untuk merajut benang kusut dalam format, latar
dan tatar yang lebih besar, bukan semata-mata tentang Bank Indonesia.
Tentang buku ini sendiri, saya sempat
bertanya-tanya; apakah penulisan buku dengan judul seperti ini tidak akan
mengesankan pembelaan buta, karena ditulis oleh sang penderita. Sebuah gugatan
atas ketidakadilan individual yang dirasakannya? Bisa “ya”, bisa juga “tidak”.
Meski latar buku ini sebagian besar mengurai hal-ihwal pengadilan BA, ujungnya
adalah mengambil hikmah bagi pembelajaran ke masa depan, bukan saja bagi BA
melainkan bagi BI maupun penataan pranata negara. Dalam elaborasi lanjutan,
nampaklah bahwa buku ini merupakan penjelajahan ke segala jurusan, bukan semata
soal kekecewaan atau “pemberontakan” karena berada di tahanan. Banyak
perenungan awal yang agaknya bisa terus digali untuk diperdalam. Dan, ke
“pendalaman” itulah agaknya BA akan bertualang di hari-hari mendatang.
Tika Noorjaya
Bogor, April 2009
[5] Lihat, misalnya laporan Kompas, 18 Mei 2003
yang mewawancarai BA beberapa hari setelah BA menjadi GBI. Tatkala ditanya apa obsesinya setelah menjadi Gubernur BI, BA menjawab: ”Saya ingin menjadi Novelis. Saya terkesima
dengan tulisan Ellie Weisel, ... Kecil, pendek, bahasa inggrisnya simple. Saya juga suka buku filosofi
Cina, karya Lin Yutang”. Pertanyaan senada diajukan sejumlah wartawan tatkala
BA berada di Gedung Pengadilan Tipikor, Kuningan.
CATATAN KAKI
[1] Atas pertimbangan dan bantuan beberapa
sahabat, “buku putih” itu diterbitkan atas nama Te-En (inisial saya) dengan
judul Mencari Keadilan: Membongkar Mitos
Aliran Dana BI. Buku ini diedarkan secara terbatas dan tidak
diperjualbelikan, karena lebih merupakan materi pendukung dalam berbagai pembahasan
terkait dengan kasus “Aliran Dana BI”.
[2] Lihat
pernyataan BA setelah penetapannya sebagai Tersangka kasus “Aliran Dana BI”,
yang dimuat dan diberitakan hampir oleh seluruh media pada 29 Januari 2008 –
yang juga disajikan lengkap dalam salah satu bagian buku ini.
[3] Saat itu, BA antara lain bercanda tentang
perilaku di “Negeri Bambu”, yang didengarnya dari sesama tahanan di Bareskrim
menjelang keberangkatannya ke Pengadilan Tipikor hari itu. Konon, di “Negeri
Bambu”, yang pertama-tama ditebang adalah bambu yang lurus-lurus. Selain itu BA
juga mengomentari istilah “sepatutnya” dan “seharusnya” yang melatari penetapan
vonis pengadilannya, karena menurutnya, “sepatutnya” dan “seharusnya” Majelis
Hakim membebaskannya.
Cerita itulah yang saya sampaikan kepada seorang
wartawan di luar ruangan, yang bertanya kenapa BA seperti tak terguncang oleh
putusan yang berat itu.
Sejumlah teman BA yang sangat prihatin atas musibah
ini, juga merasa lega tatkala menyaksikan bagaimana dalam waktu yang tak begitu
lama BA mampu kembali ke karakternya yang ceria dan memproduksi canda yang
menertawakan dirinya sendiri ataupun perhatiannya yang tetap terpelihara dalam
mengamati perkembangan perekonomian negeri.
[4] Buku pertama adalah Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
(Pustaka LP3ES Indonesia, Januari 2006) yang merupakan kumpulan pidatonya pada
masa, 2003-2005, dan buku kedua adalah Menanti
Kemakmuran Negeri. Kumpulan Esai tentang Pembangunan Sosial Ekonnomi Indonesia
(PT Gramedia Pustaka Utama, Juni 2006) yang merupakan kumpulan artikelnya sejak
medio 1985 hingga medio 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar