Rabu, 28 September 2011

Mengadili Dewan Gubernur Bank Indonesia


Mengadili Dewan Gubernur Bank Indonesia:
catatan akhir perjalanan karir

Penulis: Burhanuddin Abdullah
Penyunting: Tika Noorjaya
Penerbit: Pustaka Jaya, 2009
ISBN: 9794193593, 9789794193594
Tebal: 419 halaman



MERAJUT BENANG KUSUT

Pengantar Tika Noorjaya (Penyunting)


Hari itu saya tengah merampungkan naskah “buku putih” Membongkar Mitos Aliran Dana BI.1 Namun, sebuah warta membuat saya terpana. Ya, Kamis, 10 April 2008 sore itu saya mendapat berita duka bahwa Gubernur Bank Indonesia (GBI), Burhanuddin Abdullah (BA), memulai kehidupan barunya di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Mabes POLRI terkait kasus “Alir­an Dana BI”. Padahal penulisan “buku putih” itu tak lain dimaksudkan untuk mengurai benang kusut sekaligus membongkar mitos “Aliran Dana BI”, sehingga pembaca diharapkan paham apa yang sebenarnya terjadi. Dengan penahanan BA, agaknya benang yang kusut semakin kusut.

Namun, kini di hadapan pembaca hadir buku yang akan mengurai, lalu merajut kembali benang-benang kusut tersebut. Pemintalnya tak lain adalah BA yang sejak 28 Januari 2008 dituduh sebagai tersangka tindak pidana korupsi “Aliran Dana BI” sebesar Rp 100 miliar rupiah, lalu menjalani status tahanan 77 hari kemudian. Ya, BA yang sejak awal penetapannya sebagai Tersangka ingin turut mengurai benang kusut “Aliran Dana BI”,2 nyatanya terbelit oleh kekusutan kasus itu sendiri. Demikianlah, pada 29 Oktober 2008, dengan diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari salah seorang anggota Majelis Hakim (yakni: Murdiyono), akhirnya BA divonis hukuman 5 (lima) tahun penjara, denda Rp 250 juta, serta diharuskan membayar uang perkara Rp 10.000,00; putusan yang dengan serta-merta ditampik BA dan mengajukan banding ke tataran pengadil­an yang lebih tinggi.

*
Saya merasakan kegundahan dan kegalauan BA atas keputusan Majelis Hakim tersebut, meski tak lama berselang setelah penetapan vonis itu, BA berkali-kali menyelimutinya dengan melepas canda di hadapan hampir 50 orang kerabat, sahabat, dan orang-orang dekatnya yang menyesaki ruang tunggu ber­ukuran tak lebih dari 20 meter persegi di Gedung Tipikor itu.3

Namun, saya juga menengarai kebangkitan BA tatkala beberapa hari kemudian BA merencanakan untuk merajut benang kusut tersebut melalui penerbitan buku ini. Agaknya, meski raganya terpenjara, jiwanya tetap berkelana, ke mana-mana. Hasil pemikirannya yang meloncat dari satu ide ke gagasan lain dalam selang waktu yang tak begitu panjang, menggambarkan kembali semangat kerja kerasnya. Saya mencoba mengimbanginya, meski agak kepayahan karena keterbatasan masa dan ruang. Betapa tidak. Belum lagi naskah buku ini selesai, BA bersemangat untuk melanjutkan penjelajahannya dalam dunia penulisan dengan rencana penerbitan tiga buku lainnya: Demi Stabilitas. Biografi Sebuah Jabatan, metamorfosa dari Laporan Pertanggungjawaban BA sebagai Gubernur BI, 2003-2008 yang sudah lama disiapkan namun belum dirampungkannya; Recollection of Thoughts yang merupakan kumpulan percikan renungannya berupa artikel atau opininya tentang berbagai masalah kehidupan; serta (semacam) otobiografi. Saya jadi terbayang—meski mungkin tera­sa berle­bihan—sang maestro Pramoedya Ananta Toer, dengan tetralogi novel Pulau Buru-nya yang amat menawan itu. Saya juga terba­yang Soekarno, Putra Sang Fajar, lewat Indonesia Menggugat serta tulisan lainnya yang mengalir dari tahanan.

Saya menyambut gembira gagasan itu, dan memang sudah lama dinantikan, karena—dengan demikian—naskah-naskah yang selama ini sudah terkumpul, yakni: catatan harian BA, draft perjalanan hidup dan catatan karirnya di Bank Indonesia, sekumpulan artikel yang belum dibukukan, sekumpulan puisi, transkripsi rekaman “Suara dari Penjara”, serta kliping media massa tentang BA, tampaknya akan cukup kontributif untuk merea­lisasikan obsesinya.

Melalui upayanya untuk merealisasikan penerbitan buku lanjutan setelah buku ini, saya merasa bahwa BA sedang berusaha untuk melengkapi dua bukunya yang terdahulu, yang kebe­tulan melibatkan saya dalam penyuntingannya.4 Kalau buku ini ingin mengurai lalu merajut benang kusut terbatas di seputar “Aliran Dana BI”, maka Biografi Sebuah Jabatan agaknya berpeluang untuk merajut benang kusut dalam format, latar dan tatar yang lebih besar, bukan semata-mata tentang Bank Indonesia.

Tentang buku ini sendiri, saya sempat bertanya-tanya; apakah penulisan buku dengan judul seperti ini tidak akan mengesankan pembelaan buta, karena ditulis oleh sang penderita. Sebuah gugatan atas ketidakadilan individual yang dirasakannya? Bisa “ya”, bisa juga “tidak”. Meski latar buku ini sebagian besar mengurai hal-ihwal pengadilan BA, ujungnya adalah mengambil hikmah bagi pembelajaran ke masa depan, bukan saja bagi BA melainkan bagi BI maupun penataan pranata negara. Dalam elaborasi lanjutan, nampaklah bahwa buku ini merupakan penjelajahan ke segala jurusan, bukan semata soal kekecewaan atau “pemberontakan” karena berada di tahanan. Banyak perenungan awal yang agaknya bisa terus digali untuk diperdalam. Dan, ke “pendalaman” itulah agaknya BA akan bertualang di hari-hari mendatang.

Tika Noorjaya
Bogor, April 2009



CATATAN KAKI
 

[1] Atas pertimbangan dan bantuan beberapa sahabat, “buku putih” itu diterbitkan atas nama Te-En (inisial saya) dengan judul Mencari Keadilan: Membongkar Mitos Aliran Dana BI. Buku ini diedarkan secara terbatas dan tidak diperjualbelikan, karena lebih merupakan materi pendukung dalam berbagai pembahasan terkait dengan kasus “Aliran Dana BI”.

[2] Lihat pernyataan BA setelah penetapannya sebagai Tersangka kasus “Aliran Dana BI”, yang dimuat dan diberitakan hampir oleh seluruh media pada 29 Januari 2008 – yang juga disajikan lengkap dalam salah satu bagian buku ini.

[3] Saat itu, BA antara lain bercanda tentang perilaku di “Negeri Bambu”, yang didengarnya dari sesama tahanan di Bareskrim menjelang keberangkatannya ke Pengadilan Tipikor hari itu. Konon, di “Negeri Bambu”, yang pertama-tama ditebang adalah bambu yang lurus-lurus. Selain itu BA juga mengomentari istilah “sepatutnya” dan “seharusnya” yang melatari penetapan vonis pengadilannya, karena menurutnya, “sepatutnya” dan “seharusnya” Majelis Hakim membebaskannya.
Cerita itulah yang saya sampaikan kepada seorang wartawan di luar ruangan, yang bertanya kenapa BA seperti tak terguncang oleh putusan yang berat itu.
Sejumlah teman BA yang sangat prihatin atas musibah ini, juga merasa lega tatkala menyaksikan bagaimana dalam waktu yang tak begitu lama BA mampu kembali ke karakternya yang ceria dan memproduksi canda yang menertawakan dirinya sendiri ataupun perhatiannya yang tetap terpelihara dalam mengamati perkembangan perekonomian negeri.

[4] Buku pertama adalah Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Pustaka LP3ES Indonesia, Januari 2006) yang merupakan kumpulan pidatonya pada masa, 2003-2005, dan buku kedua adalah Menanti Kemakmuran Negeri. Kumpulan Esai tentang Pembangunan Sosial Ekonnomi Indonesia (PT Gramedia Pustaka Utama, Juni 2006) yang merupakan kumpulan artikelnya sejak medio 1985 hingga medio 2005.

[5] Lihat, misalnya laporan Kompas, 18 Mei 2003 yang mewawancarai BA beberapa hari setelah BA menjadi GBI. Tatkala ditanya apa obsesinya setelah menjadi Gubernur BI, BA menjawab: Saya ingin menjadi Novelis. Saya terkesima dengan tulisan Ellie Weisel, ... Kecil, pendek, bahasa inggrisnya simple. Saya juga suka buku filosofi Cina, karya Lin Yutang”. Pertanyaan senada diajukan sejumlah wartawan tatkala BA berada di Gedung Pengadilan Tipikor, Kuningan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar