KAPITALISME
LANJUTAN
Oleh Tika Noorjaya
Membaca postingan di sosial
media tentang kericuhan demo Taxi Online beberapa hari belakangan ini, banyak
di antara para pengeritik yang mengarahkan telunjuk ke arah kapitalisme sebagai
biang keroknya.
Menurut saya,
penilaian tersebut a-historis; -- dan karena itu beberapa hari ini saya menyempatkan
diri untuk membaca ulang 1-2 buku tentang kapitalisme yang kebetulan ada di perpustakaan
saya. Ternyata, ... kapitalisme adalah isme atau ideologi moderen sebagai
jawaban terhadap isme-isme lain yang telah hadir dan berjaya di masa lalu.
Sebut saja feodalisme, kolonialisme, fasisme, komunisme, sosialisme,
otoriterianisme, dll.
Kapitalisme sendiri
berusaha untuk merumuskan alternatif terhadap tatanan masyarakat masa lalu itu
yang semakin nyata terlihat kebangkrutannya, hanya menghasilkan kemiskinan
menyeluruh, dan menentang perubahan. Secara terminologis, kapitalisme adalah
kegiatan produksi yang diperuntukkan bagi pasar, yang dilakukan oleh perorangan
maupun secara bersama, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Di dalamnya
termasuk kebutuhan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. So what gitu lho ...
Dalam perkembangan
lebih lanjut, berbekal kaidah efisiensi, konon koperasi moderen yang kini
dikembangkan di Amerika Serikat juga mengikuti asas-asas kapitalisme.
Bahwa kemudian terjadi
penyimpangan semacam kapitalisme semu di Asia Tenggara, hal semacam itu terjadi
juga pada isme-isme terdahulu. Korupsi yang terkait dengan birokrasi seperti
yang dipaparkan dalam The Rise of Ersatz
Capitalism in Souteast Asia (Yoshihara Kunio, 1988) misalnya, itu juga
terjadi dalam sosialisme, atau bentuk isme mana pun.
Dan memang, menurut
Peter L. Berger (1988), kapitalisme dan sosialisme dalam bentuk yang paling
lengkap dan sempurna sekalipun, tidak akan dijumpai pada masyarakat
bangsa-negara mana pun; pada kurun waktu yang mana pun. Baik kapitalisme maupun
sosialisme sama-sama tidak memuaskan dalam mencapai pemerataan dan keadilan.
Berdasarkan kajian
teoritis terhadap hubungan antara kapitalisme dengan stratifikasi; kapitalisme
dengan bentuk-bentuk masyarakat politik; serta kapitalisme dengan berbagai
bentuk sistem nilai, dalam buku Revolusi
Kapitalis, sampailah Peter Berger pada 50 proposisi tentang kemakmuran,
keadilan dan kebebasan, yang diajukannya atas dasar bukti empiris; tidak
semata-mata tentang kapitalisme, tetapi juga tentang “pantulan bayangan pohon”nya,
yakni sosialisme.
Begitulah, ide tentang
sharing economy yang belakangan ini
mengemuka, boleh jadi merupakan revolusi kapitalisme tahap lanjutan, kalau
dilihat dari produk atau layanannya yang semakin efisien dan bermanfaat. Kalau diperhatikan,
kebutuhan akan kapital bukan hanya di pihak penyelenggara aplikasi, tetapi juga
para pemilik armadanya yang amat sangat banyak. Mereka secara bersama-sama saling
melengkapi membentuk sharing economy.
Karena itu, para pihak di sisi “supply”
berhak pula memperoleh manfaat.
Adapun tentang manfaat
dari sisi demand, kita kutip saja "10
Alasan Taxi Online Disukai Penumpang" yang dengan gaya bercanda, pernah pula
beredar di media sosial. Kesepuluh alasan tersebut adalah: (1) Murah; (2) Mobil
bagus: (3) Muat banyak; (4) Tidak takut nyasar; (5) Tak ribet uang kembalian;
(6) Tak takut Argo Kuda; (7) Bisa charge HP; (8) Ada permen Aqua dan tissue; (9) Komentar tetangga: "Hebat,
dia udah pake sopir"; (10) Kata satpam kompleks, "Wah mobil bapak itu
banyak betul, gonta-ganti terus".
Karena itu,
yang harus dikaji di kemudian hari, bukan soal kapitalismenya semata yang akan terus
mengembangkan diri melalui modernisasi (karena hal itu merupakan tuntutan
zaman), melainkan menciptakan batas-batas hukum yang jelas, yang mengayomi
persoalan moral dan etika, yang terbawa pada masalah keadilan, yang konon ingin
diperjuangkan oleh sopir Non-Taxi Online dan barisannya. Di sisi lain, konsumen
juga menginginkan keadilan agar dapat terus memperoleh manfaat, seperti yang
selama ini telah dirasakan.
Bogor, 25 Maret 2016