KRITIK
Oleh Tika Noorjaya
Oleh Tika Noorjaya
Kritik yang baik bersifat membangun.
Boleh saja mengecam kebijakan pemerintah yang dinilai keliru tapi harus mampu
memberikan alternatifnya. Pernyataan harus punya dasar dan kriteria yang jelas.
Kritik juga harus obyektif, sesuai dengan obyek yang menjadi sorotan. Pengeritik
juga harus fokus; -- orang yang mengeritik secara membabibuta terhadap semua
persoalan, pastilah tidak punya kualitas.
Sebagai contoh, dalam kasus Tol
Lampung, menurut hemat saya, seharusnya yang dikritik adalah Pemda Lampung dan
aparatnya; juga masyarakatnya. Bukan Jokowi. Presiden telah melaksanakan kapasitas
(matra dan gatra) kepemimpinannya: Mengarahkan (agar ada tol), Menyediakan
anggaran, Mendelegasikan wewenang (ke aparat di bawahnya), lalu memantau
pelaksanaan. Harus apa lagi? Apa harus jadi sopir bulldozer? Para pelaksana dan
masyarakat Lampung seharusnya malu Presiden sampai harus melakukan kunjungan berkali-kali.
Kenapa? Karena Presiden juga harus memberikan
perhatian ke wilayah lain (bukan hanya Lampung). Harus memperhatikan masalah lain
(bukan hanya jalan tol). Pendeknya harus memperhatikan gatra darat, laut dan udara,
serta geostrategis di dalam maupun luar negeri. Dan lain-lain. Kalaupun
ternyata aparat kita masih lambat juga, kita tak harus melempar kesalahan ke
regim lama, yang penting regim yang sekarang terhindar dari jalan yang keliru
di masa lalu. Demikian pula, kalau masyarakat masih sulit menerima perubahan,
maka kita terima apa adanya, memang negeri ini baru sampai di sini.
Ketika kita mengeritik, maka kita harus
mengerti betul duduk persoalan, tidak menyerang, tidak menghina, apalagi memfitnah. Kalau kritik tak
dihiraukan, tak usah kecewa dan meradang. Orang atau pihak yang dikritik berhak
menerima atau menolaknya, karena setiap orang punya cara pandang yang berbeda
dalam melihat persoalan. Pengeritik bukan satu-satunya yang memahami persoalan.
Pengeritik tak layak merasa sebagai pihak yang paling benar.
Sebaiknya, kita juga punya saluran yang
efektif dalam menyampaikan kritik, misalnya menulis di media massa dengan
argumentasi yang baik, sehingga menjadi perdebatan publik. Bergabung dalam
asosiasi atau perkumpulan apa pun, yang kiranya punya suara untuk didengarkan Pemerintah.
Atau sejelek-jeleknya menjadi anggota DPR-RI lah.
Sebagai masyarakat, setidaknya kita turut
mendoakan agar pemimpin kita diberi kesehatan dan dapat menjalankan amanahnya
dengan baik. Segala perbedaan seharusnya sudah selesai ketika Pilpres telah
usai.
Bersyukurlah kita punya presiden yang
tidak alergi terhadap kritik, dan menerima masukan untuk perbaikannya. Bahkan para
hatters yang menjamur itu, sepertinya
tak membuatnya sakit hati, berbagai hinaan dihadapinya dengan legowo.
Lagi pula, apa enaknya menjadi hatters, menjadi pembenci? Seperti
kata Dale Carnegy, “When we hate our enemies, we are giving them power of us:
power over sleep, our appetities, our blood pressure, or health, and our
happiness”.
Membenci, … memang seharusnya dihindari.
Bogor, 16 Maret 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar