Jumat, 25 Maret 2016

Kapitalisme Lanjutan



KAPITALISME LANJUTAN
Oleh Tika Noorjaya

Membaca postingan di sosial media tentang kericuhan demo Taxi Online beberapa hari belakangan ini, banyak di antara para pengeritik yang mengarahkan telunjuk ke arah kapitalisme sebagai biang keroknya.

Menurut saya, penilaian tersebut a-historis; -- dan karena itu beberapa hari ini saya menyempatkan diri untuk membaca ulang 1-2 buku tentang kapitalisme yang kebetulan ada di perpustakaan saya. Ternyata, ... kapitalisme adalah isme atau ideologi moderen sebagai jawaban terhadap isme-isme lain yang telah hadir dan berjaya di masa lalu. Sebut saja feodalisme, kolonialisme, fasisme, komunisme, sosialisme, otoriterianisme, dll.

Kapitalisme sendiri berusaha untuk merumuskan alternatif terhadap tatanan masyarakat masa lalu itu yang semakin nyata terlihat kebangkrutannya, hanya menghasilkan kemiskinan menyeluruh, dan menentang perubahan. Secara terminologis, kapitalisme adalah kegiatan produksi yang diperuntukkan bagi pasar, yang dilakukan oleh perorangan maupun secara bersama, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Di dalamnya termasuk kebutuhan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. So what gitu lho ...

Dalam perkembangan lebih lanjut, berbekal kaidah efisiensi, konon koperasi moderen yang kini dikembangkan di Amerika Serikat juga mengikuti asas-asas kapitalisme.



Bahwa kemudian terjadi penyimpangan semacam kapitalisme semu di Asia Tenggara, hal semacam itu terjadi juga pada isme-isme terdahulu. Korupsi yang terkait dengan birokrasi seperti yang dipaparkan dalam The Rise of Ersatz Capitalism in Souteast Asia (Yoshihara Kunio, 1988) misalnya, itu juga terjadi dalam sosialisme, atau bentuk isme mana pun.

Dan memang, menurut Peter L. Berger (1988), kapitalisme dan sosialisme dalam bentuk yang paling lengkap dan sempurna sekalipun, tidak akan dijumpai pada masyarakat bangsa-negara mana pun; pada kurun waktu yang mana pun. Baik kapitalisme maupun sosialisme sama-sama tidak memuaskan dalam mencapai pemerataan dan keadilan.

Berdasarkan kajian teoritis terhadap hubungan antara kapitalisme dengan stratifikasi; kapitalisme dengan bentuk-bentuk masyarakat politik; serta kapitalisme dengan berbagai bentuk sistem nilai, dalam buku Revolusi Kapitalis, sampailah Peter Berger pada 50 proposisi tentang kemakmuran, keadilan dan kebebasan, yang diajukannya atas dasar bukti empiris; tidak semata-mata tentang kapitalisme, tetapi juga tentang “pantulan bayangan pohon”nya, yakni sosialisme.

Begitulah, ide tentang sharing economy yang belakangan ini mengemuka, boleh jadi merupakan revolusi kapitalisme tahap lanjutan, kalau dilihat dari produk atau layanannya yang semakin efisien dan bermanfaat. Kalau diperhatikan, kebutuhan akan kapital bukan hanya di pihak penyelenggara aplikasi, tetapi juga para pemilik armadanya yang amat sangat banyak. Mereka secara bersama-sama saling melengkapi membentuk sharing economy. Karena itu, para pihak di sisi “supply” berhak pula memperoleh manfaat.

Adapun tentang manfaat dari sisi demand, kita kutip saja "10 Alasan Taxi Online Disukai Penumpang" yang dengan gaya bercanda, pernah pula beredar di media sosial. Kesepuluh alasan tersebut adalah: (1) Murah; (2) Mobil bagus: (3) Muat banyak; (4) Tidak takut nyasar; (5) Tak ribet uang kembalian; (6) Tak takut Argo Kuda; (7) Bisa charge HP; (8) Ada permen Aqua dan tissue; (9) Komentar tetangga: "Hebat, dia udah pake sopir"; (10) Kata satpam kompleks, "Wah mobil bapak itu banyak betul, gonta-ganti terus".

Karena itu, yang harus dikaji di kemudian hari, bukan soal kapitalismenya semata yang akan terus mengembangkan diri melalui modernisasi (karena hal itu merupakan tuntutan zaman), melainkan menciptakan batas-batas hukum yang jelas, yang mengayomi persoalan moral dan etika, yang terbawa pada masalah keadilan, yang konon ingin diperjuangkan oleh sopir Non-Taxi Online dan barisannya. Di sisi lain, konsumen juga menginginkan keadilan agar dapat terus memperoleh manfaat, seperti yang selama ini telah dirasakan.

Bogor, 25 Maret 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar