Jumat, 18 Maret 2016

Grand Design dan Mitos



Grand Design dan Mitos

Saya banyak menerima postingan di media sosial yang membawa-bawa istilah “grand design” tentang perjuangan si A, B, C, ... Z dalam mencapai tujuan tertentu. Postingan model begini menurut pengamatan saya menjamur belakangan ini, wabil khusus kalau mau ada pilihan presiden (Pilpres) atau pilihan kepala daerah (Pilkada).

Hal yang mengherankan, ... grand design tersebut dipaparkan justru oleh orang atau pihak lain, dari sudut pandang yang bertentangan. Mereka membuat analisis berdasarkan grand design orang lain yang mereka bayangkan sendiri, lalu dikritik habis-habisan. Tak lupa mereka juga membuat tampilan gambar hasil rekayasa cropping. Mungkin maksudnya agar tampak meyakinkan, padahal sepintas segera kelihatan, dan akal-akalan begini akan mudah ditangkal, sehingga sungguh merupakan upaya yang kontraproduktif belaka. Aneh !!! Bagaimana seseorang bisa begitu fasih “membaca” grand design orang atau pihak lain. Jangan-jangan grand design yang dipermasalahkan bahkan tidak terpikirkan oleh siempunya cerita. Ha ha ha. Quo vadis?

Sekarang saya berkesimpulan, bahwa “grand design” yang banyak disebut-sebut itu (dari pihak kiri ataupun kanan) sama halnya dengan istilah “bahaya laten PKI”, yang dihembuskan teramat kencang zaman Orba dulu. Dalam cengkraman diktatorial, doktrin tersebut begitu efektif dan menimbulkan efek jera (deterrent effect) yang bukan main menakutkan. Kala itu, orang cukup menyebut seseorang sebagai antek PKI atau keluarga PKI untuk menyingkirkannya dari peredaran. Dan korban pun berjatuhan. Sejumlah buku “ilmiah”, novel, cerita pendek bisik-bisik di pinggir jalan telah memberi kesaksian. Sebut saja: Pulang (Leila S. Chodori, Kepustakaan Populer Gramedia, 2012); Amba (Laksmi Pamuntjak, PT Gramedia Pustaka Utama, 2013; Cerita Buat Para Kekasih (Agus Noor, PT Gramedia Pustaka Utama, 2014); atau belakangan terungkap kisah kematian ayah Andy Noya yang juga disangka PKI (Andy Noya: Sebuah Biografi, Kompas Media Nusantara, 2015). Atau jauh sebelum itu, beberapa novel dan cerita pendek karya Sang Maestro Pramudya Ananta Toer, mengungkap kisah-kisah memilukan pada masa itu.

Sekarang ini, dalam era Generasi Y, dalam era digital dan informasi yang meluap luar biasa, ... agitasi dan insinuasi model begituan kiranya telah kehilangan marwahnya. Selain itu, komunisme itu sendiri sudah kehilangan tuah bahkan di episentrumnya. Lihatlah Rusia sudah terpecah-belah. Cina sudah jadi negeri kapitalis. Adapun kehebatan Fidel Castro di Cuba cuma tinggal nostalgia. Oh ya jangan lupa, Tembok Berlin sudah lama runtuh dan terkapar tak bangun lagi. Padahal, di masa lalu, konon, kekuatan komunisme terletak pada komunitas internasionalnya, yang meskipun di antara mereka terjadi perbedaan cara, suatu saat bisa saja bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Nah, kalau di masing-masing negara saja sekarang sudah lemah, bagaimana komunitas internasional mau berbicara?

Saya juga berkesimpulan bahwa grand design model begituan tak lebih dari mitos, cerita rekayasa, yang seharusnya dibongkar, seperti halnya “Mitos Pribumi Malas”, yang ditiupkan oleh penjanjah untuk melanggengkan hegemoninya (lihat buku karya Syed Husein Alatas dengan judul yang sama terbitan LP3ES, 1988). Hal yang sama berlaku untuk mitos “gemah ripah loh jinawi”, yang “doeloe” pun sesungguhnya hanya berlaku di sebagian kecil wilayah Nusantara (lihat misalnya artikel Burhanuddin Abdullah, “Mencari Juru Bahasa Penderitaan di Negeri Bermusim Dua”, Harian Suara Karya, 13 Mei 1985).

Saya juga ingat waktu responsi mata kuliah Sosiologi Pedesaan dan Ilmu Kependudukan di almamater tercinta, yang antara lain mempertanyakan soal mitos “banyak anak banyak rezeki”. Saat itu, terucap kata bahwa mitos tersebut hanya efektif dalam zaman baheula ketika man-land ratio masih tinggi, tapi kehilangan makna tatkala penghuni bumi berlipat-ganda. Secara singkat saya pernah menuliskannya dalam sebuah artikel di Kompas (“Gerakan Efisiensi Nasional”, 6 Februari 1986).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar