Grand Design dan Mitos
Saya banyak menerima postingan di
media sosial yang membawa-bawa istilah “grand
design” tentang perjuangan si A, B, C, ... Z dalam mencapai tujuan tertentu.
Postingan model begini menurut pengamatan saya menjamur belakangan ini, wabil khusus kalau mau ada pilihan presiden
(Pilpres) atau pilihan kepala daerah (Pilkada).
Hal yang mengherankan, ... grand design tersebut dipaparkan justru oleh
orang atau pihak lain, dari sudut pandang yang bertentangan. Mereka membuat
analisis berdasarkan grand design orang
lain yang mereka bayangkan sendiri, lalu dikritik habis-habisan. Tak lupa
mereka juga membuat tampilan gambar hasil rekayasa cropping. Mungkin maksudnya agar tampak meyakinkan, padahal
sepintas segera kelihatan, dan akal-akalan begini akan mudah ditangkal,
sehingga sungguh merupakan upaya yang kontraproduktif belaka. Aneh !!! Bagaimana
seseorang bisa begitu fasih “membaca” grand
design orang atau pihak lain. Jangan-jangan grand design yang dipermasalahkan bahkan tidak terpikirkan oleh
siempunya cerita. Ha ha ha. Quo vadis?
Sekarang saya berkesimpulan,
bahwa “grand design” yang banyak
disebut-sebut itu (dari pihak kiri ataupun kanan) sama halnya dengan istilah “bahaya
laten PKI”, yang dihembuskan teramat kencang zaman Orba dulu. Dalam cengkraman
diktatorial, doktrin tersebut begitu efektif dan menimbulkan efek jera (deterrent effect) yang bukan main
menakutkan. Kala itu, orang cukup menyebut seseorang sebagai antek PKI atau keluarga
PKI untuk menyingkirkannya dari peredaran. Dan korban pun berjatuhan. Sejumlah
buku “ilmiah”, novel, cerita pendek bisik-bisik di pinggir jalan telah memberi
kesaksian. Sebut saja: Pulang (Leila S. Chodori, Kepustakaan
Populer Gramedia, 2012); Amba (Laksmi
Pamuntjak, PT Gramedia Pustaka Utama, 2013; Cerita
Buat Para Kekasih (Agus Noor, PT Gramedia Pustaka Utama, 2014); atau belakangan terungkap kisah kematian ayah Andy Noya yang juga
disangka PKI (Andy Noya: Sebuah Biografi,
Kompas Media Nusantara, 2015). Atau jauh sebelum itu, beberapa novel dan cerita pendek karya Sang Maestro Pramudya
Ananta Toer, mengungkap kisah-kisah memilukan pada masa itu.
Sekarang ini, dalam era Generasi
Y, dalam era digital dan informasi yang meluap luar biasa, ... agitasi dan
insinuasi model begituan kiranya telah kehilangan marwahnya. Selain itu,
komunisme itu sendiri sudah kehilangan tuah bahkan di episentrumnya. Lihatlah
Rusia sudah terpecah-belah. Cina sudah jadi negeri kapitalis. Adapun kehebatan Fidel
Castro di Cuba cuma tinggal
nostalgia. Oh ya jangan lupa, Tembok Berlin sudah lama runtuh dan terkapar tak
bangun lagi. Padahal, di masa lalu, konon, kekuatan komunisme terletak pada
komunitas internasionalnya, yang meskipun di antara mereka terjadi perbedaan
cara, suatu saat bisa saja bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Nah,
kalau di masing-masing negara saja sekarang sudah lemah, bagaimana komunitas
internasional mau berbicara?
Saya juga berkesimpulan bahwa grand design model begituan tak lebih
dari mitos, cerita rekayasa, yang seharusnya dibongkar, seperti halnya “Mitos Pribumi Malas”,
yang ditiupkan oleh penjanjah untuk melanggengkan hegemoninya (lihat buku karya
Syed Husein Alatas dengan judul yang sama terbitan LP3ES, 1988). Hal yang sama
berlaku untuk mitos “gemah ripah loh jinawi”, yang “doeloe” pun sesungguhnya hanya
berlaku di sebagian kecil wilayah Nusantara (lihat misalnya artikel Burhanuddin
Abdullah, “Mencari Juru Bahasa Penderitaan di Negeri Bermusim Dua”, Harian Suara Karya, 13 Mei 1985).
Saya juga ingat waktu responsi mata
kuliah Sosiologi Pedesaan dan Ilmu Kependudukan di almamater tercinta, yang antara
lain mempertanyakan soal mitos “banyak anak banyak rezeki”. Saat itu, terucap
kata bahwa mitos tersebut hanya efektif dalam zaman baheula ketika man-land ratio masih tinggi, tapi
kehilangan makna tatkala penghuni bumi berlipat-ganda. Secara singkat saya
pernah menuliskannya dalam sebuah artikel di Kompas (“Gerakan Efisiensi Nasional”, 6 Februari 1986).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar