Reorientasi PKBL-BUMN
Oleh Tika Noorjaya
Kementerian
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 3 Juli 2015 menerbitkan Peraturan Menteri (Permen)
Nomor PER-09/MBU/07/2015, tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN
(PKBL-BUMN). Permen ini merupakan revisi dari peraturan-peraturan sebelumnya.
Permen yang terakhir intinya menegaskan kembali bahwa program PKBL dikelola
oleh BUMN yang bersangkutan, melalui Unit Program Kemitraan dan Program Bina
Lingkungan. Tanpa upaya khusus untuk melakukan pengelolaannya, kita kuatir
kebijakan tersebut akan mengulang masa lalu yang diwarnai dengan tingginya
kredit bermasalah atau Non-Performing
Loans (NPL).
Menyadari
tingginya NPL yang terus berlanjut, pada era Menteri BUMN Dahlan Iskan, telah
ada upaya untuk secara bertahap mengalihkan semua pengelolaan dana PKBL-BUMN
kepada PT Permodalan Nasional Madani (PT PNM). Namun demikian, rencana
pengalihan ini mangkrak sejak pergantian pemerintahan, hingga muncul Permen
BUMN yang arah kebijakannya bertolakbelakang.
Adagium “ganti
menteri, ganti kebijakan” tampaknya memperoleh pembenaran.
Tulisan ini
mencoba menganalisis suatu kebutuhan untuk melakukan reorientasi dalam
pengalokasian dana PKBL-BUMN.
Kredit Bermasalah
Tingginya NPL dalam
penyaluran dana PKBL-BUMN selama ini bukan rahasia. Seperti dikatakan Dahlan Iskan
saat menjadi Menteri BUMN, terdapat kelemahan dalam penyaluran PKBL BUMN, yang tercermin
dari tingkat kegagalan pengembalian dana hingga 30% dari total alokasi.
Pernyataan itu kiranya perlu mendapat stabilo merah, bahwa untuk sejumlah BUMN
angka 30% itu boleh jadi jauh terlampaui. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) mengungkapkan bahwa penyaluran PKBL-BUMN pada 2007-2013 telah mengurangi
hak negara atas kekayaan BUMN minimal Rp9,13 triliun. BPK juga menyimpulan bahwa
dana PKBL pada kurun tersebut memiliki risiko penyalahgunaan yang cukup tinggi
karena pengelolaan dan pelaporan yang terpisah dari Laporan Keuangan
BUMN.
Penyebab NPL
tinggi sesungguhnya sudah dapat diduga sejak semula. Pertama, keterbatasan kapasitas
unit pengelola Program Kemitraan, yang umumnya
tidak memiliki kemampuan untuk mengelola kredit. Kedua, adanya moral hazzard di pihak pemberi maupun
penerima, karena berangkat dari persepsi sebagai program sosial. Ketiga,
keragaman jenis usaha para mitra binaan, yang masing-masing memerlukan
keahlian khusus. Keempat, kesulitan menjangkau lokasi karena usaha mikro dan
usaha kecil yang ingin dibantu terpencar di tempat terpencil.
Gagasan Dahlan
Iskan untuk mengalihkan pengelolaan dana PKBL-BUMN ke PT PNM sesungguhnya sejalan
dengan keinginan sejumlah pihak di masa lalu untuk menjadikan PT PNM sebagai second-tier bank dalam pengembangan
UMKM, seperti yang pernah dilaksanakan oleh Bank Indonesia di masa lalu. Lembaga ini menghimpun
dana untuk disalurkan kepada perbankan dan lembaga keuangan bukan bank yang
memberikan pembiayaan kepada UMKM, tetapi tidak langsung menyalurkannya kepada
UMKM. Seandainya BUMN dikelompokkan menjadi BUMN Perbankan dan BUMN Non-Perbankan,
maka dana PKBL-BUMN Non-Perbankan diprioritaskan sebagai sumber modal untuk pendirian
second-tier bank dimaksud.
Pilihan
ini akan bermanfaat tidak hanya dalam aspek akuntabilitas dana pembinaan yang
disalurkan kepada UMKM, tetapi jauh lebih penting bahwa penyaluran dana kepada
UMKM dilakukan melalui lembaga yang mempunyai pengalaman, jaringan kantor,
sumberdaya manusia, yang lebih baik daripada BUMN.
Reorientasi Baru
Reorientasi
pemanfaatan dana PKBL-BUMN mengacu pada optimalisasi pemanfaatan dana dengan
melakukan rasionalisasi dalam pengelolaannya.
Program Bina
Lingkungan, tetap dilanjutkan oleh BUMN yang bersangkutan. Sebagai bagian dari
program Corporate Social Responsibility
(CSR), layaklah kalau mereka menentukan pihak mana yang mendapat bantuan alokasi
dana Bina Lingkungan, sesuai Pasal 9 butir (3) Permen BUMN. Sebagai hibah, dana
ini dipertanggungjawabkan dalam bentuk ketepatan sasaran dan efektivitas
penggunaannya.
Untuk Program
Kemitraan, sebaiknya mengacu pada makna kemitraan yang ada keterkaitan bisnis
dengan usaha BUMN, sehingga antara BUMN dengan mitra binaan memperoleh
kemaslahatan bersama yang saling mendukung. BUMN Perkebunan, misalnya, bermitra
dengan Koperasi Perkebunan, yang disiapkan untuk terlibat dalam proses produksi
sejak hulu hingga hilir. Dengan pola kemitraan semacam itu, maka akan tercapai
efisiensi, kontinuitas, penanganan risiko, manfaat sosial, dan ketahanan
ekonomi.
Unsur
kemitraan diawali dengan sosialisasi gagasan kepada pihak terkait, program
pendampingan yang profesional dan kontinu, pembentukan kelompok usaha yang solid, administrasi yang transparan,
pengaturan penggunaan dan penyaluran kredit yang baik, pola pengembalian kredit
disesuaikan dengan arus kas, serta merintis simpan-pinjam dan mobilisasi
tabungan. Pola kerjasamanya dituangkan ke dalam Nota Kesepakatan yang jelas, transparan, dan dalam bentuk tertulis.
Dengan
melihat berbagai manfaat program kemitraan, BUMN sebaiknya bermitra dengan
lembaga khusus, yang menyiapkan program kemitraan untuk dipromosikan ke BUMN-nya,
melakukan pembinaan secara intens untuk meningkatkan kapasitas manajemen dan
usaha UMKM (termasuk koperasi), hingga monitoring kreditnya. Selain aspek
teknis dan pengembangan masyarakat, peranan lembaga dimaksud adalah melakukan koordinasi
dengan para pihak untuk melaksanakan kegiatan dengan target dan batas waktu
yang tegas.
Untuk
semua peranannya, lembaga tersebut berhak memperoleh imbalan. Biaya-biaya pada
tahap awal seyogianya disediakan oleh BUMN, melalui Beban Operasional seperti
dimaksud Pasal 13, yang tidak bertentangan dengan Pasal 14 Permen BUMN di atas.
Biaya lainnya, dapat dibebankan kepada mitra binaan sebandiing dengan manfaat
yang diperolehnya.
Penutup
Melalui upaya
ini diharapkan akan memperbaiki kinerja Direksi dan Komisaris BUMN, karena
kinerja Program Kemitraan merupakan salah satu Indikator Kinerja Kunci (Pasal
25).
Kinerja
pertama adalah tingkat efektivitas, yakni persentase total penyaluran dana Program
Kemitraan dibandingkan dengan dana yang tersedia dalam periode setahun. Untuk
mencapai nilai baik, setiap tahun BUMN minimal harus mencapai nilai 90%. Ukuran
kinerja kedua adalah kolektabilitas, yaitu persentase rata-rata tertimbang
untuk masing-masing kategori piutang dibandingkan dengan total piutang. Suatu
BUMN harus mendapatkan persentase minimal 80% untuk mendapatkan nilai baik.
Kedua kinerja
tersebut kiranya dapat mengakomodasi harapan untuk bisa melakukan penyaluran dana
PKBL-BUMN semaksimal mungkin dengan tingkat pengembalian yang tinggi.
Tika Noorjaya, adalah
Sekretaris Jenderal Pusat Pengembangan Usaha Kecil (PPUK) Bakti Persada,
tinggal di Bogor.
Artikel ini dimuat oleh Majalah KARSA Vol. 05.03.2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar