Senin, 21 September 2015

Peduli Andil Koperasi





PEDULI ANDIL KOPERASI
Oleh Tika Noorjaya

Benarkah kita peduli koperasi?

Secara emosional saya ingin menjawab “ya”. Tetapi, secara faktual rasanya masih banyak hal yang menjadi pertanyaan. Misalnya, ... pernahkah ada pencatatan yang rapi, semacam statistik yang siap-saji, ketika ditanyakan berapa persen andil (terkini) koperasi dalam membentuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia ?

Catatan yang pernah ditemukan adalah perkiraan Prof Mubyarto (1979), yang menyatakan bahwa andil koperasi di Indonesia diperkirakan baru sekitar 2% dari PDB. Ada pula perkiraan belakangan ini, bahwa sumbangan koperasi terhadap PDB sekitar 5% (?). Kalaupun perkiraan terakhir itu benar, prestasi itu rasanya belum sebanding dengan kesepaka­tan kita untuk menjadikan koperasi sebagai soko-guru perekonomian nasional.

Ketiadaan data, dan masih belum "jelasnya" perkiraan-perkiraan yang muncul, kiranya mengisyaratkan tentang perlunya statistik tersendiri yang memisahkan sumbangan koperasi, swasta dan Badan Usaha Milik Negara, sehingga tidak lagi "meraba-raba".

Kondisi demikian kiranya bukan tanpa sebab. Kalau kita napak-tilas kebijakan negara terhadap pembangunan koperasi rasanya tak segemebyar retorikanya, yang bahkan terpatri dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.  

Pertama, ketidakpedulian sudah tampak tatkala terjadi nasionalisasi perusahaan Belanda tahun 1957, yang diformalkan dengan Peraturan  Pemerintah (PP)  Nomor 23/1958  tentang nasionalisasi perusahaan Belanda menjadi milik pemerintah RI. Sejak 1957 hingga 1960, sekitar 700-an perusahaan Belanda di Indonesia berhasil dinasionalisasi. Jumlah itu mencakup 70% perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia zaman itu. Menurut Prof. Dr. R. Z. Leirissa, sejak terjadi gelombang nasionalisasi, kepemilikan 90% produksi perkebunan beralih ke tangan pemerintah. Demikian juga halnya dengan 60% nilai perdagangan luar negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalan dan sektor jasa. Pertanyaannya, dari begitu banyak perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, adakah yang dialokasikan untuk koperasi?

Kedua, tatkala terjadi peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Seberapa besar koperasi dilibatkan untuk bermitra dalam kegiatan penanaman modal asing (PMA) dan penanaman dalam negeri (PMDN). Padahal, Undang-undang Koperasi Nomor 12 lahir pada tahun 1967, hampir bersamaan dengan terbitnya Undang-undang PMA dan PMDN.

Ketiga, hal yang sama berulang tatkala krisis ekonomi melanda negeri ini. Sejak pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) melalui Keputusan Presiden 27/1998, lembaga ini telah menjual murah sejumlah aset negara, yang nilainya ratusan triliun. Ketika BPPN dibubarkan, uang negara yang telah dikucurkan kepada perbankan senilai Rp 699,9 triliun menyusut menjadi Rp 449,03 triliun, karena sebagian asset merupakan aset busuk yang nilainya digelembungkan para debitur. Pertanyaan yang sama, berapa dari aset murah tersebut yang jatuh ke “tangan” Koperasi?

Dari ketiga contoh tersebut, agaknya selama ini kita terlalu terbuai dengan retorika, puja-puji dan sanjungan tentang peranan koperasi dalam bernegara, tetapi tak terdukung dalam wujud konkretnya berupa keberpihakan atau kepedulian Pemerintah untuk membangun dan membesarkannya. Atau, kalaupun sudah dilakukan berbagai upaya, hasilnya belum tergambar dalam wujud andilnya terhadap PDB.

Karena itu, ke depan barangkali kita harus mulai memikirkan-ulang keberpihakan pemilik negeri ini terhadap koperasi. Sebuah kilas balik perlu ditelusuri. Barangkali ada baiknya kalau para petinggi negeri bergandengan tangan dengan penggerak koperasi,  membahasnya secara intens dalam sebuah perhelatan besar nasional. Selama ini, gelora dan wacana koperasi hanya muncul ketika upacara seremonial menyambut dan merayakan Hari Koperasi setiap 12 Juli.

Padahal, ada perhelatan lain yang sudah lama tak diselenggarakan, yakni Kongres Koperasi. Sejak negeri ini berdiri, baru dilaksanakan dua kali Kongres Koperasi, yakni 12 juli 1947 di Tasikmalaya dan 17 Juli 1953 di Bandung. Setelah itu, lupa.

Semoga kerisauan atas peranan koperasi ini dapat terjawab dalam Kongres Koperasi Ketiga, yang entah kapan, dan mau diselenggarakan di mana.

Dalam perhelatan tersebut, barangkali bisa kita petakan pangsa koperasi dalam PDB hingga 17% (angka keramat) pada saat negeri ini berusia 100 tahun. Kalau itu terjadi, rasanya kita boleh berbangga diri kalau diingat bahwa Swedia yang dikenal sebagai "top"nya koperasi saja butuh 80 tahun untuk memberikan sumbangan 17% terhadap PDB yang bersumber dari koperasi.

Semoga.


Artikel ini dimuat Majalah Mikropreneur Edisi Khusus, September 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar