Masalah Perkebunan:
Harga Turun, Muncul PHK
Oleh Tika Noorjaya
MENURUNNYA harga mata dagangan hasil perkebunan tertentu kiranya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelesuan perekonomian dunia
sekarang ini, apalagi karena pembudidayaan tanaman perkebunan lebih banyak
diorientasikan untuk ekspor. Bahkan mata dagangan perkebunan diharapkan
menghasilkan devisa sebagai pengganti pendapatan devisa dari minyak bumi yang
harganya semakin tidak menentu.
Sebagai mata dagangan ekspor, gejolak perdagangan dunia secara
langsung terkait dengannya. Gejolak yang baik cenderung membawa pengaruh yang
baik, tetapi gejolak yang buruk tak pelak lagi membawa pengaruh yang cenderung
memburuk pula.
Terakhir, yang banyak dirasakan subsektor perkebunan adalah menurunnya
harga mata dagangan tertentu, seperti minyak sawit, teh, karet, dan yang
lainnya. Akibatnya terjadi penurunan pendapatan, yang pada gilirannya banyak
mengganggu likuiditas perusahaan termasuk tersiarnya PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja) di lingkungan perkebunan negara, serta adanya perkebunan terlantar.
Cadangan Penyangga
Masalahnya, bagaimana para pekebun (termasuk pengelola perkebunan
milik negara) pada saat harga-harga mata dagangan kurang menggembirakan, mampu
tetap bertahan, bahkan mampu terus melanjutkan investasinya sesuai dengan
harapan.
Satu hal lagi, dari pengalaman selama ini, maka pada masa mendatang
bukan hal yang mustahil terjadi gejolak harga yang kurang menguntungkan,
meskipun mungkin secara rata-rata (dalam jangka panjang) cukup menguntungkan.
Hal ini menjadi lebih penting mengingat keberhasilan pembangunan perkebunan
rakyat selama kurang lebih dua periode Pelita, yang melibatkan ratusan ribu
atau mungkin jutaan petani pesertanya. Tentu, kita tidak mengharapkan para
pekebun meninggalkan atau menelantarkan kebunnya lantaran pendapatan mereka
dari kebunnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kita juga tidak
mengharapkan apabila misalnya para pekebun karet “memperkosa” kulit karet
dengan melakukan sadapan berat.
Semua itu tidak kita harapkan, karena kita sadar bahwa hal itu akan
berpengaruh dalam jangka panjang, sementara investasinya kita biayai dengan
susah payah karena kondisi keuangan yang sulit. Bahkan sebaliknya, investasi
itu kita harapkan memberikan hasil yang semaksimal mungkin dalam waktu selama
mungkin.
Berdasarkan keyakinan bahwa budidaya tertentu dalam jangka panjang
akan cukup menguntungkan, mungkin sudah saatnya dipikirkan adanya sistem
sejenis cadangan penyangga, di mana terjadinya gejolak harga tidak terlalu
“memukul” pekebun.
Dalam sistem ini, pendapatan minimum para pekebun setiap bulannya
diupayakan tidak di bawah kebutuhan hidup keluarganya. Misalnya, pada saat
harga turun seperti sekarang, mungkin perlu dilakukan”subsidi” (yang
diperhitungkan sebagai tambahan kredit). Sebaliknya, pada saat harga baik,
ditempuh upaya yang memungkinkan para pekebun “menabung” di samping mencicil kredit.
PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sekarang seakan-akan menjadi momok yang
setiap saat mengincar karyawan, tidak terkecuali karyawan perkebunan.
Meskipun seringkali diungkapkan bahwa perusahaan perkebunan tidak akan
melakukan PHK mengingat kegiatannya yang padat karya, berita yang mengaitkan perkebunan
dengan PHK sempat muncul juga, bahkan dengan “bumbu” penyedap. Hari ini
dikabarkan ada PHK di kebun “anu”, besoknya dibantah pejabat. Hari lain
dikabarkan ada PHK di kebun “itu”, besoknya dibantah pejabat yang menyatakan
bahwa yang terjadi bukan PHK melainkan “peremajaan” karyawan. Kemudian disusul
tanggapan pejabat lain yang meragukan “peremajaan” karyawan tersebut. Semakin
ramai, sekaligus membingungkan! Meskipun demikian, terkesan “adanya” PHK,
walaupun jumlahnya mungkin sulit diketahui. Seperti dipaparkan di muka, dari
penjelasan yang muncul ke permukaan, tak salah lagi hal tersebut antara lain
disebabkan menurunnya pendapatan. Atau, kalau memang PHK di lingkungan
perusahaan perkebunan baru merupakan gejala, uraian di bawah ini kiranya akan
membatalkan atau setidak-tidaknya menangguhkannya.
Penurunan pendapatan telah mengubah keseimbangan perusahaan, di mana
untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan pertimbangan yang tidak hanya
teknis dan ekonomis, tapi juga sosial dan bahkan politis.
Kedudukan perusahaan perkebunan sebagai penerima harga di pasaran
internasional menyebabkan upaya yang ditempuh untuk mencapai keseimbangan baru
lebih bersifat ke dalam, yakni dengan melakukan upaya menurunkan harga pokok
dengan berbagai peningkatan efisiensi, meskipun barangkali masih ada
celah-celah untuk menembus pasar.
Dalam hal ini, kita mengenal tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi
teknis, efisiensi ekonomis, dan efisiensi sosial. Sayang, dalam rangka
efisiensi, kita seringkali terjebak pada pengertian teknis dan ekonomi saja,
sehingga penyelesaiannya pun bersifat teknis dan ekonomis. Tenaga kerja yang
biasanya mendapat proritas dikorbankan, melalui PHK atau cara lain. Padahal
beberapa pustaka menilai tenaga kerja sebagai aset utama perusahaan, kalau
dapat memanfaatkannya secara optimal. Dari sisi ini, mengembangkan sumberdaya
manusia kiranya merupakan keharusan.
Kalau memang karena kondisinya sudah sedemikian sulit sehingga
rasionalisasi tenaga kerja terpaksa perlu dilakukan, masih dapat diajukan
pertanyaan, apakah tidak lebih baik apabila PHK diberi arti lain selain
pemutusan hubungan kerja? PHK dapat merupakan kependekan dari pengurangan hari kerja,
artinya jumlah tenaga tetap, hanya diadakan pengaturan hari kerja, dengan
konsekuensi penurunan pendapatan bagi karyawan harian. Atau barangkali ada benarnya
juga saran sumber Kompas di
Departemen Pertanian yang mengatakan kalau perlu gaji direksi, staf dan
karyawan bulanan dikurangi untuk dikompensasikan kepada karyawan harian (tetap).
Dapat juga PHK diartikan sebagai peningkatan hasil kerja, yaitu dengan meningkatkan
produktivitas seluruh faktor produksi, termasuk tenaga kerja, dengan implikasi
lanjutan perlunya peningkatan pemasaran untuk memperoleh pasar baru, baik di
luar negeri maupun di dalam negeri.
Mungkin dapat digali dan dilaksanakan akronim lain di luar pemutusan
hubungan kerja, dengan memperhatikan aspek teknis, ekonomis, sosial dan politis
secara menyeluruh. Dalam hal ini, untuk melakukan perubahan tersebut seyogyanya
dilakukan pendekatan yang luwes, sehingga karyawan tidak resah karena dibayangi
PHK yang sewaktu-waktu menghempaskannya. Hal ini sekaligus menumbuhkan semangat
efisiensi dan kebersamaan yang menciptakan ruang kerja yang nyaman dengan
membukanya jendela alasan kemanusiaan.
Perkappen
Dalam perusahaan perkebunan negara, sesungguhnya pembuka jendela
alasan kemanusiaan semacam itu telah ada dengan terbentuknya Persatuan Karyawan
Perusahaan Perkebunan Negara (Perkappen) yang antara lain bertujuan memperjuangkan
perbaikan nasib dan mempertinggi taraf hidup karyawan dan purnakaryawan, dengan
peningkatan dan pengembangan perusahaan.
Dalam menanggapi isyu PHK di lingkungan perusahaan perkebunan negara,
seyogyanya Perkappen tampil sebagai penyelamat dengan memperjuangkan
kepentingan anggotanya. Dalam jangka panjang, Perkappen seyogyanya menyadari
pentingnya mengadakan perjanjian kerja bersama dengan berbagai upaya, di mana
persyaratan kerja tidak ditentukan secara sepihak (oleh perusahaan saja),
melainkan ditentukan bersama. Hal ini akan lebih menjamin terciptanya hubungan
kerja yang serasi, selaras, dan seimbang dalam kewajiban, tanggung jawab, dan
hak masing-masing pihak.
·
Tika Noorjaya, lulusan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi IPB, Bogor, dan pernah
bekerja di sebuah perusahaan perkebunan milik negara.
Artikel ini dimuat HU Kompas, 18 Agustus 1986.