Jumat, 29 Desember 2017

Roda Pedati


Kembali terbukti, bahwa hidup bagaikan roda pedati, yang bergerak memutar, kadang ke depan, ada kalanya ke belakang. Suatu ketika berada di atas, kali lain terdampar di bawah.
Para haters kiri yang jadi pecundang pada tahun 2012 dan 2014 hingga kini tetap menjadi pembenci, pendengki dan penebar fitnah yang tak pernah lelah. Nggak move on. Deritanya tampaknya terus menggumpal bagai bola salju yang terus menggelinding entah sampai kapan.
Hari berganti, dan roda pun berputar. Mereka, para haters kiri itu, kini merasakan nikmatnya kemenangan dalam kontestasi di Pilkada DKI, berkat keberhasilan menjual ayat dan menolak mayat melalui demo berjilid-jilid JUTAAN ORANG (katanya) hanya untuk menjebloskan SATU ORANG SAJA yang dipaksakan didakwa sebagai penista agama. Karena baru merasakan kemenangan dan memendam bara yang tertahan hampir tiga tahunan maka kecenderungan euforianya jadi over dosis.
Dan perilaku pun berulang. Seperti pada kasus 2012 dan 2014, euforia kemenangan para haters kiri tersebut segera dibalas pihak haters kanan yang kini sedang jadi pecundang dan merasa dapat giliran untuk marah dan meradang.
Pidato Anies yang kesleo lidah seperti halnya "sang penista agama", segera diserang dengan berbagai cara, termasuk melaporkannya ke polisi. Selain soal (1) "pribumi" dan (2) "ahistoris kolonialisme hanya terjadi di Jakarta" yang konyol itu, kini bahkan hal remeh-temeh pun jadi sasaran olok-olok dan cercaan haters kanan, tak beda dengan kelakuan para haters kiri yang morang-maring paska Pilkada DKI tahun 2012 dan Pilpres tahun 2014.
Ditambah dengan banyolan Sandi yang gagap dalam berucap dan belepotan dalam berbahasa, maka genaplah sudah ketika ada hater yang tega-teganya mengganti sebutan untuk Gubernur jadi Gabener dan Wakil Gubernur jadi Wagabener. Ada-ada saja.
Musim hujan mulai tiba, dan perlahan namun pasti musim banjir pun akan melanda. Mengikuti contoh mada lalu, dapat dipastikan akan banyak canda dan cercaan tentang banjir tersebut, seperti yang dialami penguasa terdahulu.
______
Tanpa kesadaran untuk rekonsiliasi, boleh jadi ke depan negeri ini akan terus berisik. Haters kiri maupun haters kanan saling berbalas dan menghinakan. Keduanya nggak move-on move- on.
Karena itu, saya berharap, semoga fenomena balas-berbalas dendam ini dapat diredam agar tidak terus bergelora dan memaksakan kehendak menjadi demo balasan berjilid-jilid oleh para haters kanan. Selanjutnya biarlah ditangani aparat dan berakhir di pengadilan, tanpa pihak yang berusaha memaksakan kehendak. Kisah kelam akhir 2016 janganlah diulang karena hanya akan menguras energi bangsa, yang pada akhirnya hanya akan melanggengkan ketertinggalan dari negara tetangga yang sudah lebih dulu maju, melaju.
Semoga kutukan keris Empu Gandring dengan balas dendam yang berkepanjangan dapat diakhiri. Derita negeri cukupkan sampai di sini.
Harapan ini kiranya bukan utopia, karena beberapa pentolan ahli fitnah waljamaah sudah ada yang dikandangkan dan buron polisi.
Sebaliknya, untuk haters kanan tak perlu membalas dendam dengan serampangan, apalagi kalau sampai harus berhadapan dengan kepolisian dan pengadilan, karena hanya buang waktu dan menyusahkan keluarga seperti yang sudah dialami beberapa orang haters kiri. Marilah berdamai dengan diri sendiri.
Biduk lalu, kiambang bertaut. Pilkada berlalu, pendukung bersatu.
Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar