Kamis, 28 Desember 2017

Pemecah Belah Bangsa

PEMECAH BELAH BANGSA
Oleh Tika Noorjaya

Kelakuan para pemecah belah bangsa itu memang payah. Mereka menggembor-gemborkan bahwa Islam sekarang dipinggirkan, ... pokoknya seburuk-buruknya perlakuan. Padahal, Islam Mayoritas di Indonesia baik-baik saja, bahkan terjadi kemajuan dibanding puluhan tahun yang lalu secara kualitas maupun kuantitas, seperti pernah saya tulis dengan judul “Islam Mayoritas, Islam Minoritas”.

Dalam usia yang menjelang senja ini, kita menyaksikan bahwa dibanding masa lalu, Islam sekarang sudah amat jauh berkembang, termasuk perubahan model pendidikan pesantren yang sudah jauh meninggalkan ciri-ciri tradisionalitas.

Demikian pula fasilitas fisik keagamaan Islam seperti mushala, masjid, pesantren, dll, yang semakin banyak, besar, dan megah. Kemajuan dalam bidang fisik ini saya saksikan sendiri di hampir seluruh pelosok negeri, seluruh Nusantara, termasuk di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Non-Muslim.

Pengajian marak di mana-mana, acara radio, acara TV, WA dibanjiri tausiyah, bahkan demo-demo diakomodasi yang hingga berjilid-jilid itu. Apakah dulu seperti itu? Sebagai pembanding, coba tanya bagaimana derita simpatisan PPP sebagai satu-satunya Partai Islam pada Pemilu 1977, karena diberangus dari 4 partai Islam pada Pemilu 1971. Saya punya saudara dan teman di kampung, yang menjadi saksi hidup atas sikap represif Rezim Orde Baru terhadap Islam waktu itu, karena di kampung saya PPP memperoleh dukungan lumayan besar. Kalau kita buka buku-buku sejarah, maka sikap represif Pemerintah di tahun 1977 itu hanyalah contoh kecil saja.

Dulu, "Assalamualaikum" hanya merupakan pembuka pidato, dan amat sangat terbatas yang berani mengucapkannya dalam perbincangan sehari-hari.

Dulu, kaum wanita hanya kenal kerudung atau pasmina, sedangkan jilbab merupakan barang langka. (Karena itu, tak usaha heran kalau kebanyakan kaum wanita kita di masa lalu tidak memaki jilbab, seperti halnya Ibu Kartini atau Cut Nya Din; -- suatu isu yang pernah muncul seakan Pemerintah tidak pro-Islam dalam penerbitan uang rupiah emisi baru. Tanpa pemahaman sejarah sama sekali, isyu itu mereka umbar begitu hingar-bingar ... sungguh memalukan).

Kemudahan transportasi juga telah memungkinkan jumlah haji dan umrah yang terus meningkat setiap tahun. Dulu ? Haji bisa dihitung dengan jari, bahkan Umroh rasanya kurang dikenal. Hal ini tentu saja merupakan petunjuk juga bahwa banyak umat Islam yang penghidupannya lebih baik, sehingga mereka dapat pergi ke tanah suci, baik untuk berhaji maupun umrah.

Nikmat mana lagi yang tengah diingkari di negara dan era ini? Dari sudut mana Islam dipinggirkan? Yang sebenarnya terjadi, yang merasa dipinggirkan adalah kaum Islam Minoritas yang baru muncul beberapa tahun belakangan, termasuk Ormas semacam HTI yang secara resmi telah dibubarkan karena tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Mereka ini dipimpin oleh segelintir ulama yang memecah belah, bahasanya kasar dan mengghasut, mengkofar-kafirkan orang, memprovokasi, dan secara umum tidak menunjukkan sikap Islami yang rahmatan lil’alamin. Kalau menurut Jenderal Gatot Nurmantyo, mereka adalah “Ulama Palsu.” (Lihat tulisan saya berjudul “Menyiangi Rumput Liar, Menyiangi Ulama Liar”).

Berdasarkan pengalaman di kampung dulu dan dalam pemahaman saya selama ini, ... ulama, ustadz, atau kyai yang kami (saya) teladani senantiasa memberikan kenyamanan dan keteduhan dalam berucap dan berperilaku, suaranya lembut (nyaris tak terdengar seperti iklan Isuzu dulu), tidak menghina dan tidak menghujat ke sana-sini. Kata guru saya (alm) akhlak seseorang itu dapat dilihat dari cara berucap dan bertingkah laku, ... yang sama sekali tak nampak dari perilaku para ulama dimaksud.
___
Mengenai Abdul Somad, jujur saya menyukai ceramahnya dari beberapa video yang pernah saya lihat dan simak. Tampilannya sederhana, tapi isinya bernas, meyakinkan. (Sejauh ini saya tidak merasa punya kapasitas untuk memeriksa apakah hadis-hadis yang disampaikannya sahih atau tidak, karena konon setiap mazhab akan memilih dan memilah hadis-hadis yang cocok dengan pendiriannya). Ditambah dengan humornya yang pas, ceramahnya terasa enak, gayeng.

Meskipun demikian, sebagai anak muda, Somad masih harus banyak belajar rendah hati. Penghinaan fisik terhadap Rina Nose (yang katanya pesek dan buruk rupa) tak layak dibela dengan cara apa pun; demikian pula tentang pengkafiran terhadap Ucapan “Hari Ibu” dan “Hari Natal” yang ngawur itu.

Kenapa? Membandingkan ucapan “Selamat Hari Natal” dengan “Kalimat Syahadat”, sehingga dicap merusak aqidah, adalah logika yang belepotan karena tidak “apple to apple”, suatu standar etika dalam dunia akademis.

Pantasnya, ucapan “Selamat Hari Natal” itu dibandingkan dengan “Selamat Idul Fitri”, “Selamat Idul Adha” atau “Selamat Maulid”. Saya tak keberatan kalau dia bersama Felix Siauw berpendapat bahwa haram mengucapkan “Hari Natal”, tapi tak perlu didramatisir sebagai de-Islamisasi, apalagi dengan mengatasnamakan Islam.

“Natal” secara harfiah berarti “lahir” atau kelahiran. Tentang kelahiran Nabi Isa cukup banyak  ayat AlQuran yang memberitakannya, misalnya ada di Surat Maryam ayat 16-40. Bukan hanya itu, Nabi Isa tak sekadar nabi, beliau juga Rosul seperti halnya Kangjeng Nabi Muhammad SAW. Jadi, mengakui hari kelahirannya adalah sesuai dengan Rukun Iman kita.

Tentang kelahiran yang dibilang bukan 25 Desember, jangankan kelahiran Nabi Isa yang sudah melewati masa ribuan tahun, sedangkan hari kelahiran saya pada akhir 1950an saja amat tak jelas. Orang tua saya yang terbiasa dengan kalender Qomariah menyebutkan bahwa saya lahir 5 Syafar ...  Belakangan, setelah saya konversi ke kalender Syamsiah (Masehi) ternyata harinya nggak cocok, apalagi tanggalnya, ha ha ha. Saya yakin, di masa lalu sebagian besar umat Islam menggunakan kalender Qomariah dalam kehiduan sehari-harinya, bukan kalender Masehi seperti sekarang. Saya juga yakin, di masa lalu hanya sebagian kecil saja masyarakat yang sadar perlunya Akte Kelahiran. Meskipun begitu, ketika di rapor dan ijazah tertulis 19 November, maka saya fine-fine saja ketika teman-teman memberikan ucapan selamat ulang tahun pada tanggal 19 November itu.

OK, meskipun tak logis, anggaplah apa yang di-igaukan Somad dan Siauw itu betul, tapi ... kita ‘pan membaca kalimat syahadat dalam setiap solat kita, berarti pada saat itu kita memperbaiki lagi aqidah kita. So what gitu lho. Ha ha ha.
___
Mengenai Felix Siauw, saya tak ingin komentar banyak, karena sudah jelas dia pendukung HTI, ormas yang sudah jelas-jelas dilarang sebagaimana halnya PKI. Dia berkhayal bahwa penguasa takut akan kebangkitan Islam. Ini konspirasi basi, seperti Aming Bos CAI dalam Sinetron “Dunia Terbalik”, he he he. Kalau pemerintah takut Islam, kenapa Kementerian Agama mendapat porsi besar dalam APBN? Kenapa NU dan Muhammadiyah semakin membesar dari hari ke hari? Kenapa sampai di pelosok desa selalu ada masjid, musholla dan pesantren dibangun?

Jadi, yang sesungguhnya diberantas oleh negara adalah radikalisme dan anti Pancasila, para  "pemberontak" ideologi bangsa dan negara. Mereka para kaum Islam Minoritas, tetapi senantiasa mengatasnamakan Islam Mayoritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar