Menanti Kemakmuran Negeri:
kumpulan esai tentang pembangunan sosial ekonomi Indonesia
Penulis: Burhanuddin Abdullah
Penyunting: Tika Noorjaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2006
ISBN: 9792222790, 9789792222791
Tebal: 372 halaman
MOZAIK PUITIS
DALAM LARIK BIROKRATIS
Pengantar
oleh Tika Noorjaya
Hasrat untuk membukukan
tulisan Burhanudddin Abdullah (BA) sebenarnya telah tumbuh dan mekar sejak
sepuluh tahun lalu. Namun, upaya ini kadang redup dan menguncup, karena
keterbatasan ruang dan waktu. ”Kendala” juga muncul dari BA, yang merasa bahwa
tulisan-tulisan lamanya – kalau mau dibukukan – perlu diberi interpretasi lain
berdasarkan kondisi kekinian. Bukan sekadar membundel dan membukukan, katanya. Tentu
saja, BA ingin seperti kebanyakan ilmuwan idolanya, yang membuat buku dengan
tema yang fokus, sistematis, kaya rujukan, dan sebagainya. Anehnya, yang kini
menjadi obsesinya justru menulis sebuah novel!
Medio tahun lalu, hasrat
yang kuncup merekah lagi. BA menyetujui argumen saya, bahwa dengan tampilan
yang apa adanya – kumpulan tulisan itu – justru akan menunjukkan orisinalitas
pemikiran pada masanya. Pemikiran yang berkembang kemudian, justru terbangun
dari dasar-dasar pemikiran lama, yang mendapat pengayaan (enriching) dan pengayakan (filtering)
dalam perjalanan waktu dan kearifan penafsiran.
...
Lalu kami berupaya:
Dokumentasi pribadi ditelusuri. Perpustakaan BI dikunjungi. Teman-teman
dihubungi. Tak lain, untuk memperoleh kelengkapan tulisan, sekalipun hingga
batas waktu yang ditetapkan, masih ada sejumlah artikel yang tak ketahuan
rimbanya. Apa boleh buat. Pada
gilirannya, terkumpul 84 tulisan. Sambil menunggu proses penyuntingan, terdapat
tambahan 6 artikel, sehingga genap 90 tulisan, dan dikelompokkan menjadi 8 Bagian.
Tulisan yang terkumpul merentang
hampir dalam kurun 20 tahun, yakni medio 1985 (awal-mula BA menulis di
media-massa) hingga medio 2005. Sumber tulisan tak lain dipetik dari media
tempat BA menyemai, menanam, dan menebarkan gagasannya di Kompas, Sinar
Harapan, Neraca dan Suara Karya, serta majalah interen Bank
Indonesia, terutama Gema Korps.
Sebagian lainnya, merupakan karya BA setelah pensiun sebagai Menko Perekonomian
hingga beberapa waktu setelah menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Namun, pemilihan dan
pemilahan tulisan menjadi bab-per-bab, ternyata sangat menyita waktu, dan setiap
kali diskusi, selalu menawarkan komposisi alternatif – sampai akhirnya,
menjelang penerbitan, disepakati untuk hanya memilih 42 tulisan yang secara
substantif dapat dikelompokkan menjadi 3 Bagian, seperti yang dapat anda
nikmati saat ini. Teknis penerbitan, pada gilirannya, juga menjadi
pertimbangan. Sisanya, 48 tulisan, yang merupakan catatan BA tentang perjalanan
karier serta perenungannya tentang kekaryaan dan makna hidup, termasuk puisi, agaknya
harus menunggu giliran penerbitan pada kesempatan yang lain.
Dengan beragamnya
pemikiran, tak ayal beberapa gagasan kadang diulang dalam berbagai kesempatan,
padahal sejak awal, kumpulan tulisan ini ingin menghindar dari duplikasi
semacam itu. Agar tak terlalu mengganggu, maka beberapa bagian dari suatu
artikel terpaksa ”disunat” untuk kemudian ”ditampung” dalam artikel lain yang
”senafas”, sedangkan beberapa lainnya hanya mungkin diringkaskan, untuk tetap
menjaga relevansi dengan ide dasarnya. (Kalaupun masih ditemukan pengulangan,
itulah aroma khas dari bunga rampai semacam ini!).
Menanti Kemakmuran Negeri. Kumpulan Perenungan Sosial Ekonomi Indonesia adalah judul buku yang akhirnya dipilih dari sejumlah
alternatif, sebagai manifestasi dari keragaman pemikiran BA yang tersiar pada
berbagai kesempatan; pada rentang waktu yang panjang; pada suasana dan nuansa
yang berbeda – namun, tetap bertumpu pada perspektif BA. Tentunya, pembaca bisa
menikmatinya dari perspektif lain. Bisa juga memulai dari Bagian atau tulisan
mana pun; karena seperti sebuah aporisma: Air di cawan dapat direguk dari sisi
mana pun; mungkin dengan citarasa yang berbeda, tergantung dari suasana saat
menikmatinya.
...
Terkait dengan ”sejarah”
penerbitan ini, Pak Agus Gunawan telah berkontribusi dalam meyakinkan BA
tentang perlunya menerbitkan kumpulan tulisan ini, bahkan Pak Agus-lah yang
mengawal saya dengan mengirim email, SMS, dan menelepon, sehingga memacu saya
untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Karena itu, sepantasnya kalau ucapan terima
kasih disampaikan kepadanya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
rekan-rekan Staf Gubernur Bank Indonesia – Pak Juda, Pak Dicky, Pak Iwan, Ibu
Elsya, dan Ibu Mieke – yang membantu menelusuri dan menemukan berbagai tulisan,
serta memberi masukan dalam beberapa diskusi. Tak lupa, terima kasih untuk
kedua buah hati saya – Anggia dan Dinda – serta sekretaris saya – Mia dan Vera
– yang telah membantu pengetikan, terutama pada tahap awal.
Memakmurkan Zamrud Khatulistiwa
Hasil dari kerja banyak
orang itu, kalau dituang selayang pandang, beginilah jadinya.
Bagian 1 (Membangun Ekonomi, Memakmurkan Negeri)
secara keseluruhan memaparkan 15 tulisan. Sebagian besar tulisan mempertanyakan
arah pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, dengan tawaran solusi berjangka
panjang, yang saat ini pun masih
relevan, dan sekali-kali saran fragmatis sesuai masanya. Beberapa di antaranya,
bahkan cenderung menggugat kemapanan, misalnya ketika BA mempertanyakan
relevansi ”tinggal landas” Rostow – yang
kala itu dilontar oleh para pakar, cendikia, dan politisi. Imbauannya, dengan
bekerja, dan bekerja keraslah, seharusnya kita berperanserta dalam memakmurkan
zamrud khatulistiwa. Tak ada kata ganti untuk ”kerja keras”, katanya.
Bagian 2 (Zamrud Khatulistiwa dan Berbagai Persoalannya)
berisi 17 tulisan, yang secara umum merupakan hasil kontemplasi BA tentang
kemiskinan, pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), koperasi, pertanian,
utang luar negeri, lokalitas, dan globalisasi. Dalam hal ini, BA sangat
mendambakan terwujudnya perekonomian Indonesia yang berbasis pada ekonomi
kerakyatan yang mendukung kehidupan para petani dan penguatan sektor UMKM. Inilah akar dari perekonomian kita yang memiliki tradisi
panjang, yang diwariskan oleh para pendiri bangsa ini. Tanpa berpretensi
membela ataupun melebih-lebihkan, menurut BA, petani merupakan pihak yang telah
bekerja lebih untuk bangsa dan negara kita. Pada saat bersamaan, sektor UMKM
memiliki resiliensi yang tinggi terhadap guncangan krisis yang mahadahsyat
bahkan menjadi generator penyelamat ekonomi nasional.
Sebuah pemikiran yang
menarik tentang dunia perbankan dikemukan BA ketika membuat analisis, bahwa
perbankan merupakan penyebab krisis. Hal ini bukan kesalahan masyarakat, tetapi salah asuh, salah asuhan, dan
salah urus bank sendiri. Karena itu, pembenahan perbankan akan merupakan obat
bagi krisis perekonomian Indonesia. Keinginan untuk memiliki industri perbankan
yang kredibel, tahan gejolak dan lebih efisien, kiranya perlu dipetakan dalam
suatu landscape perbankan, di mana perlu
kualifikasi perbankan berdasarkan wilayah usaha, yakni internasional, nasional,
regional, dan lokal, dengan karakteristik, kriteria, dan pengaturan yang
dibeda-bedakan. Pemikiran inilah kiranya yang belakangan dikonkretkan dalam Enam
Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia
(API).
Adapun Bagian 3 (Menata Kinerja, Membangun Citra)
menyajikan 10 tulisan tentang Bank Indonesia, yang merentang dari gagasan
mendasar hingga sedikit teknis. Tak lupa, menyertakan dua tulisan bergaya
cerita pendek, serta refleksi di hari jadi BI. Mengawali pidatonya di depan
sidang Dewan Perwakilan Rakyat, saat fit
and profer, 12 Mei 2003, BA menyatakan bahwa seluruh jajaran di Bank Indonesia, serta
BI sebagai lembaga, tidak lain adalah aparat dan lembaga yang seluruh tenaga dan
perhatiannya harus diabdikan pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Sikap dasar ini sangat penting untuk dipahami dan diinternalisasikan oleh
seluruh jajaran BI karena dengan sikap itulah BI akan dengan sekuat tenaga
dan segala upaya memberikan produk yang terbaik bagi masyarakat; mencoba
memahami masyarakat dengan segala kebutuhannya dan bukan sebaliknya, yaitu BI
yang ingin dipahami oleh masyarakat. “Saya dan mungkin kita semua, ingin
melihat Bank Indonesia ke depan menjadi lembaga yang memberikan ketenangan dan
menebarkan ketenteraman bagi semua. Saya ingin dan saya akan berusaha agar BI
menjadi sebuah lembaga yang apabila orang mendengarkan ucapan para pejabatnya
dan melihat langkah serta mengikuti saran kebijakannya menjadi tenanglah hatinya”,
katanya.
Mozaik Puitis dalam Larik-larik Birokratis
Burhanuddin Abdullah
bagaikan mozaik puitis dalam larik-larik birokratis. Sebagai birokrat, BA
adalah pekerja keras, disiplin dan optimistis menatap masa depan untuk
menggapai mimpi-mimpi di langit lazuardi, dengan kaki yang membumi. Namun, BA acapkali
cukup puitis dalam menuangkan ide-idenya.
Simak saja masterpiece-nya, ”Menata
Kinerja, Membangun Citra” yang dipaparkannya saat fit and profer, 12 Mei 2003. Saya, pendengarnya, kagum karena
ketajaman analisis, sentuhan filosofis dan ungkapan puitisnya, yang ditutur
dengan lentur. Apalagi, saat berargumen dalam tanya-jawab yang penuh
percaya-diri, menggoda, diselingi canda. Dunia moneter yang di masa lalu terkesan
misterius, mithis, keras, ... mencair
sudah.
BA senantiasa berjiwa
demokratis, dan memiliki leadership yang visioner serta berpihak pada
rakyat banyak, termasuk dukungan tak-kenal-henti bagi pengembangan UMKM dan petani.
Selain itu, komunitas internasional adalah bagian dari hidupnya, termasuk ketika
ia bertugas di IMF. Pemilihannya sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia untuk kedua kalinya, merupakan pengakuan akan profesionalismenya;
seperti halnya penganugrahan Doktor Honoris Causa di bidang ekonomi dari
Universitas Diponegoro belum lama ini.
Sikapnya yang terbuka
dan menghargai orang lain, menjadi mozaik di antara kawan seprofesi, birokrasi
dan politisi. Karena mudah diterima oleh banyak pihak, ia mampu mendorong
proses reformasi dan re-engineering BI dengan tingkat resistensi minimal.
Tak heran kalau kemudian ia terpilih menjadi Ketua Ikatan Pegawai Bank
Indonesia. Jabatan lain yang disandangnya – dulu maupun kini, di lingkungan BI
maupun di luarnya – seakan mengabsahkan BA sebagai figur yang diterima di
berbagai kalangan.
***
Sebagai pekerja keras,
profesional, serta diterima dalam kalangan luas, berpilin dengan pendalaman
filosofis dan keindahan citarasa bahasa dalam percik-percik pemikirannya, tak
ayal menempatkan Burhanuddin Abdullah sebagai mozaik puitis dalam larik-larik
birokratis.
Bogor, Juni 2006