Senin, 23 Agustus 2021

NAIK BEMO ATAU JALAN KAKI ?

Kenangan Masa Kuliah di IPB (3):


Pertanyaan di atas senantiasa muncul setiap kali saya mau berangkat ke kampus. Alasan utama tentu saja optimalisasi sumber daya finansial yang terbatas.

Alasan kedua, rumah saya di Jl. Juanda, di belakang Kantor PMI, atau di antara Kantor Pos dan Gedung Herbarium Bogoriensis, yang kini menjadi MUNASAIN. Jaraknya sekitar 1,8-1,9 km dari Kampus Baranangsiang.





____
Kalau saya memutuskan untuk naik bemo, maka saya harus naik dua kali untuk tiba di Kampus Baranangsiang, atau sekali-sekali di Kampus Gunung Gede.

Waktu itu di Bogor masih banyak bemo. Kendaraan buatan Jepang ini menjadi penghias kesepian kota Bogor yang kerap kali diguyur hujan; namanya juga Kota Hujan. Waktu itu rute kendaraan (termasuk bemo) masih dua arah.




Dengan suaranya yang agak memekakkan telinga, bemo menjadi ciri khas Kota Bogor. Bentuknya yang lucu dan penumpangnya yang harus adu dengkul, menjadi pilihan sebagai alat transportasi yang terjangkau oleh masyarakat, termasuk saya. Bemolah yang menjadi dewa penolong untuk mengantar ke kampus pergi-pulang.

Dari Jl. Juanda saya mencegat bemo yang menuju ke stanplat bemo di bawah Pasar Bogor, lalu disambung dengan bemo yang rutenya menuju Jl. Rumah Sakit II, atau sampai Kampus Gununggede. Ongkosnya sama saja, yaitu Rp30/orang, sehingga untuk pergi pulang saya harus ke luar uang Rp120, jumlah yang lumayan besar waktu itu. SPP saja cuma Rp12.000 per semester.




Karena itu, saya akali agar naik bemo cukup dua kali sehari, sisanya untuk jajan di Mahatani atau di kantin DM-IPB.

Yang dua kalinya bagaimana? Jalan kaki. Beruntung, saya bukan satu-satunya mahasiswa pejalan kaki yang harus mengirit ongkos, karena dalam perjalanan ke kampus, biasanya bertemu dengan teman-teman mahasiswa IPB, baik seangkatan maupun angkatan lain. Ha ha ha.




Nah kalau kebetulan jalan kaki, ada kenangan khusus terkait kelelawar, yaitu bau busuk kotoran kelelawar yang tercecer di trotoar di seberang Asrama Wisma Raya IPB, atau seberang Hotel Royal sekarang. Karena jumlah kelelawarnya amat banyak, maka kotorannya cukup banyak dan mengganggu.

Karena saya tinggal di sekitar situ, saya tahu bahwa kelelawar yang jumlahnya banyak itu mengeluarkan suara yang berisik. Mereka mulai muncul sore hari. Sering kali menjadi tontonan pejalan kaki yang kebetulan lewat di situ. Pagi hingga siang hari mereka bergelantungan di dahan-dahan di sekitar itu juga. Malam hari banyak di antaranya yang terbang ke pemukiman sekitar Jl. Juanda.


Lagu "Kelelawar" ciptaan Tonny Koeswoyo (Koes Plus), yang populer tahun 1970an, boleh jadi terinspirasi dari sini.

Kelelawar sayapnya hitam. Terbang rendah di tengah malam. Pagi-pagi mereka pulang. Di dahan-dahan bergelantungan. Hitam. Hitam. Hitam.

Sekarang, gerombolan kelelawar itu sudah tak nampak lagi di sekitar itu karena pindah ke bagian dalam Kebun Raya Bogor. Mereka sering nampak terbang di atas areal palmae, sedikit di atas Taman Aquatik. Mereka beterbangan sejak siang hari. Jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding dulu.

Mereka menyingkir ke bagian dalam barangkali karena bertambahnya populasi penduduk dan polusi udara dari kendaraan yang bertambah dengan cepat, termasuk angkot, "Sang Lalat Hijau", yang bikin macet jalanan Bogor hingga sekarang. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar