Sabtu, 28 Agustus 2021

Grup Calung ASTAGA-IPB

Kenangan Masa Kuliah di IPB (7):

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)

 

Pembentukan Grup Calung ASTAGA tak lepas dari upaya Panitia OSMA yang dimulai sejak 16 Februari 1976.

Waktu itu, di hari kedua, di halaman depan PKM, kami "dijemur" dengan kepala yang sudah plontos, begitu pula topi kuncung yang terbuat dari koran harus ditanggalkan. Rambut rekan-rekan mahasiswi dikucir kepang dua dengan menggunakan karet gelang ...



Setelah Pengantar ala kadarnya, beberapa orang kakak Panitia membagikan formulir semacam Biodata. Rupanya mereka sedang melakukan penyaringan potensi bakat para Mahasiswa baru antara lain dengan menanyakan kegiatan ekstrakurikuler selama di SMA.

Di hari berikutnya, saya dipanggil ke salah satu ruangan DM-IPB bersama Agus D. Gozali, Radhar Eko Laksono (Eko) dan Mursyid (alm). Itulah awal pembicaraan tentang niat untuk membentuk Grup Calung Astaga-IPB.

_____
Bersaing dengan jadwal kuliah dan praktikum yang amat sangat padat, kami mulai menyisihkan waktu untuk berlatih. Saya menjadi dalang, Agus D. Gozali (calung kedua: panepas), Eko Radhar Laksono (calung ketiga: jongjrong), dan Mursyid (calung keempat: gonggong).


 
Salahsatu tampilan yang berkesan adalah mengisi acara Parade Seni Fatemeta-IPB pada 8 Mei 1976 di Gedung Merdeka Bogor sebelum penampilan Konser Rakyat Leo Kristi. (Gedung Merdeka waktu itu merupakan tempat terbesar dan bergengsi untuk pagelaran seni. Sekarang disulap menjadi Pusat Grosir Bogor Merdeka).

Waktu itu, selepas manggung, ada wartawan yang menanyai saya tentang nama Astaga, apakah ada hubungannya dengan "Majalah Astaga", majalah humor yang dipimpin oleh Arwah Setiawan (Alm). Saya bilang, tidak ada hubungan sama sekali dengan majalah itu. Grup calung ini semata-mata merupakan bagian dari kegiatan mahasiswa IPB yang ingin melestarikan kesenian tradisional, khususnya kesenian Sunda.

(Waktu itu memang ada juga berbagai grup kesenian lain, seperti tari, drama, vocal group, dll. Juga ada berbagai tim olah raga, seperti sepak bola, catur, softball, dll). 

_____
Setelah penampilan tersebut, karena didera kesibukan jadwal akademis, maka Grup Calung Astaga-IPB cuma tampil beberapa kali lagi, dengan formasi yang berganti-ganti. Hanya saya dan Kang Agus Gozali yang tetap bertahan, mungkin karena kami sudah membentuk Tim Calung sejak di SMAN 2 Bogor.

Untuk mengganti Kang Mursyid dan Kang Eko yang tak melanjutkan kiprahnya, sempat hadir Kang Hayani Suprahman (yang lebih dikenal dengan nama Kang Cecep) dan orang Brebes (yang lupa lagi namanya). Salah satu tampilan yang masih ingat bersama mereka adalah pada acara yang diselenggarakan Faperta di Kampus Baranangsiang, tapi saya lupa lagi dalam kegiatan apa.

_____
Berbeda dengan calung yang belakangan menjadi semacam pengiring biduan layaknya arumba, calung kami lebih mengutamakan gerak (koreografi) yang energik dan lagu-lagu “Kaulinan Urang Lembur” yang lyriknya penuh canda.

Untuk tampil sekitar 30 menit, kami harus menghapal sekitar 20 lagu plus menata gerak (semacam tari) agar serasi. Butuh tenaga ekstra dan ingatan yang kuat, -- yang agaknya amat repot kalau harus diulang di usia senja sekarang. 

_____
Bagi teman-teman yang kurang mengenal kesenian Sunda, mungkin perlu dijelaskan bahwa Calung adalah salahsatu seni tradisional Sunda, yang terbuat dari bambu. Dimainkan dengan cara dipukul, minimal oleh empat orang pemain, dengan nada yang berbeda. Pemain yang bertindak sebagai dalang menggunakan calung dari bambu yang kecil sehingga suaranya nyaring, berirama, dan dapat memainkan lagu-lagu dengan lengkap.

Adapun calung yang lain bernada lebih besar (calung panepas, calung jongjrong, dan calung gonggong) sebagai pengiring.

Kadang-kadang ada tetabuhan lain untuk menyemarakkan suasana semacam kecrek, marwas, atau apa saja. Biasanya pembawa alat tersebut dieksploitasi kemampuan dagelan atau humornya.

Untuk menghidupkan suasana, enerjik, kesenian ini diiringi dengan kendang dan gong.

Pada awalnya irama calung mengikuti notasi Sunda yang pentatonis (Da Mi Na Ti La Da), dengan laras Pelog dan Salendro. Belakangan ada juga calung diatonis (Do Re Mi Fa Sol La Si Do), sehingga dapat memainkan lagu-lagu pop dan dangdut, seperti layaknya arumba.

_____
Calung paling banyak mewarnai kehidupan saya. Bapak Adung Priatna Noer (alm), guru dan wali kelas saya, adalah orang pertama yang mengajarkan calung pada tahun 1967, saat saya menjadi murid kelas 4 di SDN-I Pangalengan. Dengan keterampilan ini, maka bermain calung berlanjut ketika di SMP Negeri Pangalengan, kemudian di SMA Negeri 2 Bogor.

Patut dicatat, bahwa pada tahun 1972 grup calung saya menjadi Juara I tingkat Kabupaten Bandung, lalu tingkat Provinsi Jawa Barat.

_____
ASTAGA, Ayo Santai Tapi Awas Gagal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar