Jumat, 22 Januari 2016

FIKSIMINI: Doa Pedagang Bunga

DOA PEDAGANG BUNGA

Suatu sore setelah lelah keliling pasar, di perjalanan menuju parkiran mobil, saya didekati seorang sepuh yang menawarkan tanaman bunga.

Pedagang: “Neng, tolong beli bibit bunga ini. Murah koq, cuma Rp25.000 per pot”.

Saya cuek, tapi tiba-tiba teringat pekarangan mungil di rumah yang kosong. 
Saya: “Ah mahal banget Pak, bagaimana kalau 10.000/pot,” tanya saya dengan gaya cuek.

Pedagang: “Jangan Neng, ini bibit bagus. Bapak jual udah murah, Rp15.000 aja, gimana Neng bapak udah sore mau pulang.”

Saya ragu sejenak, memang murah sih. Di toko, bibit bunga semacam itu paling murah Rp45.000/pot.
Saya: “Udah Pak, Rp 10.000 saja, nanti saya beli semuanya", saya berlagak hendak pergi, sambil melirik di sana ada 5 pot.

Pedagang: “Eh Neng…,” dia ragu sejenak dan menghela nafas. “Ya sudah Neng gak apa-apa, tapi Neng ambil semuanya ya.”

Saya: “Oke Pak, jadi Rp 50.000 ya untuk 5 pot itu. Bawain sekalian ke mobil saya, tuh yang di ujung parkiran.”

Dengan girang, saya pun melenggang pergi menyusul suami yang rupanya sejak tadi sudah duluan masuk ke mobil. Si bapak pedagang mengikuti di belakang. Sesampai di parkiran, si bapak membantu menaruh pot-pot tadi ke dalam mobil. Saya membayar Rp50.000, dan si bapak pun berlalu. Di mobil terjadilah percakapan berikut dengan suami.

Saya: “Bagus kan 'yang, aku dapet 5 pot bibit bunga harga murah.”

Suami: “Oohh... berapa tuh ?”

Saya: “50 ribu.”

Suami: “Hah…!!! Itu semua 5 pot ?” dia kaget.

Saya: “Iya dong… hebat 'kan aku nawarnya. Si jago tawar, namanya juga. Tadi Dia nawarinnya Rp25.000 per pot,” saya tersenyum lebar dan bangga.

Suami: “Gila kamu, sadis amat. Pokoknya aku nggak mau tahu. Kamu susul itu si bapak sekarang, kamu bayar dia Rp125.000 tambah upah bawain ke mobil Rp25.000 lagi. Nih, kamu kejar, kamu kasih dia Rp150.000 !” Suami membentak keras dan marah, saya kaget dan bingung.

Saya: “Emang kenapa?”

Suami (Makin kencang ngomongnya): “Cepetan susul sana, tunggu apa lagi.”

Tidak ingin dibentak lagi, saya langsung turun dari mobil dan berlari mengejar si bapak tua. Saya lihat dia hendak naik angkot di pinggir jalan.
Saya: “Pak, tunggu pak ...”.

Pedagang: “Eh, ... Neng kenapa?”

Saya: “Pak, ini uang Rp150.000 dari suami saya, katanya buat bapak. Bapak terima ya, saya nggak mau dibentak suami, saya takut.”

Pedagang: “Lho, Neng 'kan tadi udah bayar Rp50.000, bener kok uangnya,” si bapak keheranan.

Saya: “Udah bapak terima aja. Ini dari suami saya. Katanya harga bunga bapak pantesnya dihargain segini,” sambil saya serahkan uang Rp150.000 ke tangannya.

Pedagang (Tiba-tiba menangis dan berkata):
“Ya Allah Neng … makasih banyak Neng… Ini jawaban do'a bapak sedari pagi, seharian dagangan bapak nggak ada yang beli, yang noleh pun nggak ada. Anak istri bapak lagi sakit di rumah nggak ada uang buat berobat. Pas Neng nawar bapak pikir nggak apa-apa harga segitu asal ada uang buat beli beras aja buat makan. Ini bapak mau buru-buru pulang kasihan mereka nunggu. Makasih ya Neng… suami Neng orang baik. Neng juga baik jadi istri nurut sama suami, Alhamdulillah ya Allah. Bapak pamit Neng mau pulang…,” dan si bapak pun berlalu.

Saya: (speechless dan kembali ke mobil).
Sepanjang perjalanan saya diam dan menangis. Benar kata suami, tidak pantas menghargai jerih payah orang dengan harga semurah mungkin hanya karena kita pelit. Berapa banyak usaha si bapak sampai bibit itu siap dijual, tidak terpikirkan oleh saya. Sejak itu, saya berubah dan tak pernah lagi menawar sadis kepada pedagang kecil mana pun. Percaya saja bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar