Kamis, 28 Januari 2016

SUMATERA UTARA: Contoh Paradoks Itu



Sumatera Utara: Contoh Paradoks Itu
Oleh Tika Noorjaya

RESENSI BUKU:
Judul Buku: The North Sumatran Regional Economy, Growth with Unbalanced Development.
Penulis: Colin Barlow dan Thee Kian Wie.
Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, 1988.
Tebal: (xi + 98 halaman).

SEBAGAIMANA  dikatakan Prof. Mubyarto, masalah perekonomian daerah tampaknya bukan hanya belum kita pelajari secara mendalam dan sungguh-sungguh, tetapi juga kebanyakan data statistik yang diterbitkan BPS dan kantor-kantor cabangnya di daerah serta BAPPEDA, belum mampu menerangkan berbagai paradoks sosial ekonomi yang tampak (BIES, April 1987). Padahal, mengkaji masalah perekonomian daerah agaknya bukan hanya bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan daerah yang dikaji, tetapi juga dapat merupakan pembanding bagi daerah lain, terutama daerah yang karakteristiknya mirip. Penguasaan permasalahan daerah ini akan memungkinkan perbaikan dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran, yang pada gilirannya akan mampu meyakinkan Pusat.
Demikianlah, buku yang memusatkan perhatian pada ketimpangan pertumbuhan di Sumatera Utara ini agaknya tidak hanya patut menjadi perhatian Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan pihak-pihak terkait dengannya, termasuk Pusat, tetapi juga provinsi-provinsi lain yang memiliki kecenderungan serupa. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Di manakah letak ketimpangannya? Apakah penyebabnya? Dan, lebih penting lagi, kalau mungkin, bagaimana upaya untuk menanggulanginya? Dalam kaitan inilah kehadiran buku The North Sumatran Regional Economy cukup bermakna.
***
Selama ini, kita mengenal Sumut sebagai provinsi yang demikian potensial, dengan kekayaan sumberdaya alamdan sumberdaya manusiany. Posisi geografisnya memungkinkan keterkaitan secara luas baik dengan pusat pasar dalam negeri maupun dengan pasar internasional. Latar belakang sejarahnya, yang sudah lebih awal ditangani secara intensif – terutama dalam bidang perkebunan yang berorientasi ekspor – juga semakin memantapkan provinsi ini sebagai salah satu provinsi dengan perekonomian terbesar di luar Jawa.
Dari berbagai kondisi plus ini, tidak mengherankan kalau sejak tahun 1970-an perekonomiannya telah tumbuh demikian cepat dan telah mengantarnya sebagai salah satu provinsi yang peetumbuhan produk domestik rata-rata tahuanannya tertinggi di Indonesia (hal. 1), dengan rata-rata pertumbuhan 7,9% per tahun selama periode 1974-1984 (hal. 9). Memang, karena melemahnya pasaran minyak bumi dan harga-harga berbagai mata dagangan yang banyak dihasilkan provinsi ini – seperti karet, minyak sawit dan aluminium – sejak tahun 1982 pertumbuhannya mengalami penurunan; tetapi kalau kita simak perjalanan selama empat tahun Pelita IV, pertumbuhan ekonomi Sumut mencapai 5,6%, jauh di atas tingkat rata-rata nasional yang hanya mencapai 3,7% (Suara Karya, 29 Desember 1987). Dan, seperti kebanyakan provinsi lain, penyumbang terbesar terhadap produk domestik Sumut adalah sektor pertanian, sekalipun peranannya menurun dari 41,0% pada tahun 1975 menjadi 37,7% pada tahun 1984 (hal. 8).
Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang demikian baik, pada dirinya mengandung ketimpangan yang serius dalam berbagai aspek, di mana terjadi kontras antara sektor moderen yang maju dengan perkembangan yang baik dibanding keragaan produsen tradisional yang perkembangannya semakin seret. Terutama dalam bidang pertanian, gejala dualisme yang diwariskan sejarah, dengan pembagian yang kontras antar segmen-segmen masyarakat – seperti yang telah dikaji oleh Boeke (1953) – ternyata tidak menunjukkan perubahan (hal. 4). Demikian pula halnya dengan ketimpangan antar subsektor dalam sektor manufaktur, sekalipun tidak semenonjol dalam bidang pertanian.
Dualisme dalam pertanian, misalnya, dapat ditunjukkan dengan perbandingan kembalian kotor (gross return) yang mencapai Rp 3,54 juta per pekerja bagi karyawan perkebunan besar, sedangkan petani perkebunan rakyat (dalam hal ini karet, kelapa, kopi, dan cengkeh) hanya mendapat Rp 0,47 juta per keluarga (hal. 43); suatu perbandingan yang sungguh terpaut jauh kalau angka terakhir ini dikonversi dengan jumlah orang dalam keluarga pekebun (smallholders) dimaksud, sekaipun untuk yang terakhir ini mungkin saja ada hasil dari usaha lain yang dalam analisanya tidak ikut dibahas. Untuk beberapa budidaya, tentu saja ketimpangan ini dapat dijelaskan dengan rendahnya produktivitas dan sempitnya pemilikan lahan, di samping kurangnya akses petani kecil terhadap berbagai input (terutama modal), informasi, dan kurang menguntungkannya struktur tataniaga hasil budidayanya, karena jauhnya transportasi serta kurang baiknya prasarana (misalnya bagi petani kecil karet di wilayah pantai timur).
Di lain pihak, dualisme dalam sektor manufaktur, misalnya, dapat ditunjukkan dengan nilai tambah per tenaga kerja yang mencapai Rp 9,02 juta untuk sektor moderen, dan Rp 299 ribu untuk sektor tradisional. Lagi-lagi perbandingan yang mencolok. Kalau informasi ini dibandingkan dengan data sensus industri nasional tahun 1974/1975, yang merupakan survey lengkap terhadap semua subsektor industri, tampaklah bahwa dualisme di Sumut lebih nyata dibanding Indonesia secara keseluruhan.
Dalam kaitan dengan keunggulan sektor moderen ini (baik dalam bidang pertanian maupun manufaktur), menarik untuk menyimak peringatan pengarang bahwa sektor moderen di Sumatera Utara mempunyai masalah internalnya sendiri ... yaitu rendahnya efisiensi pada kebanyakan perusahaan, terutama bila dibandingkan dengan usaha yang sama di luar negeri (hal. 5).
Ketimpangan lainnya adalah sehubungan dengan pembagian wilayah, di mana dataran sebelah timur yang subur dan mempunyai potensi alam yang lebih banyak, berkembang jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan wilayah bagian barat dan wilayah pegunungan. Dalam hal produk domestik tahun 1982 (dengan harga konstan), misalnya, sementara wilayah pantai barat mencapai Rp 247 ribu/kapita dan wilayah pegunungan mencapai Rp 276 ribu/kapita, maka wilayah pantai timur bagian selatan mencapai Rp 309 ribu/kapita dan wilayah pantai timur bagian utara mencapai Rp 349 ribu/kapita (hal. 22). Sebagai tambahan terhadap keragaan ini, adalah sangat substansialnya perbedaan pendapatan per kapita antara wilayah kerja kabupaten dengan kotamadya, di mana yang disebut belakangan cenderung mempunyai produk domestik yang lebih tinggi dibanding yang disebut pertama, dengan perbandingan yang bahkan dapat mencapai dua kali lipat (kecuali bagi Kotamadya Sibolga yang di bawah rata-rata produk domestik per kapita wilayah pantai barat).
Lagi pula, walapun pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki jalan-jalan serta berbagai prasarana lainnya, namun sebagian besar pengeluaran tersebut menguntungkan wilayah sekitar Medan, tempat berlokasinya sebagian besar sektor moderen. Di sisi lain, investasi yang sangat mahal di Sumut – proyek hydroelektrik raksasa Asahan dan Inalum (PT Indonesia Asahan Aluminium) yang nilai investasinya mencapai 411 milyar yen misalnya, juga merupakan unit ekonomi enclave, yang pengaruhnya terhadap perekonomian setempat kecil sekali.
***
Tentu saja, Pemda Sumut dan Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi berbagai ketimpangan yang ada, antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya perbaikan prasarana, seperti sekolah, jalan, pembangkit tenaga listrik, moderenisasi pelabuhan dan lain-lain, yang telah meningkatkan potensi dan daya saing provinsi ini, sekalipun masih tetap perlu ada upaya untuk lebih memperbaiki prasarana, terutama jalan di luar wilayah pantai timur (hal. 83). Saran klasik, yang telah diungkapkan A. T. Mosher lebih du dasawarsa yang lalu ketika membahas lima faktor mutlak dalam pembangunan pertanian.
Keberhasilan program BIMASdan INMAS telah mengurangi (fragmentasi) pasar. Demikian juga pembangunan proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBUN) antara lain juga dimaksudkan pada arah penyeimbangan dan mengubah pola dualisme, sekalipun hanya meliput sebagian kecil penduduk saja dan tidak besar pengaruhnya dalam mengubah kendala utama, yang karenanya pengarang menyarankan untuk lebih memperluas pasokan kredit dan informasi seperti halnya yang terjadi di Muangthai untuk program yang sama (hal. 86).
Sementara itu, kegiatan yang lebih mengarah pada upaya penyeimbangan wilayah seperti halnya operasi khusus terpadu Maduma telah pula menampakkan hasilnya, terutama dalam menggugah etos kerja dan komitmen pembangunan pada masyarakat desa di kelima kabupaten yang dicakup dalam program ini, yang empat di antaranya tak lain adalah wilayah pantai barat Sumut yang, konon, dahulu merupakan “peta kemiskinan”.
***
Itu semua hanya sebagai contoh dari berbagai  upaya dalam menanggapi permasalahan ketimpangan pertumbuhan yang dialami Sumut.
Namun perlu juga diingat, seperti diungkapkan pengarang, masalah pertumbuhan sama sekali bukan hal yang unik, dan fenomena ketimpangan perkembangan dapat dilihat sebagai karakteristik kebanyakan provinsi di Indonesia, juga dalam perekonomian negara berkembang lainnya (hal. 87). Dalam buku ini, memang, pernyataan di atas tidak diikuti dengan rincian lebih lanjut, provinsi mana saja yang dimaksud; tetapi dalam hal ini kita dapat merujuk kembali penyataan Mubyarto (BIES, April 1987). Dikatakannya bahwa salah satu gambaran umum yang sangat menarik dari survey perekonomian daerah adalah banyaknya “paradoks” dalam pembangunan daerah, terutama yang tersaji dalam laporan dari Jawa Barat, Jawa Tengah (termasuk DI Yogyakarta), Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur. Meskipun laporan dari wilayah lain tidak secara eksplisit menyajikannya, namun cerita tentang paradoks yang sama juga ditemukan. Uraian ini dialnjutkan dengan pertanyaan manis: Apakah hal ini juga tidak berlaku bagi negara secara keseluruhan? Tak pelak, suatu pertanyaan yang menarik kalau diingat betapa sejak Pelita III komitmen nasional demikian gencar menekankan aspek pemerataan dalam trilogi pembangunan kita.
Kalau paradoks pembangunan yang tercermin dari contoh Sumut serta yang didukung oleh pengamatan Mubyarto ini ditarik “ke atas”, seyogyanya ada pengkajian ulang untuk merumuskan kembali hakikat pembangunan itu sendiri. Kalau pada tahun 1970-an banyak cerdik pandai yang mempermasalahkan merentannya kemiskinan dan terabaikannya pemerataan dalam hubungan dengan perekonomian yang sedang tumbuh pada waktu itu, maka sekarang pun tampaknya issue paradoks tersebut masih relevan untuk dikemukakan – sekalipun pertumbuhan ekonomi tidak secemerlang dasawarsa 1970-an. Agaknya dapat kita sepakati bahwa pembangunan tidak cukup hanya sekadar menjawab pertanyaan “untuk apa”, tetapi juga “bagi siapa”. Bahkan David Korten (1988) dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan dengan pendekatan yang berorientasi kepada masyarakat (people oriented) pun perlu diubah menjadi pembangunan yang berpusat pada masyarakat (people centered development). Tentu saja,  itu semua jangan sampai menjadi sekadar permainan kata-kata atau slogan politik, karena yang paling penting adalah realitanya.
Kurang jelas, apakah penerbitan buku yang menarik ini akan mampu mengundang para ilmuwan kita untuk mengkaji wilayah lainnya sertamenjawab pertanyaan Mubyarto seperti yang telah dikutip di atas. Sebagai peminat yang tidak dilahirkan di Sumut dan belum pernah berkunjung ke sana, ketertarikan saya pada buku ini, misalnya, bukanlah karena judul besarnya, melainkan karena judul kecilnya yang merangsang: sekalipun setelah selesai membaca buku ini serta merta terungkap refleksi: Barangkali provinsi tempat saya dilahirkan juga begitu. Kalau anda membaca buku ini, saya kira anda juga akan merasakannya.
TIKA NOORJAYA*
* Penulis adalah dosen Fakultas Pertanian Universitas Borobudur, Jakarta.

 




Resensi buku ini dimuat dalam Majalah Prisma 5, 1989, halaman 95-96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar