Sabtu, 09 Mei 2015

Gerakan Efisiensi dan Penghematan Nasional

Yang Sulit Itu Operasionalisasinya

Gerakan Efisiensi dan Penghematan Nasional
Oleh Tika Noorjaya
MELIMPAHNYA penuangan pikiran pada media massa mengenai efisiensi di tanah air kita belakangan ini, tidak terlepas dari memburuknya perkembangan perekonomian dunia, yang menurut ramalan para ahli masih akan berlangsung sampai waktu yang belum dapat diketahui, paling tidak dalam tahun 1986 ini. Menjadi lebih menarik perhatian setelah Presiden Soeharto menyampaikan pidato politiknya di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat baru-baru ini, yang antara lain menganjurkan gerakan efisiensi dan penghematan secara nasional, yang kemudian diikuti dengan penurunan RAPBN 1986-1987 sebesar 7 persen dibandingkan tahun anggaran sebelumnya, dimana penurunan RAPBN tersebut baru terjadi selama masa Orde Baru.

Kemudian, dalam menjabarkan anjuran Presiden itu, politisi dan para ahli memalingkan diri lagi pada pentingnya Pola Hidup Sederhana (PHS), sebagai inti dari Keputusan Presiden nomor 10/974. Isi Keppres tersebut pada pokoknya mengikat berbagai unsur dalam negara dan pejabat-pejabatnya serta masyarakat secara keseluruhan untuk mengembangkan pola sikap dan tingkah laku yang wajar dan apa-adanya, tidak berlebihan, dalam kehidupan sehari-hari.

Masalahya, mengapa gerakan efisiensi itu perlu? Kemudian, bagaimana penerapannya?

Perlunya gerakan efisiensi
SEJAK awal tahun 1980-an, para ahli dan penyelenggara negara di seluruh dunia mulai tertarik untuk mempermasalahkan efisiensi dalam kaitannya dengan kemandekan perekonomian dunia, dimana beberapa negara mengalami penurunan pertumbuhan ekonominya.

Sebagai upaya untuk menanggulanginya, hampir setiap negara telah menjalankan berbagai langkah, yang pada pokoknya adalah tindakan proteksi dan gerakan efisiensi. Karena itu, gerakan efisiensi di Indonesia nampaknya merupakan bagian dari gerakan efisiensi internasional, yang pada gilirannya akan ditentukan oleh kekuatan gaya tarik-menarik masing-masing negara. Dalam hal ini, seyogyanya disadari bahwa Indonesia sebagai negara berkembang akan mengalami beban yang lebih berat dibandingkan dengan negara industri maju, yang sudah memiliki ”titik awal” yang lebih baik. Bahwa belakangan ini kita menerima pujian yang baik dalam rangka penanggulangan kemandekan perekonomian, karena penurunan pertumbuhan perekonomian yang tidak terlalu parah, tentu merupakan modal, yang secara politis akan dapat menarik kepercayaan dari pihak luar. Namun begitu, pujian tersebut seyogyanya tidak merupakan sarana untuk berlengah-diri, melainkan harus dapat dipertahankan, bahkan kalau mungkin lebih ditingkatkan lagi.

Pada sisi lain, gerakan efisiensi perlu, mengingat telah menjadi rahasia umum bahwa dunia ekonomi Indonesia diwarnai secara dominan oleh ekonomi biaya tinggi, sehingga sering kita dapati mata dagangan kita di luar negeri kurang mampu bersaing, karena tingginya harga pokok. Kita memang sering terjebak oleh ukuran efisiensi; apabila sebuah perusahaan negara yang memproduksi mata dagangan tertentu pada akhir tahun buku mendapat keuntungan sekian milyar rupiah, yang mendekati RAPB-nya, maka sudah dinilai efisien, padahal mata dagangan yang sama di negara lain dapat dihasilkan dengan harga pokok yang lebih rendah, sehingga keuntungan perusahaan sesungguhnya masih dapat ditingkatkan.

Gerakan efisiensi juga perlu, kalau kita ingat bahwa pendapatan negara dari sektor minyak bumi mengalami penurunan yang drastis, karena turunnya harga minyak bumi yang diperkirakan masih akan berlangsung; sementara pendapatan dari sektor lain di luar minyak belum mampu menggantikannya.

Dari paparan di muka, tampak bahwa gerakan efisiensi telah menjadi keharusan, baik ditinjau dalam kaitan hubungan internasional, maupun nasional.

Penetapan perlu atau tidaknya sesuatu dilakukan, tampaknya harus diberikan perhatian pertama, sebelum kita melaksanakan operasionalisasi gerakan efisiensi, karena tidak jarang kita jumpai kenyataan masyarakat melakukan tindakan yang tidak perlu, secara efisien atau pun tidak. Dengan demikian, anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan gerakan efisiensi nasional seyogyanya diartikan sebagai upaya penajaman prioritas perorangan/instansi/masyarakat untuk hal-hal yang ”perlu” saja, kemudian diikuti dengan tindakan efisien.

Budaya efisiensi
BUDAYA efisiensi di sini mengacu pada pola sikap dan tindakan dalam kegiatan perseorangan/instansi/masyarakat secara keseluruhan, sehingga dengan sumber- daya tertentu, diperoleh hasil yang maksimal.

Sebagai budaya, pelaksanaan efisiensi tentu bukan hanya dilaksanakan dalam suasana perekonomian yang lesu seperti sekarang ini, melainkan terus dilakukan kalaupun perekonomian sudah membaik lagi. Dengan kata lain, perlu kesinambungan.

Kalau kita mencoba mendalami sikap dan tindakan nenek moyang kita, barangkali kita akan menemukan kenyataan bahwa sesungguhnya nenek moyang kita telah menempatkan budaya efisiensi dalam kehidupannya. Pemeo ”banyak anak, banyak rezeki”, yang sekarang dianggap menghambat pembangunan, pada zamannya merupakan sikap dan tindakan yang tepat, karena pada masa itu lahan masih luas dan jumlah penduduk masih sedikit, sehingga memiliki banyak anak merupakan modal untuk mengolah sumberdaya. Nenek moyang kita juga telah melaksanakan sistem terasering untuk lahan-lahan berbukit sejak berabad-abad yang lalu, yang dewasa ini telah diakui pakar pertanian sebagai teknologi tinggi, karena mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan hasil yang maksimal serta menjaga kelestarian lahan dan lingkungan hidup. Demikian juga, penggunaan kentongan untuk ronda malam (yang sekarang menjadi salah-satu sarana Siskamling) dilakukan nenek moyang kita sejak dahulu, dengan memanfaatkan batang bambu atau kayu yang pada saat itu banyak tersedia, sehingga dengan bunyi yang nyaring dan berirama dapat melakukan patroli kampung, disamping sarana hiburan (pengembangan pemanfaatan batang bambu untuk keperluan kesenian, antara lain dalam bentuk Buncis, Calung dan Angklung). Pernahkah anda menikmati keindahan mendengar seni tabuh kentongan ronda malam di pedesaan yang sepi?.

Atau, kita masih dapat menambahkan contoh lainnya. Tentu saja, ada hal-hal yang sekarang sudah tidak cocok lagi, tetapi yang penting dalam hal ini adalah menangkap esensi yang terkandung di dalamnya, yang tak lain adalah respons efisiensi dalam bentuk sikap dan tindakan untuk menghadapi keadaan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara maksimal.

Kita kurang tahu persis, mengapa terdapat pergeseran nilai positif tersebut sekarang ini, sehingga Pimpinan Negara mencanangkan gerakan efisiensi sebagai gerakan nasional. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi barangkali merupakan salah-satu penyebabnya, karena meskipun IPTEK telah dapat meningkatkan kenyamanan hidup, tetapi juga sekaligus melahirkan efek sampingannya.
Dalam hubungan ini, imbauan gerakan efisiensi dapat diartikan sebagai imbauan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur yang telah dimiliki nenek moyang kita, disesuaikan dengan situasi dan kondisi masa kini.

Diskriminasi pola hidup sederhana (PHS)
SEPERTI diuraikan di muka, Keppres nomor 10/1974 mengenal PHS sebagai salah satu bentuk gerakan efisiensi, mengikat berbagai unsur dalam negara dan pejabat-pejabatnya serta masyarakat secara keseluruhan. Tetapi, sebegitu lama Keppres tersebut diundangkan, nampaknya masih terdapat kerancuan pada sebagian masyarakat, yang memandang PHS sebagai penurunan tingkat konsumsi semata-mata.

Padahal, dalam operasionalnya, seyogyanya PHS bersifat diskriminatif, yang untuk menjelaskannya antara lain perlu ada pengelompokkan masyarakat menjadi dua kelompok, misalnya kelompok kaya dan kelompok miskin. Dari pengelompokkan semacam ini, akan tampak, bahwa seyogyanya ada langkah yang berbeda untuk melaksanakan kebijakan yang sama.

Bagi kelompok kaya, PHS seyogyanya diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya secara tepat arah. Bagi kelompok ini, tidak perlu melakukan penurunan tingkat konsumsi yang menyeluruh, apalagi kalau menurunkan konsumsi dalam negeri, karena sikap semacam itu justru akan memukul pengusaha pribumi dengan menurunnya permintaan pasar. Bagaimana nasib petani kentang, andaikata secara serentak, masyarakat mengurangi konsumsi? ... dan seterusnya, dan sebagainya.
Barangkali bukan merupakan seloroh andaikata kepada kelompok kaya ini justru perlu ada kampanye ekstra untuk meningkatkan konsumsinya, dengan catatan bahwa pembelian barang-barang konsumtif produksi luar negeri diturunkan, kalau tidak dihentikan sama sekali. Hanya saja, seyogyanya mereka memperhatikan agar peningkatan konsumsi tersebut tidak melahirkan kecemburuan sosial dari masyarakat miskin yang jumlahnya lebih banyak. Sikap terakhir ini mungkin sebagian dapat ditunjukkan dengan pemanfaatan kelebihan uang untuk diinvestasikan di dalam negeri, sehingga dapat menampung banyak tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. 

Dalam kaitan terakhir ini, mungkin dapat dipertanyakan efektivitas rencana pemerintah untuk menurunkan suku bunga di dalam negeri, karena bukan hal yang tidak mungkin penurunan tingkat bunga tersebut akan merangsang berpindahnya sumber-dana investasi di dalam negeri ke luar negeri, satu dan lain hal mengingat kemampuan kelompok ini untuk segera mengetahui perkembangan perekonomian dunia, termasuk besarnya tingkat bunga di negara lain.

Lain halnya dengan kelompok miskin. Bagi mereka, PHS barangkali merupakan hal yang aneh, karena hal apalagi yang harus disederhanakan, sekarang pun mereka sudah sangat sederhana, bahkan tidak jarang kekurangan. Kalau PHS lahir dalam ungkapan ”kencangkan ikat pinggang”, mungkin mereka akan bertanya: pinggang yang mana lagi yang harus diikat kencang, yang sekarang pun sudah sangat menyesakkan dada. Nampaknya, hal-hal yang perlu bagi kelompok miskin dalam melaksanakan PHS adalah keprihatinan dalam bentuk peningkatan produktivitas, sehingga dapat diharapkan peningkatan balas, jasanya.

Dalam hubungan kaya-miskin ini, ada baiknya kalau kita ingat bahwa masih merupakan bagian yang besar dari masyarakat kita yang termasuk dalam kelompok miskin, dan sebagian kecil saja yang tergolong kelompok kaya, dan diantaranya ada kelompok menengah. Meskipun demikian, kelompok yang kecil tersebut nampaknya mampu mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan, karena masih demikian besar ketergantungan kelompok miskin terhadap kelompok kaya.

Sesungguhnya, masih ada diskriminasi lain dalam penerapan gerakan efisiensi dan PHS, antara lain adanya perbedaan karakteristik antara Jawa dengan Luar Jawa, antara pedesaan dengan perkotaan, antara sektor formal dengan sektor informal, dan mungkin pengelompokkan lainnya.

Satu hal yang dapat diungkapkan adalah penarikan garis ekstrim dari beberapa dikotomi itu, yakni pembuatan kutub antara ”kaya - kota - jawa - formal” di satu sisi dengan ”miskin - desa - luar jawa - informal” di sisi lainnya. Perumusan kebijakan global tanpa memperhatikan karakteristik masing-masing, tampaknya akan melahirkan kesenjangan yang semakin lebar, yang bukan hal mustahil dapat mengganggu stabilitas nasional. Padahal, pembangunan seyogyanya diarahkan untuk mengurangi atau mempersempit kesenjangan tersebut.

Yotopoulus dan Nugent (1976), telah memberikan aba-aba mengenai adanya ”biaya-biaya” dalam usaha pembangunan, yang antara lain menyatakan bahwa biaya-biaya dalam usaha pembangunan terutama kalau diarahkan kepada pertumbuhan ekonomi kapitalis, antara lain pengangguran, ketidakmerataan, kenaikkan tingkat pengurangan konsumsi yang berujung pada penambahan keuntungan, semakin melebarnya jurang antara produktivitas pekerja dengan upah yang mereka terima, inflasi dan kerusakan ekologis. Namun, agaknya kita sependapat bahwa pembangunan perlu dilaksanakan, karena tujuannya memang sangat penting. Masalahnya, apakah kita mau membayar ”biaya-biaya” pembangunan tersebut; apakah tidak sebaiknya kalau diupayakan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko negatifnya?.

Kembali pada diri sendiri
BETAPAPUN gerakan efisiensi dan PHS telah menjadi kebijakan nasional, namun pada prakteknya akan kembali pada diri masing-masing, sehingga bila kita melakukan hal-hal yang perlu secara efisien dimulai dari diri sendiri tampaknya gerakan efisiensi dan PHS bukan merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan. Masalahnya, sejauh mana kita sebagai pribadi mencintai dan bertekad untuk memberikan andil positif yang maksimal bagi tanah air, yang hanya satu-satunya ini?.

 

Artikel ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Senin, 2 Juni 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar