Senin, 04 Mei 2015

Dunia Industri Perlu Mawas Diri


Dunia Industri Perlu Mawas Diri: Bagai Ruh Lepas Dari Jasadnya
Oleh Tika Noorjaya
TULISAN Ahmad Niamullah Muiz (selanjutnya disebut ANM) dalam harian ini pada tanggal 9 Januari 1986, di bawah judul ”Dunia Industri Perlu Membuka Jendela Humanitas”, sangat menarik perhatian saya. ANM merentang benang merah antara krisis humanitas di satu tonggak, dengan krisis ekonomi pada tonggak lainnya. Sayang, benang merahnya terlalu menebal pada sisi tonggak humanitas, sementara pada tonggak ekonomi demikian tipisnya, sehingga hanya samar-samar saja tampaknya.

Saya mempunyai dugaan bahwa hal itu disadari penulisnya, tetapi seperti yang pernah saya alami, untuk mengemukakan sesuatu yang kurang mendukung gagasan yang akan diekspos (dalam media yang sangat terbatas), maka hal demikian terpaksa dikesampingkan. Karena itu, tulisan ini bukanlah merupakan sanggahan, apalagi mengundang polemik. Sekedar urun pendapat dari sudut pandang yang lain.

Perlu Diagnosa dan Terapi Lain
Dalam Tridharma Hubungan Perburuhan Pancasila (THPP) dinyatakan bahwa antara karyawan, pengusaha dan pemerintah tercipta saling merasa ikut memiliki, ikut memelihara dan mempertahankan serta terus menerus mawas diri, yang mengandung asas ”partnership” dan tanggung jawab bersama.

Dari sini jelas bahwa antara karyawan, pengusaha dan pemerintah terjalin ikatan sebagai suatu tubuh. Manakala ikatan itu lepas, maka lepas pula roh dari jasadnya. Mati !.
Kematian dapat terjadi kapan saja dan oleh sebab apa saja. Dapat karena menurunnya kemampuan fisik, wabah penyakit, kecelakaan, dicelakai, mendapat hukuman mati, dan ada juga yang sengaja bunuh diri.

Andaikata krisis ekonomi dan krisis humanitas dalam dunia industri dipandang sebagai wabah penyakit, maka sepantasnyalah apabila dilakukan upaya penyembuhannya, meskipun sesungguhnya pencegahan dapat dilakukan sebelumnya. Kata orang mencegah lebih baik daripada mengobati. Tapi juga, lebih baik terlambat daripada tidak samasekali.

Apa boleh buat, wabah penyakit sudah melanda dengan jatuhnya korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dalam tahun 1985 menimpa pada sekitar 35.000 pekerja (”Berita Yudha”, 9 Januari 1986). Berdasarkan pertimbangan organisasi buruh sedunia (ILO), setiap pekerja berkaitan dengan kehidupan 3 orang pekerja lainnya. Sehingga dengan PHK sebanyak 35.000 orang berarti efek gandanya dialami oleh 35.000 ditambah 105.000 pekerja menjadi 140.000 orang. Belum lagi kalau dihitung berapa orang tanggungan keluarga bagi seorang pekerja.

Lewat diagnosa yang menarik, terapi krisis humanitas telah disarankan ANM dengan jalan membuka jendela humanitas. Bagaimana halnya dengan diagnosa dan terapi untuk krisis ekonomi ?.

Analisa SWOT, Sebagai Alat Diagnosa
Baru-baru ini ramai dibicarakan orang tentang analisa SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), sampai-sampai seorang dokter menggunakan analisa SWOT untuk mencari jalan keluar dari permasalahan keluarga/perkawinan (“Kompas”, 15 Desember 1985); sebuah majalah mingguan terkenal juga melakukan hal sama untuk melakukan evaluasi tahun lalu dan menyusun program kerja tahun ini.

Analisis SWOT adalah salah satu cara manajemen untuk melakukan introspeksi atas apa yang terjadi dalam satu kurun waktu, serta dapat ditarik manfaatnya untuk kurun waktu yang akan datang, dengan meneliti kekuatan-kekuatan (strenghts), kelemahan-kelemahan (weaknesses), kesempatan-kesempatan (opportunities) dan ancaman-ancaman (threats) yang menyangkut berbagai aspek kegiatan pokok perusahaan secara menyeluruh, misalnya tenaga kerja, pembiayaan, pemasaran, organisasi dan prosedur, cara/metoda kerja, bahan/peralatan, mesin, pengawasan, waktu dan sebagainya. Sehingga diperoleh daftar SWOT untuk masing-masing aspek.

Dalam membuat analisa SWOT, sebaiknya disertai dengan data pendukung yang akurat serta diperlukan kejujuran atas penilaian yang dibuat. Namun perlu disadari bahwa dengan melakukan analisa SWOT tidak berarti tiba-tiba dapat memanfaatkan seluruh strenghts, atau semua weaknesses dapat segera diperbaiki, atau semua opportunities dapat segera dilaksanakan atau semua threats secepatnya dapat diatasi. Dengan membuat analisa SWOT arah perbaikan yang dituju akan semakin jelas dan terarah.

Pembuatan analisa SWOT kiranya tidak hanya dilakukan oleh manajemen puncak (top management), tapi juga oleh manajemen menengah (middle management), bahkan para mandor. Sehingga, bidang yang satu memahami kesulitan bidang lainnya, demikian pula manajemen puncak dan aparatnya memahami kesulitan bersama.

Tentu, analisa SWOT bukanlah satu-satunya cara diagnosa dalam menyelesaikan masalah. Masih banyak cara lain yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Efisiensi, Sebagai Terapi
Dalam konteks ekonomi, konsep efisiensi telah dirumuskan oleh Pan A. Yotopoulus dan Jeffrey B. Nugent dalam bukunya Economics of Development (1976), yang menyatakan, bahwa pengertian intuitif mengenai efisiensi mengacu pada pencapaian output yang maksimal dari sekumpulan sumberdaya tertentu; semakin besar rasio antara output untuk satu satuan input, maka semakin tinggi tingkat efisiensinya.

Anjuran untuk meningkatkan efisiensi sudah bukan hal baru lagi, apalagi dengan suramnya kehidupan ekonomi beberapa tahun ini, yang menurut para ahli bahkan masih akan berlangsung sampai waktu yang sulit diketahui. Tak kurang dari Presiden Soeharto sendiri dalam menutup akhir tahun 1985 menyatakan bahwa tahun 1986 merupakan tahun yang masih sulit dan makin berat bagi pelaksanaan pembangunan. Untuk mampu mencapai kemajuan ekonomi dan pembangunan yang optimal, kita harus mengadakan gerakan efisiensi dan penghematan nasional. Demikian, dikatakan Presiden Soeharto dalam Pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 1986-1987 yang baru lalu.
Paling tidak, kita mengenal tiga jenis efisiensi, yaitu efsiensi teknis, efisiensi ekonomis dan efisiensi sosial; bahkan ada juga efisiensi politik. Karenanya, gerakan efisiensi yang dikumandangkan Presiden Soeharto juga harus dipandang dari konteks yang menyeluruh semacam itu.

Sayangnya dalam rangka efisiensi, ternyata banyak pengusaha yang terjebak pada pengertian teknis dan ekonomis semata-mata, itu pun tanpa pemahaman yang mendalam, sehingga penyelesaiannya pun bersifat teknis dan ekonomis pula, yaitu faktor produksi manakah yang dapat dikorbankan untuk merasionalkan perusahaan ? Ironisnya, justru tenaga kerja-lah yang pertama-tama menjadi sasaran, melalui PHK dengan akibat lanjutan, seperti dipaparkan di muka. Padahal, sesungguhnya tenaga kerja merupakan asset utama dalam perusahaan kalau dapat memanfaatkannya secara optimal. Mengapa tidak pada faktor produksi lainnya ? Apakah tidak ada cara lain ?

Sesungguhnya ada cara lain, kalau diingat bahwa berlangsungnya perusahaan bukan semata-mata tergantung pada tenaga kerja. Apakah ekonomi biaya tinggi yang dialami perusahaan bukan karena kesalahan manajemen ? Apakah bukan karena salah cara/metoda ? Apakah bukan karena keborosan bahan baku ? Apakah bukan karena tingginya biaya siluman ? Apakah bukan karena rendahnya kualitas ? Apakah bukan karena kurangnya pengawasan ? Dan masih banyak lagi.

Kalaulah pengusaha memahami HIP (Hubungan Industrial Pancasila) secara mendasar dan memahami permasalahan ekonomi secara mendalam, tentu pada pertanyaan-pertanyaan terakhir itulah perbaikan dilakukan pertama-tama. Bukan membabi buta melakukan PHK, baik dengan pengesahan dari pemerintah ataupun (kebanyakan) PHK di bawah tangan, yakni melalui dorongan pengusaha kepada karyawannya agar mengajukan permohonan mengundurkan diri.

Menurut Albert Kuhon (”Kompas”, 30 Oktober 1985), bagian terbesar yang mengalami PHK adalah pekerja di sektor industri pengolahan, sektor pertambangan dan galian, dan sektor jasa bangunan. Sebenarnya menciutkan tenaga kerja bukan jalan keluar guna mengatasi kelesuan ekonomi. Anggaran upah dan gaji pekerja di suatu perusahaan, terutama sektor industri pengolahan, kisarannya hanya 1-15 persen dari seluruh modal kerja sebulannya. Mengurangi modal kerja dengan jalan melakukan PHK, tidak akan terlalu banyak berarti.

Kalaulah karena memang kondisinya sudah sedemikian sulit, sehingga rasionalisasi tenaga kerja terpaksa dilakukan, masih dapat diajukan pertanyaan lain; apakah tidak lebih baik apabila PHK diberi arti yang lain, selain Pemutusan Hubungan Kerja ?

PHK dapat merupakan kependekan dari Pengurangan Hari Kerja, artinya jumlah tenaga kerja tetap, hanya diadakan pengaturan hari kerja. Katakanlah, yang semula setiap karyawan mendapat 25 hari kerja dalam sebulannya, dikurangi menjadi hanya 20 hari kerja saja, sehingga apabila ada 1.000 orang karyawan, dapat dikurangi 5.000 hari kerja, sebanding dengan Pemutusan Hubungan Kerja sebanyak 250 orang. Tentu saja, cara ini meminta pengertian karyawan akan penurunan pendapatan, tetapi hal itu dialami bersama. Merata !

Dapat juga PHK diartikan sebagai Peningkatan Hasil Kerja, yaitu dengan meningkatkan produktivitas seluruh faktor produksi, termasuk tenaga kerja, dengan implikasi lanjutan perlunya peningkatan pemasaran, dengan tidak selalu mengandalkan pasar tradisional.

Atau mungkin dapat digali akronim lain di luar Pemutusan Hubungan Kerja. Hanya saja, perlu diingat bahwa untuk melakukan perubahan-perubahan tersebut perlu pendekatan yang luwes kepada karyawan. Libatkanlah mereka dalam kesulitan ”perusahaan miliknya”, berilah mereka pengertian bahwa kelangsungan hidup ”perusahaannya” sangat tergantung pada keikutsertaan mereka untuk membantu memecahkan kesulitan perusahaan, termasuk kesediaan berkorban untuk sementara.
Atau, kenapa kita mesti berkutet dengan PHK yang merindingkan bulu roma itu. Kenapa kita tidak mencoba melakukan PKS (Pengurangan Kerja Santai), PSK (Perbaikan Sistem Kerja), SKP (Selalu Kerja Produktif), KPS (Karyawan Sedia Prihatin), PUS (Pengurangan Uang Siluman), ..., dan sebagainya.

Kalau hal demikian sudah membudaya, mungkin kita dapat meniru budaya baik Jepang dalam hal kerja, yang pada hakekatnya perusahaan-perusahaan Jepang cenderung mempekerjakan orang dalam jangka panjang, dengan berbagai latihan dan program peningkatan ketrampilan pegawainya (Bob Widyahartono, dalam ”Prisma”, nomor 5-1983).

Dari paparan di muka, saya kira ada sedikit perbedaan pendapat antara saya dengan ANM. ANM menduga bahwa PHK dilakukan oleh pengusaha yang memahami krisis ekonomi, tetapi tidak membuka jendela humanitas, sedangkan saya menduga PHK dilakukan oleh pengusaha, yang selain tidak mau membuka jendela humanitas, juga tidak memahami HIP dan krisis ekonomi secara mendalam.

Bimbingan Pemerintah
Apabila paparan di muka lebih banyak berhubungan dengan pengusaha dan karyawan, maka tak kurang pula artinya, bahkan sangat menentukan, adanya bimbingan dari pemerintah dalam membantu kelangsungan hidup perusahaan.

Khusus dalam kaitan PHK, maka seyogianya pemerintah mengawasi perusahaan secara ketat, karena terbuka kemungkinan PHK dilakukan oleh pengusaha tanpa pemahaman yang mendalam terhadap HIP, bahkan terhadap perusahaannya. Demikian pula pemerintah seyogianya terus menggali upaya semacam Instruksi Presiden nomor 4/1985, dalam meningkatkan kelancaran roda perusahaan pada khususnya, dan roda perekonomian pada umumnya.

Yang lebih mendasar adalah perlunya penerapan/pelaksanaan secara konsekuen strategi pengembangan industri nasional, sehingga industrialisasi tidak malah menghilangkan kesempatan kerja.

Dalam dunia industri kita mengenal adanya industri besar dan industri kecil, dengan karakteristik yang berbeda. Industri besar cenderung padat modal, dengan rasio tenaga kerja terhadap modal yang rendah, sedangkan industri kecil cenderung padat karya, dengan rasio tenaga kerja terhadap modal yang tinggi. Karena itulah, menggalakkan industri kecil tampaknya merupakan terapi lain bagi pengurangan PHK, bahkan merupakan sektor yang dapat diharapkan untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja.

Sayangnya dalam Repelita IV industri kecil hanya diberi jatah investasi yang “kecil”, dengan beban menyerap tenaga kerja yang “besar”, sedangkan industri besar diberi jatah investasi yang “sangat besar”, dengan beban menyerap tenaga kerja yang “kecil”. Berdasarkan pengalaman selama ini, bukan hal yang tidak mungkin apabila industri besar tersebut justru “memukul” industri kecil, karena penggunaan industri canggih, yang mereduksi tenaga kerja.

Namun demikian, karena baik industri besar maupun industri kecil sama-sama diperlukan dalam mencapai sasaran pembangunan nasional jangka panjang, maka yang sebaiknya tentulah majunya industri besar dapat berjalan seiring dengan majunya industri kecil; satu sama lain harus saling membantu. Hal itu mungkin apabila kita lihat pengalaman Jepang, sebagian komponen industri besar dipenuhi dari hasil industri kecil.

Kalau mengingat peranan industri kecil yang demikian banyak menyerap tenaga kerja dan beberapa kelebihan lainnya, maka saya teringat akan tulisan Dr. E.F. Schumacher almarhum, “Small is Beautiful”, Kecil itu Indah (LP3ES, 1980), sebuah buku yang banyak membela kepentingan rakyat kecil.

Korban PHK, Bangkitlah
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menghimbau korban PHK, untuk segera bangkit dari penderitaan yang tidak diharapkan itu.

Katakanlah, sekarang anda hanya tinggal sebagai sepotong besi seharga Rp 500,00. Besi itu dapat dibuat menjadi 10 buah tapak kuda seharga Rp 5.000,00, atau dapat dibuat menjadi 1.000 buah jarum seharga Rp 15.000,00, atau dapat juga dibiarkan berkarat sehingga tak berharga lagi, atau apa saja. “Harga anda, ditentukan oleh apa yang anda perbuat”, demikian kata Maria Laura dalam menutup bukunya How to be A Good Secretary (1972).

 

Artikel ini dimuat Pikiran Rakyat, Senin, 3 Februari 1986; halaman 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar