Sabtu, 09 Mei 2015

Tinggal Landas Kesenian Tradisional Hanya Utopia ?


Ada Beberapa Masalah Pokok Yang Dihadapinya
Tinggal Landas Kesenian Tradisional Hanya Utopia ?
Oleh Tika Noorjaya
SAYA sependapat dengan dua orang pembaca harian ini seperti yang dituangkannya dalam Pikiran Pembaca tanggal 28 Februari 1986, yang menyatakan kekagumannya atas penampilan Mang Nano S. dan kawan-kawan dalam acara Aneka Ria TVRI tanggal 26 Januari 1986. Tak lupa keduanya mengharapkan agar penampilan semacam itu lebih sering diselenggarakan. Mampukah?.

Lain dari itu, saya teringat salah satu sindiran Mang Nano S. dan kawan-kawan dalam penampilan tersebut. Sewaktu berbicara tentang perbedaan antara kesenian tradisional dengan kesenian modern, maka Mang Nano berkata, bahwa perbedaannya adalah soal sponsor. Kesenian modern banyak sponsor, sedangkan kesenian tradisional kurang sponsor.

Mendengar hal itu, saya jadi terbayang peristiwa pertengahan tahun pada awal tahun 1970-an. Pada waktu itu, secara bersama diadakan festival kesenian tradisional dengan festival kesenian modern (penyanyi pop) untuk tingkat Provinsi Jawa Barat, yang menghasilkan beberapa juara untuk masing-masing jenis seni yang difestivalkan. Pada malam pemberian hadiah, kepada Juara I penyanyi pop dihadiahkan piala gemerlap setinggi kira-kira satu meter! Untuk kesenian tradisional? Saya tidak tahu persis dengan yang lain, tetapi untuk Juara I salah-satu jenis kesenian tradisional diberikan selembar piagam terbuat dari kertas manila warna biru, bertulis tangan (tidak rapi!) plus tugas tampil untuk menghibur pada malam itu. Konsumsi? Tidak kebagian! Padahal, merekasengaja berangkat dari kampung menuju kota Bandung dengan harapan yang melambung.
Dari hubungan antara sindiran Mang Nano S. dengan peristiwa mengenaskan hampir tiga kali Pelita itu, saya jadi terpikir; tiga kali Pelita tampaknya bukan waktu yang cukup untuk meningkatkan penghargaan kita terhadap kesenian tradisional. Lalu, siapa lagi yang mau menghargainya, kalau bukan kita.

Karena itu, saya bertanya dalam hati; apakah sewaktu sektor lain sudah tinggal landas, sektor kesenian tradisional/daerah akan tetap tinggal di landasan? Jangan-jangan tinggal landas bagi kesenian tradisional/daerah hanya utopia.

Tinggal Landas: Dari Ekonomi Ke Seni
Adalah Profesor Rostow yang pertama kali mengajukan teori tahap-tahap pembangunan dengan mengamati perkembangan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju, dan membaginya dalam lima tahap, diantaranya terdapat tahap yang paling kritis, yaitu tahap tinggal landas (take off). Ada beberapa hal yang mencirikan tahap kritis ini, tetapi yang paling penting adalah munculnya jaringan politik, sosial dan kelembagaan yang dapat memanfaatkan rangsangan untuk berkembang di sektor modern, memanfaatkan pengaruh ekonomi luar yang potensial pada saat tinggal landas, dan memberikan kepada pertumbuhan tersebut sifat berkembang sendiri.

Di Indonesia, konsepsi tinggal landas tampaknya mempunyai pengertian yang lebih luas, tidak hanya sekedar dalam arti ekonomi semata-mata, seperti dirumuskan Profesor Rostow, melainkan pada segala aspek kehidupan, karena pembangunan Indonesia dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat idonesia, yaitu pembangunan yang tidak hanya mengejar kebahagiaan lahiriah, tapi juga batiniah. Selain itu, tinggal landas adalah konsepsi yang menyeluruh secara nasional, tidak terpisah antar daerah, tidak terpisah antar sektor. Pada saatnya nanti, tidak ada istilah Jawa sudah tinggal landas, sedangkan Luar Jawa belum; demikian juga tidak ada istilah sektor ekonomi sudah tinggal landas, sedangkan sektor kebudayaan belum; dan sebagainya, dan seterusnya. Tinggal landas harus dialami bersama!, dan itu dicanangkan telah dapat dicapai pada Pelita VI.

Dalam hubungan seperti di atas, konsepsi tinggal landas dalam kesenian tradisional/daerah, kiranya bukan hal yang diada-ada. Karena itu, bersama dengan sektor dan daerah lain untuk mencapai tahap tinggal landas, maka pihak-pihak yang berhubungan dengan kesenian tradisional/daerah seyogyanya menyusun perencanaan yang matang, sehingga tidak tertinggal dari daerah ataupun sektor lain. Kriteria tinggal landas bagi kesenian tradisional/daerah sulit untuk dirumuskan secara kuantitatif, seperti halnya sektor ekonomi. Tetapi, secara kualitatif, barangkali kriteria tersebut dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan dimana kesenian tradisional/daerah sebagai puncak budaya tradisi yang diwariskan nenek moyang, dapat berkiprah secara positif dalam pembangunan nasional, dimana para pendukung serta kelembagaannya mempunyai kemampuan untuk berkembang sendiri, tanpa kehilangan karakteristiknya.

Kriteria di atas, terbuka peluang untk pembenahan dari beberapa pihak yang lebih banyak mengetahui hal ihwal kesenian tradisional/daerah. Penulis, menyusun kriteria tersebut bukan disebabkan pengetahuan yang mendalam dalam bidang ini, justru karena ketidaktahuan, tetapi merasa perlu untuk menyusunnya karena kriteria semacam ini tampaknya cukup penting dalam upaya melestarikan, membina dan mengembangkan kesenian tradisional/daerah, yang dengan demikian kita dapat mengetahui dimana kita berada, dan kemana kita menuju.

Dimana Kita Berada?
Pembuka tulisan ini dengan menuduh kurangnya sponsor, sesungguhnya hanya salah-satu dari sekian banyak masalah pelestarian, pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional/daerah yang semuanya memerlukan pembenahan. Sponsor memang diperlukan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana pendukung dan kelembagaan dalam kesenian tradisional/daerah mampu mensponsori dirinya. Mengapa? Karena, namanya saja sponsor, akan lebih banyak memandang dari sudut kepentingannya.

Ada beberapa masalah pokok lainnya yang dihadapi kesenian tradisional/daerah, khususnya Sunda, pada masa sekarang ini, seperti yang diungkapkan Bapak Iton Kach Djajawisastra (disingkat IKD) dalam tulisannya “Pembinaan Seni Budaya – Daerah” (“Pikiran Rakyat”, 4 Maret 1986), dimana akhir-akhir ini orang agak cemas akan perkembangan kehidupan seni budaya daerah; bahwa baik bahasa maupun seni daerah tampak sedang berada pada proses degradasi kualitas, meskipun hal itu baru merupakan sinyalemen saja. Apa yang diungkapkan IKD selanjutnya, tampaknya merupakan masalah pertama, yaitu kurangnya jam pelajaran kesenian daerah di SD, SLTP, dan SLTA, dan masalah kedua, yakni tidak adanya “guru kesenian” yang pendidikannya diarahkan untuk itu. Terhadap kedua masalah tersebut, pada pokoknya IKD menyarankan tambahan jam pelajaran dan pembentukan “guru kesenian” yang pendidikannya diarahkan untuk itu, atau sebagai alternatif terakhir mengadakan tambahan kegiatan pendidikan kesenian daerah di luar kurikulum (uraian selengkapnya dapat dilihat dalam tulisan IKD di atas, dengan catatan untuk tulisan ini saya menganggap kesenian tradisional sama dengan kesenian daerah, atau setidak-tidaknya merupakan bagiannya).

Masalah ketiga adalah terpusatnya sarana dan prasarana (misalnya gedung pertunjukan) termasuk “guru kesenian” tradisional/daerah, di kota-kota besar, terutama Bandung, sedangkan di daerah kekurangan. Untuk ini seyogyanya ditempuh upaya “pemerataan”, apakah dengan mendatangkan orang kota ke daerah, ataukah orang daerah yang belajar di kota, tidak terbatas pada “guru kesenian” formal saja, melainkan juga “guru kesenian” informal/nonformal, di luar jalur pendidikan formal.

Sedangkan pengadaan sarana dan prasarana tampaknya tidak cukup diharapkan dari swadaya masyarakat. Dalam hal ini, kiranya kita dapat mengakui bahwa pembinaan melalui kegiatan informal/non formal (dalam grup kesenian), tampaknya dapat lebih menjangkau sasaran yang lebih luas, karena longgarnya waktu dan peminatnya yang lebih luas.
Masalah keempat, jarang diadakannya festival atau perlombaan kesenian tradisional/daerah secara berjenjang dari tingkat RT, RW/RK, Desa, Kecamatan, Kewedanaan, Kabupaten/Kotamadya, yang bermuara pada festival/perlombaan tingkat provinsi. Padahal, kegiatan ini akan merangsang peningkatan mutu, sekaligus sebagai monitoring perkembangan hasil pembinaan pada kurun waktu tertentu. Dalam festival/perlombaan ini, selayaknya diberi penghargaan yang memadai, terutama berbentuk sarana/prasarana untuk peningkatan pembinaan selanjutnya. Tidak berlebihan andaikata penghargaan juga tidak hanya diberikan kepada seniman saja, tapi juga bagi figur-figur penggerak/pembinanya.
Kontradiksi antara amatirisme dengan profesionalisme barangkali dapat merupakan masalah kelima. Saya pernah berangan-angan suatu saat seniman yang berkecimpung dalam kesenian tradisional/daerah dapat ”dihidupi” seni yang digelutinya, seperti halnya Elvis Presley yang menjadi milyuner dari hasil menjual suaranya (dalam tarik suara, apa bedanya Titim Fatimah dengan Elvis Presley?). Profesionalisme dalam kesenian tradisional tampaknya masih dipandang sebelah mata, sambil menuding: ”komersiil!”. Padahal, apa salahnya kalau kesenian tradisional/daerah dijadikan “pekerjaan”. Tidak adil memang. Tapi, itulah kenyataan yang berkembang pada masyarakat sekarang ini, yang tentu saja untuk mengubahnya dibutuhkan waktu yang tidak sedikit, karena menyangkut perubahan sikap mental.

Keadaan tersebut, sekaligus menghadirkan masalah keenam, yakni sikap mental masyarakat yang kurang menghargai hasil karya seni tradisional/daerah. Padahal, menilai karya seni seyogyanya tidak hanya diukur pada saat tampil semata-mata, melainkan menukik lebih jauh; berapa lama waktu yang diperlukan untuk latihan, untuk terampil, untuk mahir, untuk menyiapkan perlengkapan, dandan, make-up ,.... dan jangan lupa, untuk seniwati perlu disanggul di salon! Yang kadang-kadang harus sudah berangkat ke salon sejak dini hari. Karena itu, tampaknya tidak mengherankan andaikata ”harga” kesenian tradisional/daerah dinilai mahal, seperti diungkapkan kalangan industri pariwisata, baik biro perjalanan maupun hotel (”Pikiran Rakyat”, 4 Maret 1986). Sementara itu, pemerintah mengharapkan agar beranekaragamnya kesenian tradisional/daerah mampu menyerap wisatawan untuk tinggal lebih lama, dalam rangka meningkatkan pendapatan dari industri pariwisata, mengingat pendapatan negara dari sektor minyak dan gas bumi kurang menggembirakan. Jadi bagaimana? Tampaknya perlu ada usaha saling mendekati antara seniman dengan pihak pariwisata untuk saling memahami kesulitan masing-masing (”batu turun, keusik naek”, kitu meureun!).

Dari beranekaragamnya kesenian tradisional/daerah yang dapat diinventarisir, tampaknya ada beberapa diantaranya yang hampir punah, karena kurangnya kaderisasi, seperti Tarawangsa, Celempung, Angklung Gubrag, Jentreng, dan sebagainya. Hal ini merupakan masalah ketujuh.
Satu hal yang juga seyogyanya mendapat perhatian adalah upaya menumbuhkan citra yang baik terhadap kesenian tradisional/daerah yang ditampilkan dengan mendapat perhatian dari masyarakat yang lebih luas, seperti halnya penampilan di TVRI, sehingga kita tidak lagi disuguhi penampilan kesenian tradisional/daerah Sunda yang ”sareukseuk” dipandang mata, atau didengar telinga, karena mereka membawa nama baik Jawa Barat.

Dari paparan di muka, tampak bahwa pelestarian, pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional/daerah tidak hanya tergantung kepada seni dan senimannya saja, melainkan melibatkan pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.

Meskipun demikian banyak masalah yang dihadapi, tapi kita juga melihat adanya kesenian tradisional/daerah yang mampu mencuat sampai menerobos ke luar negeri. Dari sukses semacam itu, tampaknya baik untuk dikaji hal apa yang menyebabkannya?.

Upaya yang telah ditempuh Kakanwil Depdikbud Provinsi Jawa Barat untuk mengadakan ”riung mungpulung” seniman budayawan seperti pada tanggal 21 Februari 1986, kiranya merupakan selangkah maju dalam membuat terobosan untuk keluar dari masalah yang dihadapi kesenian tradisional/daerah. Barangkali, kegiatan semacam itu tidak berhenti sampai disitu, lagipula tampaknya pertemuan semacam itu ada baiknya kalau melibatkan pihak-pihak selain seniman – budayawan, yang peran positifnya dapat menunjang percepatan menuju sasaran yang diidamkan. Sehingga, tinggal landas bagi kesenian tradisional ataupun kesenian daerah tidak lagi merupakan utopia.

Kalaupun ada yang masih meragukannya, kita masih dapat menghibur diri bahwa kemerdekaan Indonesia pada tahun 1920-an masih merupakan utopia bagi Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan kawan-kawan seangkatannya.

Langkah besar, dimulai dari langkah kecil yang pasti pada hari ini.
Jaleuleu ... ja. Jaleuleu ....

 

Artikel ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Selasa, 15 April 1986; halaman 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar